BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah. Allah SWT menciptakannya dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri, meniupkan ruh dari-
Nya kepadanya, memerintahkan sujud semua Malaikat kepadanya, menundukkan semua apa yang ada dilangit dan dibumi kepadanya, menjadikan kholifah-Nya
dibumi, dan membekalinya dengan kekuatan serta bakat-bakat agar ia dapat menguasai bumi ini, dan supaya ia dapat meraih dengan semaksimal
kemampuannya akan kesejahteraan kehidupan materil dan spirituilnya.
1
Islam adalah agama yang universal dalam mengatur segala hal dan permasalahan. Tidak ada satupun dari aspek kehidupan dialam semesta ini yang
lepas dari kontrol dan aturan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, demikian pula dalam hal sistem persaksian sudah tercakup didalamnya.
Syari’at Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang aturan persaksian, termasuk didalamnya mengatur tentang kewajiban saksi terhadap kejadian yang
telah dialaminya.
2
Firman Allah SWT menyatakan :
… و
ﺛاء ﺈ ﺎﻬ ﻜ و ةدﺎﻬ ا اﻮ ﻜ …
ةﺮ ا :
283
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj Bandung : Al-Ma’arif, 1987, Cet ke-2 h. 13
2
Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam, Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002, Cet. ke- 1, h. 21
Artinya: “…dan janganlah kamu para saksi menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya ….” Q. S Al-Baqarah : 283.
Sementara dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi juga telah diatur pula dalam persaksian, baik itu mengenai
hak-hak bagi para saksi atau lainnya, seperti yang tercantum pada pasal 5 yang berbunyi “ Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, dan sebagainya.
3
Hak yang paling utama dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak pemilikan, hak memiliki kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak
menuntut ilmu pengetahuan. Hak paling penting dan yang sangat diperlukan dalam perhatian diantara hak-hak tersebut adalah hak hidup, tidak dibenarkan
secara hukum dilanggar kemuliaannya dan tidak boleh dianggap remeh eksistensinya.
Manusia juga sebagai makhluk hidup yang sempurna, tentu saja memiliki akal serta pikiran yang sehat. Di dalam kehidupan yang dijalani, pasti muncul
persoalan-persoalan yang dihadapi, entah antara individu dengan individu, individu dengan golongan, atau golongan dengan golongan. Untuk mengatasi hal
ini, maka manusia membentuk aturan-aturan yang kita kenal dengan hukum. Dalam memperhatikan fungsi hukum dimasyarakat yang dapat berjalan tanpa
3
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006, Cet. ke- 1. h. 3
menerima pelayanan hukum. Keadaan ini menjadi lebih jelas lagi apabila kita berhadapan dengan masyarakat yang tidak lagi tradisional dimana kontak-kontak
pribadi serta konflik-konflik kepentingan terjadi dengan lebih efektif.
4
Untuk menyelesaikan konflik yang ada, maka dibentuklah badan-badan peradilan untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul didalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika manusia ingat bahwa kebenaran dapat dicapai dengan usaha-usaha
pikiran dan lainnya, maka manusia mempunyai dasar yang sehat dalam agama. Manusia tidak menjadi orang berharga jika percaya dengan mudah atau menolak
sesuatu kepercayaan dengan mudah pula, dengan tidak memakai penyelidikan yang seksama. Oleh karena sebuah pendapat adalah lebih dekat kepada kebenaran
dari pada pendapat yang lain, maka kewajiban manusia adalah mengetahui pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran itu. Kebenaran akan menjadi lebih
terlihat dengan adanya saksi dan bukti, tapi disamping itu manusia harus membedakan antara saksi yang benar dan yang tidak benar, dan harus belajar
menarik kesimpulan dari pada saksi yang mutlaq.
5
Sesungguhnya keadilan itu dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan dengan melaksanakan hukum-hukum yang
4
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat Bandung : Angkasa, 1979, Cet ke-4 h. 11
5
David Trueblood, terj- M. Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1965, Cet. ke- 1, h. 30
telah disyari’atkan Allah SWT serta dengan menjauhkan hawa nafsu melalui pembagian yang adil diantara sesama manusia.
6
Peradilan adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Di
dalam peradilan yang terkandung perintah menyuruh ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi
orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila peradilan itu
tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang kacau balau.
7
Walaupun tidak sepenuhnya dipercaya, pengadilan tetap merupakan tumpuan masyarakat dalam mengusung keadilan yang dicita-citakan. Hal ini
meniscayakan lembaga pengadilan untuk mampu mengeluarkan keputusan yang tidak memihak, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Inilah
doktrin idealisme dari aliran pemikiran hukum liberal Liberal Legal Thought School
.
8
6
Sayyid Sabiq, terj- Mahyuddin Syaf, Fiqih Sunnah Bandung : Al-Ma’arif, 1994, Cet ke- 4, Jilid 14, h. 17
7
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta : Al-Ma’arif, 1964, h. 7
8
Ifdhal Kasim, Berkenaan dengan “Critical Legal Studies” dalam Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis
, terj, Jakarta : ELSAM, 1999, Cet. Ke- 1, h. XI Kata Pengantar. Gerakan ini dipelopori antara lain oleh Ronald Dworkin. Lihat Karya Ronald Dworkin, A Matter Of
Principle ,Cambridge : Harvard University Press, 1985
Satu hal yang menarik adalah, sehubungan dengan kedudukan peradilan sebagai lembaga yang secara resmi diberi wewenang untuk menentukan suatu
keputusan demi terciptanya keadilan kepastian hukum di tengah masyarakat, pengadilan sering kali dituduh tidak memihak kepada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.
9
Kenyataan ini memang kerap kali terjadi pada taraf pengambilan keputusan. Barangkali penyebabnya adalah tidak terpenuhinya sumber-sumber
atau dasar-dasar yang dapat meyakinkan hakim secara sempurna dalam proses ini, sedangkan hakim tertuntut secara yuridis untuk menjatuhkan satu ketetapan yang
mengikat pihak-pihak berperkara itu, sesuai dengan azas hukum acara, bahwa hakim mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya.
10
Sumber-sumber yang dipergunakan seorang hakim dalam mengambil keputusan disebut sebagai “alat bukti”. Setiap alat bukti berbeda-beda kekuatan
satu dengan yang lainnya. Yang secara langsung dapat mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Jika kekuatan alat bukti dapat diakui, maka seorang hakim untuk
memutuskan perkara memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga hakim merasa yakin dengan keputusannya.
Hakim sebagai salah satu unsur atau bagian dari proses penegakan hukum yang berada dalam suatu institusi peradilan. Dalam memutuskan suatu perkara
9
Inilah fokus dari titik gerakan Critical Legal Studies bahwa proses-proses hukum tidak pernah bekerja dalam ruang hampa, melainkan berlangsung dalam realitas yang tidak netral dari nilai
yang ada dibelakangnya ialah subyektif. Ibid., h. XVI Kata Pengantar
10
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000, Cet. ke- 3, h. 11
baik perkara perdata maupun perkara pidana, yang diajukan oleh seseorang. Tentulah seorang hakim memerlukan alat bukti untuk menganalisa suatu perkara
dengan yakin. Pembuktian dengan saksi yang merupakan salah satu alat bukti adalah
pembuktian yang sangat banyak dipergunakan. Tapi dengan mempergunakan pembuktian dengan saksi perlu diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi
tidak selalu sesuai dengan kenyataannya. Lain daripada itu yang sangat disayangkan ialah bahwa seorang saksi tanpa disadari, dapat memberikan
keterangan yang sebetulnya tidak betul.
11
Dalam permasalahan kesaksian, sebagaimana diungkapkan dalam buku Hukum Pembuktian dalam Islam oleh Ahmad ad-Daur, bahwa kesaksian adalah
dasar pembuktian.
12
Terjadi pembedaan yang mendasar dalam Hukum Islam dan Hukum Positif pada “jumlah saksi”. Dimana dalam peradilan Islam ada sebuah
ketegasan yang terperinci dalam jumlah saksi. Adapun menurut pasal 184 ayat 1 KUHAP, alat-alat bukti yang sah yaitu
keterangan saksi, keterangan saksi ahli, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa. Kalau dilihat dari urutannya keterangan saksi adalah pembuktian yang paling
utama. Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimoniom De Auditu. Kedudukan seorang saksi dalam proses
11
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian : Menurut Undang- undang Hukum Perdata RW
, Jakarta : PT Bina Aksara, 1986, Cet. ke- 3, h. 204
12
Ahmad ad-Da’ur, terj- Syamsuddin Ramadlan., Hukum Pembuktian dalam Islam, Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2002, Cet. ke- 1, h. 18
persidangan amatlah penting dalam peranannya, sebab tanpa kehadiran saksi acara persidangan dapat ditunda atau bisa saja gagal tanpa adanya saksi. Oleh
karena itu masyarakat sangat memerlukan perlindungan hukum atas saksi, agar rasa prihatin masyarakat dapat teratasi.
Usaha penegakan hukum pidana ditanah air acap kali terganjal oleh susahnya memperoleh alat bukti dalam proses peradilan pidana berupa keterangan
saksi dan korban. Para saksi dan korban kerap kali mengalami intimidasi, ancaman, tekanan dari pihak pelaku atau pihak tertentu yang tak ingin
kejahatannya terbongkar, akibatnya, para saksi dan korban tidak bisa secara leluasa menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang kejadian yang mereka
dengar, lihat, dan alami sendiri. Sebelumnya memang telah ada peraturan yang mengatur tentang
perlindungan saksi dan korban, namun dikhususkan untuk tindak pidana tertentu, sehingga belum dapat menampung perlindungan terhadap saksi dan korban untuk
tindak pidana secara umum yang semakin beragam dan kompleks pada zaman sekarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akhirnya pada tanggal 18 Juli
2006, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan saksi dan korban.
13
Dengan demikian, bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif dalam menyikapi tindak perlindungan saksi di Indonesia.
Beranjak dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih jauh tentang :
13
Lihat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Ibid. h. v
“PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA MENURUT UU NO 13 TAHUN
2006” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, dalam hal ini penulis akan mencoba membatasi
penelitian ini hanya mengenai masalah yang menyangkut: Saksi dalam perkara pidana, pandangan hukum Islam terhadap perlindungan saksi dalam perkara
pidana di Indonesia, menurut UU No 13 Tahun 2006” Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut : D.
Bagaimana Hukum Islam memposisikan saksi dalam perkara pidana ? E.
Faktor apa yang menyebabkan saksi dalam perkara pidana perlu mendapat perlindungan hukum oleh undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 ?
F. Bagaimana Undang-undang No. 13 Tahun 2006 memberikan perlindungan
hukum terhadap saksi dalam perkara pidana ? G.
Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai perlindungan hukum terhadap saksi dalam perkara pidana menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian