Karakteristik Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU YANG MENGALAMI DROP OUT DI KABUPATEN DAIRI TAHUN 2010-2011

SKRIPSI

Oleh:

ERVANNY R. PADANG NIM. 081000091

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU YANG MENGALAMI DROP OUT DI KABUPATEN DAIRI TAHUN 2010-2011

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

ERVANNY R. PADANG NIM. 081000091

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul:

KARAKTERISTIK PENDERITA TB PARU YANG MENGALAMI DROP OUT DI KABUPATEN DAIRI TAHUN 2010-2011

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

ERVANNY R. PADANG NIM. 081000091

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 24 Juli 2012 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Drs. Jemadi, M.Kes drh. Hiswani, M.Kes NIP. 19640404 199203 1 005 NIP. 19650112 199402 2 001

Penguji II Penguji III

Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH drh. Rasmaliah, M.Kes NIP. 194904171979021001 NIP. 195908181985032002


(4)

ABSTRAK

Drop out merupakan masalah dalam penanggulangan TB Paru dan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan yang berpotensi meningkatkan kemungkinan penyebaran dan multi drug resistance (MDR). Di Kabupaten Dairi pada tahun 2010 terdapat 50 orang penderita TB Paru yang mengalami drop out dan 54 orang pada tahun 2011.

Untuk mengetahui karakteristik penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi adalah 104 penderita dengan sampel seluruh populasi (total sampling). Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari kartu status serta kartu pengobatan penderita TB Paru yang mengalami drop out di 18 Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Dairi.

Hasil penelitian menunjukkan penderita TB Paru yang mengalami drop out terbanyak umur produktif (76,0%), laki-laki (56,7%), Batak Toba (35,5%), Kristen Protestan (46,2%), pendidikan rendah (51,0%), bekerja (86,5%), keluhan batuk (28,8%), tipe penderita kasus baru (85,6%), kategori pengobatan kategori I (85,6%), pengawas menelan obat (PMO) keluarga (89,4%), dan lama rata-rata mengikuti pengobatan 8,58 (9 minggu). Analisa statistik dengan uji anova menunjukkan ada perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan keluhan (p=0,000), tidak ada perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan tipe penderita (p=0,141), dengan uji t-test ditemukan tidak ada perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan umur (p=0,296), jenis kelamin (p=0,650), pendidikan (p=0,271), status pekerjaan (p=0,356), kategori pengobatan (p=0,207), PMO (P=0,340).

Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini, kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi semakin aktif memberikan informasi tentang TB Paru terhadap masyarakat, sehingga apabila merasakan gejala awal segera memeriksakan diri ke Puskesmas dan memberi izin pada penderita mengambil obat sekali sebulan atau dapat mengambil obat di Puskesmas mana saja. Kepada Puskesmas agar memberikan penyuluhan pada penderita dan PMO untuk tidak menghentikan pengobatan ketika keluhan sudah hilang. Kepada PMO agar selalu mengingatkan pasien untuk tidak berhenti berobat khususnya pada titik kritis (8-9 minggu setelah pengobatan).


(5)

ABSTRACT

Drop out is a problem in against lung TB and a cause of failure healing that potentially increase the spreading of lung TB and multi drug resistance. In Dairi regency there were 50 patients of Lung TB that had dropped out in 2010 and 54 patients in 2011.

To know the characteristic of patients with lung TB who had dropped out at Dairi regency in 2010-2011, it had done a study with case series design. The population was 104 patient by using sample of the whole population (total sampling). The data was secondary data and collected from patient medical record and healing record of lung TB patients who had dropped out at 18 health center in Dairi health service working area.

The result of this study notes that most of patient that dropped out at productive age (76,0%), male (56,7%), Batak Toba’s ethnic (35,5%), Christian (46,2%), low education (51,0%), work (86,5%), the highest symptom is cough (28,8%), type of patient with new case (85,6%), healing category with category I (85,6%), medicine consumption watcher (PMO) is family (89,4%), and time rate of healing is 8,58 (9 weeks). Statistical analysis with anova shows that there is difference between mean time of following treatment based on symptom (p=0,000), there is no difference between mean time of following treatment based on type of patient (p=0,141), statistical analysis with t-test shows that there is no difference between mean time of following treatment based on age (p=0,296), sex (p=0,650), education (p=0,271), employment status (p=0,356), healing category (p=0,207), medicine consumption watcher (P=0,340).

Suggestions may be submitted in this study, hopefully for health service of Dairi Regency more active to give information about lung TB on the community, so if they have already felt the early symptoms immediately went to the health center and give permission to the patients taking the medicine once a month or may take medicine from other health center. To the health center provide counseling for patients and PMO not to stop treatment when the symptom is gone, and for PMO to always remind patients not to stop treatment especially at the critical point (8-9 weeks after treatment).


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. IDENTITAS

Nama : ERVANNY R. PADANG

Tempat/Tanggal Lahir : Sidikalang, 03 Nopember 1989

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 3 dari 4 bersaudara Nama Ayah : W. PADANG, S.Sos

Nama Ibu : E. HASUGIAN

Alamat : Jl. Teh 11 No. 9, Perumnas Simalingkar, Medan

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri 030285 Sidikalang : Tamat Tahun 2002 2. SMP Negeri 1 Sidikalang : Tamat Tahun 2005 3. SMA Negeri 1 Sidikalang : Tamat Tahun 2008 4. S-1 Kesehatan Masyarakat USU-Medan : Tamat Tahun 2012


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena oleh kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Selama penulisan skripsi yang berjudul “Karakteristik Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak DR. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

2. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Ketua Departemen Epidemiologi

3. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes dan Ibu drh. Hiswani, M.Kes selaku dosen pembimbing I dan II yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan

4. Bapak Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH dan Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku dosen Pembanding I dan II yang telah banyak memberikan masukan dan kritik positif demi penyempurnaan skripsi ini

5. Ibu Dra. Lina Tarigan, Apt, M.Kes selaku dosen penasehat akademik

6. Bapak dr. Haposan Situmorang, MARS selaku Kepala Dinas Kesehatan pemerintah Kabupaten Dairi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini


(8)

7. Bapak Josua Manik selaku Wasor TB Paru Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

8. dr. Rudy K. Purba selaku Kepala Puskesmas Silahisabungan, Manerep Sihombing, SKM selaku Kepala Puskesmas Berampu, dr. Hardi Gurning selaku Kepala Puskesmas Batang Beruh, drg. Rosmauli Hutagalung selaku Kepala Puskesmas Hutarakyat, Marima Pakpahan, SKMg selaku Kepala Puskesmas Kentara, dr. Benny Purba selaku Kepala Puskesmas Sigalingging, Dra. Gustaria Simbolon selaku Kepala Puskesmas Sitinjo, dr. Elfida Purba selaku Kepala Puskesmas Tiga Baru, Manuhar Siringo-ringo, SKM selaku Kepala Puskesmas Bakal Gajah, dr. Edison Damanik selaku Kepala Puskesmas Kuta Buluh, dr. Johanes Tarigan selaku Kepala Puskesmas Sumbul, dr. Jesman Ginting selaku Kepala Puskesmas Parongil, dr. Dewi Sihaloho selaku kepala Puskesmas Buntu Raja, dr. Imelda Sitompul selaku Kepala Puskesmas Sopo Butar, Parlaungan Sibarani selaku Kepala Puskesmas Tanjung Beringin, dr. Intan N. Sigalingging selaku Kepala Puskesmas Tigalingga, dr. Antonius R Marpaung selaku Kepala Puskesmas Gunung Sitember, Robert Silalahi, SKM selaku kepala Puskesmas KM 11, yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

9. Para dosen dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

10.Ayahanda W. Padang, S.Sos dan Ibunda E. Hasugian serta saudara-saudaraku abang Bisler Sugianto Padang, S.H. serta eda Sorta Dewi Panggabean, S.Pi, dan Teguh kecil, abang Wendi Suprapto Padang, S.Sos, serta adikku Novi


(9)

Natalia Padang atas segala doa, perhatian, kasih sayang, pengertian, semangat dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan sampai menyelesaikan pendidikan ini

11.Sahabat-sahabatku Stella Mariska Yuncie, Linda Yana br. Ginting, Bianca Gaea Ginting yang telah memberikan dukungan doa serta motivasi dari awal semester hingga saat ini

12.Rekan-rekan seperjuangan di peminatan Epidemiologi Stella, Linda, Christivani, Tari, Stiphani, Rohani, Nelli, Helpi, Rani, Novika, Habidah, Mery, Desi, Edy, Dian, Ririn, Jojo, Nur, Merlin serta seluruh rekan-rekan Epidemiologi 08

13.Teman-teman KTBku, Kak Eva, Kak Maria, Kak Lusi, Stella, Tari, Yossi, Suzan yang telah banyak memberikan dukungan dan motivasi dari awal semester hingga saat ini.

14.Teman-teman Perpu FKM 08, Stella, Tari, Nelli, Stiphany, Helfi, Rani, Yossi, Suzan, Febrina, Dian, Edy, Amja, Mandroy, Johannes, Caprin.

15.Teman-teman PBLku tersayang, Stella, Fiesta, Diza, Vitry, Ela, Vonny, Ary yang selalu memberikan semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Medan, Juli 2012 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 4

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Definisi ... 7

2.2 Etiologi ... 7

2.3 Patogenesis ... 8

2.4 Gejala Klinis ... 9

2.4.1 Gejala Sistemik ... 9

2.4.2 Gejala Respiratorik ... 10

2.5 Epidemiologi ... 11

2.5.1 Distribusi Penderita TB Paru ... 11

2.5.2 Faktor Determinan TB Paru ... 13

2.6 Tipe Penderita ... 16

2.6.1 Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak ... 16

2.6.2 Berdasarkan Riwayat Pengobatan ... 17

2.7 Program Penanggulangan TB Paru ... 17

2.8 Pencegahan ... 19

2.8.1 Pencegahan Primordial ... 19

2.8.2 Pencegahan Primer ... 19

2.8.3 Pencegahan Sekunder ... 20

2.8.4 Pencegahan Tersier ... 26

2.9 Multidrug Resistant ... 26

2.9.1 Penyebab Pengobatan yang Tidak Adekuat ... 27

2.9.2 Jenis Resistensi OAT ... 28

2.10 Efek Samping OAT ... 29

2.11 Pengawas Menelan Obat ... 29

2.11.1 Persyaratan PMO ... 29

2.11.2 Siapa Yang Menjadi PMO ... 30


(11)

2.11.4 Informasi Yang Harus Disampaikan PMO ... 30

2.12 Hasil Pengobatan ... 31

2.12.1 Sembuh ... 31

2.12.2 Pengobatan Lengkap ... 31

2.12.3 Meninggal ... 31

2.12.4 Pindah ... 31

2.12.5 Default/Drop Out ... 31

2.12.6 Gagal ... 31

2.13 Kepatuhan Berobat ... 31

2.13.1 Umur ... 32

2.13.2 Jenis Kelamin ... 32

2.13.3 Suku ... 32

2.13.4 Pendidikan ... 33

2.13.5 Status Pekerjaan ... 34

BAB 3 KERANGKA KONSEP ... 35

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 35

3.2 Definisi Operasional ... 35

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 39

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

4.2.1 Lokasi Penelitian ... 39

4.2.2 Waktu Penelitian ... 39

4.3 Populasi dan Sampel ... 39

4.3.1 Populasi ... 39

4.3.2 Sampel ... 39

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 40

4.5 Teknik Analisis Data ... 40

BAB 5 HASIL PENELITIAN... 41

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

5.2 Tenaga Kesehatan Di Kabupaten Dairi... 42

5.3 Analisa Deskriptif ... 43

5.3.1 Sosiodemografi Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 43

5.3.2 Keluhan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out ... 45

5.3.3 Tipe Penderita ... 46

5.3.4 Kategori Penderita ... 46

5.3.5 Pengawas Menelan Obat (PMO) ... 47

5.3.6 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan... 48

5.4 Analisa Statistik ... 50

5.4.1 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Umur ... 51

5.4.2 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 52


(12)

5.4.3 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Pendidikan ... 53

5.4.4 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Pekerjaan ... 54

5.4.5 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Keluhan ... 55

5.4.6 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Tipe Penderita ... 56

5.4.7 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Kategori Pengobatan ... 57

5.4.8 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan PMO... 58

BAB 6 PEMBAHASAN ... 60

6.1 Sosiodemografi ... 60

6.1.1 Umur ... 60

6.1.2 Jenis Kelamin ... 61

6.1.3 Suku... 62

6.1.4 Agama ... 64

6.1.5 Pendidikan ... 65

6.1.6 Status Pekerjaan... 66

6.2 Keluhan ... 67

6.3 Tipe Penderita ... 69

6.4 Kategori Pengobatan ... 70

6.5 Pengawas Menelan Obat (PMO) ... 72

6.6 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan ... 73

6.7 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Umur ... 75

6.8 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin .... 76

6.9 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Pendidikan ... 77

6.10 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Status Pekerjaan ... 78

6.11 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Keluhan ... 79

6.12 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Tipe Penderita ... 80

6.13 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Kategori Pengobatan ... 81

6.14 Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan PMO ... 82

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

7.1 Kesimpulan ... 83

7.2 Saran... 85 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN:

Lampiran 1 Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 2 Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian Lampiran 3 Master Data


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Tenaga Kesehatan di Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 42 Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out

Berdasarkan Sosiodemografi Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 44 Tabel5.3. Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out

Berdasarkan Keluhan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 45 Tabel 5.4. Distribusi Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out

Berdasarkan Tipe Penderita Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 46 Tabel 5.5. Distribusi Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out

Berdasarkan Kategori Pengobatan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011... 46 Tabel 5.6. Distribusi Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out

Berdasarkan Pengawas Menelan Obat (PMO) Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 47 Tabel 5.7. Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop Out di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 48 Tabel 5.8. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Umur

Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 51 Tabel 5.9. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 52 Tabel 5.10. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Pendidikan

Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 53 Tabel 5.11. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Status

Pekerjaan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 54 Tabel 5.12. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Keluhan

Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 55


(14)

Tabel 5.13. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Tipe Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011... 56 Tabel 5.14. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan Kategori

Pengobatan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 57 Tabel 5.15. Lama rata-rata mengikuti pengobatan Berdasarkan PMO

Penderita TB Paru yang Mengalami Drop Out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 58


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mycobacterium tuberkulosis ... 7 Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru Pada Orang Dewasa ... 22 Gambar 6.1 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Umur Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 58 Gambar 6.2 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 59 Gambar 6.3 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Suku Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 60 Gambar 6.4 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Agama Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 62 Gambar 6.5 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Pendidikan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 63 Gambar 6.6 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Status Pekerjaan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 64 Gambar 6.7 Diagram Bar Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Keluhan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 65 Gambar 6.8 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Tipe Penderita Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 67 Gambar 6.9 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan Kategori Pengobatan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 68 Gambar 6.10 Diagram Pie Distribusi Proporsi Penderita TB Paru yang

Mengalami Drop out Berdasarkan PMO Pengobatan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 70


(16)

Gambar 6.11 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan Umur Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Pengobatan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 72 Gambar 6.12 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Jenis Kelamin Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 73 Gambar 6.13 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Pendidikan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Pengobatan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 74 Gambar 6.14 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Satus Pekerjaan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Pengobatan Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 75 Gambar 6.15 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Keluhan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 76 Gambar 6.16 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Tipe Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 77 Gambar 6.17 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

Kategori Pengobatan Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011... 78 Gambar 6.18 Diagram Bar Lama Rata-rata Mengikuti Pengobatan Berdasarkan

PMO Penderita TB Paru yang Mengalami Drop out Di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 ... 79


(17)

ABSTRAK

Drop out merupakan masalah dalam penanggulangan TB Paru dan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan yang berpotensi meningkatkan kemungkinan penyebaran dan multi drug resistance (MDR). Di Kabupaten Dairi pada tahun 2010 terdapat 50 orang penderita TB Paru yang mengalami drop out dan 54 orang pada tahun 2011.

Untuk mengetahui karakteristik penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011 dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi adalah 104 penderita dengan sampel seluruh populasi (total sampling). Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari kartu status serta kartu pengobatan penderita TB Paru yang mengalami drop out di 18 Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Dairi.

Hasil penelitian menunjukkan penderita TB Paru yang mengalami drop out terbanyak umur produktif (76,0%), laki-laki (56,7%), Batak Toba (35,5%), Kristen Protestan (46,2%), pendidikan rendah (51,0%), bekerja (86,5%), keluhan batuk (28,8%), tipe penderita kasus baru (85,6%), kategori pengobatan kategori I (85,6%), pengawas menelan obat (PMO) keluarga (89,4%), dan lama rata-rata mengikuti pengobatan 8,58 (9 minggu). Analisa statistik dengan uji anova menunjukkan ada perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan keluhan (p=0,000), tidak ada perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan tipe penderita (p=0,141), dengan uji t-test ditemukan tidak ada perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan umur (p=0,296), jenis kelamin (p=0,650), pendidikan (p=0,271), status pekerjaan (p=0,356), kategori pengobatan (p=0,207), PMO (P=0,340).

Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini, kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi semakin aktif memberikan informasi tentang TB Paru terhadap masyarakat, sehingga apabila merasakan gejala awal segera memeriksakan diri ke Puskesmas dan memberi izin pada penderita mengambil obat sekali sebulan atau dapat mengambil obat di Puskesmas mana saja. Kepada Puskesmas agar memberikan penyuluhan pada penderita dan PMO untuk tidak menghentikan pengobatan ketika keluhan sudah hilang. Kepada PMO agar selalu mengingatkan pasien untuk tidak berhenti berobat khususnya pada titik kritis (8-9 minggu setelah pengobatan).


(18)

ABSTRACT

Drop out is a problem in against lung TB and a cause of failure healing that potentially increase the spreading of lung TB and multi drug resistance. In Dairi regency there were 50 patients of Lung TB that had dropped out in 2010 and 54 patients in 2011.

To know the characteristic of patients with lung TB who had dropped out at Dairi regency in 2010-2011, it had done a study with case series design. The population was 104 patient by using sample of the whole population (total sampling). The data was secondary data and collected from patient medical record and healing record of lung TB patients who had dropped out at 18 health center in Dairi health service working area.

The result of this study notes that most of patient that dropped out at productive age (76,0%), male (56,7%), Batak Toba’s ethnic (35,5%), Christian (46,2%), low education (51,0%), work (86,5%), the highest symptom is cough (28,8%), type of patient with new case (85,6%), healing category with category I (85,6%), medicine consumption watcher (PMO) is family (89,4%), and time rate of healing is 8,58 (9 weeks). Statistical analysis with anova shows that there is difference between mean time of following treatment based on symptom (p=0,000), there is no difference between mean time of following treatment based on type of patient (p=0,141), statistical analysis with t-test shows that there is no difference between mean time of following treatment based on age (p=0,296), sex (p=0,650), education (p=0,271), employment status (p=0,356), healing category (p=0,207), medicine consumption watcher (P=0,340).

Suggestions may be submitted in this study, hopefully for health service of Dairi Regency more active to give information about lung TB on the community, so if they have already felt the early symptoms immediately went to the health center and give permission to the patients taking the medicine once a month or may take medicine from other health center. To the health center provide counseling for patients and PMO not to stop treatment when the symptom is gone, and for PMO to always remind patients not to stop treatment especially at the critical point (8-9 weeks after treatment).


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di dunia hingga saat ini, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju.1 WHO memperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh TB Paru. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah penderita TB Paru yang ditemukan di masyarakat dan sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB Paru merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan.2

Setelah sebelumnya berada di peringkat 3 dengan prevalensi TB Paru tertinggi setelah India dan Cina, berdasarkan laporan WHO, pada tahun 2007 peringkat Indonesia turun ke peringkat 5 dengan prevalensi TB Paru tertinggi setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria.3 Di seluruh dunia, TB Paru merupakan penyakit infeksi terbesar nomor 2 penyebab tingginya angka mortalitas dewasa sementara di Indonesia TB Paru menduduki peringkat 3 dari 10 penyebab kematian dengan proporsi 10% dari mortalitas total.4

Angka insidensi semua tipe TB Paru Indonesia tahun 2010 adalah 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB Paru 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB Paru 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari.5 Meskipun memiliki beban penyakit TB Paru yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB Paru untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.


(20)

Tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB Paru telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+, dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB Paru BTA+ adalah 73 per 100.000 penderita TB Paru yang diperiksa. Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%.6

TB Paru merupakan suatu penyakit kronik yang salah satu kunci keberhasilan pengobatannya adalah kepatuhan dari penderita. Penyakit menular ini sebenarnya dapat disembuhkan dengan obat yang efektif, namun pengobatan TB Paru harus dilakukan selama minimal 6 bulan dan harus diikuti dengan manajemen kasus dan tata laksana pengobatan yang baik.7 DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah strategi penyembuhan TB Paru jangka pendek dengan pengawasan secara langsung, dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru dapat berlangsung secara cepat.

Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB Paru, tetapi beban penyakit TB Paru di masyarakat masih sangat tinggi, dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB Paru, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB Paru di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB Paru mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, Multidrug Resistant (MDR) TB dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi.3

Drop out merupakan masalah dalam penanggulangan TB Paru dan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan yang berpotensi meningkatkan


(21)

kemungkinan penyebaran dan resistensi terhadap OAT (obat anti tuberkulosis).8 Apabila seseorang telah menderita resistensi obat maka biaya pengobatan yang dikeluarkan akan lebih besar dan waktu pengobatan akan lebih lama. Penyakit ini juga berhubungan dengan produktivitas, dengan penyakit ini seorang penderita TB Paru dewasa diperkirakan akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan dan hal ini dapat mengakibatkan penderita tersebut kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB Paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.9

Angka drop-out pengobatan TB Paru secara nasional diperkirakan tinggi, yaitu sebesar 2% dari seluruh kasus TB Paru baru, dan diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus resisten OAT setiap tahunnya.3 Hal ini sangat berbahaya, karena penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan yang dilakukan dengan tidak teratur akan memberi efek yang lebih buruk dari pada tidak diobati sama sekali. Resistensi OAT yang terjadi akibat seseorang tidak berobat tuntas atau bila diberi OAT yang keliru akan memberikan dampak buruk tidak hanya kepada yang bersangkutan tetapi juga kepada epidemiologi TB Paru di daerah tersebut.10

Situasi TB Paru di dunia semakin memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB Paru dan banyaknya pasien TB Paru yang tidak berhasil disembuhkan. Berdasarkan laporan WHO/IUATDL Global Project On Drug Resistance Surveillance 2010, kasus Multidrug Resistant (MDR) TB Paru telah ditemukan di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin, dan Asia dengan prevalensi > 4% diantara kasus TB Paru baru. Di Indonesia, data awal survei resistensi OAT pertama yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan angka MDR TB Paru yang rendah pada kasus baru


(22)

dengan prevalensi 1-2%, tetapi angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya dengan prevalensi 15%.5

Kasus TB Paru Sumatera Utara masih tergolong tinggi dengan ditemukannya sebanyak 15.614 penderita selama tahun 2010. Berdasarkan data TB Paru nasional, Sumatera Utara sampai triwulan ke III tahun 2010 menempati urutan ke-tujuh dengan jumlah penderita TB Paru tertinggi setelah Gorontalo, Maluku, Sulawesi utara, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung dan Jakarta.11

Angka drop out pengobatan TB Paru Indonesia pada tahun 2008 yaitu 4% dan tahun 2009 yaitu 4,1%.12 Angka drop out Kota Medan, berdasarkan data BP4 Kota Medan dalam penelitian Budi Junarman sampai bulan September 2008 sebesar 14,3%.13 Penelitian Naili Fauziah (2008) angka drop out TB Paru di BP4 Salatiga sebesar 19%.14 Berdasarkan penelitian Kartika (2009) angka drop out TB Paru di RSUD Budhi Asih sebesar 8%.15 Penelitian Erni Erawati, dkk (2009) memperoleh angka drop out TB Paru Kabupaten Dompu sebesar 16,9%.16

Data yang diperoleh dari dinas kesehatan pemerintah Kabupaten Dairi pada survei pendahuluan, tahun 2010 tercatat 50 penderita yang mengalami drop out dan pada tahun 2011 54 orang penderita mengalami drop out.17 Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011.

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahui Karakteristik penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi Tahun 2010-2011.


(23)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi pada tahun 2010-2011.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB Paru yang mengalami drop out berdasarkan sosiodemografi yaitu umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, status pekerjaan

b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB Paru yang mengalami drop out berdasarkan keluhan

c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB Paru yang mengalami drop out berdasarkan tipe penderita sewaktu datang berobat ke Puskesmas

d. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB Paru yang mengalami drop out berdasarkan kategori pengobatan

e. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita TB Paru yang mengalami drop out berdasarkan Pengawas Menelan Obat (PMO)

f. Untuk mengetahui lama rata-rata mengikuti pengobatan penderita TB Paru yang mengalami drop out

g. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan umur penderita TB Paru yang mengalami drop out

h. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan jenis kelamin penderita TB Paru yang mengalami drop out


(24)

i. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan pendidikan penderita TB Paru yang mengalami drop out

j. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan status pekerjaan penderita TB Paru yang mengalami drop out

k. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan keluhan dari penderita TB Paru yang mengalami drop out

l. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan tipe penderita dari penderita TB Paru yang mengalami drop out

m. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan kategori pengobatan dari penderita TB Paru yang mengalami drop out

n. Untuk mengetahui perbedaan lama rata-rata mengikuti pengobatan berdasarkan PMO (Pengawas Menelan Obat) dari penderita TB Paru yang mengalami drop out

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Sebagai masukan dan informasi bagi dinas kesehatan pemerintah Kabupaten Dairi dalam upaya penurunan angka drop out pengobatan TB Paru

1.4.2 Sebagai masukan bagi peneliti lain dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian lain khususnya yang berhubungan dengan drop out pada pengobatan TB Paru

1.4.3 Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang penyakit TB Paru dan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi

TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), yakni bakteri aerob yang dapat hidup terutama di paru karena mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.18 Sekitar 80% Mycobacterium tuberculosis menginfeksi paru, tetapi dapat juga menginfeksi organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, tulang belakang, kulit, saluran kemih, otak, usus, mata dan organ lain karena penyakit tuberkulosis merupakan penyakit sistemik yaitu penyakit yang dapat menyerang seluruh bagian tubuh dan dapat menimbulkan kerusakan yang progresif.19

2.2 Etiologi

Bakteri penyebab TB Paru ini memiliki ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, tidak mempunyai selubung tetapi memiliki lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid.8


(26)

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam (HCL) dan alkohol sehingga disebut basil tahan asam (BTA).20 Bakteri ini juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap, namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara.8

2.3 Patogenesis

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB Paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB Paru.2

Penularan penyakit TB Paru tergantung pada beberapa faktor, seperti jumlah kuman, tingkat keganasan kuman, dan daya tahan tubuh orang yang tertular.3 Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka akan semakin menular.20

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif.21 Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Setiap kali penderita TB Paru batuk maka akan dikeluarkan 3000 droplet yang efektif (memiliki kemampuan menginfeksi). Droplet yang mengandung kuman


(27)

TB akan bertahan di udara pada suhu kamar selama 1-2 jam tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi dan kelembapan. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat bertahan berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Orang dapat terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan dan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trachea-bronkhial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Namun bila tidak semuanya keluar, bakteri yang tinggal justru menempel dan berkembang biak pada makrofag dan akan menginfeksi paru.1

Tidak semua kuman TB Paru yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang menjadi penyakit. Mekanisme pertahanan tubuh akan bekerja dan kuman yang masuk akan dilumpuhkan, namun apabila keadaan kesehatan sedang buruk maka kemungkinan untuk terjadinya penyakit akan lebih besar.22

2.4 Gejala Klinis23

Gambaran klinik TB Paru dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik.

2.4.1 Gejala Sistemik a. Demam

Demam merupakan gejala pertama dari TB Paru, biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza yang hilang timbul dan makin lama makin panjang masa serangannya, demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40°-41°C.


(28)

b. Malaise

TB Paru bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.

2.4.2 Gejala Respiratorik a. Batuk

Batuk akan timbul ketika penyakit telah mengenai bronkus, dan batuk mula-mula disebabkan karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat terjadi peradangan pada bronkus sehingga terjadi batuk yang produktif, batuk ini dapat terjadi 2-3 minggu. b. Batuk Darah

Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah, berat ringannya batuk darah yang timbul tergantung pada besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah dapat juga terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh, hal ini disebabkan oleh robekan jaringan paru. Pada keadaan ini dahak sering tidak mengandung basil tahan asam (negatif).

c. Sesak napas

Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas, pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat.

d. Nyeri dada

Gejala ini biasanya ditemukan pada penderita yang mempunyai keluhan batuk kering (non produktif) dan nyeri ini akan bertambah bila penderita batuk, gejala ini timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.


(29)

2.5 Epidemiologi

Penyakit TB paru tersebar di seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri penyakit TB paru menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun di akhir tahun 1980an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi yang prevalensi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tinggi dan di daerah yang penduduknya merupakan pendatang dari daerah dengan prevalensi TB paru yang tinggi.24

2.5.1 Distribusi Penderita TB Paru a. Menurut Orang

Penyakit ini sebenarnya menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin serta menginfeksi tidak hanya pada golongan ekonomi rendah saja.8 Sekitar 75% pasien TB Paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).21 Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, proporsi penderita TB Paru tertinggi terjadi pada laki-laki.25 Penelitian yang dilakukan oleh Gea dengan desain case series (2005) pada Puskesmas Gunungsitoli tahun 2000-2004 menemukan bahwa penderita TB Paru yang paling banyak adalah laki-laki yaitu 334 orang (63,6%).26

Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilaksanakan oleh departemen kesehatan (2004), proporsi tertinggi drop out pengobatan TB Paru terjadi pada umur 35-55 tahun yaitu sebesar 52%. Berdasarkan tingkat ekonomi, proporsi tertinggi drop out terjadi pada status ekonomi rendah yaitu 63%.25


(30)

b. Menurut Tempat

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, dan 95% kasus TB serta 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang.18 WHO (2005) menyatakan 22 negara dengan beban TB Paru tertinggi di dunia dan 50%nya berasal dari negara-negara Afrika dan Asia serta Amerika (Brasil). Hampir semua negara ASEAN masuk dalam kategori 22 negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia.8

Berdasarkan laporan WHO (2011), insiden TB Paru di India 2.300.000 kasus atau 185 per 100.000 penduduk, China 1.000.000 kasus atau 78 per 100.000 penduduk, Afrika Selatan 490.000 kasus atau 981 per 100.000 penduduk, Nigeria adalah 210.000 kasus atau 133 per 100.000 penduduk, Thailand 94.000 kasus atau 137 per 100.000 penduduk, Malaysia 23.000 kasus atau 82 per 100.000 penduduk, Singapura 1.800 kasus atau 36 per 100.000 penduduk.5

Insiden BTA Positif Sumatera adalah 164 per 100.000 penduduk, Jawa: 107 per 100.000 penduduk, DIY-Bali: 64 per 100.000 penduduk, Kawasan Timur Indonesia (KTI): 210 per 100.000 penduduk.6 Berdasarkan hasil survei prevalensi TB Paru yang dilaksanakan departemen kesehatan, proporsi tertinggi kejadian drop out pada pengobatan TB Paru adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan proporsi 60%.25

c. Menurut Waktu

Banyaknya penderita TB Paru tidak dipengaruhi oleh waktu karena penderita baru akan tetap ada selama penderita lama mempunyai kemampuan untuk menularkan melalui droplet yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.20


(31)

2.5.2 Faktor Determinan TB Paru a. Host

a.1 Umur

TB Paru dapat menyerang semua golongan umur. Beberapa penelitian menunjukkan kecenderungan pada kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan karena pada usia produktif mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan untuk terpapar kuman TB Paru lebih besar.9,21

Bayi dan anak-anak mempunyai daya tahan tubuh yang lemah sampai berusia 2 tahun, anak dapat terserang meningitis tuberkulosis, namun jika status gizinya baik, penyebarannya dapat dicegah. Sebagian besar basil TB yang masuk ke dalam tubuh anak tidak menimbulkan penyakit tetapi akan tetap tinggal dalam paru sampai anak dewasa.1 TB Paru pada orang dewasa dapat terjadi melalui 2 mekanisme, yang pertama dengan terhirup basil tuberkulosis kemudian berkembang biak dalam paru dan merusaknya, dan yang kedua timbul akibat aktifnya kembali basil tuberkulosis yang dorman dalam tubuh ketika masih anak-anak.25

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa umur >45 tahun mempunyai risiko 3,816 kali (OR 3,816 ; CI 1,701-8,558) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan umur ≤45 tahun.27

a.2 Jenis Kelamin

Penyakit TB Paru menyerang laki-laki dan perempuan. Menurut data WHO (2004), kematian wanita akibat TB di dunia lebih banyak dari pada kematian karena proses kehamilan, persalinan dan nifas.21


(32)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering terserang TB Paru dari pada perempuan. Hal ini disebabkan mobilitas pria yang lebih tinggi dan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang TB Paru.28

Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008), dengan desain case control ditemukan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian TB Paru dimana perempuan berisiko 0,425 kali lebih kecil untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan laki-laki (OR=0,425; 95% CI 0,201-0,901).29

a.3 Pendidikan

Pendidikan seorang penderita TB paru berpengaruh terhadap cara bertindak baik tindakan untuk melakukan pencegahan maupun pemilihan alternatif pengobatan. Berdasarkan hasil survei prevalensi yang dilaksanakan Departemen Kesehatan (2004) dengan desain cross sectional, ditemukan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out (RP = 1,3 95% CI 1,1-1,7), pendidikan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru (RP=2 ; 95% CI 1,3-3,1).25

a.4 Status Gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, akan memengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit termasuk TB Paru. Dan faktor ini merupakan salah satu faktor penting penyebaran TB Paru khususnya di negara miskin.20

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk di BP4 Pati (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa status gizi yang buruk berisiko 5,113 kali (OR 5,113 ;


(33)

95% CI 1,364-19,165) untuk terinfeksi TB Paru dibanding orang dengan status gizi baik.27

b. Agent

TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis dan untuk menjadi sakit, dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, serta virulensi dari bakteri itu sendiri.20,30

c. Environment

Lingkungan yang buruk, misalnya pemukiman yang padat dan kumuh, rumah yang lembab dan gelap, kamar tanpa ventilasi serta lingkungan tempat kerja yang buruk dapat mempermudah penularan TB Paru.9,30

Berdasarkan hasil penelitian Rusnoto, dkk (2006) dengan desain case control ditemukan bahwa seseorang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 29,994 kali (OR 29,994 95% CI 3,388-265,505) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah dengan ventilasi kamar tidur memenuhi syarat kesehatan demikian juga dengan kelembapan rumah, dimana orang yang tinggal dalam rumah yang lembab berisiko 9,229 kali (OR 9,229 ; 95% CI 2,286-37,835) untuk terinfeksi TB Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dalam rumah yang tidak lembab.27

Berdasarkan penelitian Syamsuardi di Puskesmas Muaro Paiti (2008) dengan desain case control menemukan bahwa ada pengaruh faktor lingkungan seperti suhu kamar dengan kejadian TB Paru (OR=0,026 ; 95% CI 0,003-0,268), ada pengaruh pencahayaan kamar dengan kejadian TB Paru (OR=0,025 ; 95% CI 0,004-0,151), dan seseorang yang menghuni rumah dengan pencahayaan dan suhu kamar yang tidak


(34)

memenuhi syarat kesehatan serta memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko terjadinya TB Paru sebesar 96%.29

Berdasarkan hasil penelitian Ernita Azis, dkk (2008) dalam berita kedokteran masyarakat menemukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan risiko terkena TB meningkat 1,354 kali lebih besar dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan keadaan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan.31

2.6 Tipe Penderita

2.6.1 Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak2

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak yang dilakukan kepada pasien, tipe penderita TB Paru terbagi atas:

a. TB Paru BTA Positif.

Seorang penderita TB Paru dinyatakan BTA positif apabila sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

b. TB Paru BTA Negatif

Seorang penderita TB Paru dengan BTA negatif bila pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan


(35)

2.6.2 Berdasarkan Riwayat Pengobatan21

Berdasarkan riwayat pengobatan penderita, dapat digolongkan atas tipe: a. Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/ pindah (Form TB. 09).

d. Lalai (Pengobatan setelah default/drop-out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

e. Gagaladalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

f. Kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

2.7 Program Penanggulangan TB Paru3

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1995/1996.


(36)

Sebelum pelaksanaan strategi DOTS angka kesembuhan TB Paru yang dapat dicapai hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan yang dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA Positif yang ditemukan.

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan.

Terdapat 5 (lima) komponen utama strategi DOTS yaitu:8

2.7.1 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana 2.7.2 Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA dalam dahak 2.7.3 Terjaminnya persediaan obat anti Tuberkulosis (OAT)

2.7.4 Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO)

2.7.5 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi program penanggulangan TB

Adapun tujuan dari strategi DOTS adalah: a. Tujuan Umum:

Memutuskan rantai penularan sehingga penyakit Tuberkulosis diharapkan bukan lagi menjadi masalah kesehatan

b. Tujuan khusus:

b.1. Cakupan penemuan kasus BTA (+) dengan proporsi 70% b.2. Kesembuhan minimal 85%


(37)

2.8 Pencegahan

2.8.1 Pencegahan Primordial

Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap penyakit TB Paru dalam suatu wilayah dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko penyakit TB Paru. Sasaran dari pencegahan ini adalah masyarakat yang sehat secara umum. Upaya pencegahan primordial dapat berupa anjuran kesehatan, peraturan-peraturan atau penyuluhan kesehatan dalam upaya menjaga kondisi dan daya tahan tubuh.30

2.8.2 Pencegahan Primer32

Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan penyakit TB Paru sebelum seseorang menderita TB Paru. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan kelompok yang berisiko ini dapat mencegah berkembangnya TB Paru secara dini. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara:

a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara: a.1. Mengonsumsi makanan yang bergizi

a.2. Usahakan setiap hari untuk tidur cukup dan teratur

a.3. Melakukan olah raga di tempat-tempat yang berudara segar a.4. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan imunisasi BCG b. Meningkatkan kesehatan lingkungan

b.1. Melengkapi rumah dengan ventilasi yang cukup b.2. Menghindari over crowded dalam kamar


(38)

2.8.3 Pencegahan Sekunder20

Yaitu upaya mencegah keadaan penyakit TB Paru yang sudah terjadi untuk tidak menjadi lebih berat. Diperlukan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita penyakit TB Paru. Pencegahan ini ditujukan untuk menurunkan mortalitas. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara:

a. Diagnosis TB Paru23

Penetapan diagnosis TB Paru dilakukan dengan berpegangan pada tiga patokan utama. Pertama adalah berdasarkan hasil wawancara dengan pasien tentang keluhan dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap pasien tersebut. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan basil tahan asam (BTA) dan/atau basil tuberkulosis secara pembiakan/kultur. Ketiga, hasil pemeriksaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru pada orang yang diperiksa. Selain ketiga patokan utama ini, kadang-kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah dan/atau pemeriksaan tambahan lainnya.

a.1. Pemeriksaan Dahak

Pemeriksaan dahak dilakukan terhadap suspek yang mengalami batuk dengan dahak produktif lebih dari tiga minggu, hal ini bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan klasifikasi atau tipe penderita serta tingkat penularannya. Pemeriksaan dahak juga dilakukan untuk menilai kemajuan pengobatan.

Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak yang kental dan purulen berwarna hijau kekuning-kuningan dengan volume 3-5 ml tiap pengambilan. Untuk menegakkan diagnosis TB Paru dibutuhkan 3 spesimen dahak yaitu dahak SPS dan sebaiknya dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan untuk dapat


(39)

melihat BTA dalam dahak penderita, maka dibuat sediaan hapusan lalu difiksasi selama 3-5 detik.

a.2 Pewarnaan Sediaan Dengan Metode Ziehl Neelsen

Ada dua metode pewarnaan sediaan yaitu metode Kinyoun Gabbett dan metode Ziehl Neelsen. Sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan kualitas hasil pemeriksaan, metode Kinyoun Gabbett secara program penanggulangan TB Paru sudah ditinggalkan karena metode Ziehl Neelsen mempunyai hasil yang lebih baik dari metode Kinyoun Gabbett. Hapusan dahak yang telah difiksasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan metode Ziehl Neelsen. Bahan yang diperlukan adalah Carbol Fuchsin 0,3%, HCL-Alkohol 3%, dan Methylene Blue 0,3%.

Sediaan yang telah melalui proses pewarnaan kemudian dibaca hasilnya di bawah mikroskop, akan terlihat berupa batang merah terang dengan latar belakang biru. Sesudah pencucian dengan HCL-Alkohol, bakteri BTA mempertahankan warna merahnya dan yang bukan BTA melepas zat warna merah.

a.3. Pemeriksaan Radiologis (Foto Thorax)

Dalam program penanggulangan TB Paru pemeriksaan foto rontgen baru dapat dilaksanakan bila dari tiga kali pemeriksaan dahak dengan hasil BTA negatif dan secara klinis mendukung sebagai TB Paru.


(40)

Alur diagnosis TB Paru pada orang dewasa:18

Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru Pada Orang Dewasa Suspek TB Paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis- Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA + + + + + - Hasil BTA + - - Hasil BTA - - - Antibiotik Non-OAT Ada perbaikan Tidak ada perbaikan Pemeriksaan dahak mikroskopis Foto toraks dan

pertimbangan Hasil BTA + + + + + - + - - Hasil BTA - - -

Foto toraks dan pertimbangan

TB Bukan TB

Suspek TB Paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis- Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA + + + + + - Hasil BTA + - - Hasil BTA - - - Antibiotik Non-OAT Ada perbaikan


(41)

b. Case finding (penemuan kasus)

yaitu menemukan kasus atau penderita TB paru secara aktif yaitu dengan mencari penderita TB paru di masyarakat maupun secara pasif yaitu dengan menunggu pasien TB paru yang datang ke fasilitas kesehatan

c. Pengobatan yang Adekuat Terhadap Penderita c.1. Prinsip Pengobatan

Adapun tujuan dari pengobatan TB Paru adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan menurunkan tingkat penularan.10 Obat yang diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan kebal terhadap obat. Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS=Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang PMO.2

Untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah:18

c.1.1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.


(42)

c.1.2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c.1.3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. c.2. Tahap Intensif

c.2.1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat

c.2.2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c.2.3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan. c.3. Tahap Lanjutan

c.3.1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

c.3.2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

c.4. Panduan Pengobatan21

Panduan OAT di Indonesia berdasarkan rekomendasi WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).

c.4.1. Kategori-1 (2HRZE / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE).


(43)

Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid (H) dan Rifampisin (R) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4 H3R3).

Obat ini diberikan untuk :

a. Penderita baru TBC Paru BTA Positif

b. Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat c. Penderita TBC Ekstra Paru berat.

c.4.2. Kategori–2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk : a. Penderita kambuh ( relaps ) b. Penderita Gagal ( failure )

c. Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default ) c.4.3. Kategori-3 (2HRZ / 4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :


(44)

b. Penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis) pleuritis eksudativa unilateral TB kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar adrenal.

c.4.4. OAT Sisipan (HRZE)

OAT Sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan setiap hari selama 1 bulan

2.8.4 Pencegahan Tersier

a. Mencegah supaya jangan sampai terjadi kelalaian, dan resistensi OAT dengan memberikan penatalaksanaan kasus dan manajemen yang baik melalui konsep DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

b. Melakukan upaya rehabilitasi mental dan psikologis terhadap penderita untuk mengembalikan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri

2.9 Multidrug Resistant (MDR)4

Kasus MDR TB Paru merupakan bentuk spesifik dari TB paru resisten obat yang terjadi jika kuman resisten terhadap setidaknya isoniazid dan rifampisin, dua jenis OAT yang utama. Resistensi OAT terjadi akibat penggunaan OAT yang tidak tepat dosis pada pasien yang masih sensitif terhadap rejimen OAT. Ketidaksesuaian ini bisa ditimbulkan oleh berbagai sebab seperti karena pemberian rejimen yang tidak tepat oleh tenaga kesehatan atau karena kegagalan dalam memastikan pasien menyelesaikan seluruh tahapan pengobatan.


(45)

Resistensi OAT dapat memberikan dampak negatif yang bertingkat dalam upaya penanggulangan penyakit TB Paru. Baik pada tingkat individu, maupun di tingkat sarana pelayanan kesehatan dan masyarakat. Tingkat individu, resistensi OAT dapat memperpanjang masa infeksi, memperburuk kondisi klinis, serta penggunaan OAT tingkat lanjut yang lebih mahal dengan efek samping dan toksisitas yang lebih besar. Sedangkan di tingkat sarana pelayanan kesehatan dan masyarakat, resistensi OAT menyebabkan potensi peningkatan jumlah pasien TB Paru dan risiko terjadinya pandemi resistensi OAT.33

Berdasarkan laporan WHO (2010), pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak 29.423 kasus MDR TB Paru dari 127 negara. Angka ini hanya mewakili 7% dari estimasi MDR WHO pada tahun 2008, di 27 negara dengan beban MDR yang tinggi, hanya 1% dari kasus TB baru dan 3% dari TB kambuh yang menjadi resisten diobati secara adekuat. Hampir 50% kasus MDR dunia merupakan kasus MDR yang terjadi di China dan India.34

Tahun 2008, MDR TB menyebabkan 150.000 kematian. Perkiraan WHO, pada tahun 2009, Indonesia menduduki peringkat ke-delapan dari 27 negara dengan beban MDR tinggi. Diperkirakan terdapat 12.209 pasien MDR-TB di seluruh Indonesia pada tahun 2007 dan akan ada sekitar 6.395 pasien MDR-TB baru setiap tahunnya.33 Kejadian TB-MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia (man-made phenomenon), sebagai akibat pengobatan TB yang tidak adekuat.

2.9.1 Penyebab Pengobatan yang Tidak Adekuat a. Dari penyedia pelayanan kesehatan


(46)

a.2. Petugas yang tidak mengikuti panduan yang tersedia

a.3. Tidak tersedianya panduan pengobatan TB Paru di fasilitas kesehatan a.4. Pelatihan yang buruk

a.5. Tidak dilaksanakannya pemantauan terhadap program pengobatan a.6. Pendanaan program penanggulangan TB yang lemah

b. Dari penyediaan atau kualitas OAT yang tidak adekuat b.1. Kualitas OAT yang buruk

b.2. Persediaan OATyang terputus

b.3. Kondisi tempat penyimpanan yang tidak terjamin b.4. Kombinasi OAT yang salah atau dosis yang kurang c. Dari pasien

c.1. Kepatuhan pasien yang kurang c.2. Kurangnya informasi

c.3. Masalah transportasi

c.4. Masalah efek samping, malabsorpsi, dan ketergantungan terhadap substansi tertentu

2.9.2 Jenis Resistensi OAT

Terdapat dua jenis resistensi OAT, yaitu resistensi primer dan sekunder. Resistensi di antara pasien TB Paru baru yang belum mendapat pengobatan atau telah mendapat OAT kurang dari 1 bulan disebut resistensi primer. Resistensi sekunder terjadi pada pasien yang mempunyai riwayat pengobatan OAT sebelumnya minimal 1 bulan pengobatan.


(47)

2.10 Efek Samping OAT18

Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Semua pasien yang berobat TB sebaiknya diberitahukan tentang efek samping obat anti Tuberkulosis yang diminum. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi salah paham yang menimbulkan putus berobat (drop out).

Efek samping yang dirasakan penderita dapat berupa efek ringan dan efek berat. Efek ringan dari obat anti tuberkulosis ini seperti tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki, dan warna kemerahan pada air seni. Efek samping berat dari OAT seperti gatal dan kemerahan kulit, tuli, gangguan keseimbangan, ikterus tanpa penyebab lain, gangguan penglihatan, purpura dan syok.

2.11 Pengawasan Menelan Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.2

2.11.1 Persyaratan PMO10

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.


(48)

2.11.2 Siapa yang Dapat Menjadi PMO18

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

2.11.3 Tugas PMO21

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.

2.11.4 Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO Untuk Disampaikan Kepada Pasien dan Keluarganya:

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.


(49)

2.12 Hasil Pengobatan18 2.12.1 Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan (AP) dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.

2.12.2 Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

2.12.3 Meninggal

Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 2.12.4 Pindah

Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

2.12.5 Default atau Drop out

Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

2.12.6 Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.13. Kepatuhan Berobat

Ada banyak hal yang berperan dalam pembentukan perilaku patuh berobat pada penderita TB Paru diantaranya adalah faktor sosiodemografi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, suku, pendidikan dan status pekerjaan.


(50)

2.13.1 Umur

Di Amerika Serikat, orang tua lebih cenderung mematuhi anjuran dokter dan orang muda cenderung lebih tidak patuh dalam mengikuti pengobatan.35 Di Indonesia 75% penderita TB Paru berada pada usia 15-50 tahun (produktif).21 Dalam usia ini, aktivitas dan mobilitas lebih tinggi dibandingkan usia <15 atau >50 tahun (tidak produktif) sehingga pada usia produktif cenderung lebih tidak patuh dalam mengikuti pengobatan.

2.13.2 Jenis Kelamin

Kepatuhan berobat pada perempuan dikaitkan dengan sifat perempuan yang lebih sabar dan telaten dibandingkan dengan laki-laki.35 Selain itu, tingkat kesadaran berobat pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.36 Hal ini juga berhubungan dengan faktor pekerjaan, dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan keluarga sehingga kesibukannya menyebabkan kelalaian dalam mengikuti pengobatan.

2.13.3 Suku

Nilai-nilai budaya yang dominan pada diri individu sangat memengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Selanjutnya kepribadian tersebut akan menentukan pola dasar perilaku manusia, termasuk perilaku dalam hal memilih pengobatan.37 Dalam hal ini budaya dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika aspek suku bangsa sangat mendominasi maka pertimbangan untuk menerima atau menolak didasari pada kecocokan suku bangsa yang dianut. Di Amerika serikat, kaum kulit putih lebih cenderung mengikuti anjuran dokter dibandingkan kaum kulit hitam.35


(51)

Dalam beberapa kebudayaan, orientasinya adalah pada masa kini bukan pada masa depan, sehingga pasien mungkin tidak menyelesaikan pengobatan jangka panjang ketika gejala-gejala yang dirasakan sudah hilang.

Konsep sehat dan sakit menurut perspektif kebudayaan juga memengaruhi kepatuhan berobat pasien. Pada orang papua konsep sehat-sakit dikategorikan menjadi dua. Kategori pertama memandang konsep sehat-sakit bersifat supranatural artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan dari suatu kekuatan yang bersifat gaib atau makhluk halus yang berasal dari manusia. Sedangkan kategori kedua adalah rasionalistik yang memandang sehat-sakit sebagai intervensi dari alam, iklim, air, tanah, serta perilaku manusia yang kurang baik, serta kondisi kejiwaan manusia itu sendiri. 35

Pandangan tentang konsep sehat-sakit ini dapat memengaruhi kepatuhan berobat TB Paru, terutama bila gejala awal dipandang dengan konsep rasionalistik berubah menjadi konsep supranatural karena penyakit yang belum menunjukkan adanya perubahan dalam waktu yang singkat sehingga masyarakat menganggap penyakit tersebut tidak dapat diobati secara medis dan menghentikan pengobatannya kemudian berobat ke tempat yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit secara supranatural.

2.13.4 Pendidikan

Tingkat pendidikan yang berbeda mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan mereka, hal ini juga dapat berperan dalam hal pemilihan pengobatan dan kepatuhan dalam mengikuti pengobatan.37 Tingkat pendidikan yang masih rendah serta kurangnya informasi


(52)

kesehatan yang diterima menyebabkan sebagian besar masyarakat kurang menyadari akan pentingnya kesehatan. Keadaan seperti ini membuat masyarakat berpedoman bahwa sehat adalah jika kondisi fisik/biologisnya masih mampu melakukan aktivitas dan gerakan normal seperti biasanya dan dikatakan sakit bila sudah tidak lagi mampu melakukan aktivitas sehari-hari.35

Berdasarkan hasil survei prevalensi Tuberkulosis oleh Departemen Kesehatan dengan desain cross sectional ditemukan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya drop out pada pengobatan TB Paru (RP=2 ; 95% CI 1,3-3,1).25

2.13.5 Status Pekerjaan9

Penyakit TB Paru sebagian besar (75%) menyerang usia produktif secara ekonomi, dan 70 % diantaranya adalah pekerja. Penyakit TB Paru yang terjadi pada pekerja dapat merugikan secara ekonomi rumah tangga. Selain itu, pengetahuan tentang TB Paru yang buruk dapat menimbulkan asumsi-asumsi seperti penyakit TB Paru merupakan penyakit yang menakutkan dan cara terbaik penanggulangannya adalah dengan memecat pekerja yang diketahui menderita TB Paru dapat memengaruhi kepatuhan berobat penderita. Ketika seorang pekerja didiagnosa menderita TB Paru, sehingga ada ketakutan akan dipecat jika ada yang mengetahui tentang penyakitnya di lingkungan kerja, maka ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatannya karena takut kehilangan pekerjaan. Aktifitas dan mobilitas pekerja yang tinggi juga dapat memengaruhi kepatuhan berobat, dimana dengan jadwal kerja yang sibuk dan menyita waktu menyebabkan penderita lupa untuk mengambil obat atau memeriksakan dahaknya kembali.


(53)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan penelusuran pustaka, maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Karakteristik Penderita TB Paru yang mengalami drop out 1. Sosiodemografi

Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pendidikan Status Pekerjaan 2. Keluhan

3. Tipe Penderita 4. Kategori Pengobatan

5. Pengawas Menelan Obat (PMO) 6. Lama rata-rata mengikuti Pengobatan

3.2 Definisi Operasional

3.2.1 Penderita TB Paru adalah penderita TB Paru dengan pemeriksaan BTA positif atau BTA negatif rontgen positif yang ditetapkan oleh dokter sebagai penderita TB Paru sesuai dengan yang tercatat di kartu pengobatan (TB 01)

3.2.2 Drop out adalah penderita TB Paru yang tidak mengambil obat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan atau sebelum masa pengobatannya selesai dan dinyatakan drop out pada kartu pengobatan (TB 01)


(54)

3.3.3 Sosiodemografi

a. Umur adalah umur penderita TB Paru yang mengalami drop out pada waktu pertama kali kunjungan ke Puskesmas sebagaimana tercatat pada kartu status, berdasarkan kriteria Departemen Kesehatan (2007) dikategorikan sebagai berikut:

1. Produktif (15-50 tahun)

2. Tidak produktif (<15 tahun dan >50 tahun)

b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita TB Paru yang mengalami drop out sebagaimana yang tercatat di kartu status terdiri dari:

1. Laki-laki 2. Perempuan

c. Suku adalah keterangan mengenai asal kebudayaan penderita TB Paru yang mengalami drop out sebagaimana yang tercatat dalam kartu status, terdiri dari:

1. Batak Toba 2. Batak Pak-pak 3. Batak Karo

4. Batak Simalungun 5. Minang

6. Jawa

d. Agama adalah kepercayaan yang dianut penderita TB Paru yang mengalami drop out sesuai yang tercatat dalam kartu status, terdiri dari :

1. Kristen Protestan 2. Islam


(55)

e. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai penderita TB Paru yang mengalami drop out sesuai yang tercatat pada kartu status, dikategorikan menjadi:

1. Rendah (≤SMP) 2. Tinggi (>SMP)

f. Status pekerjaan adalah kegiatan atau aktifitas rutin yang dilakukan penderita TB Paru yang mengalami drop out yang menghasilkan uang untuk biaya hidupnya sesuai yang tercatat pada kartu status, dikategorikan menjadi:

1. Bekerja apabila responden bekerja sebagai: petani, pedagang, buruh, PNS, pegawai swasta atau wiraswasta

2. Tidak bekerja apabila responden tidak masuk dalam kriteria bekerja 3.3.4 Keluhan adalah gejala yang dirasakan oleh penderita TB Paru yang mengalami

drop out yang mendorong penderita untuk berobat ke Puskesmas, sesuai yang tercatat di kartu status terdiri dari:

1. Batuk 2. Batuk Darah 3. Batuk + Demam 4. Batuk + Nyeri Dada 5. Batuk + Sesak Napas 6. Batuk Darah + Sesak Napas

3.3.5 Tipe penderita, adalah tipe dari seorang penderita TB Paru yang mengalami drop out sewaktu datang berobat yang ditentukan atas riwayat pengobatan sebelumnya sesuai yang tercatat di kartu pengobatan (TB 01) yang terdiri dari: 1. Kasus Baru

2. Kasus Kambuh


(56)

3.3.6 Kategori Pengobatan, adalah obat yang digunakan untuk mengobati penderita TB Paru yang mengalami drop out sebagaimana tercatat pada kartu pengobatan (TB 01) terdiri dari:

1. Kategori I 2. Kategori II

3.3.7 Pengawas Menelan Obat, adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi penderita menelan OAT setiap hari, mengingatkan penderita untuk mengambil obat dan memeriksakan dahaknya pada waktu yang telah ditentukan sesuai yang tercatat di kartu pengobatan (TB 01) terdiri dari:

1. Petugas Kesehatan 2. Keluarga

3.3.8 Lama Pengobatan adalah lama penderita memakan obat sampai penderita tidak lagi mengambil obat yang dihitung berdasarkan jumlah minggu, sesuai dengan yang tercatat pada kartu pengobatan (TB 01)


(57)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini penelitian deskriptif dengan menggunakan desain case series.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja dinas kesehatan pemerintah Kabupaten Dairi, yang terdiri dari 18 Puskesmas. Dengan pertimbangan bahwa di 18 Puskesmas ini terdapat data yang dibutuhkan tentang penderita TB Paru yang mengalami drop out dan belum pernah dilaksanakan penelitian tentang karakteristik penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 – Juli 2012 4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua data penderita TB Paru yang mengalami drop out di 18 Puskesmas wilayah kerja dinas kesehatan pemerintah Kabupaten Dairi dari tahun 2010-2011 yang berjumlah 104 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah semua data penderita TB Paru yang mengalami drop out di 18 Puskesmas wilayah kerja dinas kesehatan pemerintah


(58)

Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 dengan jumlah 104, dimana besar sampel adalah sama dengan jumlah populasi (total sampling).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari kartu status dan kartu pengobatan (TB 01) dari penderita TB Paru yang mengalami drop out di 18 Puskesmas wilayah kerja dinas kesehatan pemerintah Kabupaten Dairi tahun 2010-2011. Semua kartu status dan kartu pengobatan (TB 01) pasien penderita TB Paru yang mengalami drop out dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan variabel yang akan diteliti.

4.5 Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS (Statistical Product and Service Solution), dianalisa secara deskriptif kemudian dilanjutkan dengan uji t-test, dan uji Anova. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, tabulasi silang, diagram pie, dan diagram bar.


(1)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan

7.1.1. Proporsi tertinggi penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 berdasarkan sosiodemografi pada golongan umur produktif (76,0%), jenis kelamin laki-laki (56,7%), suku Batak Toba (35,5%), agama Kristen Protestan (46,2%), pendidikan rendah (51,0%), bekerja (86,5%)

7.1.2. Proporsi tertinggi berdasarkan keluhan penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 adalah batuk (28,8%)

7.1.3. Proporsi tertinggi berdasarkan tipe penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 adalah kasus baru (85,6%)

7.1.4. Proporsi tertinggi berdasarkan kategori pengobatan TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 adalah kategori I (85,6%) 7.1.5. Proporsi tertinggi berdasarkan Pengawas Menelan Obat (PMO) penderita TB

Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 adalah keluarga (89,4%)

7.1.6. Lama rata-rata mengikuti pengobatan penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi tahun 2010-2011 adalah 8,58 (9 minggu)

7.1.7. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan umur (p=0,296)


(2)

7.1.8. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan jenis kelamin (p=0,650)

7.1.9. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan pendidikan (p=0,271)

7.1.10. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan status pekerjaan (p=0,356)

7.1.11. Ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan keluhan (p=0,000)

7.1.12. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten

Dairi berdasarkan tipe penderita (p=0,141) 7.1.13. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti

pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan kategori pengobatan (p=0,207)

7.1.14. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama rata-rata mengikuti pengobatan pada penderita TB Paru yang mengalami drop out di Kabupaten Dairi berdasarkan Pengawas Menelan Obat (PMO) (p=0,340)


(3)

7.2. Saran

7.2.1. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Dairi semakin aktif memberikan informasi tentang TB Paru kepada masyarakat, sehingga apabila telah merasakan gejala awal segera memeriksakan diri ke Puskesmas agar dapat ditangani dengan baik.

7.2.2. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi melalui Puskesmas agar memberikan izin kepada penderita untuk mengambil obat sekali dalam sebulan atau memberikan surat izin agar dapat mengambil obat di Puskesmas lain untuk menghindari drop out karena mobilitas yang tinggi atau kesibukan pekerjaan.

7.2.3. Kepada Puskesmas agar memberikan penyuluhan kepada penderita dan PMO agar tidak menghentikan pengobatan ketika keluhan yang dirasakan sudah hilang terutama pada 8-9 minggu setelah pengobatan.

7.2.4. Kepada PMO agar selalu mengingatkan penderita untuk tidak berhenti berobat khususnya pada titik kritis (8-9 minggu setelah pengobatan) karena pada saat itu keluhan-keluhan yang dirasakan sudah mulai hilang.

7.2.5. Kepada penderita diharapkan agar teratur berobat sesuai petunjuk dan menyelesaikan pengobatan sampai tuntas.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI. Jakarta

2. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta 3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Stop TB Terobosan Menuju

Akses Universal: Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Jakarta

4. Burhan, Erlina. Desember 2010. Tuberkulosis Multidrug Resistance (TB-MDR). Majalah Kedokteran Indonesia. Volume: 60. Nomor:12

5. WHO Report. 2011. Global Tuberkulosis Control. 2012

6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Laporan situasi terkini perkembangan tuberkulosis di Indonesia Januari-Juni 2011. Jakarta 7. Departemen Kesehatan RI. 2004. Kajian Riset Operasional Intensifikasi

Pemberantasan Penyakit Menular Tahun 1998/1999-2003. Jakarta 8. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya. Erlangga Medical Series (EMS). Semarang 9. Depkes RI. 2004. Analisis TB di tempat kerja. Jakarta

10. WHO. 1996. Pengobatan Tuberkulosis Paru : Pedoman untuk program-program nasional. Hipocrates. Jakarta

11. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. 2011. Kasus TB Paru di Sumut Masih Tinggi 12. Depkes RI. 2010. Situasi Epidemiologi TB Indonesia. Jakarta

13. Sinaga, Budi Junarman. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam Positif Yang Mengalami Drop Out Di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Medan Tahun 2003-2007. Skripsi FKM USU 14. Fauziah, Naili. 2010. Faktor yang Berhubungan Dengan Drop Out

Pengobatan Pada Penderita TB Paru Di Balai Pengobatan TB Paru (BP4) Salatiga. Skripsi FIK Universitas Negeri Semarang


(5)

15. Kartika. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Default Penderita Tuberkulosis Paru Di RSUD Budhi Asih Jakarta Tahun 2008. Skripsi FKM UI

16. Erawatyningsih, Erni, dkk. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.25, No.3, September 2009

17. Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Dairi. 2012. Gambaran Umum Program TB Di Kabupaten Dairi Tahun 2007-2011. Sidikalang

18. Depkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta

19. Algasaff, H, dkk. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Ke-3. Airlangga University Press. Surabaya

20. Aditama, T. 2002. Tuberkulosis Paru: Masalah dan Penanggulangannya. Edisi IV. Cetakan Ke-1. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta 21. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan

Ke-1 Edisi ke-2. Jakarta

22. Bagian Pulmonologi FKUI. 2001. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan Diagnostik dan Terapi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

23. Yunus, Faisal, dkk. 1992. Pulmonologi Klinik. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

24. Aditama, T. Y. 2004. Masalah Tuberkulosis Indonesia. Media Indonesia. Jakarta

25. Depkes RI. 2004. Laporan Akhir: Analisis Lanjut Survei Prevalensi Tuberkulosis 2004 Inverstigasi Faktor Lingkungan dan Faktor Resiko Tuberkulosis. Jakarta

26. Gea. 2005. Karakteristik Penderita TB Paru di Puskesmas Gunungsitoli Periode 2000-2004. Skripsi FKM USU Medan

27. Rusnoto, dkk. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa (Studi Kasus Di BP4 Pati). Jurnal UNDIP. Semarang


(6)

29. Syamsuardi. 2008. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Kejadian TB Paru Di Puskesmas Muaro Patti Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Propinsi Sumatera Barat Tahun 2007. Skripsi FKM USU

30. Bustan, M, N. 1997. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Cetakan Pertama, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

31. Ajis,Ernita dkk. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.25, No.3, September 2009

32. Mukty, A, dkk. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan ke-2. Airlangga University Press. Surabaya

33. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Masalah Kebal Obat Masalah Dunia.

34. WHO. 2010. Multidrug and extensivelydrug resistant TB (M/XDR-TB) : 2010 Global Report on Surveilance and response. diakses 12 Januari 2012

35. Dermanto, Argyo. 2007. Sosiologi Kesehatan. FISIP UNS

36. Azwar, Azrul. 1999. Pengantar Epidemiologi. Edisi Revisi. Penerbit Bina Rupa Aksara. Jakarta

37. Notoarmodjo, Soekidjo. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

38. BPS Dairi. 2012. Dairi Dalam Angka Tahun 2011. Sidikalang

39. Rafii. 2002. Gambaran Penderita Tuberkulosis Paru yang Mengalami Drop Out di Puskesmas Tirto Kabupaten Pekalongan Tahun 2001. Skripsi FKM UNDIP. Semarang

40. Eliska, 2005. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan, dan Faktor Peran Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru dalam Pengobatan Di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2005. Skripsi Mahasiswa FKM USU. Medan

41. Fauzi, Anas. 2005. Gambaran Karakteristik Penderita TB Paru yang Drop Out di BP4 KEBUMEN Tahun 2003. Sripsi Mahasiswa FKM UNDIP. Semarang