masalah pengguna telah dipecahkan? ” kalau jawaban ke pertanyaan ini adalah tidak, proses mulai berakhir lagi dan diulangi hingga pengguna terpuaskan.” p.63
Bagi siswa, peranan guru sangatlah penting. Untuk menjadikan informasi berfaedah besar bagi siswa, maka salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memberikan
instruksi pelayanan kebutuhan informasi. Apapun informasi yang diterima akan mempengaruhi kepribadian siswa, Oleh
sebab itu informasi harus benar-benar dipastikan diperoleh dengan baik. Informasi akan hanya menjadi sekedar informasi dan bahkan hanya menjadi pengetahuan belaka, tidak
ada faedahnya ketika tidak diaplikasikan bagi kehidupan. Seorang tunanetra akan menjadi luar biasa, berbeda dari tunanetra lainnya ketika adanya peranan para
stakeholders yang memiliki kepedulian dan sungguh-sungguh mengajari mereka. Intinya ialah, semua orang tanpa kecuali baik orang awas maupun penyandang cacat
termasuk tunanetra membutuhkan informasi, kedua-duanya punya hak yang sama dalam
mendapatkan informasi karena informasi adalah kebutuhan mutlak setiap individu.
2.1.3 Pencarian Informasi
Information seeking pencarian informasi berawal dari kebutuhan informasi. Dervin dalam Thomas 2004 menyatakan ”Information seeking as sense-making.”
p.65. Dalam hal ini, penulis mencoba menelusur istilah kata ”sense-making” dan menemukan teori berikut.
Sense-Making theory menurut Dervin dalam Wilson 1999, adalah: “…a set of assumptions, a theoretic perspective, a methodological
approach, a set of research methods, and a practice. designed to cope with information perceived as, …a human tool designed for making
sense of a reality assumed.”
Artinya: “seperangkat asumsi, suatu perspektif teoretis, suatu pendekatan
metodologis, seperangkat metoda riset, dan suatu praktek yang dirancang untuk mengatasi dengan informasi yang dirasa sebagai suatu alat
manusia yang dirancang untuk membuat pengertian suatu asumsi yang nyata.”
Selanjutnya, dalam Wilson 1999, dijelaskan teori Dervin sebagai berikut: Bagaimanapun, sense-making diterapkan dalam waktu dan ruang, yang
menggambarkan konteks dimana problem informasi muncul; suatu gap atau jarak, yang
Universitas Sumatera Utara
mengidentifikasi perbedaan antara situasi kontekstual dan situasi yang diharapkan; out come atau hasil, yang mana adalah pendekatan terhadap jarak antara situasi dan hasil.
Dervin menjelaskan elemen-elemen ini dalam bentuk segitiga: situasi, gapjembatan, dan hasil, yang mana dapat direprentasikan seperti berikut ini:
Gambar 3: Dervins sense-making triangle Sumber: Wilson 1999
Bagaimanapun, mungkin akan lebih baik menggunakan penggambaran jembatan secara langsung dan menghadirkan suatu model seperti pada gambar berikut:
Gambar 4: Dervins sense-making model re-drawn Sumber: Wilson 1999
Kekuatan Model Dervin berada sebagian dalam konsekuensi metodologisnya. Dimulai dari hubungan dengan perilaku informasi dapat mengarah kepada pertanyaan
yang dapat mengungkapkan sifat alami dari situasi yang meragukan, perluasan dari informasi yang dilayankan kepada gap jarak dari ketidak-yakinan, kebingungan, atau
apapun, dan sifat alami dari hasil penggunaan informasi, yang diterapkan secara
Universitas Sumatera Utara
konsisten dalam wawancara, seperti tanya jawab yang mengarah ke arah pengertian asli yang mendalam yang dapat mempengaruhi model pelayanan informasi dan
penyediaannya. Sedangkan Thomas 2004 mengutip teori Dervin berikut ini:
”information seeking is initiated when individual encounter gaps in their knowledge sufficient to impede, prevent, or stop their progress through
time and space. These gaps may be perceived as dilemmas, confusions, or uncertainties of the sort that people face as a part of daily life. The
sense or understading that they ultimate contruct from the information they obtain provide the bridges that enable to proceed with their
activities or decision making.” p.65 Artinya:
”Pencarian informasi diinisiasikan ketika individu menghadapi jarak dalam jumlah pengetahuan mereka yang menghalangi, mencegah, atau
menghentikan pergerakan mereka sampai pada waktu dan ruang. Jarak ini mungkin saja dirasakan seperti dilema, kebingungan atau ke-tidak
tahu-an yang dihadapi orang-orang sebagai bagian dari kehidupan sehari- hari. Kata” sense memiliki pengertian bahwa mereka pada akhirnya
dibangun dari informasi yang mereka peroleh yang menjembatani kemampuan mereka untuk diproses dengan aktivitas ataupun
pengambilan keputusan.”
Dalam pandangan Dervin yang ditulis oleh Thomas 2004: “what people require when they find themselves stuck in an information gap is personalized
information based on their interests, their views of the problem, and whatever barries they expect to encounter.”p.65. Artinya: “apa yang orang-orang perlukan ketika
mereka menemukan diri mereka ditikam dalam sebuah pemisah gap informasi adalah menyelaraskan informasi berdasar pada minat mereka, pandangan mereka terhadap
masalah, dan terhadap apapun rintangan-rintangan yang mereka harapkan bisa dihadapi.”
Seterusnya, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa ”sense-making” artinya ”suatu proses pemahaman dan dengan tegas menghubungkan dampak dari
keputusan sekarang dan tindakan atas hasil masa depan dalam rangka memilih suatu tindakan terbaik”.
Berdasarkan teori-teori di atas, penulis juga menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pencarian informasi adalah: upaya seseorang untuk mengisi gap
kekosongan atau jarak antara ke-tidak tahua-an dengan kenyataan yang terjadi, artinya
Universitas Sumatera Utara
upaya untuk memiliki pengetahuan tentang sesuatu fakta yang sebelumnya tidak diketahui.
2.2. Pengertian Tunanetra
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “adalah tidak dapat melihat.” p.971. Menurut literatur berbahasa Inggris, tunanetra diterjemahkan
sebagai visually handicapped atau visual impaired. Istilah tunanetra dan buta sedikit berbeda, penderita tunanetra belum tentu
100 buta, sedangkan buta sudah tentu dikategorikan sebagai tunanetra. Pradopo 1977 menuliskan , “pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa dapat
dijelaskan sebagai berikut: “tuna = rugi, netra= mata atau bisa diartikan sebagai cacat mata.” p.12.
Somantri 2007 menjelaskan bahwa: “pengertian ini tidak hanya mencakup mereka yang buta saja tetapi juga mereka yang mampu
melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak
dengan kondisi penglihatan yang termasuk ‘setengah melihat’, ‘low vision’, atau rabun adalah bagian dari kelompok tunanetra.” p.65.
Sedangkan istilah ‘’buta’’ menurut Pradopo 1977, “pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian sebelah maupun seluruhnya
kedua-duanya, sehingga mata itu tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.” p.12.
Penulis juga membandingkan tanggapan Somantri 2007 tentang pengertian tunanetra. Dia mendefeniskan “tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya
kedua-duanya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas.” p.65.
Dalam Somantri 2007, “anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki
orang awas 2.
Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu. 3.
Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak. 4.
Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.” p.65.
Universitas Sumatera Utara