pembangunan yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Dan sebagai objek, penduduk diharapkan dapat meningkatkan kesejateraannya dengan
menikmati hasil–hasil pembangunan. Oleh karena itu, pengembangan investasi sumberdaya manusia sehingga mendapat kualitas dan kuantitas yang ideal merupakan
salah satu strategi pembangunan yang penting dan mungkin terpenting Seragaldin dan Steer 1993 dalam Indahsari 2001. Bentuk–bentuk pengembangan sumberdaya manusia
adalah investasi di bidang pendidikan, kesehatan, tingkat gizi individu, dan lain – lain. Tipe keempat adalah modal sosial social capital. Bentuk dari kapital ini
antara lain fungsi kelembangaan dan budaya yang berbasis sosial. Tata nilai dan kelembagaan dalam masyarakat, baik formal maupun non formal, merupakan fungsi
kelembagaan dan budaya berbasis sosial yang merupakan potensi penting dalam pelaksanaan pembangunan.
2.4.2. Komposisi Kapital dalam Pelaksanaan Pembangunan yang Berkelanjutan
Pembangunan yang berkelanjutan berarti memberi kepada generasi yang akan datang kesempatan–kesempatan, setidaknya sama dengan kesempatan – kesempatan
yang dirasakan oleh generasi saat ini. Kesempatan – kesempatan ini dapat diukur dalam bentuk kapital man–made, human, social dan natural capital. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, keempat tipe kapital harus dikembangkan setiap saat untuk mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Namun, masing–
masing kapital memiliki karakteristik tersendiri kapital memiliki karakteristik tersendiri yang selanjutnya mengharuskan adanya pengaturan komposisi kapital dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan. Sumberdaya alam natural capital bersifat dapat langka dengan cepat, oleh
karena itu harus dikembangkan dan proporsi pemanfaatannya harus mulai berkurang setiap waktu untuk mencegah kelangkaan bahkan ’habisnya’ kapital ini yang tentu saja
mengancam keberlanjutan pembangunan. Demikian halnya dengan sumberdaya buatan yang proporsi pengembangannnya antar waktu diharapkan berkurang. Penelitian
menunjukkan bahwa di negara–negara maju sumberdaya buatan hanya memberikan kontribusi 20 terhadap total kekayaankesejahteraan manusia. Kontribusi terbesar
diberikan oleh human dan social capital Seragaldin, 1993. Komposisi kapital yang harus dikembangkan dengan proporsi yang semakin
besar antar waktu adalah social dan human capital Gambar 10. Walau bagaimanapun, penduduk –dengan pertumbuhan yang relatif cepat – merupakan potensi besar yang
31
harus dikembangkan, terutama kualitasnya baik secara individual maupun secara sosial. Kualitas individu, seperti keahlian dan keterampilan, merupakan potensi tersendiri dalam
pembangunan peningkatan produktifitas yang tidak akan ’habis’ antar waktu. Dan berbagai penelitian menunjukkan bahwa produktifitas kelompok dalam ukuran tertentu
pemanfaatan social capital akan lebih besar dibandingkan penjumlahan produktifitas dari masing–masing individu. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan memiliki
arti pengembangan keempat kapital antar waktu yang disertai dengan perubahan komposisinya Anwar, 1999.
Gambar 10. Pengembangan dan Komposisi Kapital dalam Pembangunan Berkelanjutan
Natural Capital
Man – made
Capital
Social Capital
Human Capital
Natural Capital
Man- made
Capital
Social Capital
Human Capital
Sumber : Anwar, 1999 Menurut Anwar 2002 Human Capital H, Physical Capital K, Natural
Capital R dan Social Capital S dapat menyumbang pada pertumbuhan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kapital fisik menyumbang pada
kesejahteraan melalui pertumbuhan ekonomi. Sedangkan human dan social capital beserta natural dan environmental capital juga demikian, karena semuanya juga
merupaan komponen-komponen langsung dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Human dan social, beserta natural capital juga akan menyumbang pada akumulasi
kapital fisik dengan meningkatkan manfaat-manfaatnya. Sedangkan kapital fisik meningkatkan manfaat–manfaat kepada human dan social capital serta natural capital
dimana jika pasar berjalan, maka merupakan pencerminan dari pemanfaatan ini. Akumulasi dari empat kapital tersebut pada gilirannya akan menyumbang kepada
terjadinya kemajuan teknologi dan bertumbuhnya total factor productivity TFP
Gambar 11.
32
Kapital Manusia
H
Sumber : Anwar, 2001 2.5.
Performa Pertambangan Indonesia
Seperti didiskripsikan pada bab pendahuluan bahwa komoditi pertambangan bersifat tidak terbarukan unrenewable resources maknanya sumberdaya tersebut tidak
memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana sumberdaya terbarukan renewable resources. Untuk itu eksploitasi sumberdaya mineral harus dilakukan secara
hati-hati agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD ’45 ”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar– besar kemakmuran rakyat”.
Industri pertambangan di Indonesia pada era Orde Baru dimulai sejak disyahkannya UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
UU No.1167 dan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing UU PMA 67. Melalui konsep Kontrak Karya Pertambangan KKP dan Perjanjian Karya
Gambar 11. Kerangka Berfikir Total Factor Productivity TFP
Mengatasi salah urus dan korupsi, Mengurangi
distorsi yang mengutamakan K,
Memperbaki Kegagalan Pasar yang merusak H, R
dan S, Memperbaiki Institusi
Pertumbuhan
Kapital Fisik
K Kesejahteraa
n Masyarakat Kapital
Alami R
Kapital Social
S
TFP = Total Factor Productivity
33
Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B, sektor pertambangan Indonesia mengalami kemajuan pesat. Tidak kurang dari 376 perusahaan telah mengantongi ijin
untuk menambang emas, tembaga, batubara serta mineral logam lainnya. Seiring dengan munculnya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang terus berkepanjangan menjadi krisis
politik dan sosial, Indonesia hingga saat ini dianggap bukan lagi sebagai tempat untuk tujuan investasi pertambangan Sigit, 2004.
Dalam empat dekade terakhir ini, industri pertambangan di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan nasional maupun bagi
daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua, Sumbawa Barat dan lain-lain. Munculnya ketidakpuasan
daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral tersebut, terutama sejak era reformasi 1998 karena pengelolaan pertambangan bersifat sentralistik dan sektoral. Ketidakpuasan
itu bersumber karena adanya ketimpangan pendapatan bagi hasil sumberdaya mineral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selama masa orde baru. Berdasarkan
studi Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 IMA, 2006 alokasi pendapatan sektor pertambangan dari pembagian pajak dan royalty ke provinsi, kabupaten dan kota sebesar
57,1 masih jatuh ke pusat setelah estimasi bagi hasil melalui dana alokasi umum DAU disertakan, bila tidak pemerintah pusat masih memegang 76 dari dana tersebut
Gambar 12. Euforia reformasi tahun 1998 secara emosional ikut memicu daerah-daerah yang
kaya sumberdaya mineral untuk memisahkan diri dari NKRI dalam bentuk separatisme yang masih merebak hingga saat ini misalnya untuk kasus Papua dan Aceh. Disamping
masalah bagi hasil pendapatan sumberdaya mineral dengan pemerintah pusat, kekecewaan daerah penghasil juga bersumber dari tidak adanya kepemilikan saham
pemerintah daerah. Sebenarnya di dalam Kontrak Karya Pertambangan terdapat pasal yang mewajibkan penjualan saham asing pada pihak Indonesia. Namun ketidakmampuan
kepemilikan saham daerah penghasil sangat terkait dengan besarnya dana yang harus disediakan untuk membeli saham perusahaan pertambangan yang tertuang dalam
Kontrak Karya Pertambangan. Misalnya saat PT. Newmont Nusa Tenggara mendivestasikan sahamnya sebesar 3 tahun 2006 maka dana yang harus disiapkan oleh
pembeli adalah Rp. 1,09 triliun. Anggaran sebesar itu setara dengan empat kali lipat APBD Kabupaten Sumbawa Barat 2007 yang hanya Rp. 260 milyar.
34
Gambar 12. Alokasi Pendapatan Sektor Pertambangan di Indonesia Sumber : Pricewaterhaouse Coopers PwC 2003 IMA, 2006
Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Fraser Institute di Vancauver, Canada, tahun 2004 IMA, 2006 terhadap 159 perusahaan tambang dan eksplorasi di
seluruh dunia, ternyata ada beberapa hal yang dianggap sangat menghambat minat investasi dunia di Indonesia antara lain, faktor stabilitas politik 90 , ketidakpastian
peraturan 66 dan tumpang tindih peraturan 53 Tabel 7. Studi tersebut juga menyebutkan berbagai ketidakpastian investasi pertambangan di Indonesia berkenaan
dengan klaim tanah oleh penduduk asli, wilayah yang akan dilindungi sebagai suaka alam atau taman nasional dan minimnya infrastruktur Tabel 8.
Tabel 7. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Investasi Pertambangan di Indonesia
No. Faktor responden yang
mempertimbangkan faktor sebagai hambatan
utama investasi di Indonesia
Komentar
1. Stabilitas Politik
90 Hanya Zimbabwe 97 yang
mendapat nilai lebih buruk 2.
Ketidakpastian hukum 66
Nilai terburuk 3.
Duplikasi tumpang tindih peraturan
53 Hanya India 66 dan
Filipina 69 yang mendapat nilai lebih buruk
Sumber : Fraser Institute, 2004
35
Tabel 8. Berbagai Ketidakpastian Investasi Pertambangan di Indonesia
No. Faktor
responden yang mempertimbangkan faktor
yang merupakan ketidakpastian investasi
pertambangan di Indonesia Komentar
1. Ketidakpastian berkenaan
dengan klaim tanah oleh penduduk asli
22 peringkat terendah ke-5
2. Ketidakpastian berkenaan
dengan wilayah yang akan dilindungi
sebagai suaka alam atau taman nasional
13 peringkat terendah ke-2
3. Infrastruktur
24 peringkat terendah ke-4
Sumber : Fraser Institute, 2004 Demikian juga dengan hasil laporan Word Bank IMA, 2006 tentang indeks
kepercayaan investor menyebutkan bahwa Indonesia relatif memiliki tingkat kepercayaan investor yang lebih rendah dari Thailand dan Vietnam Gambar 13.
Rendahnya tingkat kepercayaan investor ini mengakibatkan munculnya disentif yang sangat besar bagi investor untuk ikut serta dalam kegiatan investasi di Indonesia,
termasuk investasi pada sektor pertambangan yang relatif memakan waktu yang lama serta risiko yang besar IMA, 2006.
Faktor lain yang menjadi kendala melemahnya investasi pertambangan di Indonesia adalah besarnya korupsi pada sektor pemerintahan di Indonesia. Gambar 14
memperlihatkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia relatif sangat parah dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memiliki tingkat korupsi yang lebih buruk dibandingkan
dengan India dan Thailand serta sangat jauh jika dibandingkan dengan Malaysia. Tingkat korupsi yang parah ini jelas menimbulkan disentif yang sangat besar bagi investasi
pertambangan, mengingat kegiatan pertambangan melibatkan sejumlah peraturan yang diatur oleh pemerintah sehingga tingkat korupsi yang besar akan mengurangi kepastian
berusaha karena adanya ekonomi biaya tinggi high cost economy.
Gambar 13. Index Kepercayaan Investor FDI Confidence Index Among Global Investors
Sumber : Word Bank, 2005
36
Gambar 14. Indeks Persepsi korupsi 2003 Sumber : Transperancy International, 2003
Jika dilihat dari perspektif daerah penghasil, sektor pertambangan sering menimbulkan kondisi kantong enclave pada masa operasi, terjadinya efek pengurasan
backwash effect oleh daerah-daerah yang lebih maju yang justru menghambat perkembangan wilayah-wilayah perdesaanhinterland yang kaya sumberdaya mineral
Anwar 2001. Sebagai akibatnya investasi pertambangan menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah regional leakage bagi daerah penghasil pada masa operasi karena
kecilnya penggunaan dan pembelian barang dan jasa di daerah setempat yang mana sebagian besar barang dan jasa tersebut harus di import.
Menurut Agenda 21 sektor Pertambangan 2001 menyatakan bahwa industri pertambangan juga merupakan industri yang menimbulkan berbagai perubahan drastis
terhadap lingkungan sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian fungsi-fungsi lingkungan dan fungsi-fungsi kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam prespektif
lingkungan, kehadiran industri pertambangan pada suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya depresiasi degradation dan depletion lingkungan, hilangnya
keanekaragaman hayati flora dan fauna, hutan, lahan, sungai dan laut. Potensi-potensi positif sektor pertambangan sering tidak mampu mengkompensasi potensi-potensi
negatif itu, sehingga industri pertambangan mempunyai potensi konflik dengan kepentingan masyarakat.
37
Pertambangan juga berdampak pada kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam. Aksessibilitas masyarakat lokal
terhadap sumberdaya alam sebagai mata pencaharian tradisionalnya dapat hilang jika wilayah Kontrak Karya Pertambangan tertutup bagi mereka, hal ini dapat menjadi
masalah serius bagi penduduk setempat. Munculnya berbagai masalah sosial budaya, pelanggaran hak asasi manusia, hilangnya kearifan-kearifan lokal masyarakat asli
indegenous people turut mewarnai perjalanan industri pertambangan di Indonesia selama empat dekade terakhir ini.
Meskipun berbagai persoalan yang menghambat investasi pertambangan di Indonesia namun sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya mineral yang
cukup kaya dan beragam. Menurut Hamilton dan Katili Sigit, 1996 secara geologi posisi Indonesia diuntungkan karena berada pada konvergensi tiga lempengan raksasa
dunia yakni lempengan Australia-Hindia yang bergerak ke Utara, lempengan Pasifik bergerak ke Barat dan lempengan Eurasia Eropa Asia yang relatif diam. Konvergensi
ke tiga lempengan tersebut membawa dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Dampak negatifnya ; struktur kepulauan Indonesia di penuhi oleh deretan gunung berapi
yang berpotensi mendatangkan bencana. Dampak positifnya; pola penyebaran mineralisasi hampir merata pada gugus kepulauan Indonesia yang mengandung potensi
sumberdaya mineral yang kaya dan beragam.
38
Tabel 9. Potensi Sumberdaya Mineral di Indonesia
No Jenis Mineral
Deposit cadangan Lokasi
Keterangan 1.
Bauksit 1,3 milyar ton
Pulau Bintan Propinsi Riau. Kalimantan Barat
PT. Aneka Tambang memiliki izin
penambangan tunggal seluas 10.000 ha
2. Batubara
36,5 milyar ton Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Irian Jaya dan Pulau Jawa
3. Kobalt
Nomor 3 terbesar di dunia setelah Kanada
dan Uganda Pulau Wageo antara
pulau Halmahera dan Irian Jaya
4. Tembaga
32 juta ton Grasberg, Irian Jaya,
Kalimantan, Jawa, Sumatera dan Sulawesi
PT. Freeport Inc 5.
Intan Tidak ada data
Kalimantan Selatan Kandungan mineral
yang penting di Kalsel 6.
Emas 3120 ton
Grasberg Irian Jaya. Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa
Tenggara, Pulau Wetar Irian Jaya
PT. Freeport Inc
7. Kaolin
tidak ada data Sulawesi Timur Laut,
Kepulauan Bangka dan Belitung
Di Belitung terdapat 14 pertambangan
8. Mangan
tidak ada data Jawa Barat, Jawa
Tengah 9.
Mika tidak ada data
Wasior, Irian Jaya 10.
Pasir Besi tidak ada data
Cilacap, Bali, Ende NTT, Sumatera
11. Pasir Chroom
tidak ada data Pulau Halmahera
12. Nikel + 27.000 ton nikel
kasar nikel matte tahun 1990. 1000 juta
ton nikel laterit dengan kandungan
logam 13 juta ton Soroako Sulawesi
Selatan, Kalimantan, Halmahera dan Irian
Jaya PT. INCO
13. Timah
24.000 ton Kepulauan Riau, lepas
pantai timur Sumatera. Pulau Bangka Sumatera
Selatan PT. Tambang Timah
BUMN
14. Uranium
tidak ada data Sungai Riang Kalbar,
sungai Mahakam, Sibolga SUMUT,
Kelian KALTIM, Sungai Momi
Monokwari Irian Jaya Di survey oleh
PT.Anggi Chemaloy
15. Seng
tidak ada data Irian Jaya
Sumber : diolah dari berbagai sumber, 2006 Tentang potensi sumberdaya mineral Bachriadi, 1998 menambahkan Indonesia
menyimpan kandungan minyak terbesar di dunia, juga dikenal sebagai penghasil timah nomor 2 di dunia dan bersama Thailand sebagai kontributor 58 dari produksi timah
dunia. Indonesia juga tercatat sebagai pengekspor batubara uap nomor 3, penghasil nikel
39
nomor 5 dan penghasil emas nomor 9 di dunia. Jika mengacu pada program perluasan tambang PT. Freeport Indonesia PTFI di Papua sejak tahun 1997 maka perusahaan ini
akan menjadi penghasil tembaga nomor 2 terbesar di dunia. Potensi sumberdaya mineral yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang menyangkut jenis, deposit dan penyebarannya
merupakan kekayaan nasional disajikan pada Tabel 9 diatas. Sedangkan persebaran potensi sumberdaya mineral dan pelaku utama sektor
pertambangan di Indonesia di tunjukkan pada Gambar 15 di bawah ini.
Gambar 15. Persebaran Pelaku Utama Sektor Pertambagan di Indonesia Sumber : DESDM IMA, 2006
Hasil annual survey of mining companies 20022003 yang dilakukan oleh Fraser Institute lembaga penelitian ekonomi, sosial dan pendidikan di Kanada tentang
kekayaan sumberdaya mineral di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia dari sisi mineral potential index berada pada urutan 16 dari 47 negara yang di
survey seperti terlihat pada Gambar 16.
Indonesia urutan ke 16 dari 47
Gambar 16. Indeks Potensi Mineral dari 47 negara Sumber : Fraser Institute 20022003 survey of mining companies
40
Namun betapapun kayanya potensi sumberdaya mineral di sebuah negara, harus pula ditopang oleh kebijakan pemerintah dan iklim investasi yang kondusif.
Sebagaimana dikatakan oleh Sigit 1996 : “Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara, bukannya
ditentukan terutama oleh potensi sumberdaya mineralnya betapapun juga kayanya, tetapi lebih banyak bergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang
berkuasa dalam menetapkan iklim usaha yang diperlukan” Menurut Sigit 2004, sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim
investasi pertambangan di Indonesia, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek
eksplorasi yang di lakukan oleh perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing PMA. Sebagai konsekuensi dari situasi demikian berdasarkan hasil annual survey of
mining companies 20022003 yang dilakukan oleh Fraser Institute, Indonesia berada pada urutan ke 47 dari 47 negara dalam Policy Potential Index sebagai negara tujuan
investasi pertambangan, seperti terlihat pada Gambar17.
Indonesia urutan ke 47 dari 47
Gambar 17. Indeks Potensi Kebijakan Sumber : Fraser Institute 20022003 survey of mining companies
Selanjutnya Sigit 2004 menyatakan pertambangan di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat selama kurun waktu 1970-1996, namun dewasa ini mengalami
kesulitan yang berkepanjangan. Sejak tahun 1997 timbul berbagai hal yang merusak iklim investasi, yang menyebabkan tidak saja terhentinya arus investasi pertambangan
baru, tetapi juga menyebabkan terhentinya ratusan proyek eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan PMA. Puluhan investor berbondong-bondong meninggalkan
Indonesia dan mengalihkan investasinya ke negara lain terutama China, India, Vietnam,
41
Chili, dsbnya karena negara-negara tersebut dapat memberikan fasilitas dan kondisi lingkungan kerja yang lebih baik. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian BCI Bussiness
Competitiveness Index IMA, 2006 tentang kondisi persaingan usaha di Indonesia yang relative buruk dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam, Brazil maupun
Thailand Gambar 18. Kinerja yang buruk ini tentunya akan mengurangi tingkat kepastian investor untuk melakukan tindakan investasi di Indonesia. Karenanya, peran
pemerintah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif menjadi mutlak untuk dilakukan.
Gambar 18. Indeks Persaingan Usaha
Sumber : BCI Bussiness Competitiveness Index dalam IMA, 2006 Selain itu, serangkaian kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan
perundangan di bidang perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanahan, ketenagakerjaan dan pelaksanaan otonomi daerah, telah menimbulkan berbagai
permasalahan yang membuat iklim investasi tidak kondusif lagi. Dengan demikian sejak tahun 1996 penanaman modal dalam pertambangan di Indonesia telah mengalami
Stagnasi atau mati suri. Setelah beroperasi selama lebih dari empat dekade menurut data BPS 2003,
secara nasional kontribusi sektor pertambangan pada perekonomian nasional Produk Domestik Nasional Bruto berturut-turut tahun 1997 sebesar Rp. 7.645,6 triliun 1,76,
1998 sebesar Rp. 9.678,0 triliun 2,57, 1999 sebesar Rp. 10.357,7 triliun 2,73, 2000 sebesar Rp. 11.619,2 triliun 2,92, 2001 sebesar Rp. 12.502,5 triliun 3,04,
2002 sebesar Rp. 13.082,2 triliun 3,07. Nilai sebesar itu belum dapat dikatakan
42
signifikan jika dibandingkan dengan besarnya deposit sumberdaya mineral yang terdapat dalam perut bumi Indonesia.
Menurut LPEM UI dalam studi pembuatan road map sektor pertambangan 2004 bahwa proporsi sektor pertambangan terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2002
hanya mencapai lebih dari 2,5 dari total PDB. Proporsi ini relatif menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 3 dari total PDB
secara keseluruhan Gambar 19. Kecilnya proporsi nilai tambah sektor pertambangan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk dapat terus meningkatkan nilai tambah
sektor pertambangan sehingga peranannya pada masa yang akan datang dapat terus ditingkatkan, mengingat besarnya sumberdaya dan cadangan bahan tambang di
Indonesia.
Gambar 19. Proporsi Nilai Tambah Sektor Pertambangan terhadap PDB Indonesia
Sumber : CEIC LPEM UI, 2004 Lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah PKPD juga berdampak signifikan bagi pendapatan daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral. Daerah-daerah yang
memiliki potensi sumberdaya alam yang signifikan akan memiliki alokasi yang besar dari penerimaan negara yang diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 dan PP No. 1042000
terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB dan penerimaan dari sumberdaya alam. Untuk sektor pertambangan
umum di bagi dengan imbangan 20 Pemerintah Pusat, 16 Propinsi, 32
43
KabupatenKota Penghasil dan 32 KabupatenKota dalam Propinsi. Bagi hasil penerimaan negara dari sumberdaya alam secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Persentase Alokasi Bagi Hasil Penerimaan dari Sumberdaya Alam
No. PENERIMAAN PUSAT PROVINSI KAB.KOTA
PENGHASIL KAB.KOTA
LAINNYA KAB.KOTA
SELURUH INDONESIA
A. SDA Non
Migas 1. Kehutanan
- PSDH
20 16
32 32
- IHPH
20 16
64 - Dana Reboisasa
60 40
2. Pertambangan - Land Rent
20 16
32 32
- Royalty
20 16
32 32
3. Perikanan 20
80 B SDA
Migas 1. Penerimaan
Negara Setelah dikurangi
komponen pajak yang berasal dari minyak
bumi 85 3
6 6
2. Penerimaan Negara
Setelah dikurangi komponen pajak yan
berasal dari gas alam 70 6
12 12
Sumber : UU No. 33 Tahun 2004 dirangkum Bagi hasil pajak dan sumberdaya alam serta dana perimbangan terlihat pada tabel
10 dan tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Bagian Pusat–Daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Sumberdaya Alam
No Jenis Bagi Hasil Perincian Bagian Daerah
Pusat Daerah
1. Pajak Bumi da Bangunan PBB
10 90
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan
20 80
3. Pajak Penghasil Perorangan
80 20
4. SDA Kehutanan
Iuran Hak Penguasaan Hutan HPH Provinsi 16, KabupatenKota Penghasilan 6
20 80 Provisi Sumberdaya Hutan PSDH
Provinsi 16 KabupatenKota Penghasil 32, KabupatenKota Lainnya 32
20 80 5.
SDA Pertambangan Umum : Iuran Tetap Land Rent
Provinsin 16, KabupatenKota Penghasil 64 20 80
Iuran Eksplorasi Eksploitasi Royalty Provinsi 16 , KabupatenKota Penghasil 32,
KabupatenKota Lainnya 32 20 80
Sumber : UU No. 332004, PP No. 1042000 dan PP No. 1152000
44
Tabel 12. Dana Perimbangan menurut Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000
No Jenis Penerimaan
Pusat Provinsi
KabKota Penghasil
Kabupaten Lainnya
1. PBB 10
+ 90x9,
sebagai biaya pungut
90x16.2 90x64.8
2. BPHTB 20
80x16 80x64 32
3. IHPH 20
16 64x50 64x50
4. Propisi SDH
20 16
64 5. Iuran
Tetap 20
16 64
6. Royalty
20 16
64x50 64x50
7. Perikanan 20
80 8. Minyak
Bumi Penerimaan Bersih
85 3 6 6 9. Gasa
Alam Penerimaan Bersih
70 6 12 12 10.
Alokasi Umum Minus 25
dari APBN 10 90
11. Alokasi Khusus
12. Dana Reboisasi
60 40
Sumber : Peraturan Pemerintah No. 104 tahun 2000, dirangkum Di beberapa daerah yang memiliki sumberdaya mineral sektor pertambangan
mampu menyumbangkan persentase yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto PDRB daerah. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Kabupaten Kutai
Timur sebesar 74,7 persen, Kabupaten Mimika Papua 97,4 persen dan Kabupaten Luwu Utara, Sulsel 80 persen, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB sebesar 92,70 persen 2003,
95,24 persen 2004 dan 95,26 persen 2005. Namum tingginya PDRB di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral belum dapat dijadikan indikator kesejahteraan
masyarakat karena penilaian tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah bahwa PDRB konvensional belum dikurangi dengan depresiasi
lingkungan yakni penyusutan depletion dan kerusakan degradation lingkungan. Selama empat dekade perjalanan industri pertambangan di Indonesia dari
prespektif sosial budaya dipenuhi konflik dengan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dan ketidakpuasan unsur-unsur masyarakat di daerah. Sumberdaya mineral yang
selama ini menjadi simbol kekayaaan di daerah menjadi sumber tuntutan untuk mendapatkan hak otonomi. Pertambangan yang perizinannya dikelola secara sentralistik
dan sektoral dirasakan telah menciptakan ketidakadilan, pencemaran lingkungan serta kecilnya manfaat bagi masyarakat telah menjadi sasaran tuntutan lahirnya paradigma
baru pertambangan.
45
2.6. Penganggaran dan Kinerja Pembangunan