dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2005-2010, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2025, perencanaan penganggaran APBD
tahunan maupun peraturan daerah Kabupaten tersebut.
5.4.3. Performa Peraturan Daerah Perda Kabupaten Sumbawa Barat
Analisis isi juga dilakukan terhadap 45 peraturan daerah Perda Kabupaten Sumbawa Barat dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana kesiapan daerah tersebut
mengantisipasi habisnya cadangan sumberdaya mineral dan menghadapi kehidupan pascatambang. Jika dikaitkan dengan transformasi struktur ekonomi dari berbasis
pertambagan ke sumberdaya lokal terbarukan serta pengembagan sektor-sektor strategis lainnya sebagai pengganti tambang, diketahui bahwa peraturan perundangan yang dibuat
oleh Pemkab Sumbawa Barat belum mengarah ke transformasi sumberdaya berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan.
5.4.4. Proses Perubahan Kebijakan dalam Pola Hubungan Stakeholder
Hubungan Relationship antar stakehoder di Kabupaten Sumbawa Barat mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga
dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dan upaya menghindari suasana Kabupaten hantu ghost regency pada masa pascatambang.
Narasi Kebijakan: Kilas Balik 42 Tahun Pertambangan Indonesia
Wacana dominan yang berkembang dan menjadi narasi kebijakan kelompok kepentingan pertambangan di Indonesia yang didominasi oleh pengusaha pertambangan
adalah: Pertama kebijakan eksploitasi sumberdaya mineral oleh industri pertambangan di Indonesia pada era orde baru dimulai sejak 1967 melalui undang-undang No. 11 tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua UU tersebut berlandaskan pada pasal 33 UUD 45
yang memberikan hak penguasaan pada negara HPN yang bermakna mengatur, mengurus dan menguasai atas sumberdaya alam Saleng, 2004. Bahwa pertambangan
adalah kebijakan yang diputuskan di tingkat nasional, disetujui atau tidaknya pertambangan untuk mineral dengan katagori strategis dan vital –menurut undang-undang-
tersebut tergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Bahkan pasal 3 UU 111967 secara tegas memberikan penggolangan atas bahan-bahan galian yakni strategis golongan a,
vital golongan b dan tidak termasuk golongan a dan b. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahan galian strategis dan vital pengelolaan dan perizinannya dikeluarkan oleh
131
pemerintah pusat sedangkan bahan galian non strategis dan non vital perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah propinsi berdasarkan SIPD Surat Izin Pertambangan Daerah
dimuat dalam PP No. 32 tahun 1969. Dengan demikan karakteristik pertambangan untuk golongan srategis dan vital bercorak sentralistik, sektoral dan top down karena merupakan
wewenang penuh dari pemerintah pusat yang sangat dominan terhadap bahan galian tersebut. Untuk golongan bahan galian strategis dan vital dalam pengelolaan sumberdaya
mineral, merupakan kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak investor yang tertuang kontrak karya pertambangan KKP. Karena KKP landasan
hukumnya UUPP dan UUPMA mengakibatkan perumusan KKP hanya mengatur kepentingan dua pihak saja yakni pemerintah pusat yang mewakili negara dan kepentingan
investor. Hal ini mengakibatkan kesepakatan-kesepakatan dalam KKP tidak memberikan ruang partisipasi bagi pemerintah propinsi, kabupaten dan masyarakat lokal yang tinggal
dekat dengan sumberdaya mineral. Undang-undang pertambangan tidak menyebutkan partisipasi dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam negosiasi-negosiasi
kesepakatan kontrak antara pemerintah dan pihak investor. Kurang terakomodasinya kepentingan daerah dan masyarakat setempat dalam peraturan perundang-undangan
menyebabkan investasi pertambangan selama 40 tahun berdiri diatas pondasi yang rapuh Agenda 21, 2001. Sebagai konsekuensi dari situasi tersebut ketika perusahaan
pertambangan memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi sering terjadinya konflik antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan perusahaan pertambangan. Tidak dilibatkannya
pemda dan masyarakat dalam perumusan kontrak karya pertambangan membuat ruang gerak dan pilihan-pilihan masyarakat untuk melakukan inovasi kebijakan menjadi terbatas.
Karakter KKP yang demikian itu berlaku seragam bagi kebijakan sumberdaya mineral dengan katagori vital dan strategis selama 42 tahun perjalanan industri pertambangan di
Indonesia. Karakter KKP yang demikian itu, terlihat pula pada kontrak karya Proyek Batu Hijau antara pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara PTNNT yang
ditandatangani 2 Desember 1987. PTNNT sebagai pemegang KKP di satu sisi dan pemerintah daerah dengan sistem perundang-undangan Pemda di sisi lain. Kedua, faktor
yang juga turut mendominasi narasi kebijakan nasional industri pertambangan di Indonesia adalah argumentasi yang menekankan pentingnya investasi asing langsung
foreign direct invesment Todaro, 2006 yaitu 1 FDI pertambangan bertujuan untuk transfer pengetahuan dan teknologi. Perusahaan-perusahaan multinasional akan membawa
pengetahuan dan teknologi yang paling canggih mengenai proses produksi sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada negara-negara dunia ketiga
2 FDI sektor pertambangan mendorong pembangunan bagi negara tuan rumah host country 3 FDI sektor pertambangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten
132
penghasil 4 FDI menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi dan keterampilan managemen yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih
murah dan akses pada teknologi, produk, keterampilan dan pendanaan yang baru 5 memberikan kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi lokal seperti peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto PDRB dan PAD. Narasi kebijakan ini mendominasi FDI sektor tambang secara nasional dan juga bagi daerah penghasil. Ketiga, untuk konteks
pembangunan daerah wacana yang berkembang tentang pentingnya pertambangan adalah pemerintah daerah akan menerima berbagai bentuk pendapatan dalam bentuk pajak dan
non pajak royalty. Selain itu pertambangan akan menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat, membuka lapangan usaha, memberikan dampak pengganda multiplier effect
bagi masyarakat dan dibangunnya infrastruktur di daerah. Keempat, beberapa hasil riset membuktikan bahwa isu-isu lokal pertambangan masih terkooptasi dan belum menjadi
mainstrem oleh dominannya narasi global tentang tambang yang telah disebutkan pada point sebelumnya. Isu–isu lokal yang belum terangkat kepermukaan adalah hilangnya
aksessibilitas masyarakat setempat terhadap sumberdaya alam, tingginya kebocoran regional, rendahnya dampak pengganda multiplier effect, rendahnya penyerapan tenaga
kerja lokal. Perspektif jangka panjang tentang pertambangan yang mempunyai umur tertentu dan suatu saat akan habis seolah hilang oleh pola pikir rabun dekat myopic
pengambil kebijakan dan stakeholder karena terlena oleh keuntungan yang sifatnya sesaat dan jangka pendek.
Diskripsi narasi global dan nasional tentang pertambangan hingga saat ini masih berlangsung, menjadi mainstrem, sudah mendapat tempat dan keyakinan,
menyederhanakan kompleksitas situasi, terpisah dari diskursus sesungguhnya yang berkembang dilapangan. Dalam kasus pertambangan terlihat bahwa perdebatan global ikut
bermain dalam konteks kebijakan lokal, sebaliknya aktifitas lokal termarginalisasi dalam narasi global yang dominan IDS, 2006.
Posisi riset ini yang akan dijadikan arusutama mainstrem dan debat kebijakan adalah terkait dengan judul penelitian adalah model pembangunan daerah berkelanjutan
melalui transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan Studi kasus tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PTNNT di
Sumbawa Barat NTB dengan mengacu pada tujuan penelitian. Dari hasil wawancara menunjukan bahwa pemangku kepentingan stakeholder di
Sumbawa Barat yakni pemerintah KSB, DPRD Sumbawa Barat, PTNNT, NGO, lembaga riset, tokoh masyarakat hingga DESDM belum mengarah pada perdebatan diskursus dan
naratif menghadapi habisnya tambang dan kehidupan pascatambang. Perdebatan tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi dari tambang ke sumberdaya lokal terbarukan
133
belum menjadi arusutama mainstrem perdebatan masing-masing pemangku kepentingan stakeholder, meskipun secara internal institusi sangat mendukung dikembangkannya
perdebatan dan wacana perlunya transformasi sumberdaya lokal selain tambang. Misalnya para pejabat Pemda Sumbawa Barat yang diwawancarai sependapat jika perlu kebijakan
antisipasi habisnya tambang dan menghadapi pasca tambang dengan mengembangkan sumberdaya lokal pertanian yang ada didaerah tersebut. Namun wacana tersebut belum
menjadi perdebatan diskursus dan narasi kebijakan antar pemangku kepentingan bahkan belum adanya sinergi stakeholder utama pembangunan yakni pemda Sumbawa Barat dan
PTNNT. Kebijakan kedua institusi ini masih cenderung berjalan sendiri-sendiri bahkan berlawanan, hal ini terlihat belum adanya strategi bersama menghadapi habisnya tambang
dan antisipasi kehidupan pascatambang. Hubungan antar stakeholder dalam diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai
upaya menghindari Kabupaten hantu ghost regency ditunjukan pada Tabel 55. Tabel
55. Hasil analisis diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas
Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu ghost regency
Institusi Pemkab
Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa
Barat PT.
Newmont Nusa
Tenggara NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
Pemkab Sumbawa Barat
KMI KBT KTA KBT KBT KBT KLT DPRD
Sumbawa Barat KMI
KTA KBT
KTA KBT
KLT PT.Newmont
Nusa Tenggara KMI
KBT KTA
KTA KBT
NGO KMI
KBT KBT
KTA Lembaga Riset
KMI KBT
KTA Tokoh
Masyarakat KMI
KTA DESDM
KMI
Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan :
KMI = Kebijakan masih bersifat internal institusi KBT = Kebijakan belum tersosialisasikan sebatas wacana
KLT = Kebijakan belum terkait KTA = Kebijakan bersama tidak ada
134
Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek diskursus dan narasi adalah:
Kesulitan:
1. Transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal
terbarukan, alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan belum menjadi diskursus dan naratif pemangku kepentingan
stakeholder di Sumbawa Barat mengantisipasi habisnya pertambangan 2.
kekhawatiran Sumbawa Barat menjadi kabupaten hantu ghost regency pasca tambang belum dianggap sebagai suatu yang membahayakan bagi masa depan
Sumbawa Barat oleh pemangku kepentingan stakeholder ketika tambang habis. Bahkan stakeholder kunci pembangunan yakni Pemkab. Sumbawa Barat dan PT.
Newmont Nusa Tenggara masih berjalan sendiri
Peluang dan Kesempatan Peluang dan kesempatan kearah transformasi struktur ekonomi, alokasi belanja
pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan, baru sebatas wacana secara internal institusi masing-masing stakeholder, khususnya bagi Pemkab.
Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara sehingga perlu sebuah forum bersama yang melibatkan pemangku kepentingan stakeholder untuk mendiskusikan secara
terbuka masa depan Sumbawa Barat pasca tambang
Jaringan Kerja Aktor
Dalam investasi pertambangan sedikitnya terdapat empat pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah republik Indonesia yang mewakili kepentingan negara,
pemerintah daerah yang mewakili kepentingan daerah dimana investasi pertambangan berada, investor dan masyarakat setempat Agenda 21, 2001. Selama 42 tahun lebih UU
No. 111967 digunakan sebagai sumber pengaturan perizinan investasi pertambangan dalam negeri, sedang Kontrak Karya berisi pengaturan hak dan kewajiban investor dan
Pemerintah Indonesia dalam proses investasi dan operasi pertambangan asing. Kedua sumber hukum investasi pertambangan ini dapat dikatakan tidak saling berkaitan, baik
secara substansial maupun secara hukum. Ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya dapat dikatakan berdiri sendiri dalam arti tidak bersumber dari UU No. 111967. Agenda
21, 2001. Meskipun kedua sumber hukum pertambangan ini tidak saling berkaitan, tetapi
keduanya mempunyai ciri–ciri yang sama. Kesamaan pertama adalah bahwa keduanya sebagian besar berisikan pengaturan prosedur perizinan dalam aspek teknis dan ekonomis.
Dengan perkataan lain kedua sumber hukum pertambangan ini tidak mengatur interaksi
135
antara pertambangan dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Kesamaan lain, keduanya
lebih berorientasi pada usaha pertambangan dan bukan pada pengelolaan sumberdaya mineral mineral resources management Agenda 21, 2001.
Memaknai UU 1167 dalam konteks jaringan kerja aktor, menempatkan tujuh stakeholder berada pada posisi diametral yakni pemerintah pusat dan investor di satu sisi
versus pemerintah daerah dan masyarakat di sisi lain sehingga pertimbangan- pertimbangan lokal dan kepentingan daerah dalam industri pertambangan di Indonesia
kurang diperhatikan. Dengan demikian ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas dengan UU 1167. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral di Sumbawa Barat atas
Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara dalam jangka menengah dan panjang adalah pertarungan konflik kepentingan antara eksekutif, legeslatif, perusahaan, ilmuwan,
LSM dan pandangan masyarakat setempat. Transformasi mineral ke sumberdaya lain sulit diterima oleh kelompok yang berpandangan rabun dekat miopic.
Dari hasil wawancara menunjukkan jaringan kerja aktor belum bekerja dengan baik bahkan berjalan sendiri-sendiri, saling melemahkan atau berlawanan, terkecuali pada
internal masing-masing institusi. Jaringan kerja aktor mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu ghost
regency ditunjukan pada Tabel 56. Tabel 56. Jaringan kerja aktor mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan
dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu ghost regency
Institusi Pemkab
Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa
Barat PT.
Newmont Nusa
Tenggara NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM
Pemkab Sumbawa
Barat RI RL BR
TR TR TR RL
DPRD Sumbawa
Barat RI RL
RL RL RL RL
PT.Newmont Nusa
Tenggara RI
RL KL
RL RI
NGO RI
RL RL
BR Lembaga
Riset RI
RL RL
Tokoh Masyarakat
RI RL
DESDM RI
Sumber : hasil analisis, 2009
136
Keterangan : RI = Relasi internal institusi, RL = Relasi lemah,
BR = Berlawanan, TR = Tidak ada relasi Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek jaringan
kerja aktor adalah:
Kesulitan: Jaringan kerja aktor pembangunan mengantisipasi habisnya pertambangan belum
terbentuk
Peluang dan Kesempatan: Interaksi masing-masing pemangku kepentingan stakeholder sebenarnya relatif
intensif namun relasi aktor kearah kerjasama masih belum terarah dalam melihat masa depan Sumbawa Barat pasca tambang
Politik dan Kepentingan
Apa yang harus dilakukan untuk menghindari penyakit Belanda ducth deases, kabupaten hantu ghost regency atau bencana pertambangan untuk mendesain
pembangunan berkelanjutan bagi kabupaten Sumbawa Barat? dengan kata lain, apa yang salah dan bagaimana mengoreksinya. Sehingga diperlukan kebijakan transformasi
pertambangan ke sektor-sektor selain tambang dengan basis sumberdaya alam terbarukan renewable resources didaerah setempat untuk pembangunan berkelanjutan di Sumbawa
Barat NTB. Politikkepentingan yang dikembangkan adalah : a.
Memberikan kesadaran pada pemerintah daerah dan masyarakat bahwa pertambangan adalah sumberdaya yang tidak terbarukan unrenewable resources,
suatu saat pasti akan habis. Perolehan hasil dari tambang yang dinikmati oleh pemerintah daerah saat ini baik dalam bentuk royalty, pajak dan PAD hanya bersifat
sementara dan jangka pendek. Untuk itu pemda dan masyarakat tidak perlu terlena dengan pertambangan karena sangat riskan jika menggantungkan masa depan pada
pertambangan b.
Bagaimana mempengaruhi pemangku kepentingan stakeholder di kabupaten Sumbawa barat agar bersedia merumuskan kebijakan transformasi sumberdaya
mineral ke sumberdaya lokal terbarukan Untuk merumuskan politik kepentingan dalam transformasi sumberdaya mineral
maka harus dirumuskan terlebih dahulu siapa yang paling berkepentingan terhadap
137
transformasi tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan: 1 Masyarakat berkepentingan untuk hidup sejahtera dan layak pasca tambang 2 Pemerintah daerah berkepentingan
terhadap keberlanjutan pembangunan wilayah dan menyediaan sumber-sumber ekonomi potensial bagi rakyatnya 3 PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai perusahaan
multinasional berkepentingan meninggalkan nama baik di daerah tempat operasi. Meminimalisir stigma sebagai perusahaan yang penguras sumberdaya alam dan merusak
lingkungan. Memandu proses tersebut, pemahaman pada politik, birokrasi dan kekuasaan dan kepentingan yang melatarbelakangi kebijakan.
Menurut hasil wawancara, secara faktual dilapangan menunjukkan bahwa politik kepentingan masing-masing stakeholder masih berjalan sendiri-sendiri bahkan untuk
stakeholder tertentu justru berlawanan dengan stakeholder lainnya dalam mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten
hantu ghost regency di Sumbawa Barat. Ringkasnya masing-masing stakeholder belum mempunyai kesamaan visi dan persepsi tentang masa depan Sumbawa Barat
pascatambang. Hal ini dipridiksikan muncul akibat UU yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga terjadi bias kepentingan pada tataran
implementasinya. Politik dan kepentingan masing-masing stakeholder dalam mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya
menghindari Kabupaten hantu ghost regency ditunjukan pada Tabel 57. Tabel 57. Politik dan kepentingan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan
dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu ghost regency
Institusi Pemkab
Sumbawa Barat
DPRD Sumbawa
Barat PT.
Newmont Nusa
Tenggara NGO
Lembaga Riset
Tokoh Masyarakat
DESDM Pemkab
Sumbawa Barat KK KL KB KL KL KL KB
DPRD Sumbawa Barat
KK KL KL
KL KL KL PT.Newmont
Nusa Tenggara KK KL KL KL KL
NGO KK
KK KK KK Lembaga
Risett KK KK KK
Tokoh Masyarakat
KK KL
DESDM KK
Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan :
KK = Kepentingan kuat, KL = Kepentingan lemah KB = Kepentingan berlawanan, TB = Tidak berkepentingan
138
Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek politik dan kepentingan adalah:
Kesulitan:
Kepentingan masing-masing aktor berbeda dalam melihat masa depan Sumbawa Barat. Transformasi struktur ekonomi belum menjadi kepentingan bersama
Peluang dan Kesempatan:
Forum-forum bersama, media masa dll perlu dimanfaatkan untuk mendiskusikan transformasi struktur dan kesiapan kelembagaan pasca tambang
Ruang Kebijakan
Selanjutnya bagaimana agenda sumberdaya mineral yang tidak terbarukan di Sumbawa Barat dengan umur tambang yang tinggal 18 tahun lagi 2009-2027 dapat
melahirkan debat kebijakan transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya terbarukan selain tambang dari suara-suara yang tersembunyi?. Bagaimana membuat ruang untuk
ilmu pengetahuan, penggunaan media untuk mengekspresikan dan mempublikasikan keberatan-keberatan yang ada. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sektor lain
belum menjadi mainstrem dalam kebijakan Pemda Sumbawa Barat dalam perumusan kebijakan APBD tahunan, Visi Misi Bupati, RPJMD dan RPJMP. Demikian juga
perumusan program CSR PT. Newmont Nusa Tenggara masih perlu diarahlan untuk pembangunan berkelanjutan pasca tambang
Konflik kebijakan tidak diselesaikan dengan pilihan teknis dan rasional saja antara beragam alternatif. Pembuatan kebijakan tetap pada realisme politik dan masyarakat, dan
dari pengetahuan dan kekuasaan. Kebijakan di bangun atas keberhasilan peran serta aktor- aktornya; ilmuan, donor, politisi, staf LSM, petani dan lainnya.
Ruang kebijakan untuk memilih penyelesain yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal nampak tertutup oleh narasi dominan yang memarginalisasikan transformasi
sumberdaya mineral ke sumberdaya pengganti berbasis lokal terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan bagi daerah penghasil dengan kata kunci: bagaimana
mempengaruhi aktor agar mau menjalankan kebijakan transformasi sumberdaya mineral atas tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PT.Newmont Nusa Tenggara.
139
5.5. Ringkasan Keterkaitan