Masyarakat Betawi Masyarakat Betawi

swasta. Sedangkan di daerah pinggiran sebagian besar adalah petani, yaitu petani buah-buahan, petani sawah, dan memelihara ikan. Menurut Ridwan Saidi, “Betawi merupakan mosaik kebudayaan yang memiliki tekstur Islami tanpa kehilangan nuansa tradisionalnya. Selama ratusan tahun orang Betawi mempunyai sifat toleransi yang sangat tinggi sampai dengan tahun 1970 di Jakarta tidak pernah terjadi huru-hara rasial, etnis atau bentrokan antara agama ”. 33 Ciri yang membedakan antara orang Betawi dengan kelompok lain, orang Betawi mempunyai pengalaman historis yang sama, dengan ciri kebudayaan yaitu bahasa, religi, dan kosmologi, upacara sepanjang lingkar hidup serta kesenian. 34 Faktor yang mengikat orang Betawi sebagai satu kesatuan kelompok etnik yaitu adanya kesamaan dan keseragaman bahasa dan Agama Islam. Hal itu mengikatkan rasa kesatuan lebih erat meskipun berbeda berdasarkan wilayah-wilayah pemukimannya. Islam merupakan agama yang dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi dilihat dari segi keagamaan dapat dibuat tipologinya menjadi dua golongan berdasarkan patuh dan tidak patuh dalam menjalankan perintah agama yaitu rukun Islam dan rukun Iman. Golongan pertama disebut mualim, dalam arti mereka menjalankan prinsip-prinsip dasar agama dan rukun Islam dengan baik dan teratur, yang mencakup syahadat, salat, zakat, puasa dan pergi menunaikan ibadah Haji bagi yang mampu. Golongan kedua adalah “orang biasa yang tidak terlalu taat menjalankan prinsip-prinsip agama Islam. Dalam beberapa hal orang biasa yang tidak taat dapat disejajarkan dalam masyarakat abangan di Jawa ”. 35 Menurut Saidi, “Sifat yang paling menonjol dari orang Betawi, seleranya yang tinggi terhadap humor. Tidak ada orang Betawi baik muda atau tua, baik perempuan maupun laki-laki yang tidak bisa melucu. Bias-bias 33 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, Jakarta : PT. Gunara Kata, 2001, h. 219. 34 Ensiklopedi Jakarta Culture Heritage Budaya Warisan Sejarah, op. cit., h. x. 35 Ibid., h. xv. humor terasa dalam memberi nasihat yang mestinya serius dalam setiap bentuk komunikasi orang Betawi ”. 36 Menurut Suparlan, “masyarakat Betawi sering dinilai sebagai pribadi yang ramah, terbuka, baik hati, suka menolong sesama, senang mengobrol, senang humor, dan berbagai ciri kemanusiaan yang menyenangkan ”. 37

B. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Arti kawin dalam kamus bahasa Indonesia berarti “perjodohan laki- laki dengan perempuan menjadi suami-istri; nikah; beristri atau bersuami ”. 38 Sedangkan nikah adalah “perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi ”. 39 Arti nikah dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia berarti “berbaur, beristri, berjodoh, berkawin, berkeluarga, bersemenda, bersuami, berumah tangga, duduk, janji, kawin, menempuh hidup baru, mengikat, naik ke pelaminan ”. 40 Dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan atau pernikahan mempunyai arti yang sama, hanya penyebutan kata saja yang berbeda dalam masyarakat. Menurut Duval dan Miller ahli antropologi mendefinisikan perkawinan sebagai berikut : “Marriage is a socially recognized relationship between a man and a women that provides for sexual relation, legitimized childbearing and establishing a division of labour between spouses”. 41 Pernikahan adalah hubungan yang diakui secara sosial antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang memberikan hubungan seksual, keturunan, dan membagi peran antara suami-istri. 36 Ridwan Saidi. loc. cit. 37 Tim Peneliti Kebudayaan Betawi, Langgam Budaya Betawi, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2011, cet. Ke-1, h.185 38 Kamus Bahasa Indonesia, op. cit., h. 653. 39 Ibid., h. 1003. 40 Pusat Bahasa, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2009, h. 399. 41 Duvall dan Miller, Marriage and Family Development, New York: Harper Row Publisher., 1985, p. 6. Menurut Tahir Mahmood mendefinisikan pernikahan lebih lengkap sebagai berikut : “Marriage is a relationship of body and soul between a man and a women as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting family fo unded on belief in God Almighty” . 42 Pernikahan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. Pernikahan merupakan suatu cara untuk menempuh kehidupan bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang melibatkan berbagai pihak demi melangsungkan ketentraman jiwa serta kebahagiaan hidup. Pernikahan tidak hanya mengandalkan kekuatan cinta dari pemikiran sederhana dan dominasi emosional akan tetapi dibutuhkan pemikiran yang rasional dan dasar yang kokoh yang tercantun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tertulis sebagai berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seseorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 43 Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, di atas dapat diperinci dan diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur perkawinan sebagai berikut: 1. Dalam perkawinan ikatan lahir batin yang dimaksudkan ialah bahwa perkawinan harus berjalan kedua-duanya sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang merupakan pondasi yang kuat serta mempunyai ikatan lahir dan batin yang sangat dalam. Antara suami dan istri harus saling menjaga cinta-kasih dan kesetiannya. 2. Perkawinan dilakukan oleh dua jenis kelamin yang berbeda, artinya di Indonesia tidak boleh perkawinan satu jenis seperti: laki-laki dengan laki- 42 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 42 43 Prakoso, loc. cit. laki atau perempuan dengan perempuan. Hal tersebut dikenal dengan istilah gay, homoseksual, atau lesbi. 3. Perkawinan di Indonesia bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kata lain merupakan perkawinan menurut ajaran agama-agama yang dianut. Maka dari itu pernikahan yang dilangsungkan tidak boleh di luar ajaran agama masing-masing pemeluknya. 4. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera. 44 Hal ini dimaksudkan perkawinan mempunyai tujuan kebahagiaan untuk selama-lamanya dan tidak diakhiri dengan perceraian, oleh karena itu hak dan kewajiban masing-masing suami istri harus dipenuhi dan berjalan dengan mestinya. 45 Kemudian dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan juga disebutkan, hidup bersama tanpa diikat dalam tali perkawinan dan tidak melalui tatacara perkawinan yang telah ditentukan Undang-Undang Perkawinan itu tidak dibenarkan, yang istilah sekarang disebut dengan kumpul kebo. 46 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, disimpulkan bahwa perkawinan sebagai ikatan yang bersifat kontrol sosial antara pria dan wanita yang di dalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban, kebutuhan afeksional, kebersamaan emosional, juga aktivitas seksual, ekonomi dengan tujuan untuk membentuk keluarga secara sah serta mendapatkan kebahagiaan dan kasih sayang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut istilah ilmu fiqh adalah nikah. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya haqiqat dan arti kiasan majaaz. Arti yang sebenarnya dari nikah ialah “dham, yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul. Sedangkan arti dari kiasannya adalah watha yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan ”. 47 44 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op. cit., h. 51. 45 Prakoso, loc. cit. 46 Andjar Any, Upacara Adat Perkawinan Lengkap, Surakarta: PT Pabelan Surakarta, 1986, h. 11. 47 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, h. 1. Dari segi ibadat, “perkawinan dalam agama Islam berarti telah melaksanakan sebagian dari ibadat dan orang-orang yang telah sanggup melaksanakan pernikahan telah menyempurnakan sebagian dari agama Islam karena dengan menikah akan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang di larang Allah ”. 48 Dalam segi hukum, pernikahan merupakan “suatu perjanjian yang kuat ”. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang berkepentingan terikat oleh hak-hak dan kewajiban, serta ketentuan-ketentuan dalam persetujuan dapat diubah sesuai dengan persetujuan masing-masing pihak dan tidak melanggar batas yang ditentukan oleh agama. 49 Berdasarkan syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Akad nikah merupakan “suatu perjanjian perikatan yang dilakukan pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka dengan tali perkawinan ”. 50 Secara sederhana akad atau perikatan terjadi jika dua orang calon mempelai mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan dengan kata-kata yang menyangkut hubungan suami dan istri. Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri, sesuai dengan firman Allah: .... Artinya: “Dan mereka istri-istrimu telah mengambil perjanjian yang kuat ikatan pernikahan dari kamu” QS. An-Nisa: 21. 51 Dengan perikatan tersebut, kedua pihak suami ataupun pihak istri telah sepakat melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan- 48 Ibid., h. 5. 49 Ibid., h. 7. 50 Ibid., h. 76. 51 Kementrian Agama RI, Al- Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Perkata, Terjemah Inggris, Bekasi: Cipta Bagus Sagara, 2012, h. 81. ketentuan agama untuk melaksanakan janjinya yang berhubungan dengan ketetapan suami istri. Perkawinan dalam Islam, secara luas adalah: 1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar; 2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan; 3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah; 4. Menduduki fungsi sosial; 5. Mendekatkan hubungan antara keluarga dan solidaritas kelompok; 6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan; 7. Merupakan suatu bentuk ibadah, yaitu menjalankan perintah Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah. 52

2. Dasar Hukum Perkawinan

Hukum nikah terdiri dari wajib, sunnah, makruh, atau haram sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin. 53 a. Wajib Orang yang yang diwajibkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin serta dikhawatirkan terhadap dirinya akan melakukan perbutan yang dilarang Allah. Contoh : orang bujang yang sudah mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya menjadi rusak, sedang tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan menikah. b. Sunnah Orang yang disunahkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk kawin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan terlarang. Contoh : bagi orang yang hendak dan baginya mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan-keperluan lain yang mesti dipenuhi. c. Makruh 52 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, h. 6. 53 Kamal Muchtar, op. cit., h. 23.