14
III. METODE PENELITIAN
3.1. Bahan dan Alat
3.1.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kayu putih kasar yang berwarna hijau hasil penyulingan skala tradisional dari alat penyulingan
tembaga. Sedangkan bahan kimianya terdiri dari Na
2
SO
4
anhidrid, etanol 70, asam tartarat, asam sitrat, bentonit, arang aktif, dan bahan kimia lainnya untuk analisis.
3.1.2. Alat
Peralatan yang digunakan terdiri dari alat shaker, piknometer, AAS Atomic Absorption Spectrophotometer, refraktometer, spektrofotometer, timbangan analitik,
GC-MS polarimeter, dan alat-alat lainnya untuk analisa.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan karakteristik minyak kayu putih yang akan digunakan dan mengetahui jenis dan konsentrasi bahan
pemurnian yang akan digunakan pada penelitian utama. Penentuan ini didasarkan pada nilai kejernihan tertinggi yang didapatkan dari nilai kejernihan transmitan
yang didapatkan baik dari penggunaan adsorben atau senyawa pengkelat.
a. Karakteristik Bahan Baku
Minyak kayu putih yang akan digunakan sebagai bahan baku perlu diketahui karakteristiknya. Karakteristik terhadap bahan baku yang
dilakukan antara lain adalah uji kejernihan transmitan, uji kadar logam, dan uji fisiko-kimia berdasarkan SNI 06-3954-2006 bau, warna, bobot
jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 70, kandungan sineol dengan GC-MS. Metode analisis karakteristik bahan baku dpat
dilihat pada Lampiran 1.
b. Penentuan Jenis dan Jumlah Bahan Pemurnian
Penentuan jenis dan konsentrasi bahan pemurnian dilakukan dengan melihat nilai kejernihan transmitan paling tinggi dari
penggunaan salah satu bahan adsorben atau bahan pengkelat yang kemudian akan digunakan pada penelitian utama. Bahan adsorben yang
digunakan adalah arang aktif, bentonit, dan zeolit, sedangkan untuk bahan pengkelat yang digunakan adalah asam sitrat, asam tartarat, dan
EDTA Asam Etilen Diamin Tetraasetat. Keenam jenis pemurnian ini dipilih karena lebih murah, mudah didapatkan, dan sangat efektif
15
dihunakan untuk pemurnian minyak atsiri. Konsentrasi yang digunakan untuk masing-masing bahan pemurnian tersebut adalah 2.
3.2.2. Penelitian Utama
Penelitian utama
dilakukan dengan
menggunakan kombinasi
konsentrasi bahan pemurnian yang menghasilkan persen transmisi tertinggi yang diperoleh dari penelitian pendahuluan yakni bentonit dan asam sitrat. Perlakuan
yang diberikan pada penelitian utama adalah kombinasi dua bahan pemurnian dengan konsentrasi tertentu yakni 0 tanpa bahan pemurnian, 1, 2, dan 3.
Pengamatan terhadap minyak hasil pemucatan meliputi rendemen yang diperoleh, analisa fisiko-kimia berdasarkan SNI MKP 2006 warna, bau, bobot jenis,
putaran optik, kelarutan dalam alkohol 70, indeks bias, dan kadar sineol dengan GC-MS, nilai kejernihan, dan kadar logam Lampiran 1.
3.2.3. Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih
Secara umum, proses pemurnian minyak kayu putih pada penelitian pendahuluan dan utama sama gambar 2. Perbedaannya adalah pada
penggunaan jenis dan konsentrasi bahan adsorben dan pengkelat. Pada penelitian pendahuluan, jenis bahan pemurnian yang digunakan terdiri atas arang aktif,
bentonit, zeolit, asam sitrat, asam tartarat, adan EDTA dengan konsentrasi masing-masing bahan pemurnian yang digunakan adalah 2. Pada penelitian
utama, bahan pemurian yang digunakan adalah bentonit dan asam sitrat dengan konsentrasi yang digunakan adalah 0 tanpa bahan pemurnian, 1, 2, dan
3.
Minyak kayu putih sebanyak 50 ml dicampur dengan sejumlah bahan pemurnian yang sesuai dengan perlakuan ke dalam gelas erlenmeyer 100 ml.
Selanjutnya gelas dipasang pada shaker dengan suhu 55°C, untuk proses pengadukan selama 30 menit. Setelah itu, minyak disaring dengan kertas saring
setelah dingin. Ke dalam minyak hasil penyaringan ditambahkan natrium sulfat anhidrat untuk menyerap sisa air yang terdapat pada minyak, diaduk kembali
selama 15 menit dan disaring kembali dengan kertas saring sehingga dihasilkan minyak kayu putih hasil pemurnian.
16
Gambar 2. Prosedur Proses Pemurnian Minyak Kayu Putih Pemanasan dan Pengadukan
alat sha er bath dengan T=55°C dan t= 30’
Penyaringan I saringan manual dengan kertas saring dan corong penyaring
Analisa Mutu Minyak Minyak Kayu Putih Kasar
50 ml Arang Aktif, Bentonit, Zeolit, As.
Sitrat, As. Tartarat, dan EDTA kosentrasi masing-masing = 2
Penelitian Pendahuluan
Bentonit, dan As. Sitrat 0, 1, 2, dan 3
Penelitian Utama
Bahan pemurnian dan kotoran yang tertinggal di
kertas saring Na
2
SO
4
anhidrid 0,1 gr
Penyaringan II saringan manual dengan kertas saring dan corong penyaring
Pengadukan tanpa pemanasan dengan menggunakan shaker t= 15 menit
Na
2
SO
4
anhidrid dan air Minyak Kayu Putih Pucat
Minyak Kayu Putih Murni
17
3.3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan.
Perlakuan pada penelitian utama terdiri dari : a.
Jumlah asam sitrat A, dengan empat taraf A
= tanpa asam sitrat 0 A
1
= 1 A
2
= 2 A
3
= 3 b.
Jumlah bentonit B, dengan tiga taraf B
=tanpa bentonit 0 B
1
= 1 B
2
= 2 B
3
= 3 Model matematis untuk rancangan acak lengkap faktorial Sudjana 1985 adalah
sebagai berikut : Y
ij
= µ + A
i
+ B
j
+ AB
ij
+ BA
ji
+
ε
ij Y
ij
: respon percobaan karena pengaruh faktor A pada taraf ke-i, faktor B pada taraf ke-j pada ulangan ke-n
µ : pengaruh rata-rata sebenarnya
A
i
: pengaruh faktor A pada taraf ke-i B
j
: pengaruh faktor B pada taraf ke-j AB
ij
: pengaruh interaksi dari faktor A taraf ke-i dengan faktor B pada taraf ke-j BA
ji
: pengaruh interaksi dari faktor B taraf ke-j dengan faktor A pada taraf ke-i
ε
ij : pengaruh dari unit percobaan ke-r dalam kombinasi perlakuan ij
Selain itu, analisa pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan program aplikasi Microsoft Office dan salah satu jenis program aplikasi pengolahan data
statistik yang disebut dengan SAS Statistical Analysis System.
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN
4.1.1. Bahan Baku
Minyak kayu putih yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini berwarna hijau bening dengan karakteristik seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 3. Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih Karakteristik
Hasil Pengamatan SNI 2006
Warna Hijau bening
Jernih sampai kuning kehijauan Bau
Khas MKP Khas MKP
Bobot Jenis 0,924
0,900-0,930 Indeks Bias
1,468 1,450-1,470
Putaran Optik -1
-4° sd 0° Kelarutan Etanol 70
1: 6jernih 1:1 sd 1:10 jernih
Kejernihan 81,30
- Pada dasarnya karakteristik minyak kayu putih tersebut telah memenuhi
syarat mutu yang ditetapkan SNI 2006, kecuali pada warna. Oleh karena itu, mutu minyak kayu putih perlu ditingkatkan sehingga sesuai dengan standar tersebut.
Warna minyak kayu putih yang berwarna hijau ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor peralatan dan kandungan tanaman itu sendiri. Warna hijau pada minyak kayu
putih tersebut disebabkan oleh penggunaan alat penyulingan yang terbuat dari logam tembaga dan kandungan klorofil pada daun yang terbawa pada saat penyulingan.
Mutu minyak kayu putih dipengaruhi oleh jenis tanaman, tempat tumbuh, cara penanganan bahan baku dan penanganan pasca penyulingan.
Untuk mengetahui jenis logam pengotor yang terdapat dalam minyak, dilakukan analisis ion logam dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom
AAS. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa minyak kayu putih kasar mengandung logam Cu, Fe, dan Mg masing-masing sebesar 18,16 mgl, 8,76 mgl,
dan 0,300 mgl.
4.1.2. Bahan Pemurnian
Bahan pemurnian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis bahan adsorben bentonit, arang aktif, dan zeolit dan tiga jenis bahan pengkelat
asam sitrat, asam tartarat, dan EDTA. Keenam bahan pemurnian tersebut merupakan jenis bahan pemurnian yang mudah didapatkan dan banyak digunakan
untuk pemurnian minyak atsiri. Menurut Hernani dan Marwati 2006, adsorpsi menggunakan adsorben tertentu seperti zeolit, arang aktif, dan bentonit, sedangkan
untuk larutan senyawa pembentuk kompleks yang dipakai adalah asam sitrat dan asam tartarat Sait dan Satyaputra 1995. Konsentrasi yang digunakan untuk tiap-
tiap bahan pemurnian adalah sebanyak 2. Menurut Kusdiana dalam Rohayati
19
1997, minyak atsiri dapat dipucatkan dengan menggunakan 2 bubuk asam tartarat. Penggunaan konsentrasi tersebut untuk menentukan jenis dan konsentrasi
bahan pemucat yang akan digunakan pada penelitian utama dengan melihat nilai persen transmisi tertinggi. Minyak kayu putih hasil pemurnian diuji dengan
menggunakan alat Spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Semakin jernih minyak, maka nilai persen transmisi makin tinggi, karena cahaya yang dapat
melewati minyak tersebut semakin banyak. Minyak hasil pemurnian pada penelitian pendahuluan memiliki nilai persen
transmisi yang beragam. Pada proses adsorbsi, nilai kejernihan yang didapatkan yaitu bentonit 99,40, zeolit 98,35, dan arang aktif 97,50. Nilai kejernihan
berdasarkan penggunaan masing-masing bahan pemurnian pada proses pengkelatan adalah sebagai berikut asam sitrat 99,95, asam tartarat 98,85, dan EDTA
98,7. Jika dibandingkan dengan minyak kayu putih sebelum pemurnian yakni 81,30, terlihat adanya peningkatan nilai kejernihan. Dari hasil tersebut, terlihat
bahwa bentonit dan asam sitrat memiliki nilai paling tertinggi yang mewakili jenis bahan pemurnian pada proses adsorbsi atau proses pengkelatan.
Peningkatan kejernihan tersebut disebabkan adanya pengikatan logam, penyerapan air dan warna yang menyebabkan kekeruhan pada minyak dapat terserap.
Menurut Patterson 1992 bentonit memiliki sifat mudah menyerap air yang menyebabkan kekeruhan pada minyak dan menghasilkan minyak yang jernih. Selain
itu, bentonit dan asam sitrat juga dapat menyerap logam yang terdapat dalam minyak. Dengan berkurangnya logam dalam minyak, maka minyak menjadi lebih
jernih Rossi et al. 2003. Peningkatan kejernihan pada pengkelatan tersebut disebabkan karena asam sitrat mengikat logam yang terdapat dalam minyak,
membentuk kompleks logam-asam sitrat Muller et al., 1997. Nilai persen transmisi minyak hasil pemucatan dapat dilihat pada grafik di
bawah ini Gambar 3. Untuk memperoleh minyak yang lebih jernih, dilakukan pemucatan dengan kombinasi jenis dan jumlah bahan pemucat. Untuk penelitian
utama, digunakan konsentrasi 0 tanpa asam sitrat atau bentonit, 1, 2, dan 3 untuk masing-masing bahan pemurnian. Pemilihan konsentrasi ini didasarkan pada
hasil-hasil penelitian pemurnian minyak atsiri terdahulu yang telah dilakukan . Pemurnian minyak menggunakan bentonit 3 akan menghasilkan minyak dengan
kejernihan dan warna yang lebih baik Mulyono dan Marwati 2005. Di samping itu, pemurnian terhadap minyak akar wangi yang bermutu rendah berwarna kehitaman
dengan menggunakan bentonit 2 akan meningkatkan mutu minyak Rohayati 1997.
20
Gambar 3. Histogram Nilai Kejernihan masing-masing Bahan Pemurnian
4.2. Penelitian Utama
4.2.1. Rendemen
Rendemen merupakan faktor penting yang akan menentukan tingkat efisiensi proses pemucatan. Rendemen minyak kayu putih hasil pemucatan berkisar
antara 84 sampai dengan 92 dengan rata-rata 87. Rendemen tertinggi diperoleh dari minyak yang dipucatkan dengan asam sitrat 1, sedangkan rendemen
terendah diperoleh dari penambahan bentonit 3.
Gambar 4. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Rendemen Minyak Kayu Putih 96.00
96.50 97.00
97.50 98.00
98.50 99.00
99.50 100.00
Nila i K
ej er
nih a
n tra
ns m
it a
n
Jenis Bahan Pemurnian 2
75 80
85 90
95 100
1 2
3
Rendem en
Jumlah Bentonit
As. Sitrat 0 As. Sitrat 1
As. Sitrat 2 As. Sitrat 3
21
Pada gambar 4, dapat dilihat histogram pengaruh jumlah bahan pemurnian terhadap rendemen minyak kayu putih. Berdasarkan histogram tersebut, terlihat
adanya pengaruh dari jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan. Penggunaan bentonit atau asam sitrat 1, 2, dan 3 persen menghasilkan rendemen minyak hasil
pemurnian yang semakin menurun. Hal ini juga terjadi pada penggunaan kombinasi bentonit dan asam sitrat. Perbedaan jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan
menghasilkan rendemen minyak yang berbeda pula. Dari hasil uji statistik Lampiran 2 diketahui juga bahwa jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan
untuk setiap hasil yang berbeda nyata. Secara umum, semakin banyak jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan maka rendemen minyak semakin kecil. Hal ini karena
dengan banyaknya bahan pemurnian yang ditambahkan maka minyak yang tertinggal pada bahan pemucat tersebut akan cukup besar. Menurut Fahmi dalam
Ardiana 2006, semakin tinggi konsentrasi bahan pemucat maka penyusutan yang dialami akan semakin tinggi. Pada proses pengkelatan, kotoran dan logam pada
minyak akan tertinggal bersama asam sitrat dan membentuk gumpalan. Hal ini disebabkan oleh adanya pembentukan endapan oleh asam sitrat yang berikatan
dengan logam yang terlepas dari senyawa utama pada minyak tersebut. Selain itu, ssam sitrat dapat mengadsorpsi senyawa logam disertai reaksi kimia yang
membentuk senyawa kimia kompleks yang tidak terlarut dalam minyak sehingga proses pemisahan antara padatan hasil reaksi dengan minyak dapat dilakukan
dengan penyaringan Syabanu dan Cahyaratri 2009 Penambahan bentonit dan asam sitrat berpengaruh juga terhadap rendemen
minyak. Minyak dapat tertinggal pada bentonit dan asam sitrat sehingga mengurangi rendemen yang diperoleh. Penurunan rendemen minyak yang dipucatkan dengan 0,
1, 2, dan 3 persen asam sitrat dan bentonit tidak terlalu besar yakni 2-3 persen. Pemucatan dengan kombinasi kedua pemucat tersebut tidak menyebabkan
kehilangan yang terlalu besar kecuali pada kombinasi bahan pemurnian dengan 3 asam sitrat dan 3 bentonit. Oleh karena itu, pemurnian dengan kombinasi tersebut
tidak efektif.
4.2.2. Kejernihan Transmisi
Kejernihan minyak kayu putih dilihat dari persen transmisinya yang diukur dengan alat Spektrofotometer pada panjang gelombang 540. Persen transmisi adalah
radiasi sinar yang dapat diteruskan oleh sumber cahaya yang melalui suatu laruutan dalam wadah transparan dengan intensitas tertentu. Semakin besar nilai persen
transmisi berarti semakin banyak cahaya yang dapat dilewatkan dan minyak semakin jernih. Nilai transmisi minyak kayu putih hasil pemurnian berkisar antara
81,30
– 96,88. Persen tertinggi diperoleh dari minyak yang dipucatkan dengan asam sitrat 1, sedangkan nilai terendah diperoleh dari minyak yang dipucatkan
dengan kombinasi 3 asam sitrat dan 3 bentonit. Pada gambar 5, dapat dilihat hubungan pengaruh jumlah bahan pemurnian
dengan persen transmisi minyak kayu putih. Perbedaan konsentrasi bahan pemurnian yang ditambahkan menghasilkan minyak dengan nilai persen transmisi
yang beragam. Dari data tersebut, terlihat bahwa nilai kejernihan akan semakin meningkat sesuai dengan konsentrasi bentonit yang digunakan. Hal ini berbeda pada
penggunaan asam sitrat dimana nilai kejernihan yang dihasilkan berbanding terbalik dengan konsentrasi asam sitrat yang digunakan. Hal ini disebabkan tidak terjadinya
22
pengikatan ion logam, tetapi dispersi asam sitrat dengan minyak sehingga kejernihan minyak berkurang. Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan Lampiran 3,
perlakuan penambahan asam sitrat atau bentonit tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan transmisi minyak kayu putih sebelum dan sesudah pemurnian.
Sedangkan interaksi kedua bahan tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan. Semakin banyak kedua bahan tersebut ditambahkan, nilai persen
transmisi minyak relatif makin rendah atau makin tinggi. Peningkatan jumlah asam sitrat yang ditambahkan menyebabkan penurunan nilai persen transmisi minyak. Hal
ini disebabkan tidak terjadinya pengikatan ion logam, tetapi dispersi asam sitrat dengan minyak sehingga kejernihan minyak berkurang.
Perlakuan terbaik yang menghasilkan nilai persen transmisi tertinggi adalah minyak yang dimurnikan dengan asam sitrat 1, yaitu sebesar 96,88.
Kemampuan penyerapan maksimum adalah asam sitrat 1 dimana dengan jumlah pemakaian yang tidak terlalu banyak. Dengan tingginya nilai persen transmisi ini,
maka minyak ini mampu menyerap cahaya yang cukup banyak bila dibandingkan dengan minyak hasil perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan oleh penyerapan ion
logam pada minyak kayu putih dengan menggunakan asam sitrat 1 lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 2 atau 3. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil
analisa statistik Marwati 2005, semakin besar jumlsh ion logam yang terpisah dari minyak maka nilai kejernihan minyak akan semakin tinggi.
Gambar 5. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Nilai Kejernihan transmisi Minyak Kayu Putih
4.2.3. Ion Logam
Penambahan asam sitrat dimaksudkan untuk menghilangkan ion logam yang terdapat dalam minyak kayu putih dengan cara membentuk ikatan kompleks
antara logam dengan asam sitrat. Asam sitrat mampu mengikat beberapa ion logam. Ikatan kompleks tersebut akan mengendap dan dapat dipisahkan dari minyak
70 75
80 85
90 95
100
1 2
3
Nila i K
ej er
nih a
n T
ra ns
m it
a n
Jumlah Bentonit
As. Sitrat 0 As. Sitrat 1
As. Sitrat 2 As. Sitrat 3
23
melalui penyaringan. Analisis keragaman dengan menggunakan SAS tidak dilakukan, karena analisis ion logam hanya dilakukan terhadap minyak kayu putih
sebelum dipucatkan dan minyak kayu putih hasil pemurnian yang memiliki tingkat kejernihan transmitan paling tinggi.
Minyak yang memiliki tingkat kejernihan paling tinggi yaitu minyak hasil pemurnian dengan menggunakan 1 asam sitrat. Minyak tersebut memiliki
kandungan logam Cu, Fe, dan Mg masing-masing sebesar 0,015 mgl, 7,50 mgl, dan 0,220 mgl. Sedangkan minyak kayu putih yang belum dimurnikan mengandung
kadar logam Cu 18,16 mgl, Fe 8,76 mgl, dan Mg 0,300 mgl. Logam-logam tersebut merupakan pengotor yang terdapat dalam minyak kayu putih. Menurut
Djatmiko dan Ketaren dalam Herwanda 2011, logam Fe, Mg, dan Cu merupakan salah satu jenis kelompok komponen pengotor yang tidak larut dalam minyak atau
lemak fat insoluble dan terdispersi dalam minyak. Logam dalam minyak nabati merupakan kontaminan dan jarang ditemukan. Logam-logam tersebut dapat berasal
dari tanah atau peralatan pengolahan. Kontaminan yang berasal dari tanah adalah Fe dan Cu Hasibuan dan Nuryanto 2011.
Terlihat bahwa terjadi penurunan kadar logam jika dibandingkan dengan minyak kayu putih sebelum dimurnikan, sehingga proses pemurnian ini efektif
dilakukan. Penurunan logam Cu, Mg, dan Fe masing-masing sebesar 100, 36,37, dan 16,8 dibandingkan dengan kandungan logam pada minyak sebelum pemrunian.
Hal ini dikarenakan adanya proses pengikatan logam oleh asam sitrat. Hal ini sesuai dengan Abrahamson et al. 1994 yang melaporkan bahwa asam sitrat terbukti
merupakan senyawa pengkelat yang efektif terhadap logam Fe. Dispersi partikel asam sitrat akan lebih baik dan juga akan memperbaiki interaksi antara minyak dan
asam sitrat sehingga jumlah Fe yang terkelat akan semakin besar. Marshall et al. 1999 menyatakan bahwa asam sitrat mampu melakukan penyerapan terhadap
logam Cu dalam suatu cairan dan air limbah. Chen et al. 2003 menemukan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi asam sitrat sebagai senyawa pengkelat, maka
kompleks logam Pb dan Cd dengan asam sitrat yang terbentuk semakin banyak.
4.2.4. Sifat Fisikokimia berdasarkan SNI 2006
4.2.3.1. Bau dan Warna
Bau minyak setelah pemurnian tidak mengalami perubahan. Bau minyak kayu putih sebelum dan sesudah pemurnian telah sesuai persyaratan
SNI 2006 yang telah ditetapkan. Hal ini karena bau kamfor mirip sineol dengan falvor yang agak menyengat burning flavor sehingga bau minyak
akan tetap bertahan tanpa mengalami penghilangan bau. Di samping itu, penggunaan asam sitrat dan bentonit tidak berpengaruh nyata terhadap bau
dari minyak kayu putih sebelum dan setelah pemurnian. Hal ini dikarenakan karena komposisi kimia penyebab bau pada minyak kayu putih
tidak mengalami perubahan pada proses pemurnian dengan menggunakan asam sitrat dan bentonit. Bau minyak atsiri satu dengan yang lainnya
berbeda-beda dan sangat tergantung dari macam dan intensitas bau dari masing-masing komponen penyusunnya Gunawan dan Mulyani 2004.
Menurut
Guenther 2006,
hilangnya bau
khas minyak
atsiri mengindikasikan adanya perubahan-perubahan pada komposisi minyak
atsiri asalnya yang sebanding dengan destruksi senyawa nitrogen akibat
24
penguapan. Kandungan senyawa kimia utama pada minyak kayu putih adalah kandungan sineol.
Warna telah dijadikan sebagai indeks kualitas minyak selama bertahun-tahun Febriansyah R. Minyak kayu putih sebelum dipucatkan
berwarna hijau bening. Warna ini disebabkan oleh adanya ikatan antara kandungan klorofil pada daun dan logam tembaga dari ketel penyulingan
yang digunakan. Menurut Guenther 1990 warna hijau pada minyak kayu putih disebabkan oleh kandungan klorofil pada daun kayu putih dan ketel
penyulingan yang terbuat dari tembaga Cu. Menurut Yagan 2007 adanya kandungan logam Fe, Cu, dan Ni dalam jumlah yang sedikit akan
mempengaruhi kualitas minyak yakni bau, rasa, dan warna.
Warna ini masih belum memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI 06-3954-2006. Warna minyak kayu putih menurut SNI 2006
tersebut berwarna bening hingga kuning kehijauan. Berdasarkan hasil pengamatan Lampiran 4, warna minyak kayu putih setelah pemurnian
mengalami perubahan. Penggunaan asam sitrat menghasilkan warna kuning kehijauan bening, sedangkan warna minyak setelah pemurnian berubah
menjadi kuning keemasan setelah ditambahkan bentonit. Perubahan warna ini berkaitan dengan penyerapan warna, pengikatan logam, dan tingkat
kejernihan. Berdasarkan niali kejernihan yang didapatkan, nilai kejernihan paling tertinggi dihasilkan pada penggunaan asam sitrat 1. Hal ini
mengindikasikan bahwa penggunaan asam sitrat menghasilkan warna yang lebih jernih sehingga cahaya yang dilewati pada pengukuran transmisi
dapat diteruskan dengan baik sehingga nilai transmitannnya meningkat. Asam sitrat tsangat efektif dalam mengikat dan menyerap logam dalam
suatu cairan. Menurut Maria 2001, semakin tinggi konsentrasi adsorben yang digunakan, semakin banyak kotoran ion logam yang teradsorpsi
sehingga cenderung menurunkan kadar Fe dalam minyak jarak pucat. Asam sitrat mengikat logam yang ada pada minyak sehingga minyak akan terlihat
lebih jernih. Asam sitrat sangat efektif dalam, pengikatan logam pada suatu cairan. Hal ini menunjukkan bahwa daya adsorbsi bentonit sangat tinggi
dalam penyerapan warna setelah diaktifkan terlebih dahulu.
4.2.3.2. Bobot Jenis
Komponen kimia yang terdapat dalam minyak kayu putih berpengaruh terhadap bobot jenis. Semakin tinggi fraksi berat dalam
minyak, maka nilai bobot jenis semakin tinggi. Menurut Formo 1979, nilai bobot jenis semakin besar dengan semakin banyaknya jumlah ikatan
rangkap suatu senyawa anorganik. Selain dipengaruhi berat molekul, berat jenis juga dipengaruhi oleh reaksi oksidasi dan polimerisasi pada senyawa
organik. Di samping itu, bobot jenis dipengaruhi oleh jenis dan kompoisi minyak tersebut Ketaren 1986. Nilai bobot jenis ini digunakan untuk
melihat kemurnian dan kejernihan minyak atsiri.
Bobot jenis minyak kayu putih hasil pemurnian berkisar antara 0,9180 sampai dengan 0,9235 dengan nilai rata-rata 0,9210. Kisaran nilai
tersebut telah memenuhi standar mutu bobot jenis minyak kayu putih berdasarkan Standar Nasional Indonesia 2006. Nilai tertinggi diperoleh
dari minyak yang menggunakan kombinasi 3 asam sitrat dan 3 bentonit, sedangkan nilai terendah diperoleh dari penggunaan bentonit 3. Nilai
25
bobot jenis minyak kayu putih sebelum pemucatan adalah 0,9235. Dari hasil yang didapatkan, terlihat bahwa nilai bobot jenis yang didapatkan
lebih kecil dari 1,000. Menurut Guenther 1987, nilai bobot jenis minyak atsiri pada umumnya lebih kecil dari 1,0000.
Gambar 6. Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Bobot Jenis Minyak Kayu Putih Gambar di atas Gambar 6 memperlihatkan histogram hubungan
pengaruh jumlah bahan pemurnian terhadap nilai bobot jenis minyak kayu putih. Penambahan asam sitrat dan atau bentonit memberikan penurunan
nilai bobot jenis meskipun selisih penurunan sangat sedikit. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam sitrat dan
atau bentonit berpengaruh nyata Lampiran 5. Hal ini juga menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat atau bentonit serta kombinasi keduanya
tidak signifikan mempengaruhi struktur dan komposisi kimia dari minyak tersebut. Umumnya perbedaan jumlah bahan pemurnian yang ditambahkan
menghasilkan bobot jenis minyak yang berbeda.
4.2.3.3. Indeks Bias
Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam suatu zat dengan kecepatan cahaya di udara Ardiana 2006. Nilai indeks
bias dipengaruhi oleh kekentalan dan kerapatn minyak. Semakin tinggi kerapatan minyak, maka nilai indeks bias minyak tersebut makin tinggi.
menurut Formo 1979, komponen-komponen kimia yang terdapat dalam minyak termasuk fraksi berat akan meningkatkan kerapatan minyak,
sehingga sinar yang datang akan dibiaskan mendekati garis normal. Nilai indeks bias juga dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan jumlah ikatan
rangkap suatu senyawa. Semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan tak jenuh maka semakin tinggi indeks bias. Hal ini
0.9150 0.9160
0.9170 0.9180
0.9190 0.9200
0.9210 0.9220
0.9230 0.9240
1 2
3
B o
bo t
J enis
Jumlah Bentonit
As. Sitrat 0 As. Sitrat 1
As. Sitrat 2 As. Sitrat 3
26
disebabkan karena fraksi berat minyak yang banyak mengandung molekul- molekul yang berantai panjang.
Nilai indeks bias minyak kayu putih hasil pemurnian berkisar antara 1,467
– 1,468 dengan rata-rata 1,468. Kisaran nilai tersebut telah memenuhi standar mutu bobot jenis minyak kayu putih berdasarkan
Standar Nasional Indonesia 2006. Pada gambar di bawah ini Gambar 7, dapat dilihat hubungan
pengaruh jumlah bahan pemurnian terhadap nilai indeks bias minyak kayu putih. Dari gambar tersebut, terlihat adanya perubahan nilai indeks bias
minyak kayu putih untuk masing-masing perlakuan yang relatif kecil. Dari gambar terlihat, penambahan asam sitrat atau bentonit
menyebabkan penurunan nilai indeks bias. Penurunan nilai indeks bias minyak disebabkan karena terjadi proses hidrolisa minyak yang membetuk
asam dan alkohol yang menyebabkan kerapatan minyak berkurang, sehingga sinar lebih mudah untuk dibiaskan. Selain itu, penurunan nilai
indeks bias ini dapat disebabkan karena hilangnya komponen-komponen pembentuk warna yang diadsorpsi oleh asam sitrat dan bentonit serta
pengikata ion logam oleh asam sitrat. Kombinasi kedua bahan pemurnian menyebabkan nilai indeks bias mengalami peningkatan. Hal ini
dikarenakan adanya penambahan kerapatan dan penurunan efektifitas bahan pemurnian dalam menyerap warna, kotoran, dan pengikatan ion logam
karena bahan pemurnian tersebut telah mencapai titik jenuhnya.
Gambar 7 . Pengaruh Jumlah Bahan Pemurnian Terhadap Indeks Bias Minyak Kayu Putih
Analisis keragaman menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata terhadap nilai indeks bias minyak kayu putih demikian juga
dengan interaksi kedua bahan tersebut Lampiran 6. Secara umum, nilai indeks bias untuk semua perlakuan relatif sama. Hal ini terjadi karena
kerapatan minyak hasil pemurnian dan jumlah kotoran yang tertinggal relatif sama sehingga sinar yang melewati minyak dibiaskan membentuk
sudut yang relatif sama pula. Di samping itu, hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan asam sitrat dan bentonit tidak memberikan banyak
1.465 1.466
1.466 1.467
1.467 1.468
1.468
1 2
3
Ind ek
s B
ia s
Jumlah Bentonit
As. Sitrat 0 As. Sitrat 1
As. Sitrat 2 As. Sitrat 3
27
perubahan pada struktur dan komposisi senyawa organik pada minyak atsiri tersebut. Hal ini sesuai dengan Purnawati 2000 yang menyatakan bahwa
adanya perlakuan Chelating agent menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap indeks bias minyak nilam kasar.
4.2.3.4. Kelarutan dalam Etanol 70
Nilai kelarutan minyak kayu putih dalam etanol 70 merupakan uji dari kemampuan minyak kayu putih melarut dalam etanol. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk melarutkan secara sempurna sejumlah minyak atsiri. Kelarutan minyak
atsiri dalam etanol dalam etanol dipengaruhi oleh komponen kiia penyusun minyak. Beberpa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin yang
sukar larut dalam alcohol. Minyak yang mengandung senyawa hidrokarbon-O, lebih mudah larut dalam etanol daripada minyak yang
mengandung senawa hidrokarbon. Suatu minyak akan semakin polar dengan semakin banyaknya senyawa hidrokarbon-O dalam minyak tersebut.
Menurut Ardiana 2006, senyawa terpen
–o mempunyai polaritas yang hampir sama dengan alcohol. Kelarutan minyak di dalam etanol disebabkan
adanya gugus fungsi. Gugus fungsi ini akan meningkatkan polaritas dari suatu bahan, jika polaritas relatif sama mendekati dengan etanol maka
akan mempertinggi nilai kelarutan.
Tabel 4. Data Kelarutan Minyak Kayu Putih dalam Etanol 70 Perlakuan
A0 A1
A2 A3
B0 1:6
1:7 1:8
1:7 B1
1:7 1:9
1:8 1:7
B2 1: 7
1:9 1:8
1:8 A3
1:8 1:9
1:9 1:9
Dari data pada tabel tersebut, terlihat adanya peningkatan kelarutan minyak dalam etanol 70. Minyak sebelum pemurnian larut pada
pada bagian 6 ml etanol 70. Sedangkan minyak setelah pemurnian dengan menggunakan asam sitrat dan bentonit rata-rata larut pada bagian 7-9 ml
etanol 70.
Menurut Ketaren 1985, pencampuran minyak atsiri dengan bahan-bahan lain dapat mempengaruhi kelarutan dalam etanol. Nilai
kelarutan minyak akan berkurang karena pengaruh umur minyak. Hal ini disebabkan terjadinya polimerisasi minyak selama penyimpanan. Senyawa
polimer yang terbentuk akan menurunkan daya larutnya dalam etanol. Meskipun terjadi penurunan daya larut, tetapi data tersebut telah sesuai
dengan SNI 2006.
4.2.3.5. Putaran Optik
rotasi spesifik zat aktif optis ditetapkan dengan sebuah polarimeter. Jika cahaya terpolarisasi dilewatkan salah satu isomer, bidang polarisasi
akan berputar ke kiri atau ke kanan. Pemutaran bidang terpolarisasi ke kanan yaitu searah dengan putaran jarum jam yang disebut dengan putaran
28
dekstro +. Sebaliknya, pemutaran bidang cahaya terpolarisasi ke kiri disebut putaran levo -. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan minyak atsiri memutar bidang polarisasinya ke arah kanan dekstro rotatory atau ke arah kiri.
Senyawa yang memutar bidang cahaya terpolarisasi ke kanan disebut dekstrorotatori memutar ke kanan, sedangkan senyawa yang
memutar bidang cahaya terpolarisasi ke kiri disebut levorotatori memutar ke kiri Sumardjo 2009. Minyak kayu putih memiliki senyawa optis
inaktif yang bersifat levorotatori yang terbentuk dalam bentuk bebas atau terikat dalam bentuk ester-ester asam asetat, propionat dan valerat Ketaren
1980. Tabel 5. Data Putaran Optik Minyak Kayu Putih
Perlakuan A0
A1 A2
A3 Ket
B0 - 0,8
0,0 - 0,8
0,0 A0 = tanpa asam sitrat
A1 = asam sitrat 1 A2 = asam sitrat 2
A3 = asam sitrat 3 B0 = tanpa bentonit
B1 = bentonit 1 B2 = bentonit 2
B3 = bentonit 3 - 0,8
0,0 - 0,8
0,0 B1
0,0 - 0,8
0,0 - 0,8
0,0 - 0,8
0,0 - 0,8
B2 - 0,8
0,0 0,0
0,0 - 0,8
0,0 0,0
0,0 B3
- 0,8 0,0
0,0 0,0
- 0,8 0,0
0,0 0,0
Dari hasil yang didapatkan, terlihat nilai putaran berkisar antara - 0,8 sampai dengan 0,0. Nilai putaran optik tidak terlalu mengalami
perubahan signifikan. Terlihat adanya kisaran nilai putaran optik dari negatif -0,8 sampai dengan positif 0,0. Hal ini mengindikasikan adanya
senyawa yang bersifat optis aktif dan optis inaktif yang tidak dapat saling bersetangkup atau diimpitkan yang disebut enantiomer. Kedua pasangan ini
memiliki sifat fisika dan kimia yang sama tetapi arah putaran optisnya berbeda. Menurut Sumardjo 2009, pasangan enantiomer mempunyai
rotasi spesifik yang sama kecuali tandanya dan memutar bidang cahaya terpolarisasi dengan arah berlawanan. Hal ini juga menandakan bahwa
senyawa α-terpineol pada minyak kayu putih memutar bidang cahaya terpolarisasi ke kiri, sedangkan enantiomernya memutar bidang cahaya
terpolarisasi ke arah kanan. Terjadi reaksi oksidasi pada proses pengkelatan yang disuga disebabkan oleh ion logam yang belum terisolasi sehingga
membentuk senyawa baru. Senyawa baru yang terbentuk diduga memiliki sifat optik aktif dekstrorotatori, sehingga perbandingan senyawa optik aktif
levorotatori terhadap senyawa optik aktif dekstrorotatori dalam minyak semakin menurun. Hal ini menyebabkan dimana terjadi perubahan nilai
putaran optik dari negatif -0,8 menjadi positif 0,0. Dari hasil uji statsistik yang dilakukan, penggunaan asam sitrat
dan bentonit berpengaruh nyata terhadap nilai putaran optik Lampiran 7. Peningkatan jumlah bentonit yang ditambahkan relatif menyebabkan
penurunan nilai putaran optik minyak. Hal ini disebabkan karena bentonit berkurang kemampuannya dalam menyerap komponen minyak kayu putih
29
sehingga arah putaran bidang polarisasi sedikit berubah. Perlakuan terbaik yang menghasilkan nilai putaran optik tertinggi adalah minyak dengan
penambahan asam sitrat.
4.2.3.6. Kromatografi Gas GC-MS
Analisis kromatografi gas dilakukan untuk mengetahui pengarh pemurnian terhadap komponen kimia minyak kayu putih dengan
menggunakan instrumen Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa Gas Chromatography Mass Spectrometry. Prinsip kerja alat ini yaitu
menguapkan cairan menggunakan panas yang kemudian uap akan mengalir melewati kolom dan diterjemahkan menjadi pola fragmentasi puncak, lalu
akan diidentifikasi berdasarkan pendugaan menggunakan referensi database. Komponen dalam minyak kayu putih dapat diketahui dengan
membandingkan waktu retensi standar dengan waktu retensi sampel dan pola kromatogram. Bila waktu retensi sampel sama dengan waktu retensi
standar, maka sampel mengandung komponen senyawa yang bersangkutan. Perbedaan waktu retensi dapat terjadi karena adanya perbedaan waktu
penyuntikan atau perbedaan penggunaan kolom sehingga terjadi pergeseran pucak-puncak
kromatogram. Waktu retensi adalah waktu
yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan di dalam kolom yang
diukur mulai saat penyuntikan hingga saat elusi terjadi Gritter et al. 1991. Fase gerak dalam GC
– MS berbentuk gas. Persyaratan gas yang digunakan adalah inert, murni, dan mudah diperoleh. Gas pembawa yang dipakai
adalah helium, Argon, Nitrogen, Hidrogen, dan Karbondioksida Agusta 2000.
Pada penelitian ini, database yang digunakan adalah Wiley 7. Kromatografi gas memisahkan komponen-komponen dalam suatu
campuran sedangkan spektrofotometri massa mengidentifikasi komponen penyusun kimia minyak kayu putih dengan bantuan database atau library.
Dasar pemilihan minyak kayu yang dianalisa menggunakan Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa yaitu dari analisis mutu berupa bobot jenis,
indeks bias, putaran optik, dan kelarutan dalam etanol 70 yang berada pada rentang persyaratan yang ditetapkan SNI 06-3954-2006. Pemurnian
ini diharapkan tidak menyebabkan perubahan terhadap komponen kimia minyak. Perubahan komponen kimia minyak kayu putih tersebut akan
berpengaruh juga terhadap mutu minyak tersebut. Analisis kromatografi gas hanya dilakukan terhadap minyak kayu putih sebelum pemucatan dan
minyak kayu putih yang menghasilkan tingkat kejernihan paling tinggi. Hasil kromatogram kedua jenis minyak tersebut dapat dilihat pada
Lampiran 8. Analisa komponen dengan menggunakan GC-MS bersifat semi
kuantitatif. Sejumlah 100 area dibagi menjadi sejumlah peak yang muncul sehingga diperoleh luas area dari masing-masing komponen
yang terdeteksi. Analisa komponen mengacu pada waktu retensi standar dalam database Wiley 7. Hasil kromatogram dari GC
– MS akan membandingkan dengan kromatogram dalam database tersebut dan akan
30
diperlihatkan kemungkinan komponen yang serupa disertai dengan angka kualitasnya. Angka kualitas menunjukkan besarnya keyakinan komponen
yang dimaksud terdeteksi oleh GC – MS. Angka kualitas lebih besar
daripada 90 menunjukkan bahwa komponen yang terdeteksi adalah komponen yang benar-benar ada di dalam sampel dan sesuai dengan
database yang ada. Tabel dibawah ini merupakan penyajian hasil analisa komponen kimia utama yang terkandung dalam minyak kayu putih dari
data detail pada Lampiran 9. Tabel 6. Komponen Kimia dalam Minyak Kayu Putih
No Waktu
Retensi Area
Komponen Kualitas
A B
A
1
1 8,90
2,94 2,72
α-Pinene 96
2 9,52
1,80 1,52
β-Myrcene 91
3 9,63
1,92 1,77
β-Pinene 94
4 10,45
7,41 7,07
l-Limonene 98
5 10,61
40,73 43,82 1,8-Cineole
98 6
10,95 1,21
0,37 ϒ- Terpinene
96 7
14,07 14,08 14,15
α-Terpineol 91
8 18,70
0,39 0,39
Ylangene 99
9 19,11
1,21 1,20
β-Elemene 99
10 20,09
7,96 6,87
Trans kariofilen 99
11 20,94
3,91 3,35
α-Humulene 98
12 21,31
0,61 0,59
β-Selinene 96
13 21,40
1,76 1,62
α-Muurolene 97
14 24,36
0,57 0,58
Veridiflorol 99
Kromatogram minyak kayu putih sebelum dan sesudah proses pemurnian terdiri dari 23 puncak. Berdasarkan presentase area komponen
utama penyusun sampel minya ayu putih ya
ni 1,8 sineol, α-terpineol, trans-kariofilen, dan veridiflorol. Hal ini sesuai dengan Guenther 1990,
yang menyatakan bahwa minyak kayu putih terdiri dari senyawa utama berupa 1,8 sineol, α-terpineol, l-limonene, l-α-Pinen, ester, veraldehid,
benzaldehid, azulen, dan seskuiterpen alkohol. Di sisi lain, Doran dalam
Sukmawati 2012 menyatakan bahwa minyak kayu putih mengandung 1,8 sineol, viridiflorol, limonen, trans-kaliofilen,
α-humulene, α-terpineol, α- selinen,
β-selinen, dan kariofilen oksida. Di samping itu, terdapat senyawa baru yang tidak ada sebelumnya
pada minyak kayu putih sebelum pemurnian kontrol yakni benzene dan α-
terpinenyl acetate. Munculnya senyawa baru ini dikarenakan terbentuknya senyawa-senyawa baru akibat hidrolisa minyak yang membentuk asam dan
alkohol. Di samping itu, munculnya senyawa baru ini disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi pada proses pengkelatan. Proses oksidasi pada
proses pengkelatan disebabkan oleh ion logam yang belum terisolasi sehinggan membentuk senyawa baru. Selain itu, hal ini juga disebabkan
oleh adanya proses destruksi nitrogen akibat proses hidrolisa ester yang disebabkan oleh adanya pengikatan air dan logam oleh pengkelatan.
31
Terlepasnya air dari alkohol dan dari hidrolisa ester akan menghasilkan senyawa nitrogen hidrokarbon dan asam-asam yang baru. Menurut
Guenther 2006, destruksi nitrogen pada minyak atsiri mengindikasikan adanya perubahan-perubahan pada komposisi minyak atsiri asalnya.
Dari hasil analisiMinyak kayu putih sebelum dipucatkan memiliki kadar sineol 40,73, sedangkan minyak kayu putih hasil pemurnian dengan
asam sitrat 1 persen kadar sineolnya sebesar 43,82. Setelah pemurnian terlihat adanya sedikit peningkatan kadar sineol. Makin tinggi kadar sineol
minyak kayu putih, maka mutu minyak kayu putih akan semakin baik pula. Dalam hal ini, pemurnian minyak relatif tidak menyebabkan perubahan
terhadap komponen kimia minyak kayu putih khususnya kadar sineol, sehingga proses pemucatan ini efektif dilakukan untuk meningkatkan mutu
minyak kayu putih. Walaupun terjadi peningkatan kadar sineol, tetapi kandungan sineol pada minyak kayu putih sebelum dan setelah pemurnian
masih belum memenuhi SNI yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan proses pengolahan pra penyulingan tidak dilakukan dengan baik. Menurut
Guenther 1990, komposisi kimia minyak atsiri akan menurun. Berikut ini adalah tabel perbandingan mutu minyak kayu putih
sebelum dan setelah pemurnian dengan berdasarkan pada SNI 06-3954- 2006 Minyak Kayu Putih :
Tabel 7. Perbandingan Karakteristik Minyak Kayu Putih dengan SNI 06-3954-2006
NO Karakteristik Minyak Kayu
Putih Nilai
Sebelum dimurnikan
Setelah dimurnikan SNI 06-3954-
2006 1
Kadar Logam mgL a. Tembaga Cu
18,16 0,015
- b. Besi Fe
8,76 7,50
- c. Magnesium Mg
0,300 0,220
- 2
Kejernihan transmisi 81,30
96,88 -
3 Bau
Khas MKP Khas MKP
Khas MKP 4
Warna Hijau
Kuning kehijauan bening
Bening hingga kuning kehijauan
5 Bobot Jenis
0,9235 0,9200
0,900-0,930 6
Indeks Bias 1,468
1,467 1,450-1,470
7 Putaran Optik
- 0,8° - 0,0°
-4° sd 0° 8
Kelarutan etanol 70 1 : 6 jernih
1 : 7 jernih 1:1 sd 1:10
jernih 9
Kadar Sineol 40,73
43,82 50-65
32
4.3. Analisa Finansial
Analisa finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas proyek bisnis, sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya rencana pendirian pabrik
pemurnian dengan menggunakan asam sitrat di Kabupaten Buru. Suatu rancangan pabrik dianggap layak didirikan bila dapat beroperasi dalam kondisi yang memeberikan keuntungan.
Analisis faktor financial pendirian pabrik pemurnian ini terdiri dari analisis biaya investasi, harga dan prakiraan penerimaan, proyeksi laba-rugi, proyeksi arus kas, titik impas BEP,
dan kriteria-kriteria yang menentukan kelayakan investasi. Asumsi-asumsi yang digunakan pada analisa finansial ini adalah :
- Home Industri
- Harga Minyak Kayu Putih Kasar per kg = Rp 150.000,00
- Rendemen hasil pemurnian dengan menggunakan asam sitrat = 92 Kapasitas
produksi sebanyak 50 kg per proses -
Umur proyek = 10 tahun -
Biaya pemeliharaan mesin dan peralatan per tahun dari harga = 5 -
Nilai sisa mesin dari nilai awal = 10 -
Harga asam sitrat per kg = Rp 30.000 -
Biaya tenaga kerja = Rp 75.000 per proses -
Frekuensi produksi = 2 kali dalam seminggu 96 kali dalam setahun -
Umur ekonomis alat : 10 tahun -
Pemasaran terjamin dengan proses pemurnian yang dilakukkan -
Lama permunian = 5 jam sekali proses -
Alat pemurnian yang digunakan terdiri dari pemanas, dan pengaduk bermotor yang dilengkapai dengan thermometer dan berkapasitas 100 kg.
- Alat penyaring berupa poma vakum.
- Harga jual produk Rp 300.000 kg
4.3.1. Investasi
- Alat pemurnian
= Rp 7.000.000 -
Pompa vakum = Rp 1.500.000
- Timbangan digital
= Rp 500.000 -
Instalasi listrik = Rp 500.000
- Instalasi air
= Rp 500.000 Total investasi
= Rp 10.000.000
33
4.3.2. Biaya Produksi
Tabel 7. Rincian Biaya Tetap Pemurnian Minyak Kayu Putih
No Biaya
Jumlah Biaya Satuan
Rp Total harga
Rp
1 Perawatan Peralatan 5
Alat Pemurnian 1
7.000.000 350.000
Pompa Vakum 1
1.500.000 75.000
Timbanagan Digital
1 500.000
25.000 Instalasi Listrik
1 500.000
25.000 Instalasi Air
1 500.000
25.000 2
Penyusutan Peralatan ekonomis 10 tahun, nilai sisa 10 Alat Pemurnian
1 7.000.000
700.000 Pompa Vakum
1 1.500.000
150.000 Timbanagan
Digital 1
500.000 50.000
Instalasi Listrik 1
500.000 50.000
Instalasi Air 1
500.000 50.000
Total Biaya Tetap 1.500.000
Tabel 8. Rincian Biaya Variabel Pemurnian Minyak Kayu Putih No
Biaya Jumlah
Biaya Satuan Rp Total harga
Rp 1
Minyak Kayu
Putih Kasar
crude oil 4,8 ton
150.000 720.000.000
2 Asam sitrat
48 kg 30.000
1.440.000 3
Listrik, oli,dll 1
500.000 500.000
4 Kertas Saring
1 rim 1.750.000
1.750.000 Total Biaya Variabel
720.369.000 Total biaya produksi : Rp 725.190.000
4.3.3. Pendapatan
Asumsi penggunaan minyak kayu putih kasar sebanyak 50 kg per proses. Proses pemurnian dilakukan sebanyak dua kali dalam satu minggu.
Rendemen minyak hasil pemurnian sebanyak 92 sehingga minyak hasil pemurnian yang dihasilkan adalah sebanyak 46 kg per proses. Dalam satu bulan
dilakukan proses pemurnian sebanyak 8 kali sehingga dalam setahun, minyak hasil pemurnian yang dihasilkan adalah sebanyak 4416 kg 4,4 ton per tahun.
Pendapatan yang dihasilkan = 4416 kg x Rp 300.000 = Rp 1.324.800.000
34
4.3.4. Keuntungan Per Tahun
Keuntungan = Rp 1.324.800.000 - Rp 725.190.000 = Rp 599.610.000 Keuntungan bersih tahun pertama = Rp 599.610.000 - Rp 10.000.000
= Rp 589.610.000
4.3.5. Pertimbangan Usaha
4.3.5.1. Break Even Point BEP
- BEP untuk harga produksi
BEP = Rp 725.190.000 : 4416 = Rp 164.218,75 per kg Dengan produksi sebanyak 4416 kg, titik balik modal
tercapai jika harga minyak kayu putih hasil pemurnian senilai Rp Rp 164.218,75.
- BEP untuk volume produksi
BEP = Rp 725.190.000 : Rp 300.000 = 2417,3 kg Dengan harga jual Rp 300.000, titik balik modal
tercapai jika minyak kayu putih hasil pemurnian yang dihasilkan sebanyak 2417,3 kg.
4.3.5.2. BC Perbandingan Penerimaan Biaya
BC = Rp 1.324.800.000 : Rp 725.190.000 = 1,83 Setiap penambahan biaya Rp 1 utnuk pemurnian minyak kayu
putih, diperoleh penerimaan Rp 1,83. 4.3.5.3.
Net Present Value NPV NPV
= Rp 1.324.800.000 x 1 1 + 0,00028 = Rp 1.325.170.944
Dengan asumsi bunga bank 10 per tahun, penerimaan yang
akan diperoleh 1 tahun kemudian senilai Rp 1.325.170.944.
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa : -
Jenis bahan pemurnian yang baik berdasarkan nilai kejernihan yang didapatkan adalah bentonit dan asam sitrat.
- Penggunaan bentonit dan asam sitrat berpengaruh terhadap warna, kandungan logam,
rendemen, bobot jenis, kelarutan dalam etanol 70, dan putaran optik dan tidak berpengaruh terhadap nilai kejernihan transmitan, indeks bias, dan bau minyak kayu putih..
- Perlakuan terbaik dari penggunaan bentonit atau asam sitrata adalah pemurnian dengan
menggunakan asam sitrat 1, terlihat adanya perubahan dibandingkan minyak sebelum pemurnian. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan nilai kejernihan, kandungan sineol,
perubahan warna yang menjadi lebih jernih serta penurunan kadar logam. -
Minyak kayu putih hasil pemurnian dengan menggunakan asam sitrat telah memenuhi SNI 06-3954-2006 kecuali pada kandungan sineol.
5.2. Saran