Metode dan Sistem Pendidikan Imam Zarkasyi

37 praktis dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama. Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan yang dilakukan pesantren tradisional. Program yang diterapkan oleh Imam Zarkasyi itu diberi nama Program Fathul Kutub baca: membuka buku-buku. Di samping itu,Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para santri memiliki, membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain Fatbul Qarib, Fatbul Mu’in, I’anatul Thalibin dan sebagainya. 55

c. Aspek Kelembagaan Menurut Imam Zarkasyi

Dalam tradisi pesantren pada umumnya, secara kelembagaan, pesantren adalah milik kyai. Kyai dan keluarga kyai menjadi pemilik tunggal dari seluruh aset yang dimiliki oleh pesantrennya. karena ia adalah hak milik, maka ketika kyai itu wafat ia akan diturunkan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, Pesantren tidak ubahnya bagai kerajaan kecil dari sebuah dinasti yang diwariskan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun. Sistem kelembagaan semacam ini memiliki kelebihan berupa kuatnya ikatan emosional antara pesantren dengan pemiliknya. Tetapi tentu saja sistem kelembagaan pesantren semacam ini juga memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah bahwa tidak semua keluarga dapat mengerti dan memahami pondok dengan baik dengan segala persoalannya sehingga sangat terbuka kemungkinan bagi kepentingan dan persoalan keluarga akan muncul dan berubah menjadi kepentingan dan persoalan pondok.disamping itu, 55 mukhamad fathoni, http:mufaesa.blogspot.com201301pemikiran-pendidikan-kh- imam-zarkasyi_22.htm 38 keberadaan pondok menjadi sangat bergantung kepada keluarga, karena pihak lain tidak merasa ikut memiliki, mereka hanya sekedar membantu. Maka mau tidak mau pemimpin pesantren harus dari pihak keluarga, sekalipun tidak ditemukan di antara mereka yang memenuhi kualifikasi untuk itu hal ini seringkali menjadi faktor utama mundurnya atau runtuhnya sebuah pesantren. 56 Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, Imam Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendiri pondok tersebut. Dengan ditanda tanganinya Piagam Penyerahan Wakaf itu, maka Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan Pondok Modern Gontor menjadi miliki ummat Islam, dan semua ummat Islam bertanggung jawab atasnya. Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di Pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf, untuk ini Badan Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan. Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan keluarga tidak punya hak material apa pun dari Gontor. Kyai dan guru-guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan 56 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, h. 117 39 demikian, pengajaran jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif. 57 Dengan demikian pembaharuan yang di lakukan Imam Zarkasyi pada Pondok Pesantren Gontor merupakan terobosan yang sangat brilyan karena dengan memberikan mandat pengurusan Pondok Pesantren kepada yang mempunyai keahlian maka pondok pesantren akan mengalami perkembangan. dan dengan melibatkan segala aspek untuk ikut campur dalam mengembangkan kesejahteraan pesantrern akan memberikan arah yang lebih positif karena umat Islam pada umumnya dan seluruh elemen yang dilibatkan pada pengurusan kelembagaan dalam pondok Gontor akan merasa ikut bertanggung jawab akan keberhasilan pondok pesantren Gontor.

C. Profil Mahmud Yunus dan Imam Zarkasyi

1. Mahmud Yunus

a. Masa Kecil dan Kondisi Sosial Masyarakat Mengitari

Mahmud Yunus, direktur Normal Islam, termasuk tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama kesekolah umum dan memasukkan pendidikan agama kesekolah umum dan ikut berusaha memperjuangkan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri PTAIN. Mahmud Yunus dilahirkan hari Sabtu tanggal 10 Februari 1899, bertepatan dengan 30 Ramadhan 1316 H di Sungayang Batu sangkar, sekitar 120 KM dari Padang Ibukota Pripinsi Sumatera Barat. dan wafat pada tanggal 16 Januari 1982. Ayahnya bernama Yunus bin Incek, adalah lulusan Surau semacam pesantren. Oleh adat dalam negeri, ia diangkat sebagai imam. Boleh jadi merangkap sebagai tenaga pengajar di surau sendiri. Di samping itu ia juga terkenl sebagai seorang yang sangat jujur dan lurus. Sedangkan ibunya, Hafsah binti Imam Sami’un, adalah anak Engku Gadang M. Thahir bin Ali, seorang ulama besar di Sungayang. Ketika Mahmud Yunus 57 Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam , h. 214 40 masih kecil, ayah dan ibunya bercerai. Sejak itu boleh dikatakan Mahmud Yunus lebih banyak di bawah asuhan ibunya dari pada ayahnya. 58 Mahmud Yunus kecil hidup dan berkembang dalam lingkungan ibu dari kalangan pemimpin agama. Sebagai anak yang hidup dalam keluarga yang beragama, pada usia 7 tahun sudah mulai belajar membaca al- Qur’an, melalui pendidikan di Surau kakeknya M.Thahir. setelah selesai belajar mengaji dan menghafal al- Qur’an, Mahmud Yunus langsung Membantu kakeknya mengajarkan al- Qur’an sebagai guru bantu. Kemudian pendidikan formal Mahmud Yunus masuk Sekolah Desa pada tahun 1980. Materi yang dipelajari di Sekolah Desa menulis, berhitung dan membaca, dengan pengantar bahasa Melayu. 59 Di kelas tiga Mahmud Yunus menjadi siswa terbaik bahkan ia dinaikkan ke kelas empat. Mahmud Yunus merasa bosan belajar di Sekolah Desa, karena pelajaran sebelumnya sering diulang-ulang. Pada saat bosan itu ia mendengar kabar bahwa H.M. Thaib Umar membuka madrasah sekolah agama di surau Tanjung Pauh Sungayang, dengan nama Madrasah School sekolah sarau pada tahun 1910 mendaftar di Madrasah School. Di Sekolah inilah ia hanya belajar ilmu-ilmu keislaman, seperti Ilmu Nahwu,ilmu Sharaf,Bahasa Arab dan ilmu faraid. Mahmud Yunus membagi waktu belajarnya dengan siang di Madrasah School, sedangkan malam harinya tetap di Surau kakeknya. Namun karena tidak tahan melihat teman-temannya bermalam di surau Tanjung Pauh lokasi Madrasah School, maka pada tahun 1911, tanpa seizin kakeknya, ia bergabung disana. Sejak saat itu Mahmud yunus bisa menggunakan waktu sepenuhnya untuk belajar ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab di Tanjung Pauh. Berkat kecerdasan dan kerajinannya maka ia di percayakan menjadi guru bantu. 60 58 Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Padang: Ciputat Press Group, 2005, h. 336. 59 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia, h. 57 60 Armai Arief, Mahmud Yunus dan Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia, Surabaya : CV. Kurnia,2010, h.59 41

b. Biografi Intelektual dan Karir

Pada tahun 1917, Mahmud Yunus mulai mengkonstrasikan dirinya mengajar di Madrasah School, karena gurunya, H.M. Thaib Umar sakit dan berhenti mengajar. Sejak tahun 1918 – 1923, tugas mengajar itu bahwa sepenuhnya diambil alih oleh Mahmud Yunus. Dalam mengajar, ia tidak hanya mengajarkan kitab-kitab yang dipelajari gurunya, melainkan juga kitab- kitab baru yang diterima dari Mesir, seperti : Bidayat al- Mujtahid, Ushul al- Ma’mul, Irsyad al-Fuhul, dan lain-lain. Mahmud Yunus melaksanakan dan menghidupkan kembali sistem Klasikal di Madrasah School, serta masih meneruskan sistem halaqah untuk pelajar-pelajar dewasa yang datang dari luar Sungayang. Di Madrasah ini ia mengembangkan sistem baru, yaitu murid-murid belajar siang hari di kelasnya masing-masing seperti biasa, sedangkan dalam pelajaran malam, Mahmud Yunus mengembangkan keaktifan murid, ia sendiri bertindak sebagai fasilitator. Murid-murid dikumpulkan dalam kelas besar, kemudian ditanya siapa yang akan membaca teks Arab, pelajaran baru, selanjutnya murid-murid lain menjelaskannya. Kalau dirasa penjelasan-penjelasannya kurang, barulah ia sendiri menambahkannya. Melalui dengan cara ini, murid-murid tidak pasif. Selain itu murid-murid yang belajar selama 5-6 tahun akan mampu menggantikan gurunya. Mahmud Yunus tidak mengambil jarak dengan murid-muridnya. Demikian sistem baru cara mengajar yang diciptakannya, sebelum belajar ilmu pendidikan di luar negeri. 61 Pada saat Mahmud Yunus menjdi guru Madrasah School ini, di Minangkabau sedang tumbuh gerakan pembaharuan Islam yang dibawa oleh alumni Timur Tengan, diantaranya melalui lembaga pendidikan yang berorientasi pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Amrullah, Zainuddin Labai El Yunusy dan lain-lainnya. Mahmud Yuns nampaknya ikut pula berkecimpung dalam gerakan pembaharuan ini. Pada tahun 1919 Mahmud Yunus bersama-sama guru-guru Madrasah School membentuk perkumpulan Sumatera Thawalib. Diantara kegiatan yang 61 Armai Arief, Mahmud Yunus dan Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia, h. 61