Pengujian dan Analisis Koordinasi Fuse dan Recloser Eksisting Pada Bus 143

45 Lanjutan Tabel 4.3 Operasi 2 - Operasi 3 2 Detik Operasi 3 - Operasi 4 5 Detik Selang Waktu Kerja Setiap Operasi Tanah Operasi 1 - Operasi 2 10 Detik Operasi 2 - Operasi 3 2 Detik Operasi 3 - Operasi 4 5 Detik Waktu Reset 30 Detik

4.2.1 Pengujian dan Analisis Koordinasi Fuse dan Recloser Eksisting Pada Bus 143

Berdasarkan Lampiran B, arus gangguan minimum If min yang terjadi pada Bus 143 sebesar 235 A, yaitu saat Bus 143 mengalami gangguan 1 fasa ke tanah pada kondisi jaringan distribusi tidak terhubung dengan DG. Gambar 4.5 a dan Gambar 4.5 b menunjukkan urutan waktu operasi dan kurva karakteristik arus - waktu dari koordinasi fuse 10, fuse 12 dan recloser 1. a b Gambar 4.5 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 1 Fasa ke Tanah di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi Tanpa Terhubung Dengan Distributed Generation Universitas Sumatera Utara 46 Gambar 4.5 a dan 4.5 b menunjukkan bahwa saat terjadi gangguan arus lebih satu fasa ke tanah pada Bus 143, operasi pertama TCC1 Ground bekerja dengan membuka dan menutup kembali dengan cepat recloser 1 pada waktu ke 198 ms. Bila gangguan masih tetap mengalir saat recloser 1 menutup kembali, fuse 10 dan fuse 12 bekerja memutuskan gangguan bersamaan pada waktu ke 204 ms dikarenakan ukuran arus pengenal masing – masing fuse sama yaitu 20K. Bila fuse 10 dan fuse 12 gagal bekerja, maka recloser 1 akan membuka pada waktu ke 20198 ms dan akan menutup kembali dengan operasi kedua TCC1 Fasa pada waktu ke 20397 ms. Recloser 1 akan membuka pada waktu ke 50397 ms bila arus gangguan tetap mengalir dan recloser 1 menutup kembali pada waktu ke 50595 ms dengan operasi ketiga TCC1 Fasa. Jika arus gangguan masih tetap saja mengalir setelah operasi ketiga TCC1 Fasa, maka recloser 1 akan membuka secara tetap Lock Out. Setelan operation to lock out dari recloser 1 adalah 3 operasi, yang berarti bahwa setelah recloser 1 melewati operasi ketiga TCC1 Fasa arus gangguan masih dirasakan, recloser akan Lock Out. Gambar 4.6, Gambar 4.7, dan Gambar 4.8 menunjukkan urutan waktu operasi dan kurva karakteristik arus - waktu dari koordinasi fuse 10, fuse 12 dan recloser 1 dengan berbagai kondisi pada jaringan distribusi terhubung dengan DG saat terjadi gangguan 1 fasa ke tanah di Bus 143. Universitas Sumatera Utara 47 a b Gambar 4.6 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 1 Fasa ke Tanah di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTmH Tonduhan a b Gambar 4.7 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 1 Fasa ke Tanah di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTM Silau 2 Universitas Sumatera Utara 48 a b Gambar 4.8 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 1 Fasa ke Tanah di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTmH Tonduhan dan PLTM Silau 2 Berdasarkan lampiran B, arus gangguan maksimum If max yang terjadi pada Bus 143 sebesar 1405 A, yaitu saat Bus 143 mengalami gangguan 3 fasa pada kondisi jaringan distribusi terhubung dengan PLTM Silau 2 dan PLTmH Tonduhan. Gambar 4.9 a dan Gambar 4.9 b menunjukkan urutan waktu operasi dan kurva karakteristik arus - waktu dari koordinasi fuse 10, fuse 12 dan recloser 1. Universitas Sumatera Utara 49 a b Gambar 4.9 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 3 Fasa di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTM Silau 2 dan PLTmH Tonduhan Gambar 4.9 a dan Gambar 4.9 b menunjukkan bahwa saat terjadi gangguan 3 fasa pada Bus 143, fuse 10 dan fuse 12 bekerja terlebih dahulu untuk memutuskan gangguan arus hubung singkat 3 fasa secara bersamaan dalam waktu 18,7 ms. Gangguan arus hubung singkat 3 fasa pada bus 143 menyebabkan fuse 58 yang berada pada Bus 648 yang dekat dengan DG bekerja dengan waktu pemutusan 63,5 ms dikarenakan adanya kontribusi arus hubung singkat dari PLTmH Silau 2 sebesar 461 A. Hal ini tidak dapat ditunjukkan pada Gambar 4.9 a dan 4.9 b, tetapi ditunjukkan oleh Gambar 4.10. Universitas Sumatera Utara 50 Gambar 4.10 Kurva Karakteristik Arus – Waktu Fuse 58 Saat Terjadi Gangguan 3 Fasa Pada Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTM Silau 2 dan PLTmH Tonduhan Bila fuse 10, fuse 12 dan fuse 58 gagal untuk bekerja, maka operasi pertama TCC1 Fasa bekerja dengan membuka dan menutup kembali recloser 1 dengan cepat pada waktu ke 198 ms. Bila arus gangguan masih tetap mengalir saat recloser 1 menutup, recloser 1 akan membuka pada waktu ke 20198 ms dan akan menutup kembali dengan operasi kedua TCC1 Fasa pada waktu ke 20397 ms. Recloser 1 akan membuka pada waktu ke 50397 ms bila arus gangguan tetap mengalir, kemudian recloser 1 menutup kembali pada waktu ke 50595 ms dengan operasi ketiga TCC1 Fasa. Jika arus gangguan masih tetap saja mengalir setelah operasi ketiga TCC1 Fasa, maka recloser 1 akan membuka secara tetap Lock Out. Akibat setelan operation to lock out dari recloser 1 adalah 3 operasi, maka setelah recloser 1 melewati operasi ketiga TCC1 arus gangguan masih dirasakan, recloser akan Lock Out. Universitas Sumatera Utara 51 Gambar 4.11 menunjukkan urutan waktu operasi dan kurva karakteristik arus - waktu dari koordinasi fuse 10, fuse 12, dan recloser 1 pada jaringan distribusi yang tidak terhubung dengan DG sedangkan Gambar 4.12 dan Gambar 4.13 menunjukkan urutan waktu operasi dan kurva karakteristik arus - waktu dari koordinasi fuse 10, fuse 12, dan recloser 1 dengan berbagai kondisi pada jaringan distribusi terhubung dengan DG saat terjadi gangguan 3 fasa di Bus 143. a b Gambar 4.11 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 3 Fasa di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi Tanpa Terhubung Dengan Distributed Generation Universitas Sumatera Utara 52 a b Gambar 4.12 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 3 Fasa di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTmH Tonduhan a b Gambar 4.13 a Urutan Waktu Operasi Koordinasi dan b Kurva Karakteristik Koordinasi Fuse 10, Fuse 12 dan Recloser 1 Eksisting Saat Terjadi Gangguan 3 Fasa di Bus 143 Pada Jaringan Distribusi yang Terhubung Dengan PLTM Silau 2 Standar PLN No. 64 tahun 1985 berbunyi bahwa waktu pemutusan maksimum dari pelebur pemroteksi hendaknya tidak melebihi 75 dari waktu Universitas Sumatera Utara 53 lebur minimum pelebur yang diproteksi, standar tersebut dapat dirumuskan dengan suatu persamaan rasio waktu 4.1, Waktu Pemutusan Maksimum Pelebur yang Diproteksi Waktu Lebur Minimum Pelebur Pemroteksi x 100 75 4.1 Berdasarkan Gambar 4.5 a diperoleh waktu pemutusan maksimum fuse 12 adalah 204 ms dan waktu lebur minimum dari fuse 10 adalah 154 ms, maka rasio waktu dari koordinasi kedua fuse tersebut adalah 204 154 x 100 = 132 sedangkan berdasarkan Gambar 4.9 a diperoleh waktu pemutusan maksimum fuse 12 adalah 25,1 ms dan waktu lebur minimum dari fuse 10 adalah 9 ms, maka rasio waktu dari koordinasi dari fuse 10 dan fuse 12 adalah 25,1 9 x 100 = 278 Kedua hasil perhitungan dari rasio waktu diatas menunjukkan bahwa rasio koordinasi fuse 10 dan fuse 12 telah melewati batas yang telah ditetapkan oleh PT. PLN melalui standar PLN No. 64 tahun 1985 yaitu 75, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan terhadap rating fuse 10 dan fuse 12. Selain berdasarkan standar PLN, operasi koordinasi fuse 10 dan fuse 12 tidak andal dikarenakan waktu pemutusan dari kedua fuse sama dimana daerah yang dilindungi oleh fuse 10 lebih luas dibandingkan daerah yang dilindungi oleh fuse 12. Seharusnya fuse 10 adalah pengaman cadangan terhadap gangguan pada Bus 143 dimana waktu Universitas Sumatera Utara 54 pemutusan fuse 10 harus lebih lama daripada fuse 12 yang merupakan pengaman utama. Kehadiran DG pada jaringan distribusi merusak koordinasi fuse dan recloser dalam mengamankan jaringan distribusi yang terhubung dengan DG untuk beberapa kondisi tertentu. Hal ini dibuktikan bahwa saat terjadi gangguan 1 fasa ke tanah pada jaringan tidak terhubung dengan DG dan pada jaringan terhubung dengan PLTmH Tonduhan, operasi pertama TCC1 recloser 1 bekerja pertama kali dan bila gangguan masih mengalir setelah operasi pertama ini, maka fuse 12 dan fuse 10 akan bekerja. Sedangkan saat terjadi gangguan yang sama pada jaringan distribusi terhubung dengan PLTM Silau 2 dan juga saat terjadi gangguan yang sama pada jaringan distribusi terhubung dengan PLTM Silau 2 dan PLTmH Tonduhan, mengakibatkan fuse 12 dan fuse 10 bekerja terlebih dahulu daripada operasi pertama TCC1 recloser 1. Koordinasi dari fuse 10, fuse 12¸dan recloser 1 eksisting tidak dapat berkoordinasi dengan baik saat terjadi gangguan 3 fasa pada jaringan distribusi tidak terhubung dengan DG dan terhubung dengan DG. Hal ini dibuktikan bahwa saat terjadi gangguan 3 fasa, fuse 10 dan fuse 12 bekerja terlebih dahulu, kemudian operasi kerja recloser 1 bekerja bila fuse 10 dan fuse 12 gagal mengamankan gangguan. Selain itu, koordinasi juga sudah tidak sesuai dengan yang teori koordinasi fuse dan recloser yang telah dijelaskan pada BAB 2.4. Gambar 4.5 a dan Gambar 4.6 a menunjukkan bahwa recloser 1 hanya memiliki 1 waktu kurva kerja yaitu TCC1. Perlu diperhatikan bahwa pada urutan pengoperasian diatas tidak ada operasi TCC2 sebagai operasi waktu tunda, dikarenakan tidak adanya pemilihan terhadap setelan TCC2 pada urutan operasi Universitas Sumatera Utara 55 fasa dan tanah recloser 1. Setelan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan terhadap setelan arus dan waktu, pemilihan setelan TCC2 pada recloser 1 serta rating fuse yang sesuai supaya kinerja dari koordinasi recloser 1 dengan fuse – fuse yang berkoordinasi dengan recloser 1 dapat mengamankan gangguan secara optimal pada jaringan distribusi yang dilindungi.

4.2.2 Pengujian dan Analisis Koordinasi Fuse dan Recloser Eksisting Pada Bus 577

Dokumen yang terkait

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

1 7 161

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

0 0 25

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

0 0 25

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

1 6 2

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 14

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 1

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 3

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 41

Studi Regulasi Tegangan Menggunakan Step Voltage Regulator pada Jaringan Distribusi 20 kV yang Terhubung dengan Distributed Generation

0 0 56

Studi Koordinasi Fuse Dan Recloser Pada Jaringan Distribusi 20 Kv Yang Terhubung Dengan Distributed Generation (Studi Kasus: Penyulang PM. 6 Gardu Induk Pematangsiantar)

0 0 69