HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN PROBLEM SOLVING APPRAISAL DAN COGNITIVE APPRAISAL PADA NARAPIDANA KORUPSI : Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung.

(1)

347/Skripsi/PSI-FIP/UPI.08.2013

HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN PROBLEM SOLVING APPRAISAL DAN COGNITIVE APPRAISAL PADA NARAPIDANA

KORUPSI

(Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi pada Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan

Oleh

Angga Permana Putra 0601981

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

HUBUNGAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN DENGAN PROBLEM SOLVING APPRAISAL DAN COGNITIVE APPRAISAL PADA NARAPIDANA

KORUPSI

(Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung)

Oleh:

Angga Permana Putra 0601981

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan

© Angga Permana Putra 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari


(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Angga Permana Putra (0601981). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan

Problem Solving Appraisal dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi (Studi Korelasi di Lapas Sukamiskin Bandung). Skripsi Jurusan Psikologi FIP UPI, Bandung (2013)

Setiap individu yang masuk Lapas dan berubah status menjadi napi pasti akan mengalami berbagai permasalahan dan kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan, kehilangan hubungan heteroseksual, dan gangguan psikologis, tidak terkecuali pada narapidana korupsi. Permasalahan ini akan sulit untuk dapat dihadapi terutama saat mereka berada di dalam Lapas. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, sangat bergantung pada tipe kepribadian, cognitive appraisal dan problem solving appraisal napi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal, dan pengaruh mediasi cognitive appraisal dalam hubungan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasi dengan pendekatan kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal (0,082), dan tidak terjadi pengaruh cognitive appraisal sebagai variabel mediasi (1,68) pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa napi dengan tipe kepribadian ektrovert belum tentu menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Sama halnya dengan napi tipe kepribadian introvert juga belum tentu menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers. Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak Lapas dapat mengembangkan pelatihan-pelatihan, pembinaan atau pemberian jasa konseling bagi napi.

Kata Kunci: tipe kepribadian, problem solving appraisal, dan cognitive appraisal, narapidana korupsi


(6)

ABSTRACT

Angga Permana Putra (0601981). The Relationship between Personality Type and

Problem Solving Appraisal and Cognitive Appraisal on Corruption Convicts (Correlation Study in Sukamiskin Prison Bandung). Undergraduate Thesis for Department of Psychology FIP UPI, Bandung (2013)

Every individual who entered prison as inmates will definitely experience a variety of problems and loss, such as loss of freedom, loss of control over life, loss of family, loss of goods and services, loss of security, loss of heterosexual relationships, and psychological disorders, no exception to corruption convicts. These problem will be difficult to be solved, especially when they are in prison. To deal with these problems, it depends on the type of personality, cognitive appraisal and problem solving appraisal of prisoners. The purpose of this study is to examine the relationship between personality type and problem solving appraisal, and the influence of cognitive appraisal mediation in that relationship. The method used in this study is the correlation methods with quantitative approaches. The results of this study indicate that there is no significant relationship between personality type and problem solving appraisal (0.082), and there is no influence of cognitive appraisal as mediating variables (1.68) on the corruption convicts of Sukamiskin Prison in Bandung. Based on these results it can be concluded that prisoners with ektrovert personality type are not necessarily consider themselves as effective problem solvers. Similarly, prisoners with introvert personality type are also not necessarily consider themselves as ineffective problem solvers. From the results of this study the prison officials are expected to develop the training, coaching or providing counseling services to prisoners.

Keywords: personality type, problem solving appraisal, and cognitive appraisal, corruption convicts


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ………. 9

F. Struktur Organisasi Skripsi ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Tipe Kepribadian ... 11

1. Pengertian Kepribadian ... 11

2. Struktur Kepribadian ……… ... 12

3. Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert ………… . 12

a. Neurotisme (N) ………... 13

b. Psikotieme (P) ……… ... 13

c. Introvert-Ekstrovert (I-E) ………. ... 13 4. Trait-trait dalam Tipe Kepribadian Ekstrovert


(8)

dan Introvert ... 16

a. Ekstrovert ……… ... 16

b. Introvert ……… ... 17

B. Cognitive Appraisal ... 18

1. Pengertian Cognitive Appraisal ... 18

2. Proses Cognitive Appraisal ……… ... 18

a. Primary Appraisal ……… ... 19

b. Secondary Appraisal ……… ... 20

c. Reappraisal ………. ... 22

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cognitive Appraisal ... 22

a. Faktor Individual ……… ... 22

b. Faktor Lingkungan ………... 24

C. Problem Solving Appraisal ... 26

1. Pengertian Problem Solving Appraisal ... 27

2. Aspek-aspek Problem Solving Appraisal ……… . 27

a. Problem Solving Confidence ……… ... 27

b. The Approach-avoidance Style ……… 28

c. Personal Control ………. ... 28

3. Effective Problem Solvers dan Ineffective Problem Solvers ... 29

a. Effective Problem Solvers……… . 29

b. Ineffective Problem Solvers ……… ... 29

D. Korupsi ... 30

1. Pengertian Korupsi ... 30

2. Bentuk-bentuk Korupsi ……… ... 31

3. Penyebab Korupsi ... 31

4. Akibat Korupsi ... 33

E. Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian ... 33

1. Kerangka Berpikir ... 33


(9)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 39

B. Desain Penelitian ... 39

C. Metode Penelitian ... 41

D. Definisi Operasional ... 41

E. Instrumen Penelitian ... 42

F. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian ... 48

G. Teknik Pengumpulan Data ... 53

H. Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61

1. Gambaran Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 61

2. Gambaran Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 65

3. Gambaran Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 71

4. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 77

5. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 78

6. Hubungan antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 79

7. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi dengan Cognitive Appraisal sebagai Variabel Moderator ... 80


(10)

B. Pembahasan ... 84

1. Gambaran Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 84

2. Gambaran Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 88

3. Gambaran Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 91

4. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 93

5. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 97

6. Hubungan antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas di Lapas Sukamiskin Bandung ... 100

7. Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi dengan Cognitive Appraisal sebagai Variabel Moderator ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 107

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 112 RIWAYAT PENULIS


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Eysenck Personality Inventory (EPI) ... 43

Tabel 3.2 Ketentuan Penilaian Eysenck Personality Inventory (EPI) ... 44

Tabel 3.3 Bobot Penilaian Instrumen Cognitive Appraisal ... 45

Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Cognitive Appraisal ... 45

Tabel 3.5 Bobot Penilaian Instrumen Problem Solving Appraisal ... 47

Tabel 3.6 Kisi-kisi Instrumen Problem Solving Appraisal ... 47

Tabel 3.7 Hasil Pengembangan Instrumen Tipe Kepribadian …... 50

Tabel 3.8 Hasil Pengembangan Instrumen Cognitive Appraisal ... 50

Tabel 3.9 Hasil Pengembangan Instrumen Problem Solving Appraisal ... 50

Tabel 3.10 Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach ... 51

Tabel 3.11 Nilai Reliabiltas Instrumen Tipe Kepribadian Sebelum dilakukan Seleksi Item ... 51

Tabel 3.12 Nilai Reliabiltas Instrumen Tipe Kepribadian Setelah dilakukan Seleksi Item ... 52

Tabel 3.13 Nilai Reliabiltas Instrumen Cognitive Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item ... 52

Tabel 3.14 Nilai Reliabiltas Instrumen Cognitive Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item ... 52 Tabel 3.15

Tabel 3.16

Tabel 3.17 Tabel 3.18

Tabel 3.19

Tabel 3.20

Nilai Reliabiltas Instrumen Problem Solving Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item ... Nilai Reliabiltas Instrumen Problem Solving Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item ... Hasil Uji Normalitas Data ... Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal ... Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal ... Hasil Uji Linearitas antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal ...

53

53 54

55

56


(12)

Tabel 3.21 Tabel 3.22 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15

Interpretasi Nilai r ... Kriteria Signifikansi Variabel ... Hasil Perhitungan Median Variabel Tipe Kepribadian ... Gambaran Umum Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Sub Dimensi Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Hasil Perhitungan Median Variabel Cognitive Appraisal ... Gambaran Umum Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Sub Dimensi Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Tipe Kepribadian dan Sub Dimensi Cognitive

Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin

Bandung ... Hasil Perhitungan Median Variabel Problem Solving Appraisal ... Gambaran Umum Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Dimensi Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Umum Tipe Kepribadian dan Problem Solving

Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin

Bandung ... Gambaran Tipe Kepribadian dan Dimensi Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin

Bandung ... Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi ... Hasil Uji Korelasi antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive

57 57 61 62 63 65 66 67 69 70 71 72 73 76 76 78


(13)

Tabel 4.16

Tabel 4.17

Tabel 4.18

Tabel 4.19

Appraisal pada Narapidana Korupsi ... Hasil Uji Korelasi antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi ... Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Cognitive

Appraisal pada Narapidana Korupsi ... Koefisien Regresi Tipe Kepribadian terhadap Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi ... Koefisien Regresi Tipe Kepribadian dan Cognitive Appraisal terhadap Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi ....

79

80

81

82


(14)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Gambaran Umum Tipe Kepribadian pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 62 Grafik 4.2 Gambaran Umum Sub Dimensi Tipe Kepribadian pada

Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 65 Grafik 4.3 Gambaran Umum Cognitive Appraisal pada Narapidana

Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 66 Grafik 4.4 Gambaran Sub Dimensi Cognitive Appraisal pada Narapidana

Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... 69 Grafik 4.5 Gambaran Tipe Kepribadian dan Sub Dimensi Cognitive

Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin

Bandung ... 71 Grafik 4.6

Grafik 4.7

Grafik 4.8

Gambaran Umum Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Dimensi Problem Solving Appraisal pada

Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ... Gambaran Tipe Kepribadian dan Dimensi Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung ...

73

75


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ………... 37

Gambar 3.1 Desain Penelitian ………. 40

Gambar 3.2 Gambaran Hubungan antara Variabel Independen dan


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Korupsi merupakan salah satu masalah besar yang ada di Indonesia. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan, sepanjang periode 1 Januari hingga 31 Juli 2012, penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung telah menetapkan 597 orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi (Fajar Online, 2012). Selain itu, sepanjang tahun 2012, setidaknya ada 34 kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani oleh KPK (Kompas, 2013). Hal ini membuat keadaan Indonesia dimata dunia menjadi buruk.

Dalam survey yang dilakukan terhadap 176 negara di dunia, Indonesia dilaporkan mendapat nilai 32 dari skala 100 dimana angka 100 merupakan negara yang terbersih dan bebas dari korupsi (Fajar Online, 2012). Tidak hanya di peringkat international, dalam wilayah Asia Tenggara pun peringkat korupsi Indonesia dapat dikatakan buruk. Survey yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Political and Economic Risk Concultancy (PERC) dalam rilisnya tahun 2010 menyebutkan Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik (Haluankepri, 2012).

Buruknya peringkat korupsi Indonesia tidak terlepas dari maraknya kasus korupsi yang belum kunjung tuntas. Deretan kasus seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, kasus suap Hambalang, dan kasus simulator SIM masih meninggalkan banyak pertanyaan. Banyaknya kasus korupsi yang belum terselesaikan seakan menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi seakan-akan dianggap sebagai tindakan yang wajar untuk dilakukan. Segala macam tindakan dilakukan untuk memberantasnya, namun tetap saja ada oknum yang melakukannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi sendiri berasal dari bahasa


(17)

2

Latin corruption yang berasal dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest (ketidakjujuran).

Korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Menurut Huntington (1968), korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Sedangkan Transparency International (2010) sebagai salah satu organisasi masyarakat yang memerangi korupsi, mendefenisikan korupsi sebagai tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Gibbons dalam Seto (2012) menyebutkan ada sembilan bentuk korupsi politik: patronase politik atau menggunakan sumberdaya publik sebagai pendukung dalam pemilihan; mempekerjakan pegawai pemerintah yang mendukung pandangan politik penguasa atau kontrak alokasi pegawai berdasarkan kriteria partisan; membeli suara (money politic); pork-barreling atau menjanjikan pekerjaan umum kepada pemilih tetapi calon tahu bahwa pemilih tersebut tidak mampu menjalankan pekerjaan; penyuapan atau warga negara yang membayar pejabat untuk mendukung kepentingan mereka; graft atau sogok-menyogok, ketika seorang pejabat menunjukkan bahwa dia harus dihargai agar sesuai dengan tindakan publik; nepotisme atau menyewa atau mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan; mendorong pejabat publik lain atau perantara untuk melakukan tindakan korupsi; dan kampanye uang atau menerima dana dari kelompok yang berkompromi dalam pemilihan.

Penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi bervariasi dan beranekaragam. Alatas (1975) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi, yaitu ketiadaan kepemimpinan yang mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi, kelemahan pengajaran agama dan etika, konsumerisme dan globalisasi, kurangnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya tindak hukuman


(18)

3

yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi, struktur pemerintahan, dan perubahan radikal/transisi demokrasi.

Jack Bologne (2006) menyebutkan ada empat akar penyebab korupsi yaitu Greed, Opportunity, Need, dan Exposes. Greed terkait dengan keserakahan yang dimiliki oleh individu. Individu melakukan korupsi bisa dikarenakan dia tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Opportunity terkait dengan keadaan yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi misalnya saja sistem pengendalian yang tidak teratur sehingga bisa timbul penyimpangan atau juga pengawasan yang tidak ketat. Need berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, selalu sarat dengan kebutuhaan yang tidak cukup, sedangkan exposes terkait dengan hukuman yang diterima oleh pelaku korupsi, dimana hukuman tersebut tidak membuat jera baik pelaku maupun orang lain. Faktor opportunity dan exposes merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, sedangkan faktor greed dan need merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Saat ada celah untuk melakukan tindakan korupsi, tidak semua individu akan melakukannya. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam berperilaku. Karakteristik yang menetap ini disebut dengan kepribadian. Kepribadian yang dimiliki oleh individu akan menentukan bagaimana ia akan bertindak saat menghadapi suatu situasi tertentu (wikipedia.org, 2013).

Para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia akan dijatuhi hukuman penjara. Berdasarkan undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, hukuman yang diterima pelaku korupsi adalah hukuman penjara minimal 4 tahun. Hukuman ini diberikan dengan tujuan agar pelaku jera dan anggota masyarakat tidak ada yang mengulanginya.

Indonesia sendiri menganut falsafah pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama “pemasyarakatan” sehingga istilah penjara telah lama diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan (wikipedia.org, 2011). Saat ini, tercatat ada 153.224 penghuni Lembaga Permasyarakat di Indonesia yang masih berstatus tahanan dan napi, dan dari total tersebut sekitar 2.936 diantaranya adalah


(19)

4

narapidana korupsi. Di Lapas Sukamiskin Bandung sendiri ada 287 orang yang tercatat sebagai narapidana korupsi.

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, fungsi sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan orang-orang yang dibina agar dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab (wikipedia.org, 2011). Individu yang sudah menerima hukuman, diharapkan mampu berfungsi dengan baik di lingkungan masyarakat. Namun, perubahan kondisi lingkungan dari bebas menjadi terbatas tetap akan memberikan dampak bagi individu yang mengalaminya.

Hal ini dikarenakan saat individu masuk ke dalam penjara atau Lapas berarti dia akan mengalami kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kontrol atas hidup, kehilangan keluarga, kehilangan barang dan jasa, kehilangan keamanan, kehilangan hubungan heteroseksual, kurangnya stimulasi, dan gangguan psikologis (Cooke et al., 1990). Harsono (1995) juga menyebutkan bahwa hukuman penjara memberikan dampak kehilangan identitas diri, kehilangan rasa aman, kehilangan kebebasan, kehilangan akan komunikasi pribadi, kehilangan pelayanan, kehilangan kasih sayang dari lawan jenis, kehilangan harga diri, kehilangan kepercayaan diri, dan kehilangan kreativitas. Selain itu, napi juga akan menghadapi berbagai masalah yang tidak hanya berasal dari dalam lapas, misalnya seperti fasilitas yang tidak memadai dan kekerasan, baik oleh napi lain atau petugas lapas, tapi juga permasalahan di luar lapas, misalnya masalah keluarga (Cooke et al. 1990). Dampak ini tentu saja akan menimbulkan berbagai macam reaksi pada diri individu.

Berdasarkan teori individual difference, Armenakis et al. (Madsen, Miller & John, 2005) menyatakan bahwa setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap pesan yang sama dikarenakan adanya perbedaan struktur kognitif dalam memproses informasi. Pernyataan ini semakin diperkuat oleh Linley & Joseph (Andanawari, 2013) yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor individual yang mempengaruhi penyesuaian pada kondisi paska trauma antara lain: cognitive appraisal, sosial-demografis, tipe kepribadian, dan coping.


(20)

5

Dalam teorinya tentang kepribadian, Eysenck (1998) membagi tipe kepribadian dalam dua dimensi utama, yaitu ekstrovert dan introvert. Eysenck (1998) berpendapat bahwa saat dihadapkan pada suatu tekanan atau rangsangan-rangsangan traumatik, individu yang tergolong ekstrovert cenderung menahan diri, tidak akan terlalu memikirkan tekanan atau trauma yang dialami. Sebaliknya, individu yang tergolong introvert tidak terlalu sigap melindungi diri saat menghadapi tekanan atau trauma, sehingga cenderung menunjukkan respon berdiam diri, membesarkan persoalan, dan mempelajari detail-detail kejadian (Eysenck, 1998). Affleck dan Tennen (1996) juga menemukan bahwa individu yang memperoleh skor tinggi pada tipe kepribadian ekstrovert cenderung mengambil hikmah positif dari masalah yang dihadapi.

Selain itu, dampak tersebut akan membuat pemaknaan yang dimiliki oleh seorang individu menjadi berubah. Perubahan pemaknaan ini akan membuat pandangan individu terhadap segala sesuatu hal menjadi berubah, yang akhirnya pun turut mengubah pola pikirnya dalam menyelesaikan masalah. Meskipun situasi atau permasalahan yang dihadapi sama, namun pemaknaan atau penilaian situasi itu akan berbeda pada masing-masing individu. Penilaian ini dilakukan melalui proses kognitif atau cognitive appraisal.

Cognitive appraisal merupakan pengkategorian peristiwa atau kejadian dari berbagai segi dengan melihat signifikansinya terhadap kesejahteraan individu. Melalui proses ini, individu mengevaluasi makna dari suatu situasi yang terjadi pada dirinya dan mempelajari situasi tersebut terhadap kesejahteraan dirinya (Lazarus & Folkman, 1984). Berdasarkan cognitive appraisal ini dapat dilihat bahwa masing-masing individu akan memberikan penilaian dan reaksi yang berbeda meskipun menghadapi masalah atau situasi psikologis yang sama.

Dzurilla (Heppner & Krauskopf, 1987) berpendapat bahwa permasalahan harus dipandang dari bagaimana permasalahan tersebut dipersepsikan oleh individu. Bagi individu, masalah dapat dinilai sebagai ancaman, tantangan, atau kekalahan yang mungkin akan berkonstribusi bagi perkembangan psikologisnya (Heppner & Kraukopf, 1987). Perbedaan inilah yang berperan penting dalam penyelesaian masalah pribadi (real-life personal problem solving), karena


(21)

6

meskipun individu dihadapkan pada permasalahan yang sama, dengan perbedaan tersebut mereka tetap akan menyelesaikannya dengan cara yang berbeda (Heppner & Kraukopf, 1987).

Problem solving dinilai tidak akan efektif jika individu tidak melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap permasalahannya. Menurut Butler dan Meichenbaum (Heppner et al. 2004) dalam penelitian mereka mengenai proses problem solving, problem solving tidak hanya difokuskan pada proses pengaplikasian pengetahuan sebagai solusi dalam memecahkan permasalahan, tapi juga pada variabel yang mempengaruhi bagaimana mereka akan menyelesaikan permasalahan. Menurut mereka, penilaian individu terhadap kemampuan mereka dalam problem solving tidak hanya akan mempengaruhi pelaksaan problem solving itu sendiri (problem solving performance) tetapi juga berbagai variabel yang mempengaruhi proses problem solving.

Berdasarkan gagasan Butler dan Meichenbaum tersebut, Heppner et al. (1987) mengembangkan konsep problem solving appraisal. Problem solving appraisal didefinisikan sebagai proses seseorang dalam merespon masalah hidupnya, khususnya bagaimana mereka menilai kemampuan pemecahan masalah dan apakah mereka cenderung menyelesaikannya atau menghindari permasalahan. (Lee & Heppner, 2002).

Individu yang menilai dirinya sebagai effective problem solvers akan mampu untuk beradaptasi dengan mudah dalam berbagai kondisi lingkungan seperti apapun, mampu menghadapi berbagai stressor, dan mampu untuk mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan dan tujuan-tujuan hidupnya Sebaliknya, individu yang menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers akan membawanya pada ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri (Heppner, Witty, dan Dixon, 2004).

Mengacu pada hal tersebut, dalam konteks kehidupan Lapas diperkirakan napi dengan tipe kepribadian ekstrovert dan menilai dirinya sebagai effective problem solvers akan mampu untuk hidup di lapas dengan baik dan mampu untuk menghadapi permasalahan-permasalahan selama berada di Lapas. Sebaliknya,


(22)

7

napi dengan tipe kepribadian introvert dan menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers akan kesulitan dalam menjalani kehidupan di Lapas.

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal dan Cognitive Appraisal pada Narapidana Korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung”, sehingga dapat diperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada napi sebagai bentuk upaya napi dalam menghadapi berbagai permasalahan, perubahan dan situasi-situasi baru di dalam Lapas. Selain itu, disertakan juga cognitive appraisal sebagai variabel mediator untuk membantu menjelaskan hubungan di antara kedua variabel tersebut.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Individu yang masuk Lapas pasti akan mengalami berbagai permasalahan dan kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan keluarga, dan gangguan psikologis. Permasalahan ini terjadi pada semua napi, tidak terkecuali pada narapidana korupsi. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, masing-masing indvidu memiliki caranya sendiri. Hal ini tergantung pada tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan problem solving appraisal napi. Napi dengan kecenderungan tipe kepribadian eksrovert cenderung memiliki cognitive appraisal yang tinggi dan menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Sebaliknya napi dengan kecenderungan tipe kepribadian introvert cenderung memiliki cognitive appraisal yang rendah dan menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum adalah untuk mencari tahu apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran tipe kepribadian narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?


(23)

8

2. Bagaimana gambaran cognitive appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

3. Bagaimana gambaran problem solving appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

4. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

5. Apakah terdapat hubungan antara tipe kepribadian dengan cognitive appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung?

6. Apakah terdapat hubungan antara cognitive appraisal dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung? 7. Apakah terdapat pengaruh mediasi dari cognitive appraisal terhadap

hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal.

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan data empiris mengenai:

1. Memperoleh gambaran tipe kepribadian narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

2. Memperoleh gambaran cognitive appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

3. Memperoleh gambaran problem solving appraisal narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

4. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

5. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara tipe kepribadian dengan cognitive appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.


(24)

9

6. Memperoleh gambaran mengenai hubungan antara cognitive appraisal dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

7. Memperoleh gambaran mengenai pengaruh mediasi cognitive appraisal terhadap hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008). Sedangkan desain penelitian yang digunakan adalah desain korelasional. Dalam penelitian ini, desain korelasional digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel atau lebih, yaitu variabel tipe kepribadian dengan problem solving appraisal dimana cognitive appraisal berperan sebagai variabel mediator. Instrumen penelitian yang digunakan antara lain; Eysenck Personality Inventory (EPI), Skala Cognitive Appraisal, dan The Problem Solving Inventory (PSI). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penggunaan kuesioner. Setelah data diperoleh, data kemudian diolah dengan menggunakan uji korelasi product moment dan uji deteksi pengaruh mediasi.

E. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Dari sisi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu psikologi dan memperkaya pengetahuan mengenai psikologi, terutama psikologi forensik dalam konteks kehidupan di penjara atau Lapas di Indonesia.


(25)

10

b. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan teori tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan problem solving appraisal terutama dalam konteks kehidupan di penjara atau Lapas di Indonesia.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Pihak Lapas

Melalui penelitian ini diharapkan pihak Lapas dapat mengembangkan pelatihan-pelatihan atau pemberian jasa konseling bagi napi. Pelatihan dan konseling ini diharapkan dapat mencegah berkembangnya berbagai gangguan psikologis yang tidak diharapkan. Selain itu juga sebagai sarana peningkatan moral napi agar tindak pidana korupsi tidak terulang lagi di kemudian hari.

b. Masyarakat Umum

Sebagai media informasi mengenai kepribadian pelaku korupsi dan bagaimana cara pandang mereka dalam menyelesaikan masalah selama menjalani masa tahanan.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Rincian mengenai urutan penulisan dalam skripsi ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

BAB I : Mencakup latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi.

BAB II : Mencakup teori-teori, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. BAB III : Mencakup lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, metode

penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data dan analisis data.

BAB IV : Mencakup hasil penelitian, pemaparan data dan pembahasan data. BAB V : Mencakup kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lapas Sukamiskin yang berlokasi di jalan A.H Nasution No. 114 Bandung. Sejak 2012, Lapas Sukamiskin telah ditetapkan sebagai lapas khusus tindak pidana korupsi (tipikor). Hingga Juni 2013 kemarin, Lapas Sukamiskin Bandung telah menampung 287 narapidana korupsi. Mereka berasal dari berbagai daerah, mulai dari DKI Jakarta, Jatim, Jateng, Banten dan Sulawesi Utara.

2. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Populasi penelitian ini adalah narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung.

Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008). Artinya, sampel merupakan bagian dari populasi yang dijadikan sebagai sumber data yang benar-benar mewakili keseluruhan populasi. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Purpossive sampling adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Pertimbangannya adalah individu yang dipilih sebagai sampel merupakan narapidana dengan masa tahanan lebih dari dua tahun.

B. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel utama, yaitu tipe kepribadian variabel independen dan problem solving appraisal sebagai variabel dependen. Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat)


(27)

40

(Sugiyono, 2008). Sedangkan variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2008).

Selain itu terdapat satu variabel mediator, yakni cognitive appraisal. Variabel moderator adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat atau memperlemah) hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (Sugiyono, 2008). Di antara ketiga variabel ini akan dicari hubungannya masing-masing, dan variabel moderator akan diuji sejauh mana variabel tersebut mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (lihat gambar 3.1).

Analisa data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah statistik korelasional product moment dan uji coba model mediasi dengan metode causal steps didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui kuesioner pengukuran tipe kepribadian, cognitive appraisal dan problem solving appraisal.

Gambar 3.1. Desain Penelitian

Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal pada Narapidana Korupsi Lapas Sukamiskin Bandung

Tipe Kepribadian (Variabel Independen)

Problem Solving Appraisal (Variabel Dependen)

Cognitive Appraisal (Variabel Moderator)


(28)

41

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2008).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode korelasional digunakan untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu faktor atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabrata, 2004). Dalam penelitian ini, metode korelasional digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan problem solving appraisal.

D. Definisi Operasional 1. Tipe Kepribadian

Tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perbedaan respon-respon dan kebiasaan-kebiasaan yang ditampilkan napi dalam menghadapi trauma atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama di lapas. Tipe kepribadian ini akan diambil dengan menggunakan instrumen tipe kepribadian oleh Andanawari (2013) yang di adaptasi dari Eysenck Personality Inventory (EPI).

2. Cognitive Appraisal

Cognitive appraisal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian yang dilakukan napi terhadap lingkungan lapas. Pengumpulan data akan dilakukan dengan menggunakan kuesioner cognitive appraisal berdasarkan teori Lazarus, yaitu primary appraisal dan secondary appraisal. Primary appraisal adalah penilaian napi terhadap situasi yang dihadapinya selama di lapas. Secondary appraisal adalah penilaian napi terhadap kemampuannya dalam mengatasi permasalahan di lapas dan sumber adekuat yang dimilikinya. Hal ini


(29)

42

akan digambarkan melalui instrumen cognitive appraisal yang didasarkan pada teori cognitive appraisal oleh Lazarus & Folkman (1984).

3. Problem Solving Appraisal

Problem solving appraisal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian napi terhadap kepercayaan dirinya dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan di lapas. Serta kecenderungan untuk menghindari atau menyelesaikan masalah, dan kemampuan mengontrol diri dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah di lapas. Hal ini akan digambarkan melalui instrumen problem solving appraisal oleh Septiani (2013) yang diadaptasi dari The Problem Solving Inventory (PSI).

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa angket atau kuesioner dengan menggunakan skala psikologis. Instrumen yang digunakan terdiri dari instrumen yang mengungkap hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi, dan instrumen cognitive appraisal sebagai mediasi.

1. Instrumen Tipe Kepribadian

Alat ukur tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari instrumen tipe kepribadian oleh Andanawari (2013), yang berdasarkan pada Eysenck Personality Inventory (EPI). Eysenck (1963) mengembangkan sebuah inventori untuk menentukan kecenderungan tipe kepribadian extraversion-introversion dan neuroticism-non neuroticism. EPI terdiri dari 70 item yang terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: 28 item mengukur neuroticism-stabilitas emosi, 31 item mengukur ekstrovert-introvert, dan 11 item sebagai lie scale. Dalam penelitian ini, item EPI yang digunakan difokuskan pada dimensi ekstrovert-introvert sesuai area permasalahan yang akan diteliti.


(30)

43

Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Eysenck Personality Inventory (EPI)

Dimensi Sub Dimensi Indikator No Item

Pertanyaan

Jumlah Item

Ekstrovert-Introvert

Activity - Aktivitas fisik - Kecepatan dalam

bergerak

1, 6, 16, 19, 20, 21, 23

7

Sociability - Kesukaan dalam mencari teman dan bertemu dengan banyak orang

2, 10, 17, 24 4

Risk Taking - Keberanian mengambil resiko

3, 18, 25 3

Impulsiveness - Kecenderungan bertindak secara mendadak - Kurang

menggunakan pertimbangan

4, 8, 9, 11, 12, 14, 22

7

Expressiveness - Pernyataan perasaan - Kemauan

memperlihatkan emosi secara terbuka

5, 27 2

Reflectiveness - Kedalaman berpikir

13, 15, 26, 28 4 Responsibility - Rasa tanggung

jawab terhadap tugasnya

7, 29 2

Jumlah Total Item 29

Peneliti membagikan kuesioner kepada subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian subjek menjawab pertanyaan-pertanyaan

dengan membubuhkan tanda silang (X) di bawah pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Setiap pertanyaan dalam kuesioner tersebut mengandung indikasi sebagai berikut.


(31)

44

a. ae untuk pertanyaan affiliative extraversion b. ne untuk pertanyaan non affiliative extraversion

Tabel 3.2. Ketentuan Penilaian Eysenck Personality Inventory (EPI)

Poin Ya Tidak

ae 1 0

ne 0 1

Pengolahan data dilakukan dengan memperhatikan patokan-patokan yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu; untuk pertanyaan ektrovert-introvert, subjek dikatakan memiliki kecenderungan ekstrovert apabila nilai yang dicapai lebih dari median. Sebaliknya, subjek dikatakan memiliki kecenderungan introvert apabila nilai yang dicapai kurang, dan sama dengan nilai median.

2. Instrumen Cognitive Appraisal

Instrumen cognitive appraisal yang digunakan berdasarkan teori cognitive appraisal oleh Lazarus & Folkman (1984), yang terdiri dari primary appraisal dan secondary appraisal. Kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan konteks dan permasalahan yang akan diteliti, dan untuk penelitian ini teori yang dipakai hanya primary appraisal.

Primary appraisal melibatkan tiga aspek, yaitu; irrelevant, benign-positive, dan stressful (harm/loss, treat, challenge). Penilaian yang irrelevant adalah penilaian napi terhadap pengalaman atau keadaan di lapas yang tidak membawa implikasi terhadap kehidupan napi. Benign-positive akan ditafsirkan pada penilaian napi terhadap pengalaman atau keadaan di lapas sebagai sesuatu yang positif yang dapat mendukung kehidupan napi. Sedangkan stressful merupakan penilaian napi terhadap suatu tekanan yang membuat napi merasa tertekan dan tidak nyaman terhadap kehidupan di lapas, sehingga memunculkan perilaku stres.

Instrumen cognitive appraisal terdiri dari 26 item, yang mengukur dimensi primary appraisal. Instrumen menggunakan skala Likert, yang merupakan metode penskalaan yang mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau


(32)

45

kelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2008). Pada kuesioner terdapat lima pilihan dalam menjawab setiap pernyataan. Subjek diminta untuk memilih salah satu dari lima alternatif pilihan yang tersedia, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan dari setiap pernyataan memiliki nilai sebagai berikut:

Tabel 3.3. Bobot Penilaian Instrumen Cognitive Appraisal

Alternatif Pilihan Item

Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 5 1

Setuju (S) 4 2

Ragu-ragu (R) 3 3

Tidak Setuju (TS) 2 4

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5

Intrumen berupa kuesioner dengan rating scale. Kuesioner rating scale yaitu sebuah pernyataan tertulis yang diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkatan-tingkatan (misalnya: mulai dari sangat setuju sampai ke sangat tidak setuju) untuk memperoleh informasi dari responden (Arikunto, 2006). Semakin tinggi skor yang diperoleh, maka semakin tinggi cognitive appraisal napi dalam menghadapi kehidupan di Lapas. Sebaliknya napi dengan skor yang rendah, menunjukkan cognitive appraisal yang rendah.

Tabel 3.4. Kisi-kisi Instrumen Cognitive Appraisal

Dimensi Sub

Dimensi Indikator

Item Jumlah

Item Fav Unfav

Primary Appraisal

Irrelevant Napi merasa pengalaman atau keadaannya di lapas sebagai sesuatu yang tidak membawa implikasi terhadap kehidupannya.

1, 7, 12, 18, 25, 29

- 6

Benign-positive

Napi menafsirkan pengalaman atau

2, 8, 13, 19, 30


(33)

46

keadaannya di lapas sebagai sesuatu yang positif yang dapat mendukung kehidupan napi.

Stressful Harm/loss Napi menganggap keberadaannya di lapas sebagai sesuatu yang dapat merusak

kehidupannya, dan dapat membuatnya kehilangan sesuatu yang berharga atau dicintai.

- 3, 9, 14,

20, 26, 27 6

Threat Napi menganggap keadaan di lapas sebagai sesuatu yang dapat mengancam dirinya.

- 4, 10, 15,

21, 22

5

Challenge Napi menganggap pengalaman atau keadaan di lapas sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi.

5, 16, 23, 28

4

Jumlah Total Item 26

Keterangan:

Fav = Favorabel Unfav = Unfavorabel

3. Instrumen Problem Solving Appraisal

Instrumen yang digunakan untuk mengukur problem solving appraisal diadaptasi dari instrumen problem solving appraisal oleh Septiani (2013), yang berdasarkan pada The Problem Solving Inventory (PSI). Heppner (1982) mengembangkan PSI untuk mengukur kesadaran individu pada kemampuan problem solving secara umum. PSI merupakan inventori yang menggunakan tipe


(34)

47

skala likert dengan sistem penyekoran dari 1 (sangat setuju) sampai dengan 5 (sangat tidak setuju). Item-item yang digunakan terdiri dari pernyataan-pernyataan yang bersifat positif dan negatif atau favorable dan unfavorable.

Tabel 3.5. Bobot Penilaian Instrumen Problem Solving Appraisal

Alternatif Pilihan Item

Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 5 1

Setuju (S) 4 2

Ragu-ragu (R) 3 3

Tidak Setuju (TS) 2 4

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5

Instrumen The Problem Solving Inventory (PSI) terdiri dari 33 item, yaitu 11 item untuk mengukur problem solving confidence, 16 item untuk mengukur the approach-avoidance style, dan 6 item untuk mengukur personal control. Tingginya nilai PSI diartikan bahwa individu tidak yakin bahwa dirinya dapat memecahkan permasalahan secara efektif (ineffective problem solvers) (Heppner & Petersen, 1982).

Tabel 3.6. Kisi-kisi Instrumen Problem Solving Appraisal

No. Dimensi Indikator

Item Jumlah

Item Favorabel Unfavorabel

1. Problem solving cofidence

Napi percaya terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang dihadapinya di Lapas

5, 6, 10, 12, 19, 20, 23, 24, 27, 28, 33

- 11

2. The Approach-avoidance style

Napi cenderung memilih menyelesaikan masalah atau menghindari masalah saat menghadapi

permasalahan di Lapas

2, 7, 13, 15, 16, 17, 18, 22, 29, 31

1, 4, 14, 21, 26, 30


(35)

48

3. Personal control Napi percaya bahwa ia dapat mengendalikan emosi dan perilakunya saat mencoba untuk menyelesaikan

permasalahan di Lapas

3, 8, 9, 11, 25, 32

6

Jumlah Total Item 33

F. Proses Pengembangan Instrumen

Pengembangan instrumen penelitian dilakukan dengan uji coba untuk mengukur sejauh mana instrumen penelitian dapat mengungkap dengan tepat variabel yang akan diukur. Uji coba instrumen dalam penelitian ini bersifat uji coba terpakai, yang berarti bahwa pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Data yang terkumpul akan diolah untuk dilakukan uji validitas dan reliabilitas, yang kemudian diolah lagi dengan menghilangkan item-item yang tidak valid ataupun reliabel.

1. Uji Validitas a. Validitas isi

Untuk uji validitas, peneliti menggunakan pengujian validitas isi (content validity). Validitas isi menggambarkan sejauhmana item-item alat ukur mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan sejauhmana item-item tersebut mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi) (Azwar, 2010).

Uji validitas isi diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau dengan expert atau professional judgement. Dalam hal ini peneliti meminta bantuan kepada dua orang ahli di Jurusan Psikologi yaitu Drs. MIF Baihaqi, M.Si. dan Dr. Tina Hayati Dahlan, S.Psi., M.Pd. untuk melakukan penilaian terhadap instrumen cognitive appraisal. Setelah dianalisis terdapat beberapa perbaikan pada beberapa item, dan penambahan jumlah item. Instrumen yang awalnya berjumlah 27 diperbaiki dan ditambahkan 3 item menjadi 30 item. Akan tetapi setelah dilakukan


(36)

49

pengolahan data, dimensi secondary appraisal akhirnya dihapus sehingga tersisa 26 item. Untuk dua instrumen lainnya, yaitu tipe kepribadian dan problem solving appraisal, peneliti menggunakan instrumen yang sudah ada.

b. Analisis Item

Analisis item merupakan prosedur untuk meningkatkan validitas dan reabilitas suatu alat tes dengan cara memilih item-item yang sesuai dengan tujuan alat tes (Crocker dan Agina dalam Septiani, 2013). Analisis item didasarkan dari data empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter item seperti indeks kesukaran item, indeks diskriminasi item, analisis reabilitas dan validitas alat ukur tersebut (Azwar, 2010).

Setelah melakukan mengambilan data, peneliti melakukan pemilihan item melalui pengujian daya diskriminasi item yang akan menghendaki dilakukannya komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala itu sendiri yang akan menghasilkan corrected item-total correlation atau daya beda item (Azwar, 2010: 59). Suatu item dikatakan

layak jika memiliki koefisien korelasi r ≥ 0,30 tetapi jika jumlah item yang

lolos masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka koefisien korelasi dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,20 (Azwar, 2010).

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, terdapat beberapa item yang tidak layak untuk digunakan. Item-item tersebut kemudian tidak akan disertakan dalam proses pengolahan data. Hasil pengembangan instrumen penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.


(37)

50

Tabel 3.7. Hasil Pengembangan Instrumen Tipe Kepribadian

Dimensi Sub Dimensi No Item yang Layak

No Item yang Tidak layak Ekstrovert dan

Introvert

Activity 1, 6, 16, 19, 21 20, 23

Sociability 2, 10 17, 24

Risk Taking 3, 18, 25 -

Impulsiveness 4, 8, 9, 14, 22 11, 12

Expressiveness 27 5

Reflectiveness 26, 28 13, 15

Responsibility 7, 29 -

Total 20 9

Tabel 3.8. Hasil Pengembangan Instrumen Cognitive Appraisal

Dimensi Sub Dimensi No Item yang

Layak

No Item yang Tidak layak

Primary Appraisal Irrelevant 1, 7, 18, 25, 29 12

Benign-positive 2, 13 8, 19, 30

Stressful Harm/loss 3, 9, 14, 20, 26, 27 -

Threat 4, 15, 21, 22 10

Challenge 16, 28 5, 23

Total 19 7

Tabel 3.9. Hasil Pengembangan Instrumen Problem Solving Appraisal

Dimensi No Item yang

Layak

No Item yang Tidak layak Problem Solving Confidence 5, 6, 10, 12, 19, 20,

23, 24, 27, 28, 33

- The Approach-avoidance Style 1, 2, 4, 7, 13, 14, 15,

16, 18, 21, 22, 30, 31

17, 26, 29

Personal Control 3, 8, 32 9, 11, 25

Total 27 6

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran sehingga reliabilitas dapat diartikan sebagai tingkat keterpercayaan hasil suatu pengukuran (Azwar, 2010). Reliabilitas


(38)

51

menunjukkan sejauhmana konsistensi hasil pengukuran apabila pengukuran dilakukan ulang pada kelompok subjek yang sama (Azwar, 2009). Instrumen yang reliabel cenderung menghasilkan data yang sama dalam waktu yang berbeda.

Pengukuran reliabilitas dihitung dengan koefisien alpha cronbach. Aiken (2002) mengatakan bahwa koefisien alpha cronbach sebesar 0,6 sampai 0,8 dikatakan cukup pada sebuah alat untuk menentukan perbedaan antar kelompok, selama alat itu tidak dipergunakan untuk membandingkan tiap individu dengan individu lainnya. Pembagian koefisien alpha cronbach pun dapat dibedakan sebagai berikut (Guilford dalam Sugiyono, 2010).

Tabel 3.10. Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach

Kriteria Koefisien

Sangat Reliabel >0,900

Reliabel 0,700-0,900

Cukup Reliabel 0,400-0,700

Kurang Reliabel 0,200-0,400

Tidak Reliabel <0,200

Dengan mengacu pada kategorisasi koefisien reliabilitas alpha cronbach di atas, diperoleh kesimpulan bahwa ketiga instrumen yang diuji cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Adapun hasil pengujian reliabilitas ketiga instrumen penelitian ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel 3.11. Nilai Reliabilitas Instrumen Tipe Kepribadian Sebelum dilakukan Seleksi Item

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items


(39)

52

Tabel 3.12. Nilai Reliabilitas Instrumen Tipe Kepribadian Setelah dilakukan Seleksi Item

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

.778 20

Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen tipe kepribadian sebelum dilakukan seleksi item bernilai 0,696. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen tipe kepribadian cukup reliabel. Setelah dilakukan seleksi item, instrumen tipe kepribadian mengalami peningkatan nilai alpha cronbach menjadi 0,787 dan reliabilitasnya menjadi reliabel.

Tabel 3.13. Nilai Reliabilitas Instrumen Cognitive Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

.772 26

Tabel 3.14. Nilai Reliabilitas Instrumen Cognitive Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

.803 19

Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen cognitive appraisal sebelum dilakukan seleksi item bernilai 0,772, dan setelah seleksi item bernilai 0,803. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen cognitive appraisal reliabel dan mengalami peningkatan nilai alpha cronbach setelah dilakukan seleksi item.


(40)

53

Tabel 3.15. Nilai Reliabilitas Instrumen Problem Solving Appraisal Sebelum dilakukan Seleksi Item

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

.783 33

Tabel 3.16. Nilai Reliabilitas Instrumen Problem Solving Appraisal Setelah dilakukan Seleksi Item

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

.869 27

Koefisien reliabilitas alpha cronbach instrumen problem solving appraisal sebelum dilakukan seleksi item bernilai 0,783, dan setelah seleksi item bernilai 0,869. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen cognitive appraisal reliabel dan mengalami peningkatan nilai alpha cronbach setelah dilakukan seleksi item.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 2008). Pertimbangan penggunaan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data adalah banyaknya jumlah subjek penelitian, sehingga digunakan kuesioner agar pengumpulan data lebih efektif dan efisien.

H. Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan hasil uji asumsi. Jika hasil asumsi menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan linear, maka teknik statistik yang digunakan adalah teknik statistik parametrik. Namun jika hasil uji asumsi menunjukkan data tidak berdistribusi


(41)

54

normal atau linear maka teknik statistik yang digunakan adalah teknik statistik nonparametrik.

1. Uji Asumsi a. Uji normalitas

Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan SPSS version 20.0 for Windows dengan metode uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai probabilitasnya >

0,05. Sedangkan data berdistribusi tidak normal apabila nilai probabilitasnya ≤

0,05 (Sugiyono, 2008). Hasil perhitungan uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.17. Hasil Uji Normalitas Data

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Tipe Kepribadian

Cognitive Appraisal

Problem Solving Appraisal

N 43 43 43

Normal Parametersa,b Mean 8.2326 68.5116 104.2558

Std. Deviation 3.77231 9.31556 8.95516

Most Extreme Differences

Absolute .163 .104 .175

Positive .163 .069 .175

Negative -.108 -.104 -.149

Kolmogorov-Smirnov Z 1.069 .680 1.149

Asymp. Sig. (2-tailed) .204 .745 .143

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig. 2-tailed) dari variabel Tipe Kepribadian, Cognitive Appraisal, dan Problem Solving Appraisal masing-masing sebesar 0,204, 0,745 dan 0,143. Ketiganya lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data dari ketiga variabel tersebut berdistribusi normal.


(42)

55

b. Uji linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk melihat hubungan secara linear antara variabel tipe kepribadian dengan problem solving appraisal, tipe kepribadian dengan cognitive appraisal, dan cognitive appraisal dengan problem solving appraisal.

Hubungan yang linear menggambarkan bahwa perubahan pada satu variabel akan cenderung diikuti oleh perubahan variabel lainnya dengan membentuk garis linear. Suatu hubungan dapat dikatakan linear apabila adanya kesamaan variabel, baik penurunan maupun kenaikan yang terjadi pada kedua variabel tersebut.

Uji linearitas pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan SPSS version 20.0 for Windows. Sepasang data dapat dikatakan memiliki hubungan yang linear apabila memiliki nilai Sig. Linearity < 0,05. Hasil perhitungan uji linearitas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.18. Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Problem Solving Appraisal

ANOVAa

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1

Regression 22.686 1 22.686 .278 .601b

Residual 3345.500 41 81.598

Total 3368.186 42

a. Dependent Variable: Problem Solving Appraisal b. Predictors: (Constant), Tipe Kepribadian

Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,601 > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal tidak linear.


(43)

56

Tabel 3.19. Hasil Uji Linearitas antara Tipe Kepribadian dengan Cognitive Appraisal

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 276.998 1 276.998 3.372 .074b

Residual 3367.747 41 82.140

Total 3644.744 42

a. Dependent Variable: Cognitive Appraisal b. Predictors: (Constant), Tipe Kepribadian

Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,074 > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tipe kepribadian dengan cognitive appraisal tidak linear.

Tabel 3.20. Hasil Uji Linearitas antara Cognitive Appraisal dengan Problem Solving Appraisal

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 1027.689 1 1027.689 18.003 .000b

Residual 2340.497 41 57.085

Total 3368.186 42

a. Dependent Variable: Problem Solving Appraisal b. Predictors: (Constant), Cognitive Appraisal

Hasil perhitungan di atas menunjukkan nilai Sig. Linearity sebesar 0,000 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara cognitive appraisal dengan problem solving appraisal linear.

2. Uji Korelasi

Uji korelasi merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji ada atau tidaknya hubungan serta arah hubungan dari dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini dilakukan uji korelasi untuk melihat apakah terdapat hubungan antara variabel tipe kepribadian (independen), cognitive appraisal (mediator), dan problem solving appraisal (dependen). Untuk data yang berdistribusi normal dan


(44)

57

linear digunakan uji korelasi product moment Pearson sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal dan linear maka digunakan uji korelasi rank spearman.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan linearitas, data menunjukkan distribusi yang normal dan linear sehingga uji korelasi menggunakan uji korelasi product moment Pearson. Uji korelasi akan dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS version 20.0 for Window. Setelah nilai koefisien korelasi didapatkan, maka untuk menginterpretasikan koefisien korelasi tersebut digunakan pedoman sebagai berikut (Arikunto, 2010).

Tabel 3.21. Interpretasi Nilai r

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,000 – 0,199 Sangat rendah

0,200 – 0,399 Rendah

0,400 – 0,599 Sedang

0,600 – 0,799 Kuat

0,800 – 1,000 Sangat kuat

3. Uji Signifikansi

Uji signifikansi dilakukan untuk menguji apakah hubungan yang ditemukan berlaku untuk seluruh populasi atau tidak (Sugiyono, 2010). Pada penelitian ini uji signifikansi dilakukan dengan cara mengkonsultasikan angka Sig. dengan tingkat

kesalahan α = 0,05. Apabila nilai Sig. hubungan kedua variabel tersebut < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi tersebut signifikan.

Tabel 3.22. Kriteria Signifikansi Variabel

Kriteria

Probabilitas > 0,05 H0 diterima Probabilitas ≤ 0,05 H0 ditolak


(45)

58

4. Uji Deteksi Pengaruh Mediasi

Suatu variabel dapat disebut sebagai variabel mediator apabila variabel tersebut ikut mempengaruhi hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Pengujian hipotesis dilakukan dengan prosedur causal steps yang dikembangkan oleh Baron & Kenny (1986; dalam Andanawari, 2013). Dalam pengujian causal steps, peneliti harus mengestimasi tiga persamaan regresi sebagai berikut.

a. Persamaan regresi sederhana variabel mediator (M) pada variabel independen (X).

b. Persamaan regresi sederhana variabel dependen (Y) pada variabel independen (X).

c. Persamaan regresi berganda variabel dependen (Y) pada kedua variabel independen (X) dan variabel mediator (M).

Berdasarkan hasil estimasi ketiga model regresi tersebut, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar tercapainya mediasi. Pertama, variabel independen harus signifikansi mempengaruhi variabel mediator. Kedua, variabel independen harus signifikan mempengaruhi variabel dependen. Ketiga, variabel mediator harus signifikan mempengaruhi variabel dependen. Mediasi terjadi jika pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen lebih rendah pada persamaan ketiga dibandingkan pada persamaan kedua (Baron & Kenny, 1986; dalam Andanawari, 2013).

Pengujian hipotesis mediasi dapat dilakukan dengan prosedur Uji Sobel (Sobel Test) yang dikembangkan oleh Sobel (Andanawari, 2013). Uji Sobel dilakukan dengan cara menguji kekuatan pengaruh tidak langsung variabel independen (X) kepada variabel dependen (Y) melalui variabel mediator (M) (Andanawari, 2013). Pengaruh tidak langsung X ke Y melalui M dihitung dengan

cara mengalikan jalur X → M (a) dengan jalur M → Y (b) atau ab. Jadi koefisien ab = (c - c’), dimana c adalah pengaruh X terhadap Y tanpa mengontrol M, dan c’ adalah koefisien pengaruh X terhadap Y setelah mengontrol M (Andanawari, 2013). Gambaran hubungan antara variabel independen dan dependen dengan pengaruh mediator dapat dilihat pada gambar berikut.


(46)

59

Gambar 3.2. Gambaran Hubungan antara Variabel Independen dan Dependen dengan Pengaruh Mediator

Standar error koefisien a dan b ditulis dengan Sa dan Sb, sementara Sab menggambarkan besarnya standar error tidak langsung (indirect effect). Sab dihitung dengan rumus,

√ Keterangan:

Sab : Standar error tidak langsung

a : Koefisien regresi tidak terstandar yang menggambarkan pengaruh X terhadap M

b : Koefisien regresi tidak terstandar yang menggambarkan pengaruh M terhadap Y

Sa : Standar error dari koefisien a Sb : Standar error dari koefisien b

Untuk menguji signifikansi pengaruh tidak langsung, perlu dihitung nilai t dari koefisien ab dengan rumus,


(47)

60

Nilai thitung kemudian dibandingkan dengan ttabel, jika thitung lebih besar dari

nilai ttabel (+1,96) atau lebih kecil (-1,96) maka dapat disimpulkan bahwa terjadi

pengaruh mediasi. Tes Sobel dapat dihitung dengan bantuan kalkulator online yang dapat diakses di http://quantpsy.org/sobel/sobel.html dengan memasukkan angka-angka di atas (Andanawari, 2013).


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Secara umum narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung memiliki kecenderungan tipe kepribadian introvert. Napi dengan kepribadian introvert cenderung kurang giat dalam bekerja, santai, senang bermalas-malasan, menyukai situasi yang tenang, dan aktivitas individual seperti membaca. Mereka cenderung sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, dan sangat berhati-hati dalam menampilkan emosi mereka. 2. Sebagian besar narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung secara

umum memiliki kecenderungan cognitive appraisal yang tinggi. Napi dengan cognitive appraisal yang tinggi cenderung menilai dan memberikan reaksi yang positif dalam menghadapi berbagai permasalahan di Lapas. 3. Sebagian besar narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung meyakini

dirinya sebagai effective problem solvers. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar napi meyakini dirinya mampu beradaptasi dengan mudah dalam berbagai kondisi lingkungan seperti apapun, mampu menghadapi berbagai stressor, dan mampu untuk mengembangkan metode yang efektif untuk meraih berbagai kebutuhan dan tujuan-tujuan hidupnya.

4. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang sangat rendah dan tidak signifikan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Artinya napi dengan kecenderungan tipe kepribadian ektrovert belum tentu menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Begitu pula napi dengan kecenderungan tipe kepribadian introvert, mereka juga belum tentu menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers. Hasil ini bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan, dalam hal penelitian ini adalah lingkungan Lapas.


(49)

104

5. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang rendah dan tidak signifikan antara tipe kepribadian dengan cognitive appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Artinya napi dengan kecenderungan tipe kepribadian ektrovert belum tentu memiliki cognitive appraisal yang tinggi. Begitupun halnya napi dengan kecenderungan tipe kepribadian introvert juga belum tentu memiliki cognitive appraisal yang rendah. Hasil ini bisa terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan, dan dalam hal penelitian ini adalah lingkungan Lapas.

6. Hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tergolong sedang dan signifikan antara cognitive appraisal dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Artinya napi dengan kecenderungan cognitive appraisal yang tinggi cenderung menilai dirinya sebagai effective problem solvers. Sebaliknya napi dengan cognitive appraisal yang rendah cenderung menilai dirinya sebagai ineffective problem solvers.

7. Tidak terdapat pengaruh cognitive appraisal sebagai variabel mediator dalam hubungan antara tipe kepribadian dengan problem solving appraisal pada narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung. Hal ini disebabkan tidak terpenuhinya hubungan kausal antar variabel, dan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam uji model mediasi masih kurang.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa rekomendasi yang bisa peneliti berikan adalah sebagai berikut.

1. Bagi Napi

a. Memperbanyak aktivitas dan menjalani aktivitas di Lapas dengan lebih baik, sehingga lebih produktif dan tidak menghabiskan waktu dengan percuma. Selain dapat mengisi waktu, aktivitas tersebut juga bertujuan untuk menghindarkan napi dari sifat malas, berdiam diri atau melamun, dan menjauhkan napi dari pikiran-pikiran yang dapat menimbulkan stres.


(1)

106

Angga Permana Putra, 2013

Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal membantu napi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di Lapas.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk melakukan penelitian kualitatif untuk lebih menggali secara mendalam permasalahan narapidana korupsi selama di Lapas, lebih menggali tipe kepribadian napi, cognitive appraisal, dan problem solving appraisal mereka. b. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk menggali aspek-aspek lain

selain tipe kepribadian, cognitive appraisal, dan problem solving appraisal, seperti pengaruh lingkungan atau kehidupan Lapas, serta pengaruh program pembinaan Lapas terhadap napi.

c. Instrumen penelitian diharapkan untuk lebih dikembangkan dan dimodifikasi supaya lebih bisa menggali dan mengukur variabel penelitian dengan baik. Instrumen tipe kepribadian dan cognitive appraisal perlu dikembangkan dan diperbaiki kosa katanya agar dapat mengukur aspek tipe kepribadian dengan lebih baik. Instrumen problem solving appraisal perlu diperbaiki kosa kata atau kalimatnya agar lebih mudah dimengerti subjek.


(2)

Angga Permana Putra, 2013

DAFTAR PUSTAKA

Affleck, G & Tennen H. (1996). Construing Benefits from Adversity: Adaptational Significance and Dispositional Underpinnings. Journal of Personality [Online]. 64, (4), 899-921. Tersedia: http://dionysus.psych.wisc.edu/lit/articles/AffleckG1996a.pdf (1 April 2013) Alatas, S.H. (1975). Sosiologi Korupsi; Sebuah Penjelajahan dengan Data

Kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Alwi, Hasan. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Andanawari, S. (2013). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Post-Traumatic Growth pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Skripsi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Anggrainy, D. (2009). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Kompetensi Sosial pada Orangtua yang Memiliki Anak Autis. Skripsi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Atkinson, R.L. et al. (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga. Azwar, S. (2010). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baron, R. M. & Kenny, D. A. (1986). “The Moderator-Mediator Variable Distinction

in Social Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Considerations.” Journal of Personality and Social Psychology, 51, (6), 1173-1182.


(3)

108

Angga Permana Putra, 2013

Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal Bologne, J. (2006). Faktor Penyebab Korupsi. [Online]. Tersedia:

http://afidburhanuddin.files.wordpress.com/2013/03/bab-2-faktor-penyebab-korupsi.pdf (8 April 2013)

Cooke, D.J., Baldwin, P.J., dan Howison J. (1990). Psychology in Prisons. London: Routledge.

Dahlan, A. (2013). Reward-Punishment Berantas Korupsi. Artikel [Online]. Tersedia: http://ozoradahlan.wordpress.com/2013/02/03/reward-punishment-berantas-korupsi/ (1 April 2013)

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta

Detik. (2013). Koruptor Huni Lapas Sukamiskin Bandung. Artikel [Online]. Tersedia:

http://news.detik.com/bandung/read/2013/01/20/171951/2147683/486/216-koruptor-huni-lapas-sukamiskin-bandung (1 April 2013)

Ditjen.PAS. (2013). Data Terakhir Jumlah Penghuni Per-UPT pada Kanwil. Sistem Data Base Pemasyarakatan [Online]. Tersedia: http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/db5e00e0-6bd1-1bd1-913c-313134333039. [1 April 2013]

Eysenck, H.J. (1998). Dimensions of Personality. New Jersey: Transaction Publishers.

Fajar Online. (2012). 2012, Sudah Ada 597 Tersangka Korupsi. Artikel [Online]. Tersedia: http://www.fajar.co.id/read-20121004162750-2012-sudah-ada-597-tersangka-korupsi (2 April 2013)

Hall, C. & Linzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Haluankepri. (2012). Buruk Rupa Peringkat Korupsi Indonesia. Artikel [Online]. Tersedia: dari http://www.haluankepri.com/opini-/38961-buruk-rupa-peringkat-korupsi-indonesia.html (2 April 2013)

Harsono, D.I. (1995). Sistim Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta: Penerbit Djembatan.


(4)

Heppner, P.P., & Petersen, C. (1982). “A Personal Problem Solving Inventory”.

The Annual Convention of the American Psychological Association. Los Angeles: APA

Heppner, P.P., & Krauskopf, C.J. (1987). “An Information-Processing Approach

to Personal Problem Solving”. The Counseling Psychologist, 15, 371-447 Heppner, P.P., & Lee, D.G. (2002). “Problem Solving Appraisal and

Psychological Adjustment”. Handbook of Positive Psychology. NC: Oxford University Press.

Heppner, P.P., Witty, T.E., & Dixon, W.A. (2004). “Problem Solving Appraisal and Human Adjustment: A review of 20 years of research using the problem

solving inventory”. The Counseling Psychologist, 32, 344-428.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Huntington, S. (1968). Political Order in Changing Societies.

Indraswary. (2013). Reward-Punishment Berantas Korupsi. Artikel [Online]. Tersedia: http://ozoradahlan.wordpress.com/2013/02/03/reward-punishment-berantas-korupsi/ (1 April 2013)

Janis, I.L., & Mann, L. (1979). Decision Making: A Psychological Analysis of Conflict, Choice, and Commitment. New York: The Free Press

Kompas. (2012). LP Sukamiskin Bandung jadi Lapas Khusus Koruptor. Artikel

[Online]. Tersedia:

http://nasional.kompas.com/read/2012/12/26/1429534/LP.Sukamiskin.Band ung.Jadi.Lapas.Khusus.Koruptor (1 April 2013)

Kompas. (2013). Kisah Kasus Korupsi di KPK. Artikel [Online]. Tersedia: http://nasional.kompas.com/read/2013/01/03/1134093/Kisah.Kasus.Korupsi. di.KPK.... (2 April 2013)

Lazarus, Richard S. (1976). Pattern of Adjustment (Third Edition). New York: McGraw-Hill.

Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer Publishing Company.


(5)

110

Angga Permana Putra, 2013

Hubungan Antara Tipe Kepribadian Dengan Problem Solving Appraisal Dan Cognitive Appraisal Lazarus, Richard S. (1991). Emotion and Adaptation. New York: Oxford

University Press

Mackinnon, D. P. (2008). Introduction to Statistical Mediation Analysis. New York: Lawrence Erlbaum Associates Taylor & Francis Group.

Madsen, S. R., Miller, D., & John, C. R. (2005). Readiness for organizational change: Do organizational commitment and social relationship in the workplace make a difference? Human Resource Development Quarterly, vol 16 (2), 213-233.

Nofiani, N.S. (2011). Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html (1 April 2013)

n.n. (2012). Anti-social Behaviour. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Anti-social_behaviour (29 Juli 2013)

n.n. (2013). Corruption: Nigeria Home’s Grown and Worst Enemy. [Online]. Tersedia: http://www.openmindfoundation.com/index.php/national-issues/nigeria-today/corruption/ (29 Juli 2013)

Nurishifa, A. (2008). Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Coping Strategy Orangtua yang Memiliki Anak Tuna Grahita. Skripsi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Permata, S.F.R. (2009). Perbandingan Cognitive Appraisal Terhadap Tuntutan Peran Ibu pada Penderita Kanker Payudara. Skripsi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan. Savitri, D. (2003). Studi Perbandingan antara Tipe Kepribadian Introvert dan

Ekstrovert dengan Kecenderungan pada Coping terhadap Terjadinya Sindroma Burnout pada Karyawati Panti Werdha Nazareth di Bandung. Skripsi pada Fakultas Psikologi UNISBA. Bandung: tidak diterbitkan. Schultz, D., & Schultz, S.E. (1994). Theories of Personality 5th Edition.

California: Brooks/Cole.

Septiani, N. (2013). Hubungan antara Problem Solving Appraisal dengan Penyesuaian Diri pada Napi Anak. Skripsi pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.


(6)

Seto, A. (2012). BAB II, Tinjauan Pustaka. [Online]. Tersedia: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/58104/BAB%20II% 20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=3 (1 Mei 2013)

Snyder, C.R., & Lopez, S.J. (2002). Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.

Solso, R.L. et al. (2007). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Surachmin, & Cahaya, S. (2011). Strategi dan Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Suryabrata, S. (2008). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. t.n. (2010). Korupsi [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi [1

April 2013].

t.n. (2011). Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan [1 April 2013].

t.n. (2013). Kepribadian [Online]. Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Kepribadian [1 April 2013].

TI. (2012). Corruption Perception Index 2012. [Online]. Tersedia: http://www.ti.or.id/index.php/publication/2012/12/12/corruption-perception-index-2012 (1 April 2013)

Upadhay, N.P. (2011). Corruption: A Psychosocial Issue. [Online]. Tersedia: