BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini adalah siswai SMPLB A Karya Murni Medan, mulai dari kelas 7-9 yang seluruhnya adalah siswa tunanetra. Dari hasil wawancara
ditemukan informan sebanyak 12 orang dimana jumlah tersebut merupakan jumlah seluruh siswa SMPLB A Karya Murni Medan. Informan dalam penelitian ini memiliki
banyak keseragaman, selain persamaan kondisi fisik tunanetra, persamaan lingkungan tempat tinggal tinggal di unit asrama yang sama, juga memiliki kebutuhan informasi
dan kebutuhan media informasi yang hampir sama. Penemuan objek informan yang unik tapi seragam ini awalnya ketika penulis
berkunjung ke sekolah tersebut beberapa tahun sebelumnya dalam rangka observasi tugas kuliah, berlanjut ketika peneliti hendak melakukan sebuah penelitian mengenai
perilaku pencarian informasi tunanetra yang disetujui oleh pihak kampus USU dan pihak SLB A Karya Murni Medan.
Wawancara terhadap informan dilakukan oleh penulis pada jam sekolah di ruang belajar dengan memanfaatkan waktu yang kosong dimana guru yang bersangkutan tidak
dapat mengajar pada jadwal seperti biasa. Penulis juga melakukan wawancara pada jam istrahat sehingga tidak mengganggu proses kegiatan belajar mengajar siswa. Selain
melakukan wawancara, penulis juga melakukan observasi dan dokumentasi terhadap siswa ketika melakukan proses pencarian informasi dengan seijin guru yang mengajar
pada jam belajar tesebut. Kegiatan wawancara berlangsung secara alami dan bersahabat serta
menggunakan bahasa informal. Penulis terlebih dahulu melakukan pendekatan humanis dengan para informan sebelum masuk pada kegiatan wawancara yang sebenarnya,
mengingat karakteristik informan yang telah dibahas pada Bab II. Anak tunanetra cenderung sensitif, menutup diri dan curiga dengan orang yang baru dikenal sehingga
penulis terlebih dahulu harus membangun rasa bersahabat dengan para informan. Sebagian dari anak tunanetra bukan hanya menderita tunanetra saja tapi beberapa
menderita tunaganda antara lain sedikit keterbelakangan mental ataupun autis.
Universitas Sumatera Utara
Anak tunanetra menurut pengamatan penulis dalam studi kasus di lapangan tidak banyak bicara seperti anak-anak awas lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi psikologi
mereka yang kurang percaya diri sehingga selama melakukan wawancara, penulis menggunakan kata-kata yang paling sederhana dan lebih aktif memberikan contoh
pernyataan dan pancingan-pancingan jawaban kepada informan untuk mendapatkan jawaban yang relevan dengan pertanyaan penulis. Wawancara dilakukan bukan hanya
satu kali tapi berulang, demi mendapatkan informasi yang akurat dari informan dan relevan dengan pedoman wawancara.
4.2 Kategori