Perilaku Pencarian Informasi Siswa Tunanetra SLB A Karya Murni Medan

(1)

PERILAKU PENCARIAN INFORMASI SISWA TUNANETRA

SLB A KARYA MURNI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu persyaratan

Dalam menyelesaikan studi untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Dalam bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Oleh:

Surya Dewi Martalena Zebua NIM 060709030

 

DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Zebua, Surya Dewi M. 2013. Perilaku Pencarian Informasi Siswa Tunanetra SLB A Karya Murni Medan. Medan : Program Studi Ilmu Perpustakaan Dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara detail perilaku pencarian informasi oleh siswa tunanetra SLB A Karya Murni Medan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini berusaha mengungkapkan dan menjelaskan secara deskriptif kebutuhan informasi tunanetra, perilaku siswa tunanetra dalam mencari, menemukan hingga memanfaatkan informasi dalam proses pemenuhan kebutuhan informasinya. Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposive.

Informan berjumlah 12 orang merupakan seluruh siswa SMPLB A di sekolah tersebut sehingga dirasa tepat melakukan penentuan informan dengan teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan populasi dalam penelitian ini mengalami kejenuhan data sehingga dirasa tidak memerlukan tambahan informan. Peneliti mendapatkan data langsung dari informan melalui wawancara mendalam (depth interview), observasi dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: tunanetra memiliki minat terhadap informasi, terutama informasi musik dan sejarah, memiliki perilaku yang unik dalam melakukan pencarian informasi serta menggunakan media informasi yang berbeda dengan media informasi yang biasa digunakan oleh orang awas (normal), memiliki minat yang tinggi dalam menggunakan media informasi komputer (internet) dan tunanetra juga mengalami kendala-kendala yang khas dalam memenuhi kebutuhan informasinya.

Penelitian ini bermanfaat sebagai pertimbangan bagi instansi perpustakaan, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan yang bernaung dibawah suatu lembaga, seperti perpustakaan universitas dan perpustakaan sekolah, untuk menyediakan sarana dan prasarana serta media informasi bagi pengguna tunanetra.

Kata kunci: Perilaku Pencarian, Informasi, Tunanetra  


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang maha baik, yang menyertai penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Atas rahmatnyalah skripsi yang berjudul “Perilaku Pencarian Informasi Tunanetra SLB A Karya Murni Medan” ini bisa terselesaikan.

Skripsi ini diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dalam bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ayahanda Alm.Fanolo Zebua dan Ibunda Nuruasa Harefa, Orang tua terbaik di seluruh dunia yang sepenuh hati mendukung,mendoakan dan mencurahkan seluruh kasih sayang yang dimiliki untuk penulis. Saya bangga menjadi anak Ayah dan Ibu. Maaf Ayah sudah menunggu terlalu lama hari kelulusanku. Skripsi ini saya persembahkan untuk Ayah dan Ibu.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada setiap pihak yang telah mendukung hingga selesainya penulisan skripsi ini:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Irawati A. Kahar , M.Pd selaku Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, juga sebagai dosen pembimbing II.

3. Ibu Himma Dewiyana, S.T, M.Hum sebagai pembimbing I, Ibu dosen terbaik yang penulis kagumi dan hormati, terimakasih yang sebesar-besarnya atas waktu, dukungan, petunjuk dan nasihatnya kepada penulis.

4. Bapak Dr. Ridwan Siregar M.Lib sebagai dosen penguji I dan Ibu Laila Hadri Nasution sebagai dosen penguji II yang banyak memberi masukan dan saran kepada penulis, demi penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Pegawai program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.


(4)

6. Adik-adik terkasih, Jhon Meitan Jaya, Dian Citra Natalia dan Dasmawarni Mulyana, terimakasih untuk dukungan dan kasih sayang kalian yang tiada henti-hentinya. Kalian adik-adikku yang hebat. Kakak sayang kalian.

7. Kekasih dan sahabat terbaik penulis, Fanemazaro Ndruru, terimakasih untuk doa, cinta dan dukungan yang tiada hentinya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Bapak Oc. Bangun, sahabat-sahabat terbaik penulis, Elsa, Tini, Nirmala, Arif, Kak Resti, Bang Winner, Riani, Markus, Jonathan, Octime, Putri, yang tidak pernah bosan mengingatkan dan mendukung penulis, kalian tidak hanya mengasihiku tapi benar-benar menunjukkan dukungan kalian. Teman-teman Ex GMPN, Org.Gema Nias dan New Hope Community yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih untuk doa, pengalaman yang indah dan berharga dengan kalian.

11. Kepala Sekolah, Guru dan Pegawai SLB A Karya Murni Medan yang telah berbaik hati mengijinkan penulis untuk meneliti, terimakasih untuk sambutan yang baik, juga kepada adik-adik siswa tunanetra SLB A Karya Murni Medan, yang membuat penulis kagum.

Akhir kata, penulis juga menyadari masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyajian maupun dalam penulisan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Terimakasih.

Medan, Oktober 2013 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

KATA PENGANTAR ... ... ii

DAFTAR ISI ... ... iv

DAFTAR GAMBAR ... ... vi

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Informasi ... 9

2.1.1 Sumber Informasi ... 11

2.1.2 Kebutuhan Informasi ... 14

2.1.3 Pencarian Informasi ... 18

2.2 Pengertian Tunanetra ... 20

2.2.1 Klasifikasi Ketunanetraan ... 22

2.2.2.1Kebutuhan Informasi Penyandang Cacat ... 24

2.3 Defenisi Perilaku ... 25

2.3.1 Perilaku Pencarian Informasi ... 27

2.3.2 Model Perilaku Pencarian Informasi ... 29

2.3.2.1 Model Kuhthau ... 29

2.3.2.2 Model Wilson ... 31

2.3.2.3 Model Ellis ... 33

2.3.2.4 Teori Limberg ... 34

2.4 Media Layanan Jasa Pencarian Informasi Untuk Tunanetra 34 2.4.1 Koleksi Tercetak Bertuliskan Huruf Braille ... 34

2.4.2 JAWS Screen Reader ... 35

2.4.3 Victor Reader Stratus ... 36

2.4.4 VCR (Video Cassette Recorder) ... 37


(6)

BAB III : METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 40

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 40

3.4 Mengidentifikasi Informan ... 41

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 42

3.6 Analisis Data ... 43

3.7 Instrumen Penelitian ... 45

3.8 Keabsahan Data (Validity) ... 45

3.9 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Informan ... 51

4.2 Kategori... ... 52

4.2.1 Jenis Informasi ... 53

4.2.2 Lingkungan Penyedia Informasi ... 55

4.2.3 Media dan Sumber Informasi ... 56

4.2.4 Cara Mencari Informasi ... 59

4.2.5 Hambatan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Informasi .. 62

4.2.6 Perilaku Penerimaan Informasi ... 64

4.3 Rangkuman Hasil Penelitian ... 67

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... ... 68

5.2 Saran... ... 70

DAFTAR PUSTAKA ………. ... 71

LAMPIRAN I PEDOMAN WAWANCARA………. ... 76

LAMPIRAN II KERANGKA ANALISIS OBSERVASI ... 77


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Siklus Informasi……….. ... 11

Gambar 2 : Model for Diagnosing information need……… ... 16

Gambar 3 : Dervin's 'sense-making' triangle ……… ... 18

Gambar 4 : Dervin's 'sense-making' model re-drawn ……… ... 19

Gambar 5 : Model perilaku pencarian informasi Wilson 1981………. 28

Gambar 6 : Model Pencarian Informasi Kuhlthau ... 29

Gambar 7 : Model Perilaku Pencarian Informasi dari Wilson .. ... 32

Gambar 8 : Model Wilson 1996………. ... 32

Gambar 9 : Model Ellis... ... 33

Gambar 10 : Braille Alphabet ... 34

Gambar 11 : Victor Reader Stratus ... 37

Gambar 12 : Video Cassette Recorder ... 38

Gambar 13 : Tape Recorder . ... 39

Gambar 14 : Struktur Organisasi SLBA Karya Murni Medan ... 44

Gambar 15 : Peta Indikator Kategori Perilaku Pencarian Informasi ... 62


(8)

ABSTRAK

Zebua, Surya Dewi M. 2013. Perilaku Pencarian Informasi Siswa Tunanetra SLB A Karya Murni Medan. Medan : Program Studi Ilmu Perpustakaan Dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara detail perilaku pencarian informasi oleh siswa tunanetra SLB A Karya Murni Medan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini berusaha mengungkapkan dan menjelaskan secara deskriptif kebutuhan informasi tunanetra, perilaku siswa tunanetra dalam mencari, menemukan hingga memanfaatkan informasi dalam proses pemenuhan kebutuhan informasinya. Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposive.

Informan berjumlah 12 orang merupakan seluruh siswa SMPLB A di sekolah tersebut sehingga dirasa tepat melakukan penentuan informan dengan teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan populasi dalam penelitian ini mengalami kejenuhan data sehingga dirasa tidak memerlukan tambahan informan. Peneliti mendapatkan data langsung dari informan melalui wawancara mendalam (depth interview), observasi dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: tunanetra memiliki minat terhadap informasi, terutama informasi musik dan sejarah, memiliki perilaku yang unik dalam melakukan pencarian informasi serta menggunakan media informasi yang berbeda dengan media informasi yang biasa digunakan oleh orang awas (normal), memiliki minat yang tinggi dalam menggunakan media informasi komputer (internet) dan tunanetra juga mengalami kendala-kendala yang khas dalam memenuhi kebutuhan informasinya.

Penelitian ini bermanfaat sebagai pertimbangan bagi instansi perpustakaan, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan yang bernaung dibawah suatu lembaga, seperti perpustakaan universitas dan perpustakaan sekolah, untuk menyediakan sarana dan prasarana serta media informasi bagi pengguna tunanetra.

Kata kunci: Perilaku Pencarian, Informasi, Tunanetra  


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara, salah satunya adalah pendidikan yang layak sampai waktu wajib yang telah ditentukan oleh pemerintah. Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asal-usul, status sosial ekonomi, maupun keadaan fisik seseorang, termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945 pasal 31.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak anak untuk memperoleh pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak yang berkebutuhan khusus. Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan tentang anak berkebutuhan khusus dimaksud adalah khususnya anak tunanetra.

Pradopo (1977) mencatat bahwa pandangan masyarakat terhadap peranan pendidikan untuk anak tunanetra mulai berubah sejak pertengahan abad ke 18. Pada abad-abad yang sebelumnya masyarakat memandang bahwa anak tunanetra adalah manusia tidak berguna. Bayi-bayi yang baru lahir apabila ternyata ia buta tidak akan diberi hak hidup. Ia akan segera dibunuh. Mereka yang ternyata menderita buta setelah besar, akan diasingkan atau akan diperalat sebagai kedok untuk mencari untung. Pandangan tersebut mulai berubah sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Pada waktu tersebut pandangan masyarakat terhadap nasib anak tunanetra sudah lebih lunak. Bayi yang dilahirkan tunanetra tidak lagi dibunuh, mereka diberi hak hidup. (p.27).

Berdasarkan kebutuhan akan pendidikan, salah satu hal yang paling penting dalam pendidikan adalah membaca karena dengan membaca semua informasi yang tertuang dalam bentuk tulisan bisa diketahui. Penyandang cacat tunanetra tentu saja mempunyai kesulitan dalam hal membaca karena mengalami gangguan indera penglihatan. Informasi yang diperoleh pun tentunya sangat terbatas dibanding orang awas.

Penyandang cacat tunanetra biasanya menerima pendidikan formal di sekolah luar biasa. Pendidikan luar biasa adalah pendidikan kepada orang-orang yang dalam


(10)

keadaan kekurangan maupun kelebihan pada pertumbuhan dan perkembangan dari segi fisik, intelegensi, sosial dan emosinya. SLB adalah sekolah yang dirancang khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus dari satu jenis kelainan.

Menurut Sunanto (2003), di Indonesia dikenal ada SLB A khusus menangani pendidikan anak tunanetra, SLB B khusus menangani pendidikan anak tunarungu (anak penderita gangguan indera pendengaran), SLB C khusus menangani pendidikan anak tunagrahita (penderita keterbelakangan mental) SLB D khusus menangani pendididkan anak penderita tunadaksa (cacat tubuh), SLB E khusus menangani pendididkan anak penderita tunalaras (individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya dan sebagainya), SLB F khusus menangani pendidikan bagi anak penderita autis (suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, yang mengakibatkan anak terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas dan minat yang obsesif) SLB G khusus menangani pendidikan anak tunaganda (anak tunaganda adalah anak yang memiliki dua ketunaan atau lebih yang masing-masing perpaduan ketunaan tersebut memiliki ciri khas dalam belajar sehingga diperlukan pelayanan pendidikan khusus dan alat bantu belajar yang khusus). SLB H adalah sekolah yang khusus menangani anak penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Karakteristik untuk kelainan ini adalah hiperaktif, tidak bisa istirahat, tidak kenal lelah, perilaku tidak sabaran dan impulsif, tetapi masih punya kemampuan untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab, serta sering menghabiskan waktu untuk mengerjakan sesuatu yang menarik perhatian mereka, kelas pendidikan untuk anak-anak gifted (anak yang cerdas istimewa), kelas pendidikan untuk anak-anak talented (anak-anak yang memiliki bakat istimewa), dan kelas pendidikan untuk anak-anak indigo (anak yang mempunyai kemampuan khusus). Setiap unit SLB biasanya memiliki program jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP hingga lanjutan.

Wujud kepedulian pemerintah terhadap tunanetra patut dipuji dengan didirikannya lembaga pendidikan khusus bagi tunanetra. Istilah tunanetra yang mulai popular dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan


(11)

penderita yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan.

Berbicara tentang kebutuhan informasi tunanetra tentunya memiliki cakupan yang cukup luas. Sebagaimana diketahui informasi sangatlah penting bagi masyarakat pada era teknologi seperti sekarang ini, termasuk kelompok masyarakat tunanetra. Kebutuhan informasi ini bahkan sangat beragam jenis, tingkatan maupun bentuknya. Masa kejayaan teknologi seperti saat ini menjadikan informasi semakin hari semakin cepat berkembang dan silih berganti sehingga masyarakat bisa ketinggalan informasi dalam hitungan menit atau bahkan detik. Penyandang cacat tunanatra pastinya mengalami beberapa keterbatasan dalam mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya.

Banyak hal yang menjadi penyebab keterbatasan sumber informasi selain dari faktor-faktor yang berasal dari dalam diri tunanetra. Salah satunya adalah minimnya fasilitas yang tersedia bagi penyandang tunanetra, termasuk terbatasnya kemasan informasi yang sesuai dengan kebutuhan tunanetra. Begitu juga dengan penyedia layanan perpustakaan. Sangat jarang ditemukan perpustakaan yang menyediakan fasilitas, koleksi dan layanan yang memungkinkan pengguna tunanetra mendapatkan informasi dengan mudah. Perhatian terhadap pengelolaan perpustakaan serta penyediaan media informasi yang sesuai dengan masyarakat tunanetra sangatlah penting karena tunanetra mempunyai hak mendapatkan informasi seperti halnya orang awas sesuai dengan hukum yang telah diatur dalam undang-undang.

Suatu peristiwa bersejarah yang berpengaruh bagi dunia, khususnya dalam dunia tunanetra, yaitu kisah hidup seorang tunanetra sekaligus tunarungu, Helen Adams Keller. Biografi Helen sebagaimana dituliskan dalam situs resmi organisasi kemanusiaan American Foundation for the Blind (2013) yang juga merupakan salah satu organisasi besar ciptaannya, adalah sebagai berikut: Helen Keller adalah seorang penulis, aktivis politik dan dosen Amerika. Ia menjadi pemenang dari Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, bahkan kisah hidupnya meraih 2 piala Oscar. Ia menulis artikel serta buku-buku terkenal, diantaranya The World I Live In dan The Story of My Life (diketik dengan huruf biasa dan Braille), yang menjadi literatur klasik di Amerika


(12)

dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa. Ia berkeliling ke 39 negara untuk berbicara dengan para presiden, mengumpulkan dana untuk orang-orang buta dan tuli. Ia mendirikan American Foundation for the Blind dan American Foundation for the Overseas Blind. Orang tuanya mempercayai Anne Sullivan menjadi guru pribadi dan mentor Hellen. Helen diajar membaca lewat huruf Braille sampai mengerti apa maksudnya. Dengan tekun, Annie mengajar Helen untuk berbicara lewat gerakan mulut. Ia belajar bahasa Perancis, Jerman, Yunani dan Latin lewat Braille. Pada usia 20 tahun, ia kuliah di Radcliffe College, cabang Universitas Harvard khusus wanita. Annie menemani Hellen untuk membacakan buku pelajaran, huruf demi huruf lewat tangan Helen dalam huruf Braille. Hanya 4 tahun, Helen lulus dengan predikat magna cum laude. Kisah diatas menjelaskan beberapa hal, yakni bahwa seorang tunanetra pun bisa menjadi manusia yang produktif dan berdampak hidupnya bagi orang banyak, selain itu hal ini juga menyiratkan bahwa tunanetra pun membutuhkan informasi ketika ia memiliki keinginan untuk mengetahui sesuatu. Informasi menjadi suatu kebutuhan ketika rasa ingin tahu ada dalam diri seorang manusia.

Tingkah laku manusia, dalam hal ini termasuk perilaku pencarian dan penggunaan informasi, terdiri dari berbagai bentuk interaksi dengan sistem informasi, baik interaksi dengan komputer maupun keputusan memilih buku yang relevan diantara sederetan buku di rak perpustakaan.

Sumber-sumber informasi yang dimiliki perpustakaan terus bertambah sejalan dengan berkembangnya informasi. Oleh karena itu sudah menjadi tugas perpustakaan menjamin setiap koleksi atau informasi yang dimiliki untuk mudah digunakan secara optimal oleh pemustakanya dan menyesuaikan dengan kondisi pemustakanya. Sehingga proses temu kembali di perpustakaan tersebut dapat tercipta. Termasuk di dalamnya adalah pemustaka yang berkebutuhan khusus yakni tunanetra.

Seperti siswa pada umumnya, siswa tunanetra juga memiliki kebutuhan informasi. Baik informasi yang berhubungan dengan pelajaran maupun informasi yang di luar pelajaran. Perbedaannya terdapat pada kemampuan dalam pencarian informasi saja, karena kurang berfungsinya indera penglihatan mereka.

Sekolah Luar Biasa (SLB) A Karya Murni Medan adalah salah satu SLB khusus anak-anak penyandang tunanetra yang telah memulai menerapkan beberapa


(13)

tehnik baru dalam usaha pemenuhan kebutuhan informasi siswanya. Sekalipun sumber utama informasi tertulis yang mereka dapatkan dan tersedia lebih banyak adalah buku-buku umum dan buku-buku penunjang kurikulum pembelajaran bertuliskan huruf Braille yang ada di perpustakaan sekolah, namun ada juga beberapa tehnik lain yang diterapkan. Tehnik penunjang pemenuhan kebutuhan informasi tersebut antara lain; koleksi rekaman audio dalam pita-pita magnetik yang diputar dengan menggunakan tape, koleksi compact disc (CD) yang diputar dengan menggunakan disc player, penggunaan victor reader stratus dan plex talk (pemutar/ perekam buku bicara berformat daisy) serta penggunaan komputer dan jaringan internet yang telah terinstal program Job Acces With Speech yang selanjutnya disingkat dengan JAWS dalam kelas belajarnya.

SLB ini terletak di Jl. Karya Wisata No.6, Medan Johor Medan dan berada dibawah yayasan perguruan Katolik. Yayasan perguruan Katolik ini, membina Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di SLB A Karya Murni Medan, siswa mulai diperkenalkan dengan komputer sejak duduk di kelas 4 SD, sedangkan pemanfaatan informasi internet dimulai di kelas 8 hingga kelas 9 SMP dengan jumlah 2x pertemuan minggu. Komputer yang dilengkapi dengan jaringan internet untuk digunakan saat kegiatan pembelajaran ada 10 terminal.

Saat ini seluruh siswa yang duduk di bangku SMP SLB A Karya Murni Medan ada 12 orang mulai dari kelas 7-9. Jumlah siswa ini tergolong sedikit dibandingkan dengan siswa disekolah umum. Perbandingan jumlah siswa per kelas di sekolah umum dengan siswa tunanetra adalah 4:1. Jadi menangani satu orang siswa tunanetra sama sulitnya dengan menangani 4 orang siswa yang belajar disekolah umum.

Observasi awal peneliti menunjukkan ketika siswa tunanetra melakukan pencarian informasi di perpustakaan, mereka melakukan pencarian langsung (browsing)

ke rak buku, sebelumnya mereka sudah hafal setiap subjek buku yang digabungkan dalam satu rak, dimana masing-masing rak berisi buku dari subjek yang berbeda. Mereka berjalan ke rak dan menarik keluar satu persatu buku, kemudian meraba sampulnya untuk membaca judul buku yang di tarik keluar. Jika sesuai dengan yang mereka inginkan, buku itu langsung dikeluarkan, jika tidak, pencarian berulang kembali. Kadang-kadang siswa kesulitan menemukan buku yang mereka inginkan, mungkin


(14)

karena buku tersebut telah berpindah tempat ke rak lain atau sedang dipinjam oleh pengguna yang lain, maka dalam hal ini lah peran pegawai perpustakaan dibutuhkan. Pegawai yang bertugas mengelola perpustakaan ataupun guru yang berada di ruang perpustakaan akan menolong siswa mencari buku yang dibutuhkan. Setelah buku ditemukan, maka siswa boleh menggunakan buku tersebut di ruang perpustakaan atau di ruang kelas, tetapi tidak boleh dibawa pulang ke rumah atau ke unit asrama untuk menghindari kehilangan.

Pada observasi awal, peneliti juga berkesempatan melihat siswa tunanetra yang sedang menggunakan komputer, siswa duduk didepan komputer dan menggunakan

headphone sebagai alat bantu dengar yang menerjemahkan teks ke dalam audio. Ketika menelusur informasi, guru atau instruktur komputer yang berada di ruangan selalu siap menolong siswa yang mengalami kesulitan ketika menelusur informasi. Jika orang awas kebanyakan menggunakan mouse pada komputer untuk memindahkan kursor pada layar atau menginstruksikan perintah pada layar komputer, tunanetra lebih banyak menggunakan tombol keyboard untuk menginstruksikan perintah dan menghafal setiap fungsi tombol. Cara mereka menelusur halaman internet seperti yang biasa dilakukan oleh orang awas, mengetik alamat web atau web browser kemudian melakukan pencarian dan memilih informasi yang relevan.

Siswa jarang ke perpustakaan, dua atau tiga orang saja yang memilih ke perpustakaan di jam istrahat. Siswa biasanya ke perpustakaan pada saat jam belajar kosong dikarenakan guru yang mengajar pada jam pelajaran tersebut berhalangan untuk hadir. Menggunakan komputer untuk menelusuri informasi internet pun jarang, siswa menggunakan komputer yang sudah terinstal dengan JAWS dan internet hanya pada jam belajar komputer. Keterbatasan siswa dalam mencari informasi memerlukan bantuan dari orang lain (misalnya guru, pustakawan atau pegawai perpustakaan), sehingga efektivitas temu kembali informasi bagi siswa tunanetra dapat tercipta.

Selain itu, pengaruh pengetahuan/pendidikan dasar teknologi sebelumnya terhadap keberhasilan pencarian informasi tidak kalah pentingnya dalam proses temu kembali informasi. Bekal pengetahuan teknologi informasi yang dimiliki siswa tunanetra juga akan berpengaruh dalam pencarian informasi yang relevan, khususnya interaksi dengan sistem informasi yang ada di perpustakaan. Bekal pengetahuan


(15)

teknologi tersebut, akan mengantarkan siswa tunanetra dalam pencarian informasi secara mandiri.

Berdasarkan uraian di atas, untuk memahami perilaku pencarian informasi siswa tunanetra, tidak cukup dengan menganalisis dari satu aspek saja, namun harus bersifat menyeluruh dengan dimensi yang dihadapi. Dengan cara ini, maka informasi tepat dan lengkap mengenai perilaku pencarian informasi siswa tuna netra bisa diperoleh dan dirumuskan dengan mudah.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Perilaku Pencarian Informasi Siswa Tunanetra SLBA Karya Murni Medan”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana perilaku pencarian informasi oleh siswa tunanetra SLB Karya Murni Medan dalam usaha memenuhi kebutuhan informasinya.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku pencarian informasi oleh siswa tunanetra SLB Karya Murni Medan ketika mencari informasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain:

1. Memberikan informasi tambahan bagi pihak perpustakaan SLBA Karya Murni Medan dalam hal penyediaan pelayanan yang lebih baik terhadap Tunanetra.

2. Masukan bagi pihak SLB A Karya Murni Medan dalam melakukan pengembangan pembelajaran pemanfaatan internet bagi siswa

3. Sebagai bahan rujukan untuk penelitian dengan topik yang sama tetapi dengan metode dan aspek penelitian yang berbeda.

4. Menambah wawasan dan pemahaman penulis tentang pelayanan informasi yang lebih baik bagi pengguna tunanetra untuk diaplikasikan kelak ketika mengabdi di tengah-tengah masyarakat.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Informasi

Ada beragam teori informasi yang diciptakan oleh para ahli yang berusaha menjelaskan tentang makna kata “informasi” dalam kata-kata yang bisa dipahami oleh orang banyak dalam pengertian yang hampir seragam.

Menurut Yusup (2009) “Informasi terdiri dari informasi tidak terekam dan informasi terekam...Informasi terekam masih dibedakan antara yang tidak ilmiah dan yang ilmiah.” (p.14).

Pengertian informasi atau definisi informasi menurut Ewawan (2006), adalah “data yang diolah dan dibentuk menjadi lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya. Informasi merupakan pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan keterangan atau pengetahuan. Maka dengan demikian sumber informasi adalah data. Data adalah kesatuan yang menggambarkan suatu kejadian atau kesatuan nyata.”

Pengertian informasi menurut Jogyanto (1999), “Informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian–kejadian yang nyata yang digunakan untuk pengambilan keputusan.” (p.692).

Faibisof dan Ely dalam Yusup (2009), membatasi informasi dengan

“information is a symbol or a set of symbol which has the potential for meaning

(informasi adalah lambang atau seperangkat lambang yang mempunyai arti).” (p.347). Kadir (2002), mendefinisikan informasi sebagai “data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut.” (p.31).

Menurut Bodnar (2000), “Informasi adalah data yang diolah sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan yang tepat.” (p.1).

Pengertian informasi menurut Sidharta (1995), “Informasi adalah data yang disajikan dalam bentuk yang berguna untuk membuat keputusan.” (p.28).


(17)

Sedangkan Meliono (1990), mendefenisikan informasi sebagai berikut: “Informasi adalah data yang telah diproses untuk suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan.” (p.331).

Davis (1991) memberi pengertian informasi sebagai berikut: “Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang.” (p.28).

Dunia kepustakaan dan perpustakaan tidak ketinggalan menggambarkan makna informasi, sebagaimana pendapat Estabrook yang dikutip oleh Yusup (2009) sebagai: “informasi adalah suatu rekaman fenomena yang diamati, atau bisa juga berupa putusan-putusan yang dibuat seseorang.” (p.11).

Sedangkan fenomena menurut Bungin (2001) adalah, “gejala dalam situasi alamiah yang kompleks, yang hanya mungkin menjadi bagian dari alam kejadian alam kesadaran manusia-sekomprehensif apa pun-ketika telah direduksi kedalam suatu parameter yang terdefenisikan sebagai fakta, dan yang demikian terwujud sebagai suatu realitas.” (p.20).

Sulit membatasi defenisi informasi secara umum yang berlaku menyeluruh karena informasi itu sendiri mempunyai aspek yang sangat kontekstual yang sangat bergantung kepada bidang yang menggarapnya. Para ahli yang lain pun mengusulkan beberapa defenisi, namun tak satu pun yang mengandung unsur-unsur umum, karena itu defenisi yang ada itu kurang komprehensif. Seperti yang katakan oleh Yusup (2009), “bahwa sulit membatasi konsep informasi secara tegas dan menyeluruh, dan para ahli pun merasa enggan untuk membatasinya dengan tegas.” (p.347).

Sekalipun para ahli informasi telah banyak menuliskan defenisi informasi, penulis sendiri mencoba menyimpulkan pengertian informasi secara umum berdasarkan perbandingan defenisi-defenisi informasi yang dirumuskan oleh para ahli diatas, bahwa: informasi adalah peristiwa, pengetahuan, rekaman data, gambar, grafik, dan dokumen yang dikomunikasikan baik secara lisan maupun dalam bentuk rekaman.

2.1.1 Sumber Informasi

Informasi ada dimana-mana, di sekolah, tempat pelatihan, rumah, pasar, kantor, lembaga-lembaga suatu organisasi komersial, kebun, tempat bisnis atau usaha, buku-buku, majalah, surat kabar, perpustakaan, dan tempat-tempat lainnya. Yusup (2009)


(18)

menyimpulkan, bahwa intinya “dimana suatu benda atau peristiwa berada, disana bisa tercipta informasi.” (p.16).

Sumber dari informasi adalah data. Data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan nyata. Kejadian-kejadian adalah sesuatu yang terjadi pada saat tertentu. Data merupakan bentuk yang masih mentah, belum dapat bercerita banyak sehingga perlu diolah lebih lanjut. Data diolah melalui suatu metode untuk menghasilkan informasi. Data dapat berbentuk simbol-simbol semacam huruf, angka, bentuk suara, sinyak, gambar, dsb.

Menurut Sutabri (2005), ”Data yang diolah melalui suatu model menjadi informasi, penerima kemudian menerima informasi tersebut, membuat suatu keputusan dan melakukan tindakan, yang berarti menghasilkan suatu tindakan yang lain yang akan membuat sejumlah data kembali. Data tersebut akan ditangkap sebagai input, diproses kembali lewat suatu model dan seterusnya membentuk suatu siklus.”(p.21).

Siklus informasi ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1: Siklus Informasi Sumber: Sutabri (2005)

Menurut Thohiron (2002),Informasi dapat dibedakan menjadi sumber informasi primer dan sumber informasi sekunder:

Proses (Model)

Data (ditangkap)

Input (Data)

Hasil tindakan

Output

(Information)

Penerima

Dasar data

Keputusan tindakan


(19)

Sumber informasi primer:

Sumber informasi primer adalah sumber yang melaporkan adanya informasi tersebut misalnya suatu penemuan baru. Contoh sumber informasi primer ini adalah :

1. paten dan standar

2. makalah pertemuan dan laporan 3. tesis dan disertasi

4. karangan asli atau artikel ilmiah

5. majalah atau jurnal ilmiah dan surat kabar

Sumber informasi sekunder:

Sumber informasi sekunder merupakan daftar atau pencatatan dari sumber informasi primer. Contoh :

1. daftar buku 2. katalog 3. bibliografi

4. majalah indeks dan majalah abstrak

Menurut Yusup (2009), berdasarkan besar dan banyaknya informasi yang ada di alam ini, hanya sebagian kecil saja yang berhasil dirasakan, didengarkan dilihat, dan direkam oleh manusia. Informasi yang hanya dirasakan, didengar, dan dilihat itu susah diolah karna ia akan menjurus kepada informasi lisan yang kemudian lebih banyak dikembangkan oleh studi komunikasi. Ada juga informasi yang sempat direkam, dan informasi yang sempat direkam dalam berbagai alat perekam inilah yang akhirnya berkembang, dicari dan dimanfaatkan oleh manusia. Namun tidak ada seorang pun yang mampu mengikuti seluruh perkembangan dan pertumbuhan informasi secara tuntas, apalagi jika informasi dimaksud tidak ada yang mengelolanya secara khusus. Atas dasar alasan-alasan inilah studi ilmu informasi dan perpustakaan lahir. (p.13).

Kualitas informasi menurut Oetomo (2002), ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :

 Keakuratan dan teruji kebenarannya.

o Informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak menyesatkan.


(20)

o Informasi disajikan dengan lengkap tanpa pengurangan, penambahan, dan

pengubahan.

 Tepat waktu

oInfomasi harus disajikan secara tepat waktu, karena menjadi dasar dalam

pengambilan keputusan.

 Relevansi

o Informasi akan memiliki nilai manfaat yang tinggi, jika Informasi tersebut

dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.

 Mudah dan murah

oApabila cara dan biaya untuk memperoleh informasi sulit dan mahal, maka

orang menjadi tidak berminat untuk memperolehnya, atau akan mencari alternatif substitusinya. (p.16-17).

Penulis menambahkan bahwa bukan hanya pada benda atau tempat tercipta informasi tetapi juga pada setiap individu. Manusia mampu menciptakan, mengelola, mengembangkan, menyebarkan, mengaplikasikannya bahkan menjadikan sesuatu menjadi informasi yang spektakuler melalui media komunikasi untuk melayani kebutuhan informasi masyarakat luas maupun khusus, seperti peneliti atau ilmuwan. Dengan kata lain, individu adalah sumber sekaligus saluran utama informasi. Hasil karya cetak dan karya rekam tersebut seperti yang dituliskan dalam Undang-Undang No. 4/1990 diserahkan di perpustakaan nasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Keputusan ini menjadikan perpustakaan sebagai satu-satunya pusat informasi yang tiada bandingnya.

2.1.2 Kebutuhan Informasi

Informasi dewasa ini telah menjadi kebutuhan utama manusia. Dalam segala aspek kehidupan, hampir semuanya membutuhkan informasi. Menurut Yusup (2009), “Tujuan utama pemerolehan informasi adalah untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan konsisten dari aspek-aspek kegiatannya dengan pengadaan biaya yang relatif murah.“ (p.346). Informasi merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi rasa ketidaktahuan. Semakin banyak informasi dapat memengaruhi atau menambah


(21)

pengetahuan seseorang dan dengan pengetahuan menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sekarang, orang praktisi tidak dapat hidup tanpa informasi.

Dikaitkan dengan lingkungan yang merangsang timbulnya kebutuhan, khususnya yang berhubungan dengan seseorang yang dihadapkan pada berbagai sumber penampung informasi, atau media komunikasi informasi,

Katz, Guerevitch, dan Haas yang dikutip oleh Tan, dalam Yusup (2009) mengusulkan: “ada banyak kebutuhan yang bisa dikemukakan, antara lain: 1. Kebutuhan Kognitif

Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat seseorang untuk memahami dan menguasai lingkungannya yang kemudian dapat memberi kepuasan atas hasrat keingintahuan dan penyelidikan seseorang.

2. Kebutuhan Afektif

Kebutuhan ini dikaitkan dengan penguatan estetis, hal yang dapat menyenangkan, dan pengalaman-pengalaman emosional. Berbagai media dalam hal ini juga sering dijadikan alat untuk mengejar kesenangan dan hiburan.

3. Kebutuhan Integrasi Personal

Kebutuhan-kebutuhan ini berasal dari hasrat seseorang untuk mencari harga diri.

4. Kebutuhan Integrasi Sosial

Kebutuhan ini didasari oleh hasrat seseorang untuk bergabung atau berkelompok dengan orang lain.

5. Kebutuhan Berkhayal (Escapist Needs)

Kebutuhan berkhayal (escapist needs) dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk melarikan diri, melepaskan ketegangan, dan hasrat untuk mencari hiburan atau pengalihan (diversion).” (p.338).

Memang harus diakui bahwa tingkat kebutuhan setiap manusia akan terus bertambah apalagi menyangkut kebutuhan informasi. Seorang anak kecil cenderung hanya memikirkan hal yang sederhana tentang dirinya sendiri, misalnya makanan ataupun mainan favorit, namun ketika ia semakin dewasa ia berusaha untuk mencari jati dirinya yang sebenarnya yakni menggapai cita-citanya yang sebisa dia lakukan. Ketika berkeluarga, kebutuhan informasi orang tersebut bertambah yakni bagaimana memajukan taraf kehidupan keluarga istri/suami dan anak-anaknya. Setelah tua, orang tersebut pun masih memikirkan bagaimana kelanjutan kehidupannya di masa tua, juga kehidupan yang lebih baik bagi anak cucunya.


(22)

Seperti yang dikemukakan oleh, Katz, Gurevich, dan Has dalam Tan yang dikutip oleh Yusup (2009), melalui penelitian mereka menemukan bahwa “orang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi lebih banyak mempunyai kebutuhan dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.” (p.339).

Jadi bisa disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kehidupan seseorang maka semakin tinggi kebutuhan yang diperlukan dan semakin kompleks juga masalah-masalah yang dihadapi dan perlu dipecahkan serta tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Ini menandakan bahwa tanpa kita sadari kebutuhan informasi akan terus bertambah dari waktu ke waktu dan sumber informasi di dunia ini pun terus bertambah.

Begitu juga dengan seorang penyandang cacat, sekalipun memiliki keterbatasan dalam segi fisik, seorang penyandang cacat juga pasti memiliki kebutuhan informasi.

Belkin dalam Thomas (2004) menyatakan, “information needs can more usefully be addressed if they are considered information “problem”. These problems arise whenever a person realizes that “his or her state of knowledge” is not sufficient in quantity or quality to make a decision or reach goal.” (p.65).

Artinya: Kebutuhan informasi dapat lebih berfungsi dan terarah jika mereka mempertimbangkan “masalah” informasi. Masalah ini muncul ketika seseorang menyadari bahwa “keberadaan dari pengetahuannya” tidaklah cukup dalam hal kuantitas maupun kualitas untuk membuat sebuah keputusan atau mencapai suatu sasaran.”

Dari penjelasan diatas, penulis mengambil kesimpulan bahwa kebutuhan informasi adalah relatif. Setiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda begitu juga dengan kelompok tertentu dikarenakan masalah-masalah sosial yang berbeda diantara satu sama lain. Setiap orang membutuhkan informasi sebagai bagian dari tuntutan kehidupannya, sebagai penunjang kegiatannya, dan sebagai pemenuhan kebutuhannya.

Grover dalam Thomas (2009), mengemukakan empat langkah untuk mengetahui kebutuhan akan informasi yang dikenal dengan istilah: “model for diagnosing information needs” yaitu terdiri dari : diagnosis (diagnosa), prescription


(23)

Gambar 2: model for diagnosing information needs(By: Grover)

Sumber: Thomas (2009)

Menurut penjelasan Grover, yang dikutip oleh Thomas (2009) tentang langkah-langkah untuk mengetahui kebutuhan informasi adalah: Dalam tahap Diagnosa, Penyedia informasi harus menanyakan “apa”, “dimana”, dan “kapan” dari pengguna topik informasi atau kebutuhan. Bagaimanapun pertanyaan utama yang harus dijawab adalah “siapa”. Menurut Grover, faktor untuk mempertimbangkan mencakup level pengetahuan bahasa individu, taraf pengembangan, gaya kognitif, wawasan, format prefence, budaya dan keterampilan teknologi. Umur, gender, gaya komunikasi, dan kecakapan Bahasa Inggris juga boleh menjadi berhubungan erat pada fase diagnose. Informasi ini kemudian digunakan dalam tahapan kedua atau tahap instruksi dari model penentuan relevansi dan kesesuaian dari sumber yang spesifik (tersedia pada koleksi,

online, atau pada perpustakaan lain) yang akan bertemu dengan kebutuhan pengguna. Pencari informasi dan sumber informasi diidentifikasikan oleh pustakawan yang mana digabungkan pada siklus tahapan perlakuan; pada tahapan evaluasi, pustakawan mengkaji proses pelayanan untuk kepuasan pengguna dengan sumber informasi yang tersedia. Pertanyaan penting untuk dijawab pada tahap evaluasi adalah, bagaimanapun, berhubungan dengan kebutuhan informasi diungkapkan pada awalnya. "Apakah


(24)

masalah pengguna telah dipecahkan? ” kalau jawaban ke pertanyaan ini adalah tidak, proses mulai berakhir lagi dan diulangi hingga pengguna terpuaskan.” (p.63)

Bagi siswa, peranan guru sangatlah penting. Untuk menjadikan informasi berfaedah besar bagi siswa, maka salah satu hal yang bisa dilakukan adalah memberikan instruksi pelayanan kebutuhan informasi.

Apapun informasi yang diterima akan mempengaruhi kepribadian siswa, Oleh sebab itu informasi harus benar-benar dipastikan diperoleh dengan baik. Informasi akan hanya menjadi sekedar informasi dan bahkan hanya menjadi pengetahuan belaka, tidak ada faedahnya ketika tidak diaplikasikan bagi kehidupan. Seorang tunanetra akan menjadi luar biasa, berbeda dari tunanetra lainnya ketika adanya peranan para

stakeholders yang memiliki kepedulian dan sungguh-sungguh mengajari mereka. Intinya ialah, semua orang tanpa kecuali baik orang awas maupun penyandang cacat termasuk tunanetra membutuhkan informasi, kedua-duanya punya hak yang sama dalam mendapatkan informasi karena informasi adalah kebutuhan mutlak setiap individu.

2.1.3 Pencarian Informasi

Information seeking (pencarian informasi) berawal dari kebutuhan informasi. Dervin dalam Thomas (2004) menyatakan ”Information seeking as sense-making.”

(p.65). Dalam hal ini, penulis mencoba menelusur istilah kata ”sense-making” dan menemukan teori berikut.

Sense-Making theory menurut Dervin dalam Wilson (1999), adalah: “…a set of assumptions, a theoretic perspective, a methodological approach, a set of research methods, and a practice.' designed to cope with information perceived as, '…a human tool designed for making sense of a reality assumed.”

Artinya:

“seperangkat asumsi, suatu perspektif teoretis, suatu pendekatan metodologis, seperangkat metoda riset, dan suatu praktek yang dirancang untuk mengatasi dengan informasi yang dirasa sebagai suatu alat manusia yang dirancang untuk membuat pengertian suatu asumsi yang nyata.”

Selanjutnya, dalam Wilson (1999), dijelaskan teori Dervin sebagai berikut: Bagaimanapun, sense-making diterapkan dalam waktu dan ruang, yang menggambarkan konteks dimana problem informasi muncul; suatu gap atau jarak, yang


(25)

mengidentifikasi perbedaan antara situasi kontekstual dan situasi yang diharapkan; out come atau hasil, yang mana adalah pendekatan terhadap jarak antara situasi dan hasil. Dervin menjelaskan elemen-elemen ini dalam bentuk segitiga: situasi, gap/jembatan, dan hasil, yang mana dapat direprentasikan seperti berikut ini:

Gambar 3: Dervin's 'sense-making' triangle Sumber: Wilson (1999)

Bagaimanapun, mungkin akan lebih baik menggunakan penggambaran jembatan secara langsung dan menghadirkan suatu model seperti pada gambar berikut:

Gambar 4: Dervin's 'sense-making' model re-drawn Sumber: Wilson (1999)

Kekuatan Model Dervin berada sebagian dalam konsekuensi metodologisnya. Dimulai dari hubungan dengan perilaku informasi dapat mengarah kepada pertanyaan yang dapat mengungkapkan sifat alami dari situasi yang meragukan, perluasan dari informasi yang dilayankan kepada gap (jarak) dari ketidak-yakinan, kebingungan, atau apapun, dan sifat alami dari hasil penggunaan informasi, yang diterapkan secara


(26)

konsisten dalam wawancara, seperti tanya jawab yang mengarah ke arah pengertian asli yang mendalam yang dapat mempengaruhi model pelayanan informasi dan penyediaannya.

Sedangkan Thomas (2004) mengutip teori Dervin berikut ini:

”information seeking is initiated when individual encounter gaps in their knowledge sufficient to impede, prevent, or stop their progress through time and space. These gaps may be perceived as dilemmas, confusions, or uncertainties of the sort that people face as a part of daily life. The "sense" or understading that they ultimate contruct from the information they obtain provide the "bridges" that enable to proceed with their activities or decision making.” (p.65)

Artinya:

”Pencarian informasi diinisiasikan ketika individu menghadapi jarak dalam jumlah pengetahuan mereka yang menghalangi, mencegah, atau menghentikan pergerakan mereka sampai pada waktu dan ruang. Jarak ini mungkin saja dirasakan seperti dilema, kebingungan atau ke-tidak tahu-an yang dihadapi orang-orang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kata” sense" memiliki pengertian bahwa mereka pada akhirnya dibangun dari informasi yang mereka peroleh yang menjembatani kemampuan mereka untuk diproses dengan aktivitas ataupun pengambilan keputusan.”

Dalam pandangan Dervin yang ditulis oleh Thomas (2004): “what people require when they find themselves stuck in an information gap is personalized information based on their interests, their views of the problem, and whatever barries they expect to encounter.”(p.65). Artinya: “apa yang orang-orang perlukan ketika mereka menemukan diri mereka ditikam dalam sebuah pemisah (gap) informasi adalah menyelaraskan informasi berdasar pada minat mereka, pandangan mereka terhadap masalah, dan terhadap apapun rintangan-rintangan yang mereka harapkan bisa dihadapi.”

Seterusnya, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa ”sense-making” artinya ”suatu proses pemahaman dan dengan tegas menghubungkan dampak dari keputusan sekarang dan tindakan atas hasil masa depan dalam rangka memilih suatu tindakan terbaik”.

Berdasarkan teori-teori di atas, penulis juga menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pencarian informasi adalah: upaya seseorang untuk mengisi gap


(27)

upaya untuk memiliki pengetahuan (tentang sesuatu fakta) yang sebelumnya tidak diketahui.

2.2. Pengertian Tunanetra

Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “adalah tidak dapat melihat.” (p.971). Menurut literatur berbahasa Inggris, tunanetra diterjemahkan sebagai visually handicapped atau visual impaired.

Istilah tunanetra dan buta sedikit berbeda, penderita tunanetra belum tentu 100% buta, sedangkan buta sudah tentu dikategorikan sebagai tunanetra. Pradopo (1977) menuliskan , “pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa dapat dijelaskan sebagai berikut: “(tuna = rugi), (netra= mata) atau bisa diartikan sebagai cacat mata.” (p.12).

Somantri (2007) menjelaskan bahwa: “pengertian ini tidak hanya mencakup mereka yang buta saja tetapi juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk ‘setengah melihat’, ‘low vision’, atau rabun adalah bagian dari kelompok tunanetra.” (p.65).

Sedangkan istilah ‘’buta’’ menurut Pradopo (1977), “pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian (sebelah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata itu tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.” (p.12).

Penulis juga membandingkan tanggapan Somantri (2007) tentang pengertian tunanetra. Dia mendefeniskan “tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas.” (p.65).

Dalam Somantri (2007), “anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:

1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas

2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu. 3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.

4. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.” (p.65).


(28)

Menurut Somantri, dari kondisi-kondisi diatas umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya.

Dari penjabaran diatas, penulis mendefeniskan tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan visual sebagai saluran penerima informasi baik sebagian/terbatas (low vision) maupun tidak sama sekali (total blind) sehingga mempengaruhi kehidupannya sehari-hari dibandingkan dengan orang awas.

Dalam pengertiannya, penulis menarik kesimpulan bahwa tunanetra tidaklah sepenuhnya atau kedua-duanya indera penglihatannya tidak berfungsi tetapi keterbatasan visualisasi juga dapat dikelompokkan sebagai tunanetra.

2.2.1 Klasifikasi Ketunanetraan

Tunanetra, ialah berkekurangan dalam segi fisik, khususnya penglihatan. Sesungguhnya gradasi kekurangan penglihatan pada setiap anak tidak sama. Sesuai dengan kenyataan yang ada dewasa ini seorang disebut tunanetra ialah yang telah betul-betul tidak dapat melihat.

Klasifikasi ketunanetraan menurut Pradopo (1977), secara garis besarnya dapat juga dibagi dua yaitu:

Pertama: Waktu terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra. 1.) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

2.) Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yang sudah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. 3.) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja. Kesan-kesan visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

4.) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.


(29)

1.) Penderita tunanetra ringan (devective vision/low vision), yakni mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan, seperti penderita rabun, juling, myiopia ringan.

2.) Penderita tunanetra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan. Mereka hanya bisa membaca tulisan-tulisan berhuruf tebal dengan menggunakan kacamata pembesar.

3.) Penderita tunanetra berat (totally blind), mereka yang sama sekali tidak dapat melihat, atau yang oleh masyarakat disebut “buta”. (p.12-13)

Menurut Somantri (2007),: “lebih sederhana menggolongkan tunanetra dalam dua kelompok, yakni:

1. Buta

Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya= nol)

2. Low Vision

Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca

headline pada surat kabar” (p.66).

Slayton French dalam Pradopo (1977) menggolongkan para penderita tunanetra sebagai berikut:

1.) Buta total, ialah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang. Indera penglihatannya demikian rusak atau kedua matanya sama sekali telah dicabut.

2.) Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan antara gelap dan terang, dalam wujud bayangan obyek, melalui sinar langsung atau reflek cahaya. 3.) Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan terang dan gelap serta warna, sampai ke tingkat pengenalan bentuk dan gerak obyek, melalui sinar langsung atau reflek cahaya.

4.) Penderita tunanetra yang kekurangan daya penglihatan (defective vision), di mana mereka dengan pertolongan alat atau kacamata masih mampu memperoleh pengalaman visuil yang cukup.

5.) Buta warna, yakni mereka yang mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak dapat membedakan warna-warna tertentu. (p.13).


(30)

Menurut Howard dan Orlansky dalam Kasim (2009),: “klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu: Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :

- Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.

- Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.

- Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.”

Berdasarkan pandangan di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang indra penglihatannya sebagian masih mampu menerima rangsang cahaya atau kedua-duanya sama sekali tidak bisa berfungsi untuk kegiatan visual apapun.

2.2.2 Kebutuhan Informasi Penyandang Cacat

Pada dasarnya, orang awas dan tunanetra sama-sama memiliki kebutuhan akan informasi karena kedua-duanya diciptakan sama sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan tertentu. Hanya saja yang membedakannya ialah media dan cara perolehan informasi. Tunanetra memperoleh sedikit kesulitan mendapatkan informasi disebabkan oleh alat penglihatannya kurang atau tidak berfungsi sama sekali. Oleh karena itu, secara garis besarnya, penulis menyamakan kebutuhan informasi antara orang awas dan tunanetra.

Betapa pentingnya informasi pada kehidupan manusia seperti yang dikatakan oleh Paul G. Zurkowski, dalam Estabrook yang dikutip oleh Yusup (2009) ”people trained in the application of information resources to their work.” (p.347). Artinya: ”Orang yang berkemampuan mengaplikasikan sumber-sumber informasi pada


(31)

pekerjaaanya.” Dengan kata lain, semakin banyaknya informasi yang diperoleh maka semakin baiklah potensi atau kemampuan seseorang terhadap pekerjaanya.

Menurut Sulistyo-Basuki (2004), “kebutuhan informasi ditentukan oleh:

- Kisaran informasi yang tersedia

- Penggunaan informasi yang akan digunakan

- Latar belakang, motivasi, orientasi, dan karakteristik masing-masing pemakai

- Sistem sosial, ekonomi, dan politik tempat pemakai berada, dan

- Konsekuensi penggunaan informasi.” (p.396).

Tidak terbatas kemungkinan ini juga berlaku untuk setiap tunanetra yang mengembangkan potensi dirinya, membuat mereka mampu melihat walaupun tidak memiliki mata. Hasil penelitian seorang mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR) mendukung pernyataan tersebut.

Seperti kutipan abstrak penelitian Widyaningsih (2010) berikut ini: “Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kebutuhan informasi tunanetra yang digunakan sebagai bagian dari tuntutan kehidupannya, penunjang kegiatannya, pemenuhan kebutuhannya (rasa ingin tahu), dan juga untuk menyelesaikan masalah (problem solving). Cara-cara yang mereka tempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut cukup beragam, mulai dari bertanya pada teman dan keluarga, menggunakan radio dan televisi, hingga mengakses informasi melalui internet. Informasi yang pada akhirnya mereka peroleh, pada akhirnya akan digunakan untuk memenuhi tuntutan hidupnya, menunjang pekerjaan atau kegiatannya, menjawab rasa ingin tahunya, dan sebagai informasi untuk menyelesaikan masalah yang hadapi.” (p.1).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan informasi penyandang cacat adalah: kisaran informasi yang dibutuhkan oleh penyandang cacat untuk menjawab rasa ingin tahu atau menggunakannya untuk menunjang pekerjaan atau kegiatannya dalam memenuhi tuntutan hidup.

Perpustakaan yang tidak bisa mengikuti perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat penggunanya tentu akan gulung tikar alias tidak laku. Perpustakaan perlu berubah ke arah yang lebih berkualitas di hampir semua aspek dan kegiatannya.


(32)

2.3 Defenisi Perilaku

Berbicara tentang perilaku adalah berbicara tentang stimulus. Perilaku tidak bisa dipisahkan dari aspek kehidupan manusia, hal ini merupakan kekhasan yang dimiliki oleh semua manusia. Yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut versi KBBI (2005), “perilaku ialah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.” (p.859). Maksudnya ialah respon yang timbul pada setiap orang terhadap stimulus tertentu.

Menurut Irwanto dkk. dalam Yusup (2009), “Psikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari interaksi antarmanusia secara psikologis, interaksi manusia dengan alam sekitar juga secara psikologis, dengan kata lain psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia dalam menghadapi manusia lain dan lingkungannya.” (p.222).

Menurut Yusup (2009), “istilah perilaku yang dimaksud untuk menggambarkan bahwa yang dipelajari psikologi bukan hanya yang tidak kasat mata, tetapi juga perilaku yang kasat mata”. (p.222).

Skiner dalam Noatoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa “perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebuat merespons”, maka teori skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimuls Organisme Respons.”

Kemudian Skiner membedakan adanya dua respons.

1. Respondent respons atau reflexsive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut

eliciting stimulstion karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya makanan lezat yang menimbulkan keinginan untuk makan.

2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karna memperkuat respons. Misalnya seorang petugas kesehatan yang melakukan tugasnya dengan baik (respons terhadap tugas), pada akhirnya akan menerima


(33)

penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. (p:133)

Menurut Noatoatmodjo (2007), dilihat dari respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.

1. Perilaku tertutup (covert behaviour).

Respons atau reaksi terhadap stimulus yang masih tebatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/ kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebuat dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behaviour)

Respons terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.” (p.134).

Yusup (2009) menyatakan, “Segala perilaku manusia sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitar.” (p.274). Maksudnya ialah, manusia merekam setiap pengaruh dari luar kedalam dirinya.

Winch dalam Yusup (2009), juga menjelaskan bahwa: “perilaku manusia bisa diprediksi sebab orang dalam bertindak selalu mempunyai tujuan-tujuan dalam berbagai pilihan…Perilaku tersebut memang dipilih oleh seseorang guna mencapai tujuan-tujuannya.” (p.181).

Jadi, bisa disimpulkan bahwa pengertian perilaku adalah reaksi atau tindakan yang berasal dari dalam diri seseorang terhadap efek yang ditimbulkan oleh lingkungan disekitarnya yang secara langsung ataupun tidak langsung menimbulkan pengaruh pada diri individu tersebut.

2.3.1 Perilaku Pencarian Informasi

Rasa ingin tahu seseorang timbul karena keinginan untuk berusaha menambah pengetahuannya dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Krech, Crutchfield, dan Ballachey dalam Yusup (2009), menjelaskan bahwa “karena adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah-masalah sosial maka seseorang termotivasi untuk mencari pengetahuan bagaimana caranya dapat memecahkan masalah tersebut.” (p.339).


(34)

Wilson (1999) mempublikasikan tentang pencarian informasi dalam sebuah artikel. Agar lebih mudah dipahami, Wilson mengemasnya dalam bentuk gambar. Tujuan dari model ini adalah untuk menguraikan secara singkat berbagai area yang tercangkup dalam perilaku pencarian informasi, sebagai suatu alternatif kepada kebutuhan informasi umum.

Model tersebut menyatakan bahwa perilaku pencarian informasi muncul sebagai konsekuensi suatu kebutuhan yang dirasa oleh seorang pengguna informasi, yang dalam rangka mencukupi kebutuhan itu, membuat permintaan atas jasa atau sumber informasi formal atau informal, yang mengakibatkan sukses atau gagal untuk menemukan informasi yang relevan. Jika sukses, individu kemudian menggunakan informasi yang ditemukan dan boleh secara penuh atau sebagian dirasa cukup mencukupi kebutuhan, atau jika gagal harus mengulangi pernyataan proses pencarian. Model juga menunjukkan bahwa bagian dari perilaku pencarian informasi boleh melibatkan orang lain melalui pertukaran informasi dan bahwa informasi yang dirasa bermanfaat mungkin diberikan kepada orang lain, seperti halnya digunakan (atau sebagai ganti digunakan) dengan orang atau dirinya.

Gambar berikut adalah model perilaku pencarian informasi, suatu variasi dari model yang diciptakan Wilson pada 1981.

Gambar 5: Model perilaku pencarian informasi yang diciptakan Wilson pada 1981.


(35)

2.3.2 Model Perilaku Pencarian Informasi

Model menurut KBBI, artinya pola (contoh, acuan, ragam, dsb) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Jadi model perilaku pencarian informasi dapat diartikan sebagai pola kegiatan pokok yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang tertentu yang memiliki rasa ingin tahu untuk mengeksplorasi berbagai infomasi. Membahas tentang model pencarian informasi, perilaku memiliki banyak teori, yakni: Model Kuhlthau pada tahun 1991, model langkah-langkah perilaku pencarian information (model of the stages of information-seeking behavior) Model yang diciptakan Wilson pada tahun 1981 model perilaku pencarian informasi (model of information-seeking behavior), dan Model Wilson 1996 model yang memperluas model 1981 nya melalui suatu analisa literatur selain dari ilmu pengetahuan informasi. Model Ellis yang diciptakan tahun 1989 dan 1993, model perilaku strategi pencarian informasi (behavioural model of information seeking strategies), dan model Limberg: Teori Phenomenographic pembelajaran (Phenomenographic learning theory).

2.3.2.1 Model Kuhlthau

Langkah-Langkah dari Model Kuhlthau dalam Thomas (2009) adalah inisiasi (initiation), pemilihan (selection), explorasi (exploration), perumusan (formulation), koleksi (collection) dan presentasi (presentation).

Gambar 6: Model Pencarian Informasi Kuhlthau Sumber: Thomas (2009:31)


(36)

Tahap pertama yang dirumuskan Kuhltau dalam ISP (information search process) adalah “Inisiasi.” Tahap ini adalah ketidak-pastian atau kebimbangan, terutama sekali ketika seseorang kekurangan pengetahuan pokok materi dan suatu pemahaman tentang suatu informasi sehingga dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Tahapan kedua adalah “tahap seleksi.” Tahapan ini adalah titik pada proses ketika seseorang memilih satu pertanyaan untuk dieksplorasi atau satu topik dimana mereka punya ketertarikan. Seseorang umumnya mengalami perasaan optimis selama langkah ini.

Tahap selanjutnya adalah “eksplorasi,” ketika seseorang memulai pencarian informasi pada satu topik yang mereka sedikit diketahui, kebingungan adalah sesuatu yang khas, terutama ketika memasuki ketidak-tetapan dan ketidak-cocokan informasi dengan ide dan pengertian mereka tentang topik yang telah mereka kuasai. Tantangan pada langkah ini adalah bagaimaan membuat informasi menjadi masuk akal, beberapa mungkin bertentangan dengan pengetahuan awal atau gagasan dugaan sebelumnya. Ketika menghadapi informasi ketidaktetapan dan ketidakcocokan informasi dengan harapan mereka, mereka biasanya mulai meragukan kesesuaian topik, keakutan dari sumber informasi, dan kemampuan mereka sendiri. Tahap keempat adalah “formulasi fokus”, pada tahap ini seseorang mempersempit atau memperbaiki ulang topik mereka untuk menunjukkan dengan tepat informasi yang diperlukan dalam mempersiapkan aktivitas koleksi yang selanjutnya. fokus ini memungkinkan untuk menciptakan pernyataan disertasi sebaik mungkin untuk merumuskan satu segi pandangan pribadi sekitar topik. Pada langkah ini proses pencarian menunjukkan peningkatan daya tarik berhubungan dengan topik dan proyek.

Selama proses tahap koleksi (tahap ke lima), seseorang mempelajari tentang tugas pengumpulan informasi, kemudian di presentasikan pada tahap presentasi.

Tahap terakhir adalah tahap presentasi. Saat seseorang mempersiapkan untuk mengorganisir informasi mereka, untuk membuat hubungan antara beberapa gagasan, dan untuk menyajikan tugas mereka pada format terpilih, mereka merasa bebas bahwa pencarian selesai dan mereka terpuaskan atau kecewa dengan hasil pencarian. (p.33)


(37)

2.3.2.2 Model Wilson

Model kedua adalah model Wilson yang diciptakan pada tahun 1981, dalam Wilson (1999), didasarkan dua dalil utama: pertama, kebutuhan informasi itu bukanlah suatu kebutuhan utama, tetapi suatu kebutuhan sekunder yang muncul keluar dari kebutuhan terhadap sesuatu yang lebih dasar; dan kedua, yaitu didalam usaha untuk menemukan informasi untuk mencukupi suatu kebutuhan, penelusur mungkin bertemu dengan penghalang dari macam yang berbeda. Wilson mengusulkan bahwa kebutuhan dasar dapat digambarkan sebagai fisiologis, kognitif atau afektif. Ia juga mencatat bahwa konteks tentang salah satu dari kebutuhan ini mungkin adalah diri seseorang, atau permintaan peran dari pekerjaan seseorang atau kehidupan seseorang, atau lingkungan (politik, ekonomi, teknologi, dll.) dimanapun kehidupan atau pekerjaan itu berlangsung. Ia kemudian menyatakan bahwa penghalang yang merintangi pencarian informasi akan muncul keluar dari satuan konteks yang sama.

Model ini ditunjukkan dalam suatu versi yang disederhanakan, yang juga menunjukkan perilaku pencarian seperti yang pernah digambarkan oleh Ellis. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 7.

Dalam Model Wilson pada tahun 1996, Model kerangka dasar yang diciptakan pada tahun 1981 tetap berlaku. Ciri yang khas dalam model ini adalah adanya variable perantara yang mendukung penggunaaan informasi, yakni:

- keadaan psikologis seseorang

- situasi demografis seperti kelas sosial seseorang dan budaya lingkungan tempat tinggal pencari informasi. Misalnya, siswa yang tinggal di desa berbeda perilaku pencarian informasinya, juga media informasinya. interpersonal atau kepribadian maupun karakter individu, ataupun posisi seseorang tersebut di masyarakat

- lingkungan hidup dan kebiasaan-kebiasan dilingkungan sekitar

- karakteristik sumber informasi: Karakter media informasi yang digunakan berkaitan dengan kondisi demografis dan interpersonal seseorang.


(38)

Gambar 7: Model Perilaku Pencarian Informasi dari Wilson Sumber: Wilson (1999)

Gambar berikut menjelaskan tantang modifikasi model yang diciptakan Wilson pada tahun 1996.

Gambar 8: Model Wilson 1996 Sumber : Wilson (1999)


(39)

2.3.2.3 Ellis

Willson (1999) Menjelaskan model ciptaan Ellis sebagai berikut: Dimulai dari

starting, pada tahap ini seseorang telah mengidentifikasi informasi apa yang ia butuhkan Pencari informasi kemudian melanjutkannya pada tahap kedua yang terdiri dari tiga rangkaian yang saling berhubungan yaitu: browsing (pencarian/penelusuran), chaining (rangkaian) dan monitoring (pengawasan). Browsing adalah mencari informasi secara langsung pada jajaran rak buku perpustakaan atau menelusur di internet.

Chaining (rangkaian) artinya menelusur catatan kaki atau bahan rujukan referensi yang membahas informasi yang sama. Dan Monitoring adalah melakukan pengawasan pada informasi yang tersedia, apakah informasi tersebut berasal dari sumber terpercaya dan juga kemutakhiran informasi tentu saja ikut diperhatikan.

Setelah selesai dari tahapan ke-dua, maka dilanjutkan pada tahap ketiga yaitu tahap differentiating atau memilah-milah informasi yang terkumpul, dan menghimpun informasi yang cukup relevan sesuai dengan kebutuhan.

Tahap selanjutnya adalah tahap Extracting, dimana pencari informasi mengekstrak informasi, meringkas, mengambil intisari atau memotong bagian-bagian terpenting dari suatu informasi untuk lebih mudah dibaca dan dipahami.

Tahap ke-empat adalah tahap verifikasi, pemeriksaan ulang terhadap informasi yang terkumpul, apakah informasi tersebut akurat, berasal dari pakar atau sumber terpercaya dan apakah informasi tersebut bias diterima oleh akal atau tidak.

Tahap terakhir adalah Ending, pada tahap ini pencari informasi menghentikan pencarian karna informasi yang terkumpul telah dirasa cukup dan sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 9: Model Ellis Sumber: Willson (1999)


(40)

2.3.2.4 Teori Limberg

Teori Limberg dalam Yususp (2009) tentang “Phenomenographic

learning theory adalah contoh teori belajar yang menjelaskan

pengalaman menelusur atau mencari informasi dalam belajar. Hasilnya antara lain adalah ditemukannya tiga pengalaman utama yang meliputi: (a) fact-finding (penemuan fakta), (b) balancing information in order to make correct choices (pemilihan informasi secara tetap), dan (c)

scrutizing and analyzing (pendalaman dan analisa). Teori belajar ini sangat kental dengan model-model pencarian informasi di perpustakaan dan internet. (p.238)

2.4Media Layanan Jasa Pencarian Informasi untuk Tunanetra

Mendapatkan informasi tidak bisa dipisahkan dengan media karena media menyediakan berbagai informasi termasuk untuk tunanetra. Menurut Yusup (2009), “belajar dengan melibatkan informasi dalam berbagai media, termasuk media internet dan situs-situsnya, semakin menunjukkan pengaruhnya terhadap belajar dan efek-efeknya.” (p.237). Dalam hal ini, media disc player, daisy dan JAWS juga termasuk media yang digunakan oleh tunanetra.

2.4.1 Koleksi Tercetak Bertuliskan Huruf Braille

Pradopo (1977) menuliskan bahwa: Huruf Braille untuk pertama kalinya diakui sebagai huruf resmi yang diperuntukkan bagi pendidikan anak-anak tunanetra pada tahun 1852, tepat dua tahun setelah penemunya (Louis Braille) meninggal dunia. Tanda-tanda yang diketemukan oleh Louis Braille didasarkan pada penempatan titik-titik pada 6 (enam) posisi, tersusun vertikal masing-masing 3 (tiga) titik. (p.35) Seperti berikut ini:

Gambar 10: Braille Alphabet Sumber: Dewara (2011)


(41)

Dikutip dari Dewara (2011),

“Braille adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh tunanetra. Sistem ini diciptakan oleh seorang berkebangsaan Perancis yang bernama Louis Braille seorang tunanetra yang disebabkan kebutaan sewaktu kecil. Ketika berusia 15 tahun, Braille membuat suatu tulisan tentara untuk memudahkan tentara untuk membaca ketika gelap. Tulisan ini dinamakan huruf Braille.”

Saat ini berbagai koleksi perpustakaan telah dicetak dengan huruf Braille, diantaranya buku-buku umum, buku pelajaran penunjang kurikulum, majalah khusus tunanetra yang bertuliskan huruf Braille.

2.4.2 JAWS Screen Reader

JAWS, Program ini untuk selanjutnya disebut program pembaca layar atau

screen reader. Sebagai contoh salah satu merek dari program ini adalah JAWS yang merupakan singkatan dari Job Access with Speech. Prinsip kerja dari program pembaca layar adalah memperoses tulisan atau teks yang muncul di layar untuk kemudian direproduksi dalam bentuk suara yang bisa didengar oleh seseorang melalui headset atau loud speaker.

JAWS kependekan dari Job Access With Speech adalah sebuah pembaca layar (screen reader) merupakan sebuah piranti lunak (software) yang berguna untuk membantu penderita tunanetra menggunakan komputer. JAWS diproduksi oleh The Blind and Low Vision Group (Freedom Scientific) di St. Petersburg, Florida, Amerika Serikat.

JAWS sengaja dibuat untuk penderita tunanetra dan orang-orang yang menderita kelemahan dalam penglihatan (low vision) sehingga mereka mudah menggunakan Microsoft Windows secara personal. Dengan alat ini tentunya penderita tunanetra dan penderita lemah daya penglihatan (low vision) mudah mengakses komputer dan bahkan bisa melepaskan ketergantungan pada orang lain dalam menggunakannya. JAWS dirancang sebaik mungkin dengan mempertimbangkan banyak aspek, maka dari itu penting sekali bagi JAWS merancang alat-alat yang memudahkan bagi penderita tunanetra dan low vision.

JAWS dilengkapi dengan layar yang memiliki kemampuan untuk melafalkan teks (text-to-speech) yang ditampilkan atau ada juga yang dengan menerapkan teknologi


(42)

braille display. Selain itu keyboard yang digunakan juga lebih komperhensif dengan kemampuan berinteraksi dengan monitor. JAWS juga dapat dimanfaatkan penggunanya untuk membuat scripts dengan JAWS Scripting Language, yang dapat digunakan untuk mengubah jumlah dan tipe informasi yang bisa dipresentasikan dengan banyak aplikasi. JAWS mampu membaca teks namun JAWS tidak bisa membaca grafik yang menyulitkan, gambar tanpa caption dan program berbasis flash.

JAWS dapat membaca arsip-arsip PDF. Banyak dokumen-dokumen dalam bentuk PDF dijalankan dengan menggunakan program JAWS. Mutu dari bajakan akan mempengaruhi keakuratan dari Acrobat's OCR saat dipergunakan. Informasi lebih lanjut dapat ditempatkan pada JAWS Help Topic, JAWS dan Adobe Acrobat Reader.

2.4.3 Victor Reader Stratus

Victor Reader Stratus hadir dengan tampilan gaya baru yang lebih kecil dan tampilan yang lebih lux. Stratus yang baru ini lebih cerdas dan bunyinya lebih jernih. Tidak seperti peralatan multimedia generasi sebelumnya, Stratus memutar buku multimedia dan musik dari CDs, kartu SD dan USB. Setiap Victor reader Stratus memiliki model fitur yang luas, kunci kontras yang tinggi, perangkat bicara dan headphone, pengaturan suara sendiri, dan merupakan audio book player yang ramah.

Navigasi: Mencari text dan merekam buku elektronik berformat Daisy secara perbab, seksi, subseksi, dan paragraf. Navigasi koleksi MP3 dan musik, mampu berpindah berdasarkan folder, file dan berdasarkan waktu penciptaan file. Berpindah ke file teks berdasarkan kalimat, paragraf, kata bahkan berdasarkan cara pelafalan kata. Untuk berpindah kehalaman berikutnya, cukup dengan memasukkan nomor halaman dengan number pad dan langsung menuju halaman yang dimaksudkan dengan spesifik seperti pada koleksi buku tercetak.

Fitur Victor Reader Stratus:

Variable speed: mampu meningkatkan kecepatan membaca untuk membaca lebih cepat

Portable: pakai dan operasikan Stratus dimana saja, bisa menggunakan batre yang bisa di isi ulang dan nyaman dibawa kemana-mana.


(43)

Great digital sound quality: Nikmatilah buku dan musik dengan suara kualitas tinggi.

Information key: Memberi tahu info tentang buku (judul, keterangan waktu penciptaan buku, jumlah halaman dan topik buku)

Where am I key: pembaca bisa mengetahui dihalaman mana ia berada, bab, topik atau judul yang sedang dibaca

Key describer: memberitahukan fungsi dari setiap kunci

Gambar 11 : Victor Reader Stratus Sumber: Asistansia (2011)

2.4.4 VCR (Video Cassette Recorder)

Perekam Kaset Video atau VCR (Video Cassette Recorder) adalah peralatan elektronik yang bisa dipakai untuk merekam suara/ audio dan gambar/ video dalam suatu kaset pita magnetik yang bisa dimasukkan dan dikeluarkan dengan mudah seperti halnya pita kaset suara biasa (Audio Cassette Recorder atau Cassette Recorder). Kebanyakan jenis VCR dilengkapi dengan rangkaian penala TV (TV-tuner) atau penerima yang dapat menerima siaran TV secara langsung. Untuk jenis yang lebih baik, VCR ini mempunyai rangkaian timer dan jam digital yang bisa dipakai untuk merekam siaran TV secara otomatis pada jam-jam yang diinginkan. Secara umum, perekam kaset


(44)

video (VCR) ini menggunakan pita kaset (tape) dengan 3 macam format: pita format VHS, pita format Betamax, dan pita format V2000. Di antara ketiga macam format ini, sekarang jenis format yang paling populer dipakai adalah pita kaset dengan format VHS.

Gambar 12: Video Cassette Recorder Sumber: Avland (2010)

2.4.5 Tape Recorder (Cassette)

Media audio dengan alat perekam sering disebut Audio cassette atau Tape Recorder. Pengertian audio Tape Recorder menurut Sudjana (1994) adalah: “sebuah bahan pengajaran yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (pita suara atau piringan suara), yang dapat merangsang pikiran. perasaan, perhatian dan kemauan siswa, sehingga terjadi proses belajar mengajar”. (p.129). Tape Recorder ini sangat baik untuk pembelajaran menyimak. Namun pelajaran yang lain seperti berbicara, menulis, sastra, dan kebahasaan tidak bisa menggunakan media ini.

Sebuah tape recorder terdiri dari beberapa motor yang mentransfer rekaman itu dari satu gulungan yang lain. Tape recorder kebanyakan memiliki tiga tombol utama, satu untuk pemutaran , satu untuk penghapusan, dan satu untuk merekam. Poliester untuk rekaman itu sendiri biasanya terbuat dari bahan plastik - selulosa asetat.


(45)

Gambar 13: Tape Recorder Sumber: Dreamstime (2011)


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (1992), Penelitian kualitatif merupakan salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. (p. 21-22). Penelitian ini berusaha mengungkapkan dan menjelaskan secara deskriptif kebutuhan informasi tunanetra, perilaku siswa tunanetra dalam mencari, menemukan hingga memanfaatkan informasi dalam proses pemenuhan kebutuhan informasinya.

Menurut Glaser dan Strauss dalam Pendit (2003), “data kualitatif dapat mengungkapkan elemen-elemen yang diperlukan untuk membentuk teori tentang hubungan antar manusia, yaitu kondisi, norma, penyimpangan, proses, pola dan sistem sosial yang ada di sebuah masyarakat, sesuai dengan apa yang selama ini dialami dan dirasakan oleh orang-orang di masyarakat itu”. (p.297)

Bentuk penelitian kualitatif merupakan bentuk penelitian yang didasarkan pada keadaan alamiah atau naturalisme, yaitu kenyataan yang muncul dan didasarkan pada peristiwa-peristiwa nyata yang menjadi bahan kajian penelitian. Fakta yang diperoleh menjadi data yang dikomunikasikan dalam bentuk informasi yang dilaporkan secara narasi yang berisi ketajaman analisis penelitian.

3.2 Waktu Pelaksanaan Penelitian

Waktu pengambilan data di lapangan dengan cara melakukan observasi, pengamatan, wawancara dan dokumentasi penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2013.

3.3 Jenis dan Sumber Data


(47)

1. Data Primer

Data primer penelitian ini adalah hasil dari wawancara dan pengamatan penulis berupa kata-kata, sikap dan pemahaman dari subjek yang diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah berbagai sumber tertulis yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam penelitian ini dan akan digunakan semaksimal mungkin demi mendorong keberhasilan penelitian ini, diantaranya buku-buku literatur, internet, majalah atau jurnal ilmiah, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Mengidentifikasi Informan

Pengertian informan adalah orang yang dianggap mengetahui dengan baik terhadap masalah yang diteliti dan bersedia untuk memberikan informasi kepada peneliti. Dalam penelitian kualitatif posisi nara sumber sangat penting. Menurut Sutopo (2002), “Informan merupakan tumpuan pengumpulan data bagi peneliti dalam mengungkap permasalahan penelitian”(p.50).

Siswa SMP SLBA A Karya Murni Medan dalam penelitian ini menjadi informan. Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposive (disengaja), bukan acak (random). Menurut Sugiyono (2006), Purposive sampling adalah “teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.” (p.61). Dalam hal ini pertimbangan dimaksud adalah berdasarkan keseragaman karakteristik informan yang ditemukan dan jumlah informan yang masih bisa digolongkan sebagai data jenuh.

Dalam penelitian ini, SMPLB A Karya Murni Medan merupakan tempat (place) dimana murid-murid yang ada disana merupakan pelaku (actors) melakukan ativitas (activity) mencari informasi di perpustakaan maupun koleksi multimedia, digital dan penelusuran online. Informan berjumlah 12 orang yang terdiri dari 3 (tiga) kelas, yang juga merupakan seluruh siswa SMP di sekolah tersebut sehingga dirasa tepat melakukan penentuan informan dengan teknik purposive sampling. Hal ini dikarenakan populasi dalam penelitian ini mengalami kejenuhan data, seperti juga yang diakatakan oleh S. Nasution dalam Sugiyono (2008), “bahwa penentuan informan dianggap telah


(48)

sampai kepada taraf “redundancy” (datanya telah jenuh, artinya bahwa dengan menggunakan tambahan informan boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan infomasi baru yang berarti).” (p.220)

3.5 Metode Pengumpulan Data

Peneliti mendapatkan data langsung dari informan melalui wawancara mendalam (depth interview), dimana data tersebut direkam dengan tape recorder

dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan transkripnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbal.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan: 1. Wawancara Mendalam (depth interview)

Menurut Moleong (2002), “wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviuwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviuwe) yang memberikan jawaban pertanyaan itu (p.135). Maka dapat diketahui bahwa untuk memperoleh data utama adalah melalui wawancara kepada informan guna memperoleh data yang akurat dan relevan. Cara yang dilakukan dalam teknik wawancara ini adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada tunanetra untuk mendapat data mengenai permasalahan yang sedang diteliti yaitu bagaimana perilaku dan usaha yang dilakukan oleh tunanetra ketika mencari informasi. Pertanyaan yang diajukan terlebih dahulu telah disiapkan serta dibuat kerangkanya secara sistematis sebelum berada dilokasi penelitian. Beberapa kerangka pertanyaan yang dibuat oleh penulis antara lain:

1. Informasi apa saja yang dibutuhkan? 2. Untuk apa mencari informasi itu?

3. Apa usaha yang dilakukan untuk mendapatkan informasi tersebut? 4. Media informasi apa yang digunakan untuk mencari informasi? 5. Bagaimana perlakuan tunanetra terhadap informasi yang ditemukan? 6. Apakah ada hambatan yang ditemukan dalam proses pencarian informasi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat berkembang bahkan dapat diluar dari daftar pertanyaan dengan maksud untuk lebih mengetahui secara jelas jawaban yang


(49)

dibutuhkan, namun tetap mengacu pada pokok permasalahannya. Wawancara mendalam di lakukan secara langsung dengan Siswa SMP SLB A Karya Murni Medan dengan menggunakan pedoman wawancara.

2. Observasi,

Arikunto (2002), mendefinisikan bahwa observasi adalah “kegiatan yang meliputi pemusatan terhadap objek yang menggunakan seluruh aspek indera.”.(p.146). Dari pengertian ini dapat diambil suatu pengertian bahwa, Observasi merupakan pengamatan secara langsung terhadap aktivitas di lapangan. Adapun caranya adalah peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian untuk mengambil data yang ada di lapangan. Observasi dilakukan sebelum dan selama penelitian ini berlangsung, yang meliputi kondisi fisik tunanetra dan gambaran umum Yayasan SLB A Karya Murni Medan yang mencakup asrama panti asuhan, gedung sekolah, ruang perpustakaan, ruang belajar, proses belajar mengajar dan suasana kehidupan sosial tunanetra. 3. Studi Dokumentasi

Data yang diperlukan dalam penelitian ini juga diperoleh dari studi dokumentasi. Sebelum penelitian lapangan, peneliti telah melakukan telaah terhadap buku literatur, majalah, jurnal, hasil seminar dan artikel, baik yang tersedia dalam media

on-line (internet) maupun yang ada dalam perpustakaan tentang perilaku pencarian informasi, kebutuhan informasi, kondisi tunanetra baik secara fisik maupun psikis, dan alat bantu yang digunakan oleh tunanetra untuk menemukan informasi.

3.6 Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan kepada orang lain. Adapun untuk meningkatkan pemahaman itu ada beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan diantaranya :

1. Pengelompokan Berdasarkan Kategori, Tema dan Pola Jawaban

Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar dengan apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun


(1)

Wilson, T.D. (1999). Models in Information Behaviour Research.

<http://informationr.net/tdw/publ/papers/1999JDoc.html.> Diakses tanggal 22 Juni 2013

Yusup, P.M. (2009). Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan. Jakarta: Bumi Aksara.


(2)

LAMPIRAN I

PEDOMAN WAWANCARA

Penelitian ini menggunakan wawancara sebagai teknik dalam pengumpulan data, dan dalam pelaksanaanya akan dilakukan wawancara yang mendalam dan terstruktur guna mendapatkan data yang akurat. Berikut adalah pedoman wawancara yang akan dilakukan dalam penelitian ini :

1. Mencakup informasi apa yang dibutuhkan tunanetra

2. Mencakup fungsi informasi yang dicari dan kemudian ditemukan oleh tunanetra 3. Mencakup perilaku tunanetra dalam mencari informasi (langkah-langkah yang

dilakukan oleh tunanetra ketika mencari informasi yang dibutuhkan) 4. Media informasi apa saja yang digunakan oleh tunanetra

5. Mencakup media informasi apa saja yang lebih disukai oleh tunanetra

6. Mencakup bagaimana perlakuan tunanetra terhadap informasi yang diperoleh 7. Mencakup kendala-kendala apa saja yang dialami oleh tunanetra ketika mencari


(3)

LAMPIRAN II

KERANGKA ANALISIS OBSERVASI

No

. Perilaku yang di Observasi

Hasil Observasi

Ya Jarang Sering Tidak

1 Siswa menggunakan katalog ketika

mencari buku di perpustakaan Tidak

2 Siswa langsung menuju ke rak

ketika mencari buku Ya

3 Buku yang di cari selalu ditemukan

oleh siswa

Sering

4

Siswa meminta bantuan orang lain (guru atau petugas perpustakaan) ketika mencari buku

Jarang

5 Siswa mampu menggunakan

komputer Ya

6

Siswa mampu menelusur informasi dengan memanfaatkan fasilitas internet

Ya

7 Siswa menyimpan soft copy

informasi dari internet Tidak

8

Siswa membutuhkan bantuan orang lain ketika melakukan penelusuran informasi internet

Sering

9

Siswa merasa puas dengan informasi yang ditemukan dari internet

Sering

10

Siswa menggunakan alternatif media lain selain buku dan internet


(4)

LAMPIRAN III

FOTO DOKUMENTASI PENELITIAN

Ruang belajar yang dihuni oleh maksimal 5 orang siswa  tunanetra 

Penulis sedang melakukan wawancara dengan salah satu  siswa tunanetra 


(5)

Ruang Perpustakaan SMPLB A Karya Murni Medan

Siswa tunanetra sedang memilih buku bacaan di rak dengan  cara meraba tulisan Braille pada sampul buku 


(6)

Siswa tunanetra sedang belajar komputer


Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

6 79 143

Pubertas Pada Anak Tunanetra (Studi Etnografis Mengenai Masa Pubertas Anak Tunanetra di Sekolah Karya Murni, Medan Johor)

3 83 134

Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus di SLB-A Karya Murni Medan Johor)

20 191 96

Perilaku Mahasiswa Tunanetra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Memenuhi Kebutuhan Informasi Akademik

0 7 115

Perilaku Pencarian Informasi Pemustaka Tunanetra Pada Perpustakaan Sekolah Luar Biasa-A Pembina Tingkat Nasional Jakarta

0 4 167

BUDAYA BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA SEKOLAH LUAR BIASA TUNANETRA (SLB-A) Budaya Belajar Matematika Pada Siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB-A) (Studi Etnografi Di SLB-A YKAB Surakarta).

0 4 14

PERILAKU PENCARIAN INFORMASI PENGGUNA TUNANETRA DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR.

0 0 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

0 0 9

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

0 0 13

PERILAKU PENCARIAN INFORMASI PENYANDANG TUNANETRA DALAM MENGAKSES INFORMASI MENGGUNAKAN KOMPUTER BERBICARA (SOFTWARE NVDA) DI PERPUSTAKAAN SLB–A (SEKOLAH LUAR BIASA BAGIAN TUNANETRA) PRPCN (PANTI REHABILITASI PENYANDANG CACAT NETRA) PALEMBANG (Skripsi) -

0 3 204