Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesadaran tentang adanya Tuhan yang telah terbangun sejak dalam kandungan, sedikit demi sedikit bisa terkikis. Akan tetapi kesadaran tersebut bisa juga bertambah dan terus bertambah. Realitas tersebut menunjukkan sifat kesadaran Ilâhiah keimanan seseorang yang labil. Ia bisa berkurang yanqus dan bisa pula bertambah yazîd. Agar keimanan seseorang bisa stabil dan terus bertambah, maka diperlukan sebuah media untuk selalu mengingat-Nya. Itulah yang disebut dengan dzikrullâh. Karena dzikir merupakan salah satu proses stabilisasi keimanan. Allah mewajibkan kepada umat Islam untuk selalu mengingat-Nya dzikrullâh. Ini bukan karena ambisi untuk diingat oleh makhluk-Nya sehingga Allah memperingatkan seperti itu, tetapi ini semua karena kasih sayang Allah kepada manusia. Betapapun mandirinya kemauan, pikiran, dan ketetapan manusia, namun sangat penting gayutan spiritual yang paling meyakinkan, terutama mengahadapi lajunya modernisasi yang serba labil dan sering menipu. Gayutan ini yang kendatipun bersifat ghaib atau spiritualistik tetapi sangat menentukan bagi stabilitas jiwa dan ruhani manusia. Dzikir yang hakiki kepada Allah sangatlah penting. Sebab manusia adalah hamba Allah yang harus senantiasa mengingat-Nya. Dialah Maha Pemberi yang hakiki. Oleh karena itu menyebut nama-Nya, mengingat dzat-Nya dan mensyukuri nikmat dan karunian-Nya adalah sesuatu yang fitrah bagi seorang 2 hamba-Nya. Seorang penyair berkata: “Tuhan yang telah berkorban di dunia ini; mulialah orang-orang yang selalu mengingat-Nya setiap saat.” Bersamaan dengan itu, terdapat juga ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis serta keterangan-keterangan para ulama yang tidak pernah berhenti memberikan semangat untuk selalu berdzikir kepada Allah ‘ zza wa Jalla, maka tidak ada lagi alasan bagi hamba-Nya. Banyak sekali nas-nas al-Qur’ân dan Sunnah Nabi Muhammad saw. yang menghimbau agar manusia selalu berdzikir kepada Allah. Misalnya firman Allah: ΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ˴΁ ˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍ Ύ˴Ϭ͊ϳ˴΃ Ύ˴ϳ ΍˱ήϴ˶Μ˴ϛ ΍˱ή˸ϛ˶Ϋ ˴Ϫ͉Ϡϟ΍ ΍ϭ˵ή˵ϛ˸Ϋ΍ . Ύ˱Ϡϴ˶λ˴΃˴ϭ ˱Γ˴ή˸Ϝ˵Α ˵ϩϮ˵Τ͋Β˴γ˴ϭ “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah dengan menyebut nama Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbih lah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. “ Q. S Al-Ahzâb [33]: 41-42 Di dalam hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, Nabi mengatakan orang yang berdzikir hidup, sedangkan yang tidak berdzikir laksana orang yang telah mati. 1 ˵Ϊ͉Ϥ˴Τ˵ϣ Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ ˵Ϧ˸Α ϲ˶Α˴΃ ˸Ϧ˴ϋ ˴Γ˴Ω˸ή˵Α ϲ˶Α˴΃ ˸Ϧ˴ϋ ˶Ϫ͉Ϡϟ΍ ˶Ϊ˸Β˴ϋ ˶Ϧ˸Α ˶Ϊ˸ϳ˴ή˵Α ˸Ϧ˴ϋ ˴Δ˴ϣΎ˴γ˵΃ Ϯ˵Α˴΃ Ύ˴Ϩ˴Λ͉Ϊ˴Σ ˶˯Ύ˴Ϡ˴ό˸ϟ΍ ˴ϝΎ˴ϗ ˵Ϫ˸Ϩ˴ϋ ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ ˴ϲ˶ο˴έ ϰ˴γϮ˵ϣ ˵ή˵ϛ˸ά˴ϳ Ύ˴ϟ ϱ˶ά͉ϟ΍˴ϭ ˵Ϫ͉Α˴έ ˵ή˵ϛ˸ά˴ϳ ϱ˶ά͉ϟ΍ ˵Ϟ˴Μ˴ϣ ˴Ϣ͉Ϡ˴γ˴ϭ ˶Ϫ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ˵Ϫ͉Ϡϟ΍ ϰ͉Ϡ˴λ ͊ϲ˶Β͉Ϩϟ΍ ˴ϝΎ˴ϗ ˵Ϫ͉Α˴έ ˶Ζ͋ϴ˴Ϥ˸ϟ΍˴ϭ ͋ϲ˴Τ˸ϟ΍ ˵Ϟ˴Μ˴ϣ “Perumpamaan orang yang ingat akan Tuhannya dengan orang yang tidak ingat Tuhannya laksana orang yang hidup denga orang yang mati.” Ini semakin memperjelas bahwa segala ibadah yang dilakukan sebagai hamba adalah untuk diri sendiri, sekaligus sebagai tanda cinta dan kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk-Nya. 1 Imam-Bukhâri. Sahih al-Bukhâri Jordan: Bait al-Afk â r al-Jad î dah, 1998, kitab. Al- Da’awât, bab. Fadhl dzikirillâh ‘Azza wa Jalla, hadîts no. 6407, h. 6412. 3 Dzikir sangat lekat dengan kehidupan umat Islam. Siang dan malam dilantunkan, sendirian maupun bersamaan. Namun, seiring modernitas kehidupan, dzikir menjadi ritual yang mati, terus dipraktekkan tanpa pemaknaan mendalam. Memang sebagian orang lengah dan lalai dengan tuntunan al-Qur’ân; sebagian umat juga tidak memahami apa yang dimaksud dzikir; sebagian memahami dzikir dalam bentuk kalimat yang di ulang-ulang membacanya tanpa pemahaman atau penghayatan. Salah satu tema yang dibicarakan di dalam al-Qur’ân adalah masalah dzikir. Syarî’at cukup jelas dan setiap orang mengetahui kewajiban ini. ΍˱ήϴ˶Μ˴ϛ ΍˱ή˸ϛ˶Ϋ ˴Ϫ͉Ϡϟ΍ ΍ϭ˵ή˵ϛ˸Ϋ΍ ΍Ϯ˵Ϩ˴ϣ˴΁ ˴Ϧϳ˶ά͉ϟ΍ Ύ˴Ϭ͊ϳ˴΃ Ύ˴ϳ “Wahai orang-orang yang beriman Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat nama-Nya sebanyak-banyaknya.” QS. Al-Ahzâb [33]: 41. Bahkan, Nabi Muhammad saw., Beliau bersabda: “…Aku tergantung sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia menyebut-Ku berdzikir. Maka apabila ia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan apabila ia mengingat-Ku di dalam suatu kelompok maka Aku menyebutnya dalam kelompok yang lebih baik dibanding mereka. Dan jika ia mendekatiku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta...” 2 Imam al-Nawâwî mengatakan di dalam Syarh Sahîh Muslim-nya, “Hadis ini termasuk hadis-hadis tentang sifat Allah dan mustahil bahwa yang dimaksud 2 Abi al-Husain Muslîm bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabûri. Sahih Muslîm, Beirut: D â r al-Kit â b al-Ar â biy, 2004, kitab al-Dzikir wa al-Du’â, bab fadhl al-Dzikir wa al-Du’â wa al- Taqarrub ilallâh. Lihat juga, Imam al-Bukhâri di dalam kitab at-Tauhîd, bab. wa yuhadzdzirukumullâh nafsah, Sunan al-Tirmidzi, kitab. al-Da’awât, bab. Fi Husn al-Dzân bill â h Azza wa Jalla, Sunan Ibnu M â jah, kitab. Adab, bab. Fadhl al-‘ mal, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, bab. Musnad Abi Hurairah radhiyallâh ‘anhu. 4 kan adalah zahirnya. Maksud hadis tersebut adalah: Barang siapa yang mendekati-Ku dengan ketaatan kepada-Ku maka Aku akan mendekatinya dengan rahmat-Ku, taufik-Ku, dan pertolongan-Ku. Seandainya ia menambah kedekatannya, maka Aku pun menambah kedekatan-Ku. Maka jika ia datang mendekatiku dengan berjalan dan segera menaati-Ku maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Yakni, aku limpahkan atasnya rahmat-Ku dan Aku mendahuluinya dengan memberikan-Nya. Yang dimaksud, pelipatgandaan ganjarannya adalah menurut kedekatan-Nya.” 3 Artinya, dengan banyak mengingat dan berdzikir pada Allah, Allah pun akan senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada manusia. Sedangkan dzikir secara harfiah memiliki arti mengingat atau menyebut. 4 Kegiatan “mengingat” memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan. Ketika ingat sesuatu, maka ia akan mengingatkan pula pada rangkaian-rangkaian yang terkait dengannya. Ingatan bisa muncul karena manusia punya keinginan, harapan, cita-cita, dan kerinduan terhadap apa yang diingat. Kemudian bagaimana dengan mengingat Allah yang kekuasaan-Nya tidak terbatas? Secara logika tentu akan memberikan dampak positif luar biasa bagi kehidupan. Hanya persoalnnya, tidak semua orang mudah mengingat-Nya, walaupun potensi itu ada pada setiap jiwa manusia. Disinilah potensi “mengingat” Allah perlu digali dengan cara selalu menyebut-nyebut nama-Nya, dan untuk menggali potensi mengingat Allah berdzikir tersebut tentunya harus dengan kekhusyukan yang tinggi, karena dengan kekhusyukan ini maka ingatan tersebut akan terserap oleh hati dan akan 3 Imam an-Naw â w î , Syarh Sahîh Muslim, juz. 3, h. 17. 4 Atabik Ali dkk, Kamus Kontemporer “al-‘Ashry” Yogyakarta: Multi Karya Grafika, cet. Ke-5, h. 933. 5 membuahkan tindakan-tindakan yang positif. Konteks bahasa mengatakan, dzikir mengandung beberapa pengertian, yakni mengandung arti: 1. Menceritakan 5 2. Al-Qur’ân 6 3. Shalat 7 4. Wahyu 8 Arti dzikir adalah suatu cara atau media untuk menyebut atau mengingat nama Allah, jadi semua bentuk aktivitas yang tujuannya mendekatkan diri kepada Allah dinamakan dzikir seperti shalat 9 , tetapi lebih spesifik lagi, dzikir dibatasi dengan kata mengingat Allah dengan lisan dan hati. Ibnu Hajar al-‘ Ɩsqalânî 10 menjelaskan, yang dimaksud dengan dzikir adalah ucapan dan ungkapan yang di anjurkan untuk mengucapkannya banyak, misalnya amal saleh yang kekal al-Bâqiyât al-Sâlihât, yaitu: subhânalâh, alhamdulillâh, lâ ilâha illallâh, Allâhu Akbar dan semua yang disampaikan kepada mereka seperti hawqala lâ hawlâ wa lâ quwwata illâ billâh; basmalah bismillâh al-Rahmân al-Rahîm; hasbalah hasbunallâh wa ni’ma al-Wakîl, istighfâr, dan sebagainya, maupun dzikir untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dzikrullâh juga berlaku bagi ketekunan dalam menjalankan perbuatan yang wajib 5 QS. Maryam [19]: 56 6 QS .Al-Anbiyâ [21]: 50 7 QS. Al-Baqarah [2]: 239 8 QS. Al-Qamar [54]: 25 9 Q. S Th â ha [20]: 14 10 Ibnu Hâjar al-‘Atsqallânî. Fath al-B â ri Beirut: Dâr al-Fikr, 14, 2005, vol. 11, h. 251. 6 dan terpuji, misalnya membaca al-Qur’ân, membaca hadis , mempelajari ilmu- ilmu Islam, dan shalat sunnah. 11 Apabila penulis melihat fenomena yang ada saat ini, terlihat begitu maraknya aktifitas berdzikir di berbagai tempat melalui forum-forum perkumpulan atau majelis dzikir sebagai media. Imam al-Qurtubi berpendapat bahwa, “Perkumpulan dzikir adalah perkumpulan bagi pengetahuan dan peringatan, yaitu yang di dalamnya firman Allah dan Rasul-Nya, riwayat tentang para pendahulu yang saleh dan ucapan para ulama akhirat dipelajari dan diamalkan tanpa tambahan atau bid’ah, dan tanpa niat berlebihan atau ketamakan.” 12 Telah diketahui oleh masyarakat pada umumnya, di Indonesia terdapat berbagai macam forum-forum perkumpulan dzikir, seperti majelis dzikir “al- Dzikr â ” yang dipimpin oleh Arifin Ilham. Muhammad Arifin Ilh a m dengan metode dzikir mampu membangkitkan kesadaran banyak orang bahwa sesungguhnya mereka adalah makhluk spiritual. Orang yang pada awalnya merasa jauh dari Tuhan dibuatnya merasa dekat, yang tadinya merasa pesimis dari rahmat dan kasih sayang Allah menjadi optimis mendapatkannya. 13 Kemudian majelis dzikir yang dipimpin oleh Ust. Haryono yang identik dengan pengobatan dan penyembuhan melalui media dzikir, majelis dzikir dan salâwat “Nûrul Musthafâ ” yang dikomandoi oleh al-Habib Hasan bin Ja’far Assegaf. Dengan karunia Allah, Majelis N û rul Musth a f â yang beliau bina dengan 11 Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Remembrance of Allâh and Praising the Prophet, vol. 2 United Stated of America: al-Sunna Foundation of America, 1998, h. 8. 12 Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Remembrance of Allâh and Praising the Prophet, vol. 2, h. 7. 13 Endang Mintarja, rifin Ilhâm; Tarekat, Dzikir, dan Muhammadiyah Jakarta: Mizan Publika, 2004, h. 80. 7 cara mensyiarkan salâwat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. serta mengenalkan pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai suri tauladan manusia sehingga dapat merebut hati manusia sebanyak 50.000 14 orang untuk bersalâwat kepada Nabi Muhammad saw. setiap minggunya. Juga ada “Majelis Ras ul ull a h” yang dipimpin oleh al-Habib Munzir al-Mus â wa, hingga perkumpulan dzikir yang sifatnya berbau mistik dan mengarah kepada tasawuf 15 atau sufistik seperti kegiatan berdzikir yang dilakukan oleh jamâ’ah atau pengikut tarekat 16 “Naqsyabandi Haqqânî.” Tarekat Naqsyabandi Haqqânî saat ini dipimpin oleh Syaikh Muhammad Nâzim al-Haqqânî dan Syaikh Hisy â m Kabbânî sebagai muridnya. Sebagai seorang Syaikh Sufi, Syaikh Hisyâm telah diberi wewenang dan diperbolehkan untuk membimbing para pengikutnya menuju Cinta Il â hi dan menuju maq â m spiritual yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Latihan spiritual yang berat yang telah ditempuhnya selama 40 tahun di bawah pengawasan Grandsyaikh dan 14 Wawancara Pribadi dengan penceramah tetap di majelis “Nûrul Musthafâ”, KH. Adnan Idris Kaisan. Jakarta, 31 Mei 2011. 15 Tasawuf berasal dari kata ϑϮμΗ - ϑϮμΘϳ - ΎϓϮμΗ . Kata kerja tasawwafa, yatasawwafu, tasawwufan, secara harfiah berarti memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba. Pendapat yang mengatakan bahawa tasawwuf berasal dari suf dipandang paling tepat dari segi bahasa. Selain oleh alasan itu, alasan lainnya adalah bersifat historis, yaitu bahwa para sufi pada zaman dahulu mempunyai kebiasaan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba. Di dalam literature tasawuf diriwayatkan bahwa para Nabi berpakaian suf. Ibnu khaldun menulis: Tasawuf itu semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya adalah tekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala sesuatu selain Allah, hanya menghadap kepada Allah saja. Menolak perhiasan-perhiasan dunia, serta membenci kepada perkara yang telah memperdayakan orang banyak, sebagaiamana kelezatan herta benda dan kemegahan, lagi memisahkan diri serta menuju kepada jalan Tuhan di dalam khalwat dan ibadah. Totok Jumantoro, dan Samsul Munir Amin, “Tasawuf” dalam Kamus Ilmu Tasawuf T. tp: Amzah., 2005, h. 246-247. 16 Tarekat menurut bahasa berasal dari bahasa Arab tar î qah jama’: turuq atau tarâ’iq yang berarti jalan atau metode atau aliran madzhab. Tarekat \adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Swt. dengan tujuan untuk sampai wusûl kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk Guru atau mursyid tarekat masing-masing, agar berada sedekat mungkin dengan Allâh Swt. Lihat, Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, “Tarekat,” dalam Ensiklopedi Tasawuf, jilid. III, T-Z Bandung: Angkasa, 2008. 8 Syaikhnya, telah menganugerahinya kecakapan atau kualitas yang tinggi yang diperlukan oleh seorang Guru Sufi sejati, khususnya dalam hal kebijaksanaan, cahaya, kecerdasan, dan daya tarik. Misi Syaikh Hisyâm Kabbânî yang jauh melampaui target adalah kontribusinya yang unik terhadap usaha umat manusia dalam mencapai takdir tertingginya, yaitu kedekatan dengan Tuhannya. Manusia yang diberkahi dengan pengetahuan batin memandang dzikir, “senantiasa dan terus menerus mengingat Allah, sebagai metode paling efektif untuk membersihkan hati dan mencapai Kehadiran Ilâhi. Objek segenap ibadah ialah mengingat Allah, dan terus menerus mengingat Allah dzikir sajalah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan keterikatan pada dunia fana ini”. Kesemuanya ini berangkat dari betapa pentingnya manusia “mengingat” Tuhannya, karena di dalam hati manusia ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi kecuali dengan dzikrullâh, karena dengan dzikir inilah yang membangunkan hati dari tidur dan kelalaiannya, dan dzikir pula yang melunakkan kerasnya hati dari berbagai penyakit yang di deritanya. Berkaitan dengan hal ini, bahwasannya begitu banyak ayat-ayat al- Qur’ân tentang dzikir yang dijelaskan oleh Syaikh Hisyâm Kabbânî di dalam salah satu karyanya yang berjudul Encyclopedia of Islamic Doctrine “Remembrance of Allah and Praising the Prophet.” 17 Sebab, meskipun Syaikh Hisyâm Kabbânî bukanlah seorang ulama yang memiliki sebuah karya tafsir, ia memiliki cara pandang tersendiri dan berbeda terhadap ayat-ayat al-Qur’ân jika dibandingkan dengan ahli tafsir lainnya. Syaikh 17 Syaikh Muhammad Hisyâm Kabbânî. Remembrance of Allâh and Praising the Prophet, vol. 2 United Stated of America: al-Sunna Foundation of America, 1998. 9 Hisyâm Kabbânî di dalam tarekatnya pun memiliki cara berbeda dengan perkumpulan atau majelis-majelis dzikir yang sedang marak di Indonesia saat ini. Begitu banyak jamâ’ah dan pengikut ajarannya melalui Tarekat Naqsyaband î Haqqânî, mereka secara konstan mengikuti ritual Sohbet zâwiyah dzikir atau kegiatan dzikir Naqsyabandi Haqqânî disertai dengan gerakan-gerakannya, dzikir Khatm Kwajagan 18 , dan lain sebagainya. Syaikh Hisyâm Kabbânî dan juga Tarekat Naqsyabandi Haqqânî begitu dikenal oleh masyarakat di seluruh dunia. Penulis begitu kagum ketika mengetahui bahwa ia memiliki kharismatik yang amat mempesona dengan kedalaman ilmu yang dimiliki, terutama dengan pandangan-pandangannya terhadap ayat-ayat al-Qur’ân, sehingga mampu menarik perhatian orang banyak untuk mengikuti Tarekat ini. Hal inilah yang membuat penulis tertarik membahas pandangan Syaikh Hisyâm Kabbânî mengenai ayat-ayat al-Qur’ân, terutama tentang dzikir. Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan melihat belum adanya karya yang membahas mengenai penafsiran Syaikh Hisyâm Kabbânî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân tentang dzikir secara komprehensip di dalam karyanya tersebut, maka, oleh karena itu penulis akan mengangkat sebuah 18 Khatm al-Khwajagan adalah rahasia dzikir yang dinisbahkan kepada Abdul Khâliq al-Ghujduwâni, sebagai pemimpin dzikir pertama diantara para wali jalan ini. Nabi Muhammad saw. memberitahu Abû Bakar al-Siddiq, yang kemudian memberitahu semua wali bahwa Abdul Khâliq adalah pemimpin al-Ghujduw â ni adalah pemimpin dari Khatm al-Khawajagan. Setiap orang diberi kehormatan untuk menerima cahaya dan rahasia dari Khwjaga Abdul Kh â liq al- Ghujduwani, dihadapan semua wali, Abû Bakar al-Siddiq, Nabi Muhammad saw., dan Allâh Swt.” Dzikir ini hingga sekarang masih digunakan bagi para pengikut tarekat jalan ini, biasanya dilakukan di – disebut dengan zâwiyah, yaitu tempat-tempat dzikir bagi tarekat jalan ini. Syaikh Muhammad Hisham Kabbânî. Classical Islam and the Naqsabandi Sufi Tradition United States of America: Islamic Supreme Council of America, 1995, h. 79-80. Lihat juga, Mawlana Syaikh Hisyam Kabbânî ar-Rabbânî. Silsilah Rantai Emas 1, T. Pn: Rabbani Sufi Institute of Indonesia, t. t, h. 19-20. 10 judul dalam karya ilmiah ini tentang Penafsiran Syaikh Hisyâm Kabbânî Terhadap Ayat-Ayat al-Qur’ân Tentang Dzikir dalam Karyanya, Encyclopedia of Islamic Doctrine, “Remembrance of Allah and Praising the Prophet.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah