perlindungan dan pelayanan yang sebaik-baiknya agar dirinya dan keluarganya merasa aman dan nyaman.
B. Analisis Terhadap Restitusi
Dalam masalah restitusi ini, penulis juga telah menjelaskannya pada bab III tersebut. Sekedar hanya untuk kembali mengingatkan pada penulis yang akan
menguraikan sedikit tentang hal itu. Sebagaimana telah dipaparkan bahwa restitusi atau ganti rugi yang dimaksud adalah pemberian yang harus diberikan
oleh seorang pelaku kejahatan terhadap korban saksi akibat kejahatan yang telah dilakukannya. Adapun macam ganti rugi yang dimaksud biasanya berupa
sejumlah uang yang dianggap sebagai denda atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap korban saksi.
Bahwa, penderitaan yang dialami korban itu dapat melakukan penuntutan atas ganti rugi apabila korban saksi mengalami bermacam bentuk kerugian seperti
kerugian fisik maupun non-fisik, misalnya kehilangan penghasilan atau kekayaan, atau karena banyaknya pengeluaran biaya perawatan medis danatau psikologis
terhadap korban saksi, dan atau karena korban mendapat kerugian lain yang dideritanya akibat tindak pidana tersebut. Demikian penjelasan singkat mengenai
restitusi yang terdapat dalam hukum konvensional.
Restitusi atau ganti rugi dalam Islam yang harus dikeluarkan oleh tersangka tindak kejahatan terhadap korbannya yang dikenal dengan istilah diat. Secara
etimologi, diat adalah harta pengganti jiwa atau anggota tubuh, atau dengan kata lain diat adalah ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada
korban saksi atau ahli warisnya karena suatu tindak ancaman yang mengakibatkan pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan seseorang.
83
Dalam istilah fiqh, diat dapat dimaknakan dengan sejumlah harta benda yang diberikan sebagai ganti kerugian atau tindakan melukai atau juga membunuh
seseorang.
84
Sayyid Sabiq dalam kitabnya fiqh Sunnah, menjelaskan bahwa diat
83
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar BAru Van Hoeve, 1997, Cet. ke- 1, h. 266.
84
M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 60.
adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku kejahatan, karena terjadinya tindak pidana ancaman hingga menyebabkan pembunuhan dan
diberikan kepada korban saksi atau walinya.
85
Selain diat berkaitan dengan masalah ganti rugi terhadap korban saksi, Islam pun menerangkan apa yang disebut dengan istilah al-arsy, yaitu ganti rugi yang
diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban saksi atau ahli warisnya karena tindakan semaunya terhadap pelaku yang dilakukan terhadap anggota
tubuh manusia, tetapi dengan tidak menghilangkan seluruh manfaatnya seperti terputusnya satu buah jari tangan atau sebelah tangan. Akan tetapi, Ulama hukum
pidana Islam, memasukkan pembahasan kedua bentuk ganti rugi ini dalam topik diat.
86
Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa diat dan al-arsy merupakan uquubah maaliyah
hukuman yang bersifat harta, yang diberikan oleh pelaku kepada korban apabila ia masih hidup atau kepada keluarganya apabila ia sudah
meninggal, bukan kepada pemerintah. Tetapi walaupun kedua jenis hukuman ini sama-sama membahas tentang masalah ganti rugi terhadap korban kejahatan,
namun terdapat perbedaan diantara keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada obyek kejahatannya. Dalam diat yang menjadi obyek kejahatannya adalah
jiwa manusia dan hilangnya menfaat anggota tubuhnya. Sedangkan dalam al-arsy
85
Sayid Sabiq, fiqh Sunnah Penerjemah: H. A. Ali, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, h. 94.
86
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 266
yang menjadi obyeknya adalah tindak kebebasan bertindak terhadap anggota tubuh korban tanpa harus menghilangkan seluruh manfaatnya.
Dasar hukum diwajibkannya diat atas pelaku kejahatan dalam hukum Islam adalah surat an-Nisa 4 ayat 92, yaitu :
إ ﺎ ﺆ نأ ﺆ نﺎآ ﺎ و ﺮ ﺄﻄ ﺎ ﺆ و ﺄﻄ
ﺔ ﺆ ﺔ ر ﺮ إ هأ ﻰ إ ﺔ
ﺔ دو نأ
ﺪ ﻮا
. ءﺎ ا
4 :
92
Artinya: “… dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali karena tidak sengaja. Barang siapa membunuh
seorang mukmin karena tidak sengaja, maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka keluarga si terbunuh bersedekah”
. QS. An-Nisa 4 : 92. Selain surat an-Nisa ayat 92 diatas, dalil diwajibkannya diat ini pun terdapat
pula dalam hadits Nabi, yaitu hadits ‘Amar bin Hisyam, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW memberitahukan kepada penduduk Yaman
melalui surah yang kandungannya berkaitan dengan fara’id pembagian warisan dan diat.” Dan sabda Nabi yang lain, “sesungguhnya siapa yang terbukti
membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan syara’ dikenakan qishas, kecuali apabila ahli warisnya rela untuk menerima ganti rugi, maka untuk
satu jiwa yang hilang diatnya 100 ekor unta..” HR. MAlik, an-Nisa’I, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi.
87
87
Ibif,Inid halaman, h. 266
Sebelum diat dibayarkan oleh pelaku kepada korban, ada beberapa syarat sehingga diat itu wajib dikeluarkan oleh pelaku, namun syarat-syarat tersebut
tidak semuanya disepakati oleh ulama fiqih. Syarat yang disepakati adalah pembunuhan tersebut dilakukan terhadap orang yang dilarang oleh syara’ untuk
dibunuh. Sedangkan syarat yang tidak disepakati yaitu apabila yang terbunuh itu berada diwilayah yang dikuasai oleh Islam. Ulama Hanafiah mensyaratkan
wajibnya diat jika yang terbunuh itu berada diwilayah yang dikuasai Islam. Karenanya menurut mereka, orang mukmin yang terbunuh diwilayah kafir harbi
maka pembunuhnya tidak dapat dituntut diat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “… jika si terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin,
maka hendaklah si pembunuh memerdekakan hamba sahaya yang mukmin …” QS. An-Nisa : 92. Menurut mereka dalam ayat ini Allah SWT hanya
mewajibkan memerdekakan hamba sahaya bagi seseorang yang membunuh seorang mukmin di wilayah kafir Harbi, dengan alasan karena ayat ini bersifat
umum: “… dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarga terbunuhnya si terbunuh itu, kecuali jika mereka keluarga terbunuh bersedekah …”
. Diat
ini terbagi pada dua macam. Pertama, diat jiwa, yang dikeluarkan pada tindak pidana pembunuhan, meliputi pembunuhan menyerupai sengaja dan
pembunuhan tidak sengaja. Kedua, diat anggota badan, yakni diat yang dikeluarkan pada tindak pidana pelukaan atau menghilangkan memotong
anggota badan yang dilakukan secara tidak sengaja. Dari dua macam diat tersebut yang merupakan hak bagi si korban adalah diat anggota badan. Sedang pada diat
jiwa, hak atas diat itu berada ditangan wali atau ahli waris korban.
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam , Ahmad Wardi Muslich menjelaskan ada berbagai macam diat. Akan tetapi ulama berbeda pendapat
tentang jenis diat yang wajib dibayar oleh pelaku. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’I dalam qaul qadim, diat dapat dibayar dengan
salah satu dari tiga jenis, yaitu unta, emas, atau perak.
88
Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan dan Imam Ahmad Ibn Hanbal, jenis diat itu ada enam macam, yaitu unta, emas, perak,
sapi, kambing, atau pakaian. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa lima jenis yang disebut pertama merupakan asal diat, sedangkan yang keenam yaitu pakaian
bukan asal, karena bisa berubah-ubah.
89
Jika dikaitkan dengan berat ringannya, maka diat terbagi kepada dua bagian, yaitu diat mughaladzah berlaku dalam pembunuhan menyerupai sengaja dan
diat mukhafafah diat yang diperingan.
Diat mughaladzah hanya berlaku apabila diat tersebut dibayar dengan unta,
sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang lain, seperti
88
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h. 167- 168
89
Ibid, h. 169
emas dan perak. Pemberatan diat dalam pembunuhan sengaja, dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pembayaran ditanggung sepenuhnya oleh pelaku, pembayaran
harus tunai tidak boleh dicicil serta umur unta lebih dewasa. Menurut Syafi’iyah, misalnya, unta harus berumur tiga tahun lebih, bahkan sebagian
sedang bunting. Sedangkan
maksud diat
yang diperingan adalah diat yang diberlakukan dengan memberikan beberapa keringanan kepada pelaku. Keringan tersebut
meliputi tiga aspek yaitu, kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah keluarga, pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun, dan komposisijumlah
diatnya.
90
Berdasarkan keterangan diatas maka bisa dilihat bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara restitusi diat dalam hukum Islam dan restitusi
dalam hukum konvensional. Persamaan keduanya terletak pada ancaman hukuman dan sistem pembayarannya, dilihat dari segi ancaman hukuman
keduanya adalah sama jenisnya yaitu berupa uang. Sedangkan bila dilihat dari sistem pembayarannya, keduanya sama-sama diberikan pada korban.
Jadi perbedaan antara diat dan restitusi yaitu terletak pada jenis-jenis tindak pidana dan sumber hukumnya. Pidana diat hanya menjatuhkan hukuman
terhadap jenis tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan pelukaan, dan lain- lain, sedangkan restitusi dijatuhkan terhadap semua jenis tindak pidana, seperti
tindak pidana kejahatan, dan tindak pidana lain yang terdapat dalam Undang- undang khusus dalam hal ini ancaman terhadap saksi, misalnya.
90
Ibid, h. 171
Selanjutnya bila dilihat sumber hukumnya antara diat dan restitusi, keduanya mempunyai sumber hukum yang berbeda, diat bersumber pada al-Qur’an, Hadits
dan pendapat Ulama, sedangkan restitusi dalam pembahasan ini mengacu pada undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi
Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.
91
Bila dikaitkan dengan tindak pidana ancaman terhadap saksi, maka akan terdapat hubungan yang nyata antara kewajiban seorang pelaku untuk membayar
diat atau restitusi kepada korban sebagaimana yang tercantum dalam Undang-
undang perlindungan saksi Hubungan tersebut terlihat dalam hal yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban.
Dalam tindak pidana pengancaman terhadap saksi, seringkali korban mendapat perlakuan buruk dari pelaku, terlebih lagi bila korban menolak untuk
melakukan apa yang diperintahkan. Bentuk perlakuan buruk itu seperti penganiayaan, pemaksaan dan lain sebagainya. Penganiayaan tersebut ada yang
bisa mengakibatkan korban terluka atau bahkan kehilangan nyawanya. Jika penganiayaan itu dapat menyebabkan kehilangan nyawa, maka perlu dikenakan
hukuman penjara, akan tetapi jika korbansaksi mengalami kerusakan fisik atas diri ataupun harta miliknya, maka pelaku diharuskan mengganti kerugian yang
dialami korban itu. Penggantian atas kerugian tersebut dilakukan oleh pelaku setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, penulis berkesimpulan bahwa restitusi yang diatur dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2002 telah sesuai dengan hukum
91
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Ibid. h. 62
Islam walaupun belum sepenuhnya, karena restitusi dalam undang-undang ini tidak dijelaskan secara rinci berapa besar jumlah minimum dan maksimum
nominal yang harus dikeluarkan oleh pelaku tersebut. Sedangkan diat dalam hukum Islam sangat rinci dan jelas bahkan ditentukan batasan atau kadar dan
jumlahnya. Umpamanya saja ganti rugi bagi korban pelukaan yang menampakkan tulang dan membukanya mudhihah ditentukan jumlah ganti ruginya yaitu lima
ekor unta.
C. Analisis Terhadap Rehabilitasi