Latar Belakang Penelitian HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN PROBLEM SOLVING APPRAISAL DAN COGNITIVE APPRAISAL PADA NARAPIDANA KORUPSI : Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung.
Angga Permana Putra, 2013 Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal
Pada Narapidana Korupsi Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi, struktur pemerintahan, dan perubahan radikaltransisi demokrasi.
Jack Bologne 2006 menyebutkan ada empat akar penyebab korupsi yaitu Greed, Opportunity, Need, dan Exposes. Greed terkait dengan keserakahan yang
dimiliki oleh individu. Individu melakukan korupsi bisa dikarenakan dia tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Opportunity terkait dengan keadaan yang
memberi kesempatan untuk melakukan korupsi misalnya saja sistem pengendalian yang tidak teratur sehingga bisa timbul penyimpangan atau juga pengawasan yang
tidak ketat. Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, selalu sarat dengan kebutuhaan yang tidak cukup, sedangkan exposes terkait
dengan hukuman yang diterima oleh pelaku korupsi, dimana hukuman tersebut tidak membuat jera baik pelaku maupun orang lain. Faktor opportunity dan
exposes merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, sedangkan faktor greed dan need merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Saat ada celah untuk melakukan tindakan korupsi, tidak semua individu akan melakukannya. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki karakteristik
yang berbeda-beda dalam berperilaku. Karakteristik yang menetap ini disebut dengan kepribadian. Kepribadian yang dimiliki oleh individu akan menentukan
bagaimana ia akan bertindak saat menghadapi suatu situasi tertentu wikipedia.org, 2013.
Para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia akan dijatuhi hukuman penjara. Berdasarkan undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, hukuman yang diterima pelaku korupsi adalah hukuman penjara minimal
4 tahun. Hukuman ini diberikan dengan tujuan agar pelaku jera dan anggota masyarakat tidak ada yang mengulanginya.
Indonesia sendiri menganut falsafah pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama
“pemasyarakatan” sehingga istilah penjara telah lama diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan wikipedia.org, 2011. Saat ini, tercatat ada
153.224 penghuni Lembaga Permasyarakat di Indonesia yang masih berstatus tahanan dan napi, dan dari total tersebut sekitar 2.936 diantaranya adalah
Angga Permana Putra, 2013 Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal
Pada Narapidana Korupsi Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
narapidana korupsi. Di Lapas Sukamiskin Bandung sendiri ada 287 orang yang tercatat sebagai narapidana korupsi.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan orang-orang yang dibina agar
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab wikipedia.org, 2011. Individu yang sudah menerima hukuman,
diharapkan mampu berfungsi dengan baik di lingkungan masyarakat. Namun, perubahan kondisi lingkungan dari bebas menjadi terbatas tetap akan memberikan
dampak bagi individu yang mengalaminya. Hal ini dikarenakan saat individu masuk ke dalam penjara atau Lapas berarti
dia akan mengalami kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan,
kehilangan hubungan heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan gangguan psikologis Cooke et al., 1990. Harsono 1995 juga menyebutkan bahwa
hukuman penjara memberikan dampak kehilangan identitas diri, kehilangan rasa aman, kehilangan kebebasan, kehilangan akan komunikasi pribadi, kehilangan
pelayanan, kehilangan kasih sayang dari lawan jenis, kehilangan harga diri, kehilangan kepercayaan diri, dan kehilangan kreativitas. Selain itu, napi juga akan
menghadapi berbagai masalah yang tidak hanya berasal dari dalam lapas, misalnya seperti fasilitas yang tidak memadai dan kekerasan, baik oleh napi lain
atau petugas lapas, tapi juga permasalahan di luar lapas, misalnya masalah keluarga Cooke et al. 1990. Dampak ini tentu saja akan menimbulkan berbagai
macam reaksi pada diri individu. Berdasarkan teori individual difference, Armenakis et al. Madsen, Miller
John, 2005 menyatakan bahwa setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap pesan yang sama dikarenakan adanya perbedaan struktur kognitif dalam
memproses informasi. Pernyataan ini semakin diperkuat oleh Linley Joseph Andanawari, 2013 yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor
individual yang mempengaruhi penyesuaian pada kondisi paska trauma antara lain: cognitive appraisal, sosial-demografis, tipe kepribadian, dan coping.
Angga Permana Putra, 2013 Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal
Pada Narapidana Korupsi Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
Dalam teorinya tentang kepribadian, Eysenck 1998 membagi tipe kepribadian dalam dua dimensi utama, yaitu ekstrovert dan introvert. Eysenck
1998 berpendapat bahwa saat dihadapkan pada suatu tekanan atau rangsangan- rangsangan traumatik, individu yang tergolong ekstrovert cenderung menahan
diri, tidak akan terlalu memikirkan tekanan atau trauma yang dialami. Sebaliknya, individu yang tergolong introvert tidak terlalu sigap melindungi diri saat
menghadapi tekanan atau trauma, sehingga cenderung menunjukkan respon berdiam diri, membesarkan persoalan, dan mempelajari detail-detail kejadian
Eysenck, 1998. Affleck dan Tennen 1996 juga menemukan bahwa individu yang memperoleh skor tinggi pada tipe kepribadian ekstrovert cenderung
mengambil hikmah positif dari masalah yang dihadapi. Selain itu, dampak tersebut akan membuat pemaknaan yang dimiliki oleh
seorang individu menjadi berubah. Perubahan pemaknaan ini akan membuat pandangan individu terhadap segala sesuatu hal menjadi berubah, yang akhirnya
pun turut mengubah pola pikirnya dalam menyelesaikan masalah. Meskipun situasi atau permasalahan yang dihadapi sama, namun pemaknaan atau penilaian
situasi itu akan berbeda pada masing-masing individu. Penilaian ini dilakukan melalui proses kognitif atau cognitive appraisal.
Cognitive appraisal merupakan pengkategorian peristiwa atau kejadian dari berbagai segi dengan melihat signifikansinya terhadap kesejahteraan individu.
Melalui proses ini, individu mengevaluasi makna dari suatu situasi yang terjadi pada dirinya dan mempelajari situasi tersebut terhadap kesejahteraan dirinya
Lazarus Folkman, 1984. Berdasarkan cognitive appraisal ini dapat dilihat bahwa masing-masing individu akan memberikan penilaian dan reaksi yang
berbeda meskipun menghadapi masalah atau situasi psikologis yang sama. Dzurilla Heppner Krauskopf, 1987 berpendapat bahwa permasalahan
harus dipandang dari bagaimana permasalahan tersebut dipersepsikan oleh individu. Bagi individu, masalah dapat dinilai sebagai ancaman, tantangan, atau
kekalahan yang mungkin akan berkonstribusi bagi perkembangan psikologisnya Heppner Kraukopf, 1987. Perbedaan inilah yang berperan penting dalam
penyelesaian masalah pribadi real-life personal problem solving, karena
Angga Permana Putra, 2013 Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal
Pada Narapidana Korupsi Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
meskipun individu dihadapkan pada permasalahan yang sama, dengan perbedaan tersebut mereka tetap akan menyelesaikannya dengan cara yang berbeda Heppner
Kraukopf, 1987. Problem solving dinilai tidak akan efektif jika individu tidak melakukan
penilaian terlebih dahulu terhadap permasalahannya. Menurut Butler dan Meichenbaum Heppner et al. 2004 dalam penelitian mereka mengenai proses
problem solving, problem solving tidak hanya difokuskan pada proses pengaplikasian pengetahuan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan,
tapi juga pada variabel yang mempengaruhi bagaimana mereka akan menyelesaikan permasalahan. Menurut mereka, penilaian individu terhadap
kemampuan mereka dalam problem solving tidak hanya akan mempengaruhi pelaksaan problem solving itu sendiri problem solving performance tetapi juga
berbagai variabel yang mempengaruhi proses problem solving. Berdasarkan gagasan Butler dan Meichenbaum tersebut, Heppner et al.
1987 mengembangkan konsep problem solving appraisal. Problem solving appraisal didefinisikan sebagai proses seseorang dalam merespon masalah
hidupnya, khususnya bagaimana mereka menilai kemampuan pemecahan masalah dan apakah mereka cenderung menyelesaikannya atau menghindari permasalahan.
Lee Heppner, 2002. Individu yang menilai dirinya sebagai effective problem solvers akan
mampu untuk beradaptasi dengan mudah dalam berbagai kondisi lingkungan seperti apapun, mampu menghadapi berbagai stressor, dan mampu untuk
mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan dan tujuan-tujuan hidupnya Sebaliknya, individu yang menilai dirinya sebagai
ineffective problem solvers akan membawanya pada ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri Heppner, Witty, dan Dixon, 2004.
Mengacu pada hal tersebut, dalam konteks kehidupan Lapas diperkirakan napi dengan tipe kepribadian ekstrovert dan menilai dirinya sebagai effective
problem solvers akan mampu untuk hidup di lapas dengan baik dan mampu untuk menghadapi permasalahan-permasalahan selama berada di Lapas. Sebaliknya,
Angga Permana Putra, 2013 Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal
Pada Narapidana Korupsi Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
napi dengan tipe kepribadian introvert dan menilai dirinya sebagai ineffective
problem solvers akan kesulitan dalam menjalani kehidupan di Lapas.
Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Tipe
Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung”, sehingga dapat diperoleh
gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada napi sebagai bentuk upaya napi dalam menghadapi berbagai
permasalahan, perubahan dan situasi-situasi baru di dalam Lapas. Selain itu, disertakan juga cognitive appraisal sebagai variabel mediator untuk membantu
menjelaskan hubungan di antara kedua variabel tersebut.