2.6 Kaitan Pola Makan Vegetarian dan Status Gizi dengan Prestasi Belajar
Banyak peneliti terdorong untuk menemukan hubungan antara kecenderungan mengonsumsi makanan nondaging dengan kecerdasan atau prestasi belajar. Hal ini
dilatarbelakangi oleh adanya beberapa penemu dan filsuf yang cukup terkenal cerdas merupakan penganut vegetarian seperti Albert Enstein, Plato, Aristoteles, Socrates, Isaac
Newton, dan Thomas A. Edison. British Medical Journal menerbitkan hasil penelitian tersebut dimana peneliti mengukur IQ sejumlah responden pada usia 10 tahun, kemudian
mengikuti perkembangan mereka hingga umur 30 tahun. Data menunjukkan bahwa mereka yang menjadi vegetarian saat anak-anak memiliki IQ sekitar 5 poin lebih tinggi daripada
rata-rata orang dewasa yang bukan vegetarian Harmandini, 2011. Mereka yang vegetarian juga lebih cenderung memiliki pekerjaan dan gelar yang
lebih tinggi. Menurut para peneliti, ini disebabkan karena pola makan mereka yang kaya sayuran dan buah-buahan telah mampu meningkatkan kemampuan otak di antara manfaat
kesehatan lain untuk meningkatkan kecerdasan. Studi juga menunjukkan bahwa anak-anak vegetarian tumbuh lebih tinggi dan memiliki IQ lebih tinggi daripada teman-teman
sekolahnya. Risiko untuk penyakit jantung, obesitas, diabetes dan penyakit lain juga menurun untuk jangka panjang. Meskipun tidak terlalu populer di Indonesia, ada juga
sebagian masyarakat di tanah air yang menerapkan pola hidup vegetarian atau tidak memakan daging. Mereka percaya, pola hidup itu bermanfaat bagi kesehatan serta mampu
mencerdaskan anak. Sebagian besar masyarakat cenderung menganggap pola hidup vegetarian pada anak penyebab kekurangan gizi atau gizi buruk. Menurut Ayu 2012, hal
tersebut tergantung dari asupan makanan yang diberikan dan kecerdasan sang ibu dalam
Universitas Sumatera Utara
memilih lauk sekalipun menerapkan pola vegetarian. Pola hidup vegetarian tidak akan membuat anak kekurangan gizi”. Oleh karena itu, orang tua tidak perlu khawatir tetapi
harus diperhatikan pemilihan jenis makanannya misalnya nabati yang mengandung asam lemak esensial sebagai asupan makanan.
Beberapa jenis asam lemak esensial seperti asam lemak omega 3, asam lemak omega 6 dan asam lemak omega 9 terkait langsung dengan pembentukan jaringan otak. Ketika
bayi, kebutuhan tiga komponen terdapat dalam air susu ibu, sementara saat berusia 6 bulan hingga 2 tahun, bayi mendapat tambahan ketiga asam omega dari makanan-makanan yang
sehat seperti sayur mayur, kacang-kacangan dan biji-bijian. Maka dari itu, pola hidup vegetarian yang tidak mengkonsumsi daging terjamin kebutuhan asam lemak omega
dengan mengkonsumsi sayur mayur, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Terkadang, masyarakat masih terbatas pengetahuannya terkait sayur-mayur. Sebagai contoh, untuk
memenuhi kebutuhan asam omega 3, anak bisa diberikan konsumsi seperti biji-bijian macam wijen, kedelai dan jagung atau memanfaatkan hasil olahannya semisal minyak
wijen, minyak jagung dan minyak kedelai. Sementara khusus sayur mayur bisa diberikan sayuran yang berwarna hijau Ayu, 2012
Kebutuhan asam lemak omega 6, dapat dipenuhi dengan mengasup makanan berupa kacang-kacangan, jagung, wijen dan biji matahari atau bisa juga memanfaatkan olehannya
seperti minyak wijen, minyak jagung, kacang tanah dan minyak bunga matahari. Menurut Ayu 2012, asam lemak omega 6 memiliki posisi strategis, sebab merupakan bahan
pembentuk AA Arachidonic acid dan DHA Docosahexaenoic yang nantinya akan mempengaruhi pembentukan jaringan otak. Untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak
Universitas Sumatera Utara
omega 9, orang tua bisa juga memberikan asupan makanan berupa minyak zaitun dan kacang-kacangan lain, semisal, kacang polong, kacang hijau dan kacang tanah. Zat lainnya
yang diperlukan guna menunjang pembentukan kecerdasan pada anak vegetarian adalah zat besi dan zinc seng yang juga terdapat pada sayur-mayur. Khusus Zinc, jelasnya,
merupakan zat yang kini diteliti para ilmuwan karena diyakini mampu mendukung pembentukan sel otak.
Salah satu penelitian yang menggambarkan status gizi balita vegetarian dan nonvegetarian terjadi pada tahun 2008 lalu. Penelitian Susianto 2008 menyebutkan bahwa
tidak ada bayi vegetarian yang menderita gizi kurang apalagi gizi buruk sebaliknya pada bayi vegetarian terdapat kelebihan berat badan. Kesimpulan tersebut tergambar dari hasil
penelitian yang mencatat prevalensi obesitas bayi vegetarian sebesar 5.3 dan bayi nonvegetarian 12.3, 13.3 bayi vegetarian dan 8.2 nonvegetarian yang gemuk, 56
balita vegetarian dan 57.5 nonvegetarian yang berstatus gizi normal, namun terdapat 25.3 bayi vegetarian dan 21.9 nonvegetarian yang beresiko kegemukan. Penelitian
mengambil sampel 148 balita dengan rincian 75 vegetarian dan 73 non vegetarian yang terpilih secara purpose sampling.
Keadaan gizi juga akan mempengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan akan mempengaruhi prestasi belajar. Penelitian kaitan indeks prestasi
dengan status gizi anak dalam studi kasus anak di Kabupaten Nabire oleh Wilma 2006 menemukan bahwa semakin rendah status gizi siswa semakin rendah pula nilai prestasi
mereka. Penelitian Huwae 2005 menyatakan dari 43 sampel anak sekolah yang diteliti di Kabupaten Nabire terdapat 36 menderita gizi kurang dan 1,3 mengalami gizi buruk.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini menyatakan terdapat hubungan yang erat antara status gizi dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar yaitu semakin tinggi status gizi siswa maka akan semakin tinggi
pula prestasi belajar mereka. Pola konsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu disusun
berdasarkan data jenis pangan, frekuensi penggunaan serta banyaknya yang dimakan. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi.
Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur dan aktivitas tubuhnya Nasution Riyadi, 1994. Kandungan zat gizi makanan sebaiknya cukup dari
segi energi, protein, karbohidrat, lemak, serta zat gizi mikro lainnya. Pola konsumsi ini digunakan untuk menilai status gizi seorang anak termasuk anak vegetarian.
Pola konsumsi dan status gizi ini merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan seorang anak dimana menurut Muhilal et al 1998, kemampuan anak untuk
belajar dipengaruhi oleh asupan gizi dan status gizi mereka. Apabila merasa lapar mereka akan mengalami kesulitan belajar, menurunnya kemampuan anak dalam merespon
lingkungan, kesulitan konsentrasi dalam menangkap informasi. Menurut Khomsan 2004, mencetak generasi yang sehat dan cerdas harus dimulai sejak anak dalam janin sampai
remaja. Berbagai intervensi harus diberikan kepada anak-anak khususnya dalam hal gizi, kesehatan dan pendidikan. Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya
karena kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Oleh karena itu pola konsumsi dan status gizi dapat mempengaruhi prestasi belajar anak SD, termasuk anak penganut vegetarian,
seperti pada kerangka konsep dalam Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Kerangka Konsep