BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Data dari 33 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita jiwa berat mencapai 2,5 juta orang hal ini menunjukkan bahwa
masalah kesehatan jiwa di Indonesia dewasa ini perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak, tidak hanya dari tenaga kesehatan. Berdasarkan Laporan Kemenkes RI
2012 memperlihatkan bahwa rata-rata nasional gangguan jiwa berat di Indonesia adalah 1,46 atau sekitar 1 juta jiwa. Prevalensi tertinggi untuk gangguan jiwa di
Aceh antara 4,8 - 32,1. Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan Riskesdas 2012 tersebut meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Kelompok
yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah jenis kelamin perempuan, berpendidikan rendah, tingkat ekonomi rendah, tidak bekerja serta tinggal di
pedesaan. Beberapa diagnosis gangguan jiwa bersifat kronis dan membutuhkan
pengobatan dalam jangka waktu lama lebih dari 1 tahun. Namun demikian pasien gangguan jiwa dapat pulih apabila patuh terhadap pengobatan serta terapi lain
konseling, latihan perilaku, asuhan keperawatan yang disarankan, utamanya apabila mendapatkan dukungan keluarga yang baik. Akibat kurang patuh maka angka
kekambuhan pasien gangguan jiwa tinggi. Angka kekambuhan tersebut dapat diturunkan secara signifikan dengan pemberdayaan keluarga Pitschel, 2001. Adanya
Universitas Sumatera Utara
pelatihan pada keluarga tentang cara mengontrol perilaku kekerasan violence pasien gangguan jiwa menghasilkan lama rawat yang lebih pendek di rumah sakit dan durasi
kekambuhan yang lebih panjang. Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 144 ayat
5 menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari
upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Hal ini menunjukkan perhatian akan pentingnya
upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat termasuk kesehatan jiwa keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memiliki peran yang sangat penting
dalam pencegahan, pengenalan dini, serta perawatan pasien gangguan jiwa, termasuk memberikan dukungan emosional dan motivasi untuk kesetiaan terhadap terapi. Oleh
sebab itu pemberdayaan keluarga dalam upaya-upaya kesehatan jiwa di atas sangat diperlukan yang dapat memberikan pengetahuan mengenai cara pemberdayaan
keluarga melalui kegiatan pemberian informasi dan psikoedukasi tentang masalah kesehatan jiwa, perawatan pasien gangguan jiwa, dukungan psikologis kepada
keluarga, serta jejaring untuk meningkatkan kemandirian keluarga pasien gangguan jiwa.
Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif bagi anggota keluraganya. Keluarga selain
dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga
Universitas Sumatera Utara
dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya Notosoedirdjo dan Latipun, 2005
Berdasarkan penelitian dari NHMA National Mental Health Assosiation, 2001, diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga
mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA
mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya.
Beban yang ditimbulkan oleh gangguan jiwa sangat besar. Dampak sosial berupa penolakan, pengucilan, dan diskriminasi. Begitu pula dampak ekonomi berupa
hilangnya hari produktif untuk mencari nafkah bagi penderita maupun keluarga yang harus merawat, serta tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga
maupun masyarakat. Menurut Hawari 2003 salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien
gangguan jiwa adalah pengetahuan masyarakat dan keluarga. Keluarga dan masyarakat menganggap gangguan jiwa penyakit yang memalukan dan membawa aib
bagi keluarga. Penilaian masyarakat terhadap gangguan jiwa sebagai akibat dari dilanggarnya larangan, guna–guna, santet, kutukan dan sejenisnya berdasarkan
kepercayaan supranatural. Dampak dari kepercayaan mayarakat dan keluarga, upaya pengobatan pasien gangguan jiwa dibawa berobat ke dukun atau paranormal. Kondisi
ini diperberat dengan sikap keluarga yang cenderung memperlakukan pasien dengan disembunyikan, diisolasi, dikucilkan bahkan sampai ada yang dipasung.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kesembuhan klien yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi keluarga yang terapeutik dan
mendukung klien sangat membantu kesembuhan klien dan memperpanjang kekambuhan. Angka kekambuhan pada klien tanpa terapi keluarga sebesar 25 - 50
sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga 5 - 10 Keliat, 2006.
Kambuh merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali. Periode kekambuhan
adalah lamanya waktu tertentu atau masa dimana klien muncul lagi gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan klien harus dirawat kembali Yosep, 2007.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh keluarga pasien yaitu : menjadi ragu-ragu dan serba takut nervous, tidak ada nafsu makan, sukar
konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat dan menarik diri. Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan, antara lain tidak minum obat dan tidak kontrol ke
dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan
yang berat yang membuat stres Yosep, 2007. Keluarga sebagai ”perawat utama” dari klien memerlukan treatment untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam merawat klien. Edukasi keluarga yang lebih dikenal dengan istilah family psycoeducation adalah terapi yang digunakan
untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan ketrampilan mereka dalam merawat anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, sehingga
Universitas Sumatera Utara
diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya Goldenberg dan Goldengerg, 2004.
Pendapat lain menjelaskan bahwa psikoedukasi keluarga adalah pemberian pendidikan kepada seseorang yang mendukung treatment dan rehabilitasi. Hasil
penelitian terdahulu yang terkait dengan edukasi keluarga dalam penanganan gangguan jiwa seperti dilakukan Keliat dkk 2011 di Jakarta menemukan bahwa
keluarga yang mendapat edukasi tentang Community Mental Health Nursing CMHN mampu meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien
gangguan jiwa. Penelitian Jayanti 2012 di RS Grhasia Yogyakarta menyimpulkan bahwa
persepsi keluarga tentang stigma gangguan jiwa dengan penerimaan keluarga pasien gangguan jiwa di unit rawat jalan kategori baik sebesar 89,5. Semakin baik persepsi
tentang gangguan jiwa maka penerimaan keluarga yang diperoleh semakin tinggi, dapat diartikan pula semakin baik persepsi tentang gangguan jiwa dengan penerimaan
keluarga pasien gangguan jiwa yang dicapai maka tingkat keeratan hubungannya dikategorikan baik. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden keluarga
memenuhi fungsi keluarganya yaitu fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, ekonomi dan perawatan kesehatan dimana fungsi tersebut terpenuhi dengan baik oleh keluarga
pada pasien gangguan jiwa, selain itu keluarga dapat mengendalikan faktor yang mempengaruhi persepsinya dengan baik seperti pengorganisasian, stereotif, selektif,
karakteristik pribadi, situasional, emosi dan kebutuhan tertentu sehingga keluarga
Universitas Sumatera Utara
tidak mendapatkan hambatan dalam penerimaan pasien gangguan jiwa dilingkungan keluarga.
Penelitian Nasir dan Abdul 2011 mengatakan keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada pasien. Demikian juga
Veidebeck 2008 juga mengatakan bahwa keluarga berfungsi sebagai sumber bantuan pertama bagi pasien gangguan jiwa. Penelitian Syamsuri 2011 mengatakan
sebagian besar keluarga pasien dapat menerima keberadaan pasien sebagai seseorang yang sakit dan membutuhkan perawatan khusus sama seperti pasien penyakit lain,
namun penerimaan keluarga terhadap pasien dianggap masih kurang, karena perilaku pasien yang susah diatur dan terkadang membuat jengkel pihak keluarga seperti
marah-marah dan mengamuk sehingga pihak keluarga cenderung menghindar. Menurut Machira 2012 pada beberapa negara dengan fasilitas dan sumber
daya kesehatan mental yang mencukupi terdapat klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal yang sudah merupakan bagian dari sistem kesehatan mental.
Namun demikian, di Indonesia dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang terbatas dan tersebar tidak merata, belum ada klinik khusus untuk gangguan
psikotik fase awal. Perawatan penderita gangguan psikotik fase awal sebagian besar ditanggung oleh keluarga. Penelitian Machira 2012 pada penderita gangguan
psikotik fase awal di Jogjakarta menemukan hampir semua penderita masih tinggal dengan keluarga atau orangtua, meskipun umur mereka sudah di atas 18 tahun atau
pun sudah menikah. Keadaan ini membuat keluarga memainkan peranan penting pada pencarian pertolongan dan manajemen gangguan psikotik fase awal. Manajemen
Universitas Sumatera Utara
gangguan psikotik juga sulit dilakukan karena penderita gangguan psikotik seringkali terdapat gangguan insight atau tilikan diri, sehingga penderita tidak menyadari jika
dirinya menderita gangguan atau sakit. Penderita seringkali menolak mendapatkan perawatan atau pengobatan, dan akan bergantung pada keputusan yang diambil oleh
keluarga. Pada beberapa negara dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang mencukupi terdapat klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal yang
sudah merupakan bagian dari sistem kesehatan mental. Namun demikian, di Indonesia dengan fasilitas dan sumber daya kesehatan mental yang terbatas dan
tersebar tidak merata, belum ada klinik khusus untuk gangguan psikotik fase awal. Perawatan penderita gangguan psikotik fase awal sebagian besar ditanggung oleh
keluarga. Pemberdayaan keluarga untuk mengurangi stigma pada gangguan psikotik di Jogjakarta menunjukkan, jika pengetahuan keluarga pada gangguan psikotik dan
skizofrenia sangat rendah. Pengetahuan yang rendah ini membutuhkan intervensi, sehingga jika pengetahuan meningkat diharapkan manajemen gangguan psikotik akan
lebih baik Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan 2012 memperkirakan 90
penderitaan gangguan jiwa tidak berobat ke psikiater. Diperkirakan 28 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa ringan hingga berat. Tiga belas juta diantaranya
gangguan depresi. Khusus di kota besar 1 dari 5 penduduknya diperkirakan mengalami gangguan jiwa. Jika masing-masing penderita punya empat orang kerabat
saja, maka lebih 100.000.000 penduduk terkena dampak gangguan jiwa langsung atau
Universitas Sumatera Utara
tidak. Bila melihat perkiraan data di atas maka ini memprihatinkan sekali karena hanya 10n saja yang mendapatkan penanganan medis.
Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma 2004 merupakan bantuansokongan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga
lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah keluarga. Keberhasilan perawatan di rumah sakit yakni pemberian obat akan menjadi
sia-sia apabila tidak ditunjang oleh peran serta dukungan keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, dkk 2006 menunjukkan bahwa family caregivers adalah
sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemberian obat pada pasien gangguan jiwa skizofrenia.
Nurdiana dkk 2007 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan
oleh pasien di rumah sehingga akan menurunkan angka kekambuhan. Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh Dinosetro 2008,
menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat
beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang
dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan.
Beberapa penelitian terkait yang dimuat dalam jurnal internasional antara lain penelitian
Wong
et al, 2013 dalam Journal of Traumatic Stress Disorders
Universitas Sumatera Utara
Treatment menyimpulkan bahwa peserta yang telah melihat video psychoeducational, memiliki pengetahuan yang lebih besar tentang gejala gangguan jiwa dan keyakinan
lebih positif tentang perawatan kesehatan mental dibandingkan kondisi perawatan lain. Peserta pada kelompok intervensi psikoedukasi lebih mungkin untuk mengenali
gejala-gejala masalah kesehatan mental dibanding kelompok kontrol. Penelitian Ghadirian et al 2009 tentang family psychoeducation
menyimpulkan bahwa intervensi psychoeducational keluarga relatif meningkatkan pengetahuan tentang tentang penyakit gangguan mood pasien, serta tingkat adaptasi
dalam keluarga juga meningkat. Keluarga juga mendapat keuntungan dari diskusi dan bertukar informasi tentang strategi penanganan yang berguna serta
merasa jauh lebih baik setelah informasi tentang penyakit. gejala, kepatuhan minum obat
dan fungsi global
pada pasien tidak menunjukkan
signifikan perbedaan dalam tindak lanjut
Penelitian Batista et al 2011 tentang efficacy of psychoeducation in bipolar patients menyimpulkan bahwa p
.
sikoedukasi signifikan meningkatkan perawatan klinis, kepatuhan pengobatan, dan fungsi psikososial pasien. Hal ini juga mengurangi
jumlah pasien yang kambuh. Jumlah dan panjang rawat inap per pasien juga lebih rendah pada pasien yang menerima psikoedukasi. Studi menunjukkan hasil positif
dalam mengurangi tingkat kambuh dan meningkatkan jangka panjang kepatuhan pengobatan. Selain itu, intervensi psikoedukasi meningkatkan pengetahuan tentang
penyakit untuk mengurangi penderitaan mereka dan meningkatkan fungsi sosial secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Sauceda 2011 tentang family psychoeducation for latino populations with mental illness living in the united states menyimplkan bahwa
keluarga yang mendapat psikoedukasi yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin merupakan kemajuan yang penting sebagai upaya yang dilakukan untuk
menyesuaikan intervensi dengan budaya latin. Menurut Commission on the Family Dolan dkk, 2006 bahwa dukungan
keluarga dapat memperkuat setiap individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi
pencegahan yang utama bagi seluruh keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai relevansi dalam masyarakat yang berada
dalam lingkungan yang penuh dengan tekanan. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan sarana
pelayanan bagi masyarakat terletak di Jl. Tali Air No. 21 Medan, Kel. Mangga, Kecamatan Medan Tuntungan. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan penulis pada
September 2013 ditemukan jumlah pasien sebanyak 510 orang dengan tingkat kekambuhan sebanyak 72 orang Profil RSJ Pemprovsu, 2012. Faktor penyebab
yang diduga menjadi penyebab tingginya kekambuhan pasien adalah kurangnya dukungan dari keluarga dalam proses pengobatan pasien. Oleh karena itu perlu
diupayakan pemberdayaan keluarga untuk dapat berperan secara optimal. Mengacu pada hal tersebut di atas, penulis menfokuskan penelitian ini tentang
edukasi yang dilakukan pada keluarga pasien gangguan jiwa sehingga memiliki kemampuan merawat pasien gangguan jiwa.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Permasalahan