Potensi antioksidan Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun Lampung

(1)

DI PERAIRAN TELUK HURUN LAMPUNG

DIINI FITHRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk Hurun Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2009

Diini Fithriani


(3)

ABSTRACT

DIINI FITHRIANI. Potency Antio xidant of Caulerpa racemosa in Hurun Bay , Lampung (under supervision YUSLI WARDIATNO as chairman, and JOKO SANTOSO as member of the commitee)

Caulerpa racemosa is a green alga which mainly grows in tropical regions.

Caulerpa racemosa is found in coral reef area attributed to the coral substrate or found in sand-rubble substrate. Caulerpa racemosa is edible, and in Indonesia are traditionally utilized as fresh vegetable.

The purpose of this research are to investigate effect of location or waters condition to antioxidant of Caulerpa racemosa and to investigate the content of total phenol, antioxidant activity and peroxide value of Caulerpa racemosa by various extracting solvent. Caulerpa racemosa collected from three location or station in Hurun Gulf, Lampung.

The data was collected in April-July 2009. Caulerpa racemosa in station 1 and 2 live in rope media and Caulerpa racemosa in station 3 live in coral reef ecosystem. Transect square method and visual observation was used to see condition of Caulerpa racemosa,. Waters quality analyzed in situ and in laboratory. Analysis data using univariate analysis and Pearson correlation. Pearson correlation ana lysis show that nitrat has significant relevance to the antioxidant activity.

All Caulerpa racemosa in three location in Hurun Bay, Lampung has potency as antioxidant which the value of antioxidant activity and phenol content was difference depend on waters condition. Statiun 2 has the highest antioxidant activity which was significantly different with other statio n, this result estimated because of high sunlight intencity, low nitrat content, Caulerpa racemosa health condition and the existence of herbivore. Ethyl acetat extract in fresh form seaweed that collected from station 1 had the highest content of total phenol (3.2 %) which was significantly different with other extract at same station, and and ethyl acetat extract in fresh form of seaweed had highest antioxidant activity measured by reducting DPPH.


(4)

RINGKASAN

DIINI FITHRIANI. Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk

Hurun Lampung. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, dan JOKO

SANTOSO.

Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai substansi apapun yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah jika dibandingkan dengan substrat yang dapat teroksidasi, secara signifikan dapat mencegah atau menghambat oksidasi di dalam substrat tersebut. Caulerpa racemosa adalah satu dari berbagai spesies rumput laut yang tumbuh secara alami di perairan Indonesia.

Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada substrat koral atau pada pasir dan pecahan karang. Caulerpa racemosa bersifat edible atau dapat dikonsumsi manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah dimanfaatkan sebagai sayuran segar atau lalap, namun konsumennya masih terbatas pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir.

Seperti tanaman lainnya, Caulerpa racemosa memproduksi metabolit primer dan sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap rangsangan dari luar. Salah satu jenis metabolit sekunder adalah antioksidan. Tingkat produksi antioksidan sebagai metabolit sekunder merupakan fungsi genetik, lingkungan, dan kesehatan tanaman. Kehadiran senyawa antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, dan saat ini para ahli pangan banyak melakukan penelitian untuk mencari antioksidan alami. Penentuan kapasitas antioksidan pada Caulerpa racemosa dapat meningkatkan nilai manfaat dari rumput laut ini. Namun hingga saat ini pengkajian antioksidan pada rumput laut Caulerpa racemosa sangat terbatas. Karena itu penelitian mengenai Caulerpa racemosa perlu dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antioksidan dari

Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun termasuk faktor–faktor yang mempengaruhinya dan menguraikan karakteristik antioksidan melalui kondisi sampel dan pelarut yang berbeda Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan dan kadar fenol ekstrak Caulerpa racemosa kering dengan pelarut etil asetat di perairan Teluk Hurun berbeda-beda tergantung pada kondisi lingkungan perairannya. Aktivitas antioksidan dan kadar fenol tertinggi dicapai oleh ekstrak Caulerpa racemosa di stasiun 2 dengan nilai AEAC 23.68 mg AAE/100 g, IC 50 12.64 mg/ml, persen penghambatan 46.43 % dan total fenol

12.6 %. Lebih tingginya aktivitas antioksidan di stasiun ini diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor. 1) lebih tingginya intensitas cahaya di daerah ini, dimana hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara aktivitas antioksidan dan intensitas cahaya dengan nilai r = 0.94. 2) Adanya herbivora pemangsa yaitu penyu di daerah ini dimana keberadaan herbivora dapat memicu terbentuknya antioksidan. 3) Kondisi fisik Caulerpa racemosa di stasiun ini cukup baik dengan buah yang segar, banyaknya rangkaian buah (lebih dari 10) pada satu frond dan panjang frond 8 cm sehingga dapat melakukan melakukan mebolisme dengan baik dan menghasilkan antioksidan yang dibutuhkan untuk melindungi dirinya. 4) Kadar nitrat yang terendah dibandingkan stasiun lainnya dimana hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat korelasi negatif yang kuat


(5)

antara nitrat dan aktivitas antioksidan r = -0.72. Selain aktivitas antioksidan pada penelitian ini juga diketahui bahwa lokasi juga berpengaruh terhadap total fenol dimana hasil yang diperoleh seperti halnya aktivitas antioksidan menunjukkan total fenol tertinggi terdapat di stasiun 2. Hasil evaluasi terhadap uji bilangan peroksida menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa dari Teluk Hurun memiliki kemampuan dalam penghambatan oksidasi lemak, yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya bilangan peroksida di ketiga stasiun dengan emulsi minyak tanpa penambahan ekstrak. Dan hasil uji Duncan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara emulsi minyak dengan ekstrak dan tanpa ekstrak. Hal ini mengindikasikan potensi Caulerpa racemosa sebagai antioksidan. Dari pengujian terhadap sampel Caulerpa racemosa dengan kondisi yang berbeda (basah dan kering) dan pelarut yang berbeda diketahui karakteristik antioksidan pada

Caulerpa racemosa antara lain adalah antioksidan pada Caulerpa racemosa

didominasi oleh antioksidan yang bersifat semi polar hal ini didukung oleh hasil penelitian dimana ekstrak etil asetat mempunyai kandungan total fenol tertinggi dibandingkan ekstrak metanol dan heksana dengan nilai 3.2 % pada sampel segar dan 2.2 % pada sampel kering. Sedangkan pada Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat pada sampel segar memiliki aktivitas antioksidan terbaik. Perlakuan sampel yang terbaik untuk optimasi antioksidan Caulerpa racemosa adalah dengan perlakuan segar dan ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

POTENSI ANTIOKSIDAN

Caulerpa racemosa

DI PERAIRAN TELUK HURUN LAMPUNG

DIINI FITHRIANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

2009

Judul Tesis : Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk Hurun Lampung

Nama : Diini Fithriani

NIM : C 252070424

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Potensi Antioksidan Caulerpa racemosa di Perairan Teluk Hurun Lampung.

Penyusunan Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari, bahwa dalam tesis ini masih banyak kekurangan, yang disebabkan masih terbatasnya ilmu maupun pengalaman yang dimiliki, oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan petunjuk dari berbagai pihak agar dikemudian hari mampu menyusun karya-karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

3. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan petunjuk serta pengarahan dalam penyusunan tesis ini. 4. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan dan pengarahan yang sangat bermanfaat. 5. Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. yang telah berkenan menjadi dosen penguji. 6. Bapak dan Ibu pengajar di lingkungan Sekolah Pascasarjana Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.

7. COREMAP II yang telah memberikan kesempatan belajar melalui program beasiswa 2007.

8. Kepala Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Bapak Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, Kepala Kelompok Peneliti Rekayasa Alat Bapak Dr. Ir. Bandol Sediadi Bagus Utomo, MSc, Koordinator Rekayasa Alat Bapak Ir. Jamal Basmal, MSc dan Bapak Ir. Abdul Sari, MSc, Kepala Bidang Tata Operasional Dr. Ir. Singgih Wibowo, MSc atas dukungan dan ijin belajar yang diberikan.

9. Senior dan rekan-rekan kerja di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan

10.Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung serta Saudara Windika atas bantuannya dalam pengambilan sampel sehingga penelitian dapat terlaksana.

11.Ayahanda dan Ibunda yang telah mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

12.Yang tercinta Suami, Anak serta Adinda yang selalu tulus ikhlas mendampingi penulis dalam suka maupun duka.

13.Teman-teman Sandwich yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.


(10)

Akhirnya penulis mengucapkan semoga kebaikan yang telah diberikan untuk kepentingan dalam menyusun tesis ini, mendapatkan amal shalih serta ridho dari Allah SWT dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Maret 1980 sebagai anak sulung dari pasangan Djunaedi Abdul Rachim dan Neneng Muslimah.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2007, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari COREMAP II, Asian Development Bank.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. sejak tahun 2004.

Pada tahun 2005 penulis menikah dengan Abdul Mukti dan dikarunia satu orang anak yaitu Dafi Mubarak Athallah yang kini berusia 3 tahun.


(12)

(13)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Antioksidan ... 6

2.1.1 Definisi antioksidan ... 6

2.1.2 Mekanisme kerja antioksidan... 7

2.1.3 Antioksidan alami bersumber dari tumbuhan ... 7

2.1.4 Antioksidan dalam rumput laut ... 10

2.1.5 Metode pengukuran aktifitas antioksidan ... 12

2.2 Pengenalan Genus Caulerpa ... 13

2.3 Pengenalan Species Caulerpa racemosa ... 14

2.3.1 Toleransi lingkungan Caulerpa racemosa ... 15

2.3.2 Sistem reproduksi Caulerpa racemosa ... 16

2.3.3 Mekanisme pertahanan Caulerpa racemosa ... 16

2.3.4 Kontrol alami ... 17

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Antioksidan pada Tanaman .. 17

2.4.1 Faktor lingkungan dan genotif ... 17

2.4.2 Faktor waktu pemanenan dan kematangan ... 17

2.4.3 Faktor pengolahan makanan dan metode produksi ... 18

2.5 Ekstraksi ... 18

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

3.2 Metoda Penelitian ... 22

3.2.1 Pra penelitian ... 22

3.2.2 Penelitian utama ... 22

3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1 Parameter Habitat dan Kondisi Fisik Caulerpa racemosa ... 34

4.1.1 Media tumbuh Caulerpa racemosa ... 34

4.1.2 Hewan herbivora ... 39

4.1.3 Parameter fisik kimia perairan ... 41


(14)

4.2 Properti Antioksidan Ekstrak Caulerpa Racemosa di Perairan

Teluk Hurun, Lampung ... 47

4.2.1 Total fenol ekstrak Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan faktor yang mempengaruhinya ... 47

4.2.2 Aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan faktor yang mempengaruhinya ... 49

4.2.3 Bilangan peroksida Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan faktor yang mempengaruhinya ... 53

4.3 Kandungan Fenol, Aktivitas Antioksidan dan Bilangan Peroksida Ekstrak Caulerpa Racemosa Dengan Pelarut Yang Berbeda ... 54

4.3.1 Determinasi total fenol ekstrak Caulerpa racemosa ... 55

4.3.2 Aktivitas antioksidan ekstrak Caulerpa racemosa metode DPPH ... 56

4.3.3 Bilangan peroksida ekstrak Caulerpa racemosa ... 60

4.4 Alternatif Pengelolaan ... 62

4.4.1 Ketersediaan Caulerpa racemosa ... 62

4.4.2 Potensi antioksidan Caulerpa racemosa ... 63

4.4.3 Implementasi pengelolaan Caulerpa racemosa berkelanjutan ... 64

4.4.4 Pengelolaan terumbu karang dalam kaitannya dengan optimasi antioksidan Caulerpa racemosa ... 66

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 69


(15)

iii

Halaman

1 Lokasi penelitian di Teluk Hurun, Lampung ... 20

2 Substrat tempat tumbuh Caulerpa racemosa ... 37

3 Komposisi hewan herbivora di setiap stasiun ... 41

4 Data kualitas air di Teluk Hurun 2003 ... 45

5 Kondisi Caulerpa racemosa di ketiga stasiun ... 48

6 Hubungan antara parameter fisik kimia perairan dengan total fenol ... 49

7 Hubungan antara parameter fisik kimia perairan dengan persen penghambatan ... 53

8 IC 50 dengan metode DPPH ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ... 59


(16)

iv

Halaman

1 Caulerpa racemosa yang tumbuh pada substrat karang ... 8

2 Caulerpa racemosa var. Cylindracea : thallus yang berbeda ... 8

3 Peta lokasi stasiun 1, 2 dan 3 di Teluk Hurun Lampung ... 21

4 Skema transek kuadrat dalam pengamatan kondisi Caulerpa racemosa ... 24

5 Skema pengambilan data parameter air ... 25

6 Caulerpa racemosa di stasiun1 ... 35

7 Caulerpa racemosa di stasiun 2 ... 36

8 Caulerpa racemosa di stasiun 3 ... 36

9 Lamun berasosiasi dengan karang mati ... 37

10 Karang yang rusak di stasiun 3 ... 39

11 Caulerpa racemosa ditengah komunitas lamun ... 40

12 Pengukuran parameter fisik – kimia perairan di Teluk Hurun, Lampung ... 42

13 Pengukuran parameter fisik – kimia perairan di tiga lokasi di Teluk Hurun Lampung ... 43

14 Kandungan total fenol pada ketiga lokasi penelitian ... 48

15 Aktivitas antioksidan (AEAC) pada ketiga lokasi dan aktivitas antioksidan (IC 50) pada ketiga lokasi ... 52

16 Persen penghambatan radikal bebas pada ketiga lokasi ... 52

17 Bilangan peroksida ektrak Caulerpa racemosa di tiga lokasi ... 55

18 Kandungan fenol pada ekstrak Caulerpa racemosa ... 57

19 Grafik hubungan persiapan sampel dan perbedaan pelarut terhadap aktifitas antioksidan (AEAC) dan persen penghambatan ... 59


(17)

1.1 Latar Belakang

Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda atau mencegah oksidasi lemak atau molekul lain dengan menghambat proses inisiasi atau propagasi reaksi rantai oksidatif (Rohman et al. 2006). Akhir-akhir ini banyak penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, artritis, diabetes dan liver yang disebabkan karena antioksidan di dalam tubuh tidak mampu menetralisir peningkatan konsentrasi radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul yang pada orbit terluarnya mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan, sifatnya sangat labil dan sangat reaktif sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel seperti DNA, lipida, protein dan karbohidrat. Kerusakan tersebut dapat menimbulkan berbagai kelainan biologis seperti arterosklerosis, kanker, diabetes dan penyakit degeneratif lainnya (Chen et al.

1996). Peranan antioksidan sangat penting dalam menetralkan dan

menghancurkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan juga merusak biomolekul, seperti DNA, protein, dan lipoprotein di dalam tubuh yang akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung, artritis, katarak, diabetes dan hati (Silalahi 2002).

Saat ini, perhatian publik mengenai masalah kesehatan manusia yang disebabkan oleh bahan tambahan membuat para ilmuwan pangan antusias dalam mencari antioksidan alami dari berbagai sumber. Hingga saat ini ada satu pemahaman bahwa antioksidan alami adalah senyawa fenolik yang terdapat pada seluruh bagian tanaman. Antioksidan dari senyawa fenolik yang bersumber dari tanaman meliputi senyawa flavonoid, asam cinamat, kumarin, tokoferol, kerotenoid, dan asam polifungsional organik (Shahidi dan Wanasundara 1992).

Caulerpa racemosa adalah salah satu rumput laut hijau yang tumbuh secara

alami di perairan Indonesia. Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada substrat koral atau pada substrat pasir-pecahan karang. Caulerpa racemosa bersifat edible atau dapat dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah dimanfaatkan sebagai sayuran segar atau lalap, namun konsumennya masih terbatas pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir. Hal ini sangat berbeda


(18)

dengan kondisi di negara lain seperti Jepang, Fiji, Filipina atau Thailand. Di Thailand, Caulerpa racemosa sudah umum ditemukan di Pasar Phuket, dimana 10-20 kg terjual setiap harinya, untuk digunakan sebagai saus pedas. Di Fiji atau Pulau Pasifik lainnya Caulerpa racemosa juga sudah dijual secara luas di pasar-pasar untuk dimanfaatkan sebagai sayuran segar. Di Jepang Caulerpa racemosa diekspor dari Cebu, Filipina dengan harga yang tinggi. Selain sebagai bahan pangan Caulerpa racemosa dapat digunakan sebagai pakan ternak dan obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi dan obat reumatik (Novaczek 2001 in Chew et

al. 2008).

Seperti jenis tanaman lainnya Caulerpa racemosa memproduksi metabolit primer dan metabolit sekunder. Menurut Brandt dan Molgaard (2001) metabolit sekunder adalah berbagai grup alami yang memproduksi senyawa kimiawi, yang tidak secara nyata memiliki fungsi primer di dalam pertumbuhan sel tanaman. Metabolit sekunder disintesis oleh tanaman sebagai respon terhadap rangsangan dari luar dan seringkali memerankan fungsi pengaturan didalam aliran reaksi fisiologis dan reaksi metabolik terhadap stres, serangan hama atau pengganggu.

Menurut Benbrook (2005) ada hubungan antara tingkat stres tanaman dan produksi metabolit sekunder, termasuk polifenol dan antioksidan. Ada substansi yang disetujui oleh ahli fatologi, fisiologi dan entomologi bahwa :

a. Secara relatif lebih banyak antioksidan sebagai metabolit sekunder yang diproduksi oleh tanaman sebagai respon terhadap tekanan atau stres biotik dan abiotik.

b. Tingkat produksi antioksidan sebagai metabolit sekunder merupakan fungsi genetik, metode bertani atau lingkungan dan kesehatan tanaman.

Salah satu hal yang penting dari metabolit sekunder adalah banyak metabolit sekunder merupakan antioksidan (Benbrook 2005). Pada dekade terakhir, banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa rumput laut merupakan sumber yang kaya senyawa antioksidan (Lim et al. 2002; Kuda et al. 2005; Duan

et al. 2006 in Ganesan et al. 2008). Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa

keberadaan antioksidan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Antioksidan pada bayam dipengaruhi oleh musim tumbuhnya (Howard 2002 in Moore et al.


(19)

2006) dan antioksidan pada Hypericum brasiliense dipengaruhi oleh suhu, tekanan air, dan intensitas cahaya (Abreu, 2005 in Moore et al. 2006).

Caulerpa racemosa merupakan salah satu sumberdaya perairan yang

terdapat di Indonesia yang keberadaannya belum dimanfaatkan secara optimal, padahal menurut Santoso et al. (2002) Caulerpa racemosa dari Indonesia memiliki kandungan serat makanan tak larut yang lebih tinggi dibandingkan

Caulerpa racemosa dari Jepang.

Disamping itu Caulerpa racemosa memiliki kemampuan menghasilkan metabolit sekunder yang berpotensi sebagai sumber antioksidan. Sifat Caulerpa

racemosa yang aman dikonsumsi dan telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan

(sayuran) oleh sebagian masyarakat pesisir memungkinkan rumput laut ini untuk dieksplorasi sebagai sumber antioksidan alami. Penentuan aktivitas antioksidan pada Caulerpa racemosa dapat meningkatkan nilai manfaat dari rumput laut ini. Namun hingga saat ini pengkajian antioksidan pada rumput laut Caulerpa

racemosa sangat terbatas. Karena itu dalam penelitian ini karakteristik Caulerpa racemosa dan pengaruh lingkungan perairan terhadap antioksidan Caulerpa racemosa akan dipelajari. Dimana pada penelitian ini, Caulerpa racemosa yang

dipelajari berasal dari Teluk Hurun Lampung.

1.2 Perumusan Masalah

Caulerpa racemosa adalah rumput laut hijau yang ditemukan terutama di

daerah tropis dan ada sebagian yang juga ditemukan di daerah subtropis.

Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada daerah terumbu karang, menempel

pada substrat karang, atau pasir-ruble. Caulerpa racemosa bersifat edible atau dapat dikonsumsi yaitu sebagai sayuran segar atau lalap. Meskipun Caulerpa

racemosa bersifat edible dan terdapat di perairan Indonesia, konsumen Caulerpa racemosa masih terbatas pada keluarga nelayan atau masyarakat pesisir.

Terbatasnya konsumen Caulerpa racemosa di Indonesia mungkin dapat disebabkan karena kurangnya informasi mengenai Caulerpa racemosa. Padahal

Caulerpa racemosa dari Indonesia memiliki kandungan serat makanan tak larut

yang lebih tinggi dibandingkan Caulerpa racemosa dari Jepang (Santoso et al. 2002). Serat makanan tidak larut mengandung selulosa dan hemiselulosa yang


(20)

memerankan peran penting dalam mencegah konstipasi, colitis dan haemmorhoid. Disamping itu Caulerpa racemosa juga dapat menghasilkan metabolit sekunder termasuk antioksidan. Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, antioksidan dapat menghambat atau mencegah kerusakan oksidatif yang terjadi pada tubuh manusia. Pada tanaman darat diketahui bahwa antioksidan adalah bagian dari metabolit sekunder yang keberadaannya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor biotik maupun abiotik. Antioksidan ini umumnya terbentuk sebagai respon terhadap tekanan lingkungan. Selain oleh lingkungan retensi antioksidan dalam bahan pangan juga dipengaruhi oleh proses pengolahannya.

Teluk Hurun berada di wilayah pantai barat Teluk Lampung, Sumatera Selatan. Teluk Hurun merupakan perairan semi tertutup dimana dua buah sungai mengalir ke perairan ini. Di perairan ini terdapat aktivitas marikultur diantaranya budidaya kerang mutiara, rumput laut, budidaya kerapu dan ikan lainnya dengan jaring terapung baik milik perusahaan swasta, masyarakat maupun instansi riset milik pemerintah. Secara umum perairan ini mendapat tekanan ekologis akibat pemanfaatan yang semakin meningkat, dan fungsi perairan itu sendiri sebagai tempat rekreasi dan sarana transportasi. Di Teluk Hurun Caulerpa racemosa tumbuh secara alami namun tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.

Keberadaan antioksidan dapat menjadi nilai tambah bagi Caulerpa

racemosa. Terutama pada zaman sekarang ini dimana para ilmuwan menaruh

perhatian besar terhadap antioksidan alami untuk alasan kesehatan. Namun hingga saat ini penelitian mengenai kandungan antioksidan terutama pada tanaman laut masih terbatas pada karakteristik antioksidannya, dan penelitian mengenai hubungan antioksidan dan faktor lingkungan belum banyak dikaji, meskipun pada tanaman darat diketahui terdapat hubungan yang erat antara antioksidan dan lingkungan. Hingga saat ini penelitian mengenai Caulerpa racemosa masih terbatas, padahal rumput laut ini jelas dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Penelitian masih didominasi oleh rumput laut yang memiliki kandungan

fikokoloid seperti cotonii atau sargassum. Berdasarkan hal tersebut diatas

diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa pada perairan Teluk Hurun yang mengalami tekanan ekologis dari manusia.


(21)

b. Apakah lingkungan perairan mempengaruhi aktivitas antioksidan Caulerpa

racemosa.

c. Bagaimana karakteristik antioksidan Caulerpa racemosa.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari aktivitas antioksidan dari Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Mengkarakterisasi antioksidan melalui kondisi sampel segar dan kering dan ekstraksi dalam pelarut polar (metanol), semipolar (etil asetat), dan nonpolar (heksana) dalam penelitian ini penentuan kandungan total fenol dan bilangan peroksida juga dilakukan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Mengetahui kondisi antioksidan dari Caulerpa racemosa di perairan Teluk Hurun dan faktor- faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

2. Mengetahui karakteristik antioksidan Caulerpa racemosa.


(22)

2.1 Antioksidan

2.1.1 Definisi antioksidan

Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai substansi apapun yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah jika dibandingkan dengan substrat yang dapat teroksidasi, secara signifikan dapat mencegah atau menghambat oksidasi didalam substrat tersebut (Halliwell dan Gutteridge 1990). Dalam kata lain antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat oksidasi dari molekul lain dengan cara menghambat inisiasi atau propagasi oksidasi rantai reaksi.

Penelitian menunjukkan bahwa radikal bebas pada manusia dapat menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap molekul lain seperti lemak, protein, dan asam nukleat yang merupakan bagian dari fase inisiasi beberapa penyakit degenaratif. Menyikapi hal tersebut peranan antioksidan menyita banyak perhatian sebagai kandidat yang dapat menghambat penyakit tertentu dan mencegah proses penuaan (Slater 1991 in Yee et al. 2007).

Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetis (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami)

Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992).

2.1.2 Mekanisme kerja antioksidan

Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom


(23)

hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Shoaib 2008).

Antioksidan dapat memainkan peran dalam anti oksidasi sebagai penghambat radikal bebas, agen penghambat, pengkelat, dan atau penghambat singlet oksigen. Berbagai antioksidan sintetis telah terdaftar, tetapi hanya beberapa yang diijinkan oleh undang-undang sebagai bahan tambahan makanan karena adanya efek toksik dan efek lainnya. Beberapa jenis antioksidan sintetis yang diizinkan sebagai bahan tambahan makanan adalah butylated hydroxy

anisole (BHA), butylated hydroxy toluene (BHT), pueraria glycoside (PG) dan tertiary butylatedhydroquinone (TBHQ) (Yuan 2006). Antioksidasi dapat

ditunjukkan dengan rantai reaksi berikut : R - H R. + H. R. + O=O ROO. ROO. + R-H ROOH+R. R.+R. R-R

Ada dua cara rantai reaksi ini diinisiasi, yang pertama dengan penambahan reagen yang dapat memperlambat pembentukan radikal bebas dan yang kedua adalah dengan penambahan antioksidan sebagai penerima radikal bebas (Shoaib 2008).

2.1.3 Antioksidan alami bersumber dari tumbuhan

Metabolit sekunder pada tanaman, termasuk enzim dan protein, diproduksi oleh tanaman untuk mengatur fisiologi dan pola pertumbuhan (Daniel et al. 1999

in Benbrook 2005). Beberapa metabolit sekunder membantu tanaman mengatasi

kondisi lingkungan yang ekstrim, mencegah serangan serangga, atau merespon terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hewan pengganggu atau penyakit. Beberapa metabolit sekunder berperan dalam penyembuhan daun yang luka atau jaringan buah yang rusak melalui pembentukan pigmen. Ada lebih dari 50.000


(24)

metabolit sekunder tanaman, dan sekitar 4.000 metabolit sekunder tanaman merupakan flavonoid, dimana diantaranya adalah antioksidan (Daniel et al. 1999

in Benbrook 2005).

Tanaman memiliki antioksidan sebagai sistem pertahanan yang membantu penyembuhan penyakit tanaman. Sejumlah antioksidan tanaman menghasilkan warna yang kaya dan rasa pada buah dan sayuran tertentu di beberapa daerah. Setelah pemanenan dan selama penyimpanan, buah dan sayuran dengan tingkat antioksidan yang tinggi cenderung dapat memperlambat serangan infeksi setelah pemanenan. Antioksidan pada tanaman dapat membantu memperpanjang umur simpan dan resiko terkena mycotoxin (Daniel et al. 1999 in Benbrook 2005).

Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan,

Angiosperm memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah

ini kurang lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar dibeberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt 1992).

Antioksidan alami dan sintesis dapat menghalangi atau menunda proses oksidasi lemak. Antioksidan mengacu pada berbagai substansi yang hadir dengan konsentrasi lemah didalam bahan pangan dan dapat secara signifikan mencegah oksidasi yang dilakukan oleh prooksidan. Prooksidan dapat dikatakan sebagai sinonim dari spesies oksigen reaktif, yang mengacu kepada berbagai substansi yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah dalam makanan dapat menyebabkan atau mempromosikan reaksi oksidatif (Yuan 2006).

Saat ini, perhatian publik mengenai masalah kesehatan manusia yang disebabkan oleh bahan tambahan membuat para ilmuwan pangan antusias dalam mencari antioksidan alami dari berbagai sumber. Hingga saat ini ada satu pemahaman bahwa antioksidan alami adalah senyawa fenolik yang terdapat pada seluruh bagian tanaman. Antioksidan dari senyawa fenolik yang bersumber dari tanaman meliputi senyawa flavonoid, asam cinamat, kumarin, tokoferol, kerotenoid dan asam polifungsional organik (Shahidi dan Wanasundara 1992).


(25)

Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Pratt dan Hudson 1990).

Tokoferol sebagai senyawa monofenolik sudah digunakan untuk industri pangan dalam beberapa dekade. Penggunaan tokoferol berdasarkan pada kemampuannya dalam mencegah oksidasi dari asam lemak bebas pada makanan yang mengandung lemak atau minyak (Khan dan Shahidi 2001). Tokoferol adalah antioksidan fenolik yang secara alami terkandung dalam minyak nabati yang berfungsi untuk menjaga kualitas minyak dengan melakukan terminasi terhadap radikal bebas (Evans 2002).

Flavonoid adalah senyawa yang terdapat secara luas di alam dan dikategorikan menurut struktur kimia kedalam flavonols, flavon, flavonon, isoflavon, katekin, antosianin dan kalkon (Buhler 2002). Sekitar 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Lebih dari 4.000 flavonoid telah teridentifikasi, sebagian terkandung pada buah, sayur dan minuman (teh, kopi, bir, anggur dan minuman sari buah) (Heim et al. 2002).

Flavonoid saat ini menjadi fokus perhatian karena potensinya yang menguntungkan terhadap kesehatan dan flavonoid dilaporkan mengandung anti virus, anti alergi, anti platelet, anti inflamasi, anti tumor dan aktivitas antioksidan (Heim et al. 2002). Menurut Pratt dan Hudson (1990) kebanyakan dari golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik dalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida.

Kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi grup hidroksil dan grup lain dalam struktur kimia flavonoid sangat penting untuk mencegah radikal bebas. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol, quercetin dan kalkon. Quercetin, flavonols yang jumlahnya terbanyak dalam makanan adalah antioksidan yang potensial karena memiliki bentuk struktur yang benar sebagai penghambat aktivitas radikal bebas (Buhler 2002).


(26)

Asam askorbat adalah antioksidan karena bentuk radikal semi hidro askorbat dari asam askorbat dan radikal bebas jauh kurang reaktif dibandingkan dengan pembasmi radikal oleh askorbat (Baskin 1997).

Karotenoid dikategorikan sebagai senyawa alami yang larut lemak yang tersebar luas di seluruh bagian tanaman. Karotenoid umumnya berlokasi didalam sistem membran dari sel dimana salah satu fungsi utama dari senyawa tersebut bersangkutan dengan fotosintesis dan bertanggung jawab terhadap warna merah, orange, dan kuning pada daun, buah dan bunga (Delgado-Vargas et al. 2000 dalam Yuan 2006). Karotenoid juga ditemukan dalam alga, bakteri fotosintesis, bakteri non fotosintesis, jamur, dan ragi (Delgado-Vargas et al. 2000 in Yuan 2006).

2.1.4 Antioksidan dalam rumput laut

Berbagai penelitian melaporkan mengenai kemampuan antioksidan rumput laut dan ekstrak rumput laut (Yan et al. 1999; Duval et al. 2000; Ruperez et al. 2002; Heo et al. 2005; Yuan 2006 in Je et al. 2009; Chandini et al. 2008). Berbagai ekstrak dengan pelarut berbeda dari Kapaphycus alvarezii menunjukkan kemampuan penghambatan yang baik pada analisis DPPH, kekuatan penghambatan, pengkelatan ion besi dan properti antioksidan dalam sistem asam linoleat (Kumar 2008).

Benzoylated dan acetylated turunan fukoidan dari Laminaria japonica

memiliki aktivitas antioksidan (Wang 2009). Polisakarida terlarut dari Turbinaria

conoides dapat menjadi antioksidan yang baik. Aktivitas antioksidan polisakarida Turbinaria berdasarkan pada aktivitas donor proton yang dimilikinya

(Chattopadhyay 2009).

Penambahan tiga rumput laut yang umum dikonsumsi yaitu Wakame (Undaria pinnatifida), Nori (Porphyra umbilicalis) dan Spaghetti laut (Himanthalia elongata) yang ditambahkan pada sampel daging dengan senyawa polifenol terlarut mampu menambah kapasitas antioksidan dalam sistem. Pada sampel yang mengandung Spaghetti laut (Himanthalia elongata) memiliki kandungan polifenol dan antioksidan tertinggi dibandingkan dengan kedua sampel lainnya (p < 0.05) (Lopez 2009).


(27)

Aktivitas antioksidan invitro dari tiga rumput laut merah terpilih yaitu

Eucheuma cotonii, Gracilaria edulis dan Acanthophora spicifera telah dievaluasi.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rumput laut atau makro alga laut dapat digunakan sebagai antioksidan alami (Ganesan 2008). Aktivitas antioksidan dari polisakarida alami dari alga hijau Ulva pertusa telah dievaluasi secara

invitro, meliputi aktivitas penghambatan terhadap super oksida dan radikal

hidroksil, kekuatan penghambatan, kemampuan pengkelatan. Hasil analisis menunjukkan tingginya aktivitas penghambatan terhadap radikal hidroksil dan kemampuan pengkelatan (Qi et al. 2006).

Penambahan Ulva segar dan Ulva yang diproses terhadap hamsters yang mengalami atherosklerotis, efektif dalam menurunkan stress oksidatif dengan meningkatkan aktivitas enzim seperti SOD dan GSHPx, terbatasnya peroksidasi lemak dan produksi anion superoksida (Godard 2009). Kandungan total fenol, aktivitas antioksidan, aktivitas antioksidan dan aktivitas antibakteri Ecklonia

stolorifera dan Ecklonia kurome cukup tinggi, dimana setiap properti bervariasi

tergantung pada proses pengolahannya (Kuda 2007).

Polisakarida sulfat larut air panas dari rumput laut berfungsi sebagai penghambat radikal bebas dan sebagai antioksidan, properti ini sangat penting dalam mencegah radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan yang berkontribusi terhadap karsinogenesis (Kwon 2007). Astaxanthin dalam rumput laut memiliki kemampuan penghambatan melawan paparan ultra violet dan juga memiliki efek penghambatan melawan pembentukan radikal bebas yang disebabkan karena efek foto-oxidatif yang disebabkan karena tingginya tingkat radiasi ultra violet pada sinar matahari. Hawkins (2003) dan Stahl et al. (2000) dalam Munifah (2007) telah mempelajari efek perlindungan dari astaxanthin, -caroten dan retinol melawan efek foto-oxidatif yang disebabkan karena paparan ultra violet. Hasil penelitian ini membuktikan fakta bahwa astaxanthin sangat efektif untuk mengurangi kerusakan kulit karena pembentukan senyawa polyamine.

Organisme laut yang diketahui merupakan sumber astaxanthin yang kaya adalah rumput laut hijau Haematococcus pluvialis yang juga mengandung beberapa senyawa bioaktif berupa karoten seperti lutein, likopen dan -karoten.


(28)

Kehadiran astaxanthin dalam makro-alga terbentuk sebagai ester dari beberapa asam lemak, yang memiliki pengaruh signifikan sebagai prekursor untuk pembentukan karoten yang seringkali terdeteksi sebagai senyawa karoten minor (terdeteksi sebagai senyawa echinenone atau senyawa cathaxanthin) (Delia 2001

in Munifah 2007).

2.1.5 Metode pengukuran aktivitas antioksidan

Aktivitas antioksidan dapat dievaluasi dengan cara menentukan proteksi antioksidan terhadap oksidasi lemak atau minyak, dengan kata lain sejauh mana daya tahan minyak atau lemak tersebut terhadap proses oksidasi. Oksidasi lipid dipengaruhi oleh suhu, cahaya, oksigen dan adanya ion logam (Tensika 2001).

Penentuan aktivitas antioksidan bisa pada tahap oksidasi yang berbeda, yaitu tahap awal oksidasi menghasilkan produk primer seperti bilangan peroksida (PV), diene terkonyugasi. Semua antioksidan alami memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam bahan makanan yang kompleks dan bermacam-macam, dimana aktivitasnya tidak dapat diuji hanya berdasarkan satu metode saja. Banyak metode analisis menghasilkan hasil yang tidak konsisten, yang disebabkan karena ketidak cocokan aplikasi dan spesifikasi kapasitas antioksidan (Prior 2005 in Oufnac 2006).

Analisis DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan salah satu metode dalam menganalisis aktivitas antioksidan. Molekul 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl dikarakteristik sebagai radikal bebas yang stabil karena ada dekolisasi elektron cadangan melewati seluruh molekul. Delokalisasi juga menghasilkan warna ungu yang kuat dikarakterisasi oleh pita absorspsi dalam larutan etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004).

DPPH adalah radikal bebas yang stabil dan menerima elektron dan radikal hidrogen menjadi molekul diamagnetic stabil (Siddaraju dan Dharmesh 2007 in Ghimeray 2009). Elektron ganjil pada radikal bebas DPPH menghasilkan penyerapan kuat maksimum pada panjang gelombang 517 nm dan berwarna ungu. Warna ungu berubah menjadi kuning ketika elektron ganjil radikal DPPH menjadi berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan penangkal radikal bebas untuk membentuk DPPH-H (Prakash 2001). Efek dari senyawa fenolik pada


(29)

penghambatan radikal DPPH disebabkan karena kemampuannya mendonorkan hidrogen.

2.2 Pengenalan Genus Caulerpa

Caulerpa adalah salah satu genus alga yang dapat diidentifikasi berdasarkan

bentuk pertumbuhan dan morfologinya (Silva 2002). Semua spesies dan subspesies Caulerpa hidup di laut, tetapi ada juga yang dapat hidup di laguna (Silva 2003). Laporan mengenai jumlah spesies Caulerpa bervariasi antara 70 (Meinesz 2002) hingga 100 (Dumay et al. 2002).

Anggota famili Caulerpaceae bersifat invasive (Davis et al. 1997). Beberapa spesies Caulerpa memiliki bentuk morfologi dan fisiologi yang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Spesies Caulerpa yang bersifat endemis pada habitat laguna, cenderung memiliki jarak rhizoma antar assimilator yang lebih panjang, sementara itu Caulerpa yang tumbuh pada ekosistem terumbu karang dengan energi gelombang yang tinggi, cenderung memperlihatkan bentuk yang rapi dan tersusun rapat. Caulerpa racemosa dan Caulerpa cupressoides, yang hidup pada lingkungan dengan intensitas cahaya yang tinggi memiliki kandungan klorofil yang lebih rendah, dibandingan spesies seperti Caulerpa verticillata yang beradaptasi untuk tumbuh rapat dengan alga lain atau rumput laut lain (Collado 1999). Beberapa karakteristik biologi spesies Caulerpa meliputi :

1. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi

Jumlah meristem stolon Caulerpa taxifolia yang tumbuh di Pelabuhan Hutingon, California adalah 555 + 182 per meter persegi. Tingginya kepadatan meristem ini menunjukkan kemampuan untuk berproliferasi melintasi sedimen dan melewati organisme lain (Williams 2002).

2. Kemampuan membelah diri

Implikasi ekologi dari reproduksi membelah diri adalah adanya gangguan seperti badai atau pemangsaan oleh hewan herbivora dapat menghasilkan fragmen-fragmen yang dapat menyebar dan menjadi Caulerpa yang baru (Smith 1999). Kemampuan spesies untuk membelah diri dapat menjadi keuntungan dalam berkompetisi dengan makhluk hidup multiselluler yang bereproduksi secara seksual (Vroom 2001). Kesuksesan penyebaran melalui fragmentasi


(30)

tampaknya menjadi faktor kritis bagi spesies Caulerpa untuk mengkolonisasi area yang baru (Smith 1999).

3. Kemampuan mengambil nutrient dari sedimen

Tidak seperti kebanyakan makroalga, yang menempel pada sedimen dan mengambil nutrient dari kolom air, spesies dari genus Caulerpa memiliki rhizoid yang dapat masuk ke dalam sedimen dan mengambil nutrient dari sedimen. Rhizoid dari Caulerpa taxifolia yang menyerupai akar dari tanaman berpembuluh dapat secara langsung mengikat karbon, nitrogen, dan fosfor dari subrat (Chisholm et al. 1996). Kemampuan mengakses nutrient dari substrat membuat

Caulerpa menjadi kompetitor unggulan di lingkungan yang miskin nutrient

(Williams 1984).

4. Kemampuan mentoleransi temperatur air yang rendah

Spesies Caulerpa adalah salah satu alga yang dapat menyebar luas baik di perairan tropis ataupun subtropis (Silva 2003). Kemampuan spesies Caulerpa untuk bertahan pada temperatur yang relatif rendah menyebabkan spesies ini dapat mengeksploitasi tempat hidup yang baru jika mereka diintroduksi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 12 dari 14 spesies Caulerpa yang biasa tersedia untuk diperdagangkan di California Selatan memiliki distribusi alami yang luas hingga ke perairan tropis (Frish 2003).

5. Sedikitnya konsumen

Vetebrata dan invetebrata di daerah subtropis ditemukan mudah sekali terkena senyawa toksik dari Caulerpa (caulerpenyne) dan tidak dapat memangsa

Caulerpa (Paul 1986).

2.3 Pengenalan Spesies Caulerpa racemosa

Caulerpa racemosa (Caulerpales, Chlorophyta) (Gambar 1 dan 2) secara

luas terdistribusi di daerah tropis hingga subtropis (Verlaque 2003). Analisis genetik menunjukkan tidak seperti Caulerpa taxifolia, yang hampir semua berasal dari satu sumber, populasi Caulerpa racemosa di Laut Mediterania menunjukkan variasi genetik (Fama et al. 2000).


(31)

Gambar 1 Caulerpa racemosa yang tumbuh pada substrat karang.

Keterangan : F= frond (frond primer) ; FR= cabang frond (frond sekunder) ; B= branclets (juga dinamakan ramuli) ; S = stolon ; RP= rhizoidal pillars (percabangan stolon berbentuk kerucut memiliki sejumlah rhizoid yang tipis); R=rhizoid

Gambar 2 Caulerpa racemosa var. Cylindracea : thallus yang berbeda (Capiomont 2005).

2.3.1 Toleransi lingkungan Caulerpa racemosa

Caulerpa racemosa ditemukan pada kedalaman 47 meter dengan jarak

penglihatan 27 meter dan temperatur 19 oC di pantai Florida Selatan. Adaptasi fisiologi dicatat pada Caulerpa racemosa, ketika diperbandingkan dengan sampel yang ditemukan pada kedalaman 37 meter, yang mana menunjukkan kemampuan mentoleransi tingkat cahaya yang lebih rendah pada daerah yang lebih dalam (Riechert 1986).


(32)

Pertumbuhan Caulerpa racemosa menunjukkan peningkatan ketika kepadatan meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih rendah dibandingkan

Caulerpa taxifolia (Piazzi 2002). Bagaimanapun, pada penelitian kompetisi

menunjukkan ketika Caulerpa racemosa dan Caulerpa taxifolia hadir bersama-sama, Caulerpa racemosa akan menjadi spesies yang lebih unggul (Piazi 2002).

Dalam kondisi di laboratorium, Caulerpa racemosa berhenti tumbuh ketika salinitas turun hingga 20 ppt, tetapi tidak mati hingga dua puluh hari. Caulerpa

racemosa dapat bertahan sebentar ketika terkena paparan salinitas yang lebih

rendah dari 20 ppt (Carruterss et al. 1993).

2.3.2 Sistem reproduksi Caulerpa racemosa

Caulerpa racemosa diketahui bereproduksi secara seksual maupun aseksual

dengan fragmentasi acak (Renocourt 2002). Caulerpa racemosa dapat menyebar melalui fragmentasi (Smith dan Walters 1999 ; Ceccherelli 2001 in Capiomont 2005). Caulerpa racemosa juga diketahui memproduksi propagula vegetatif yang dapat menjelaskan menghilangnya hamparan Caulerpa racemosa selama musim dingin dan kehadirannya pada akhir musim semi (Renocourt 2002 in Capiomont 2005).

Penelitian menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa tidak berkompetisi dengan Caulerpa taxifolia dan kehadiran Caulerpa taxifolia dapat memfasilitasi penyebaran Caulerpa racemosa (Ceccherelli 2002). Pada lingkungan yang sama

Caulerpa racemosa memiliki kecepatan penyebaran yang lebih tinggi

dibandingkan Caulerpa taxifolia yang mengindikasikan tingginya potensi penyebaran dari Caulerpa racemosa (Piazzi et al. 2001).

2.3.3 Mekanisme pertahanan Caulerpa racemosa

Beberapa spesimen Caulerpa racemosa ditemukan mengandung senyawa pertahanan yang dikenal sebagai caulerpenyne (Cimino 1998 in CWG 2005). Di Teluk Discovery, Jamaika penelitian menemukan bahwa Caulerpa racemosa dapat bertahan terhadap pemangsaan ikan karang seperti parrot fish (Scaridae), tetapi tidak dapat bertahan terhadap pemangsaan bulu babi (Diadema antillarum) (Morrison 1988 in CWG 2005).


(33)

2.3.4 Kontrol alami

Sacoglossan mollusk (Lobiger serradifalci) diketahui memangsa Caulerpa racemosa di pesisir California (Cimino 1998 in CWG 2005). Siput laut Lobiger serradifalci, memodifikasi senyawa pertahanan dari Caulerpa racemosa menjadi

metabolit oxytocin -1 dan oxytocin-2 yang digunakannya sendiri untuk bertahan dari pemangsaan (Cimino dan Ghiselin 1998 in CWG 2005). Ikan herbivora di Mediterrania Boops boops dan Sarpa salpa, melakukan pemangsaan terhadap

Caulerpa racemosa pada akhir musim panas dan awal musim gugur (Ruiton

2006).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Antioksidan pada Tanaman 2.4.1 Faktor lingkungan dan genotif

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi polifenol dan antioksidan yang diproduksi oleh tanaman. Faktor-faktor ini meliputi tipe tanah dan komposisi kimia, ketersediaan nitrogen dan tingkat nutrisi pada tanaman, tingkat kelembaban, temperatur dan tekanan herbivora. Secara umum faktor yang dapat mendorong stres pada tanaman cenderung mendorong terbentuknya mekanisme defensif dan mekanisme ini digerakan oleh pembentukan antioksidan (Benbrook 2005).

Terdapat variasi yang sangat berarti dalam tingkat metabolit sekunder seperti polifenol yang diproduksi oleh tanaman pada kondisi yang berbeda atau waktu yang berbeda (Benbrook 2005). Belum ada data yang komprehensif, yang dapat memisahkan efek genotif dan lingkungan dan kuantifikasi kontribusi dari masing-masing faktor terhadap variasi antioksidan properti (Moore 2006).

2.4.2 Faktor waktu pemanenan dan kematangan

Penelitian terhadap tiga kultivar cabai, menunjukkan bahwa kandungan polifenol meningkat sejalan dengan kematangan dan cabai mengandung tingkat vitamin C diatas Recommended Dietary Allowance berdasarkan tipe penyajian (Howard et al. 2000).

Kandungan fenolik bervariasi antar kultivar dan perubahan bersifat relatif satu sama lain sebagai fungsi kematangan. Pada penelitian lain flavonoid pada 23


(34)

cabai diteliti berdasarkan empat tingkat kematangan. Cabai hijau yang belum matang memiliki kandungan fenol yang tinggi, sementara itu cabai merah yang belum matang, dan sudah matang memiliki kandungan fenol empat sampai lima kali lebih rendah. Asam askorbat adalah antioksidan yang dominan dan konsentrasinya meningkat sejalan dengan kematangan (Marin et al. 2004).

2.4.3 Faktor pengolahan makanan dan metode produksi

Bagaimana makanan diproses, dicampur dengan makanan lain, dimasak, diawetkan dan disiapkan untuk penyajian akhir dapat secara dramatis mempengaruhi tingkat antioksidan dan polifenol. Dengan kata lain, meningkatkan retensi antioksidan dalam makanan ketika mereka diproses dan disiapkan dapat meningkatkan potensi yang besar meningkatkan masukan antioksidan, terutama apabila konsumen memiliki perhatian dan mau membayar lebih untuk suatu pola yang membuat retensi antioksidan menjadi prioritas pada pengolahan makanan dan industri pengolahan.

Antioksidan larut air cenderung menurun ketika jus buah atau makanan olahan diperlakukan dengan air, baik itu dengan cara stem, blanching, atau proses panas yang termasuk pasteurisasi. Teknik pengolahan tanpa panas atau metode yang menggunakan temperatur yang rendah harus dipelajari lebih lanjut untuk dapat lebih detail menentukan tingkat antioksidan yang ingin dijaga pada makanan segar karena pengolahan (Benbrook 2005).

2.5 Ekstraksi

Senyawa antioksidan dapat berupa senyawa larut air, larut lemak, tidak larut air dan lemak atau menempel pada dinding sel. Karena itu efisiensi ekstraksi adalah sangat penting dalam mengkuantifikasi aktivitas antioksidan dalam makanan. Ekstraksi adalah proses pemisahan dari satu atau banyak material baik solid maupun tidak solid dengan bantuan pelarut. Ada dua macam tipe ekstraksi yaitu ekstraksi liquid dan ekstraksi solid liquid. Pada ekstraksi

liquid-liquid, komponen liquid diekstrak kedalam liquid lain. Pelarut yang digunakan

dalam ekstraksi umumnya adalah larutan yang dapat melarutkan padatan, larutan, atau substansi gas, yang menghasilkan pembentukan larutan baru (Prakash 2001).


(35)

Pelarut digunakan untuk mengekstrak senyawa terlarut dari campuran. Ketika pelarut melarutkan senyawa, hal ini akan membentuk berbagai variasi interaksi kimia yang lemah dengan terlarut, yang bertujuan untuk melarutkannya. Interaksi yang umum terjadi adalah meningkatnya kekuatan atau interaksi yang terdiri atas interaksi dipole, dipole-dipole, dan interaksi ikatan hidrogen (Miller et

al. 1981 in Holiday 2006 ).

Literatur mengenai kapasitas antioksidan dalam rumput laut berdasarkan ekstraksi yang berbeda masih terbatas. Pertama karena prosedur yang digunakan dalam mengekstrak antioksidan masih belum lengkap. Pada hampir semua penelitian ini, pelarut yang digunakan umumnya metanol yang bersifat polar (Santoso et al 2004, Chew et al 2008 ; Patra 2008; Ganeshan 2008). Metanol dan air dengan proporsi yang berbeda (Esrig 2001), atau metanol dan kloroform (Chandini 2008). Ekstraksi solid-liquid bersifat heterogen, multikomponen meliputi nonsteady transfer terlarut dari padat ke larutan (Diaz et al. 2006 in Oufnac 2006).


(36)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 4 (empat) bulan yaitu sejak bulan April-Juli 2009. Pengambilan data lapangan dilakukan di perairan Teluk Hurun, Lampung. Teluk Hurun berada dalam wilayah pantai barat Teluk Lampung. Teluk Hurun berada di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Di Teluk Hurun bermuara dua buah sungai yaitu Sungai Hurun dan Sungai Hanura.

Persiapan sampel rumput laut dilakukan di Laboratorium Basah Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Analisis parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Analisis substrat dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor. Ekstraksi rumput laut Caulerpa racemosa dan analisis total fenol dilakukan di Laboratorium Kimia dan Laboratorium Instrument Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Analisis antioksidan metoda DPPH dan analisis bilangan peroksida dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Tabel lokasi pengambilan data lapangan di Teluk Hurun diterakan pada Tabel 1.

Tabel 1 Lokasi penelitian di Teluk Hurun, Lampung

Lokasi Posisi

Stasiun 1 105o 14’ 988” LS dan 050 31‘360 “ BT

Stasiun 2 1050 15 ’657” LS dan 050 31’ 090” BT

Stasiun 3 1050 16’ 98” LS dan 05031’384” BT

Stasiun 1 terletak di Teluk Hurun bagian dalam sekitar 700 m dari daratan. Stasiun ini berada di perairan yang penuh dengan aktivitas manusia seperti budidaya ikan laut, tambak udang dan budidaya kerang mutiara. Stasiun 2 terletak di Teluk Hurun bagian luar, stasiun ini terletak dekat dengan Pulau Tambikil, tidak seperti stasiun ,1 di stasiun 2 ini tidak terdapat aktivitas seperti budidaya dan tambak. Stasiun 3 adalah stasiun yang berada di kawasan pesisir antara Tanjung Suak Butuh dan Tanjung Pandan. Stasiun 3 ini terletak sekitar 1 km dari budidaya mutiara PT. Kyoko. Peta ketiga stasiun disajikan pada Gambar 3.


(37)

T. Hurun

T. Lampung


(38)

3.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini terdiri dari : Pra penelitian yaitu survey lapangan dan penentuan lokasi stasiun penelitian. Penelitian utama yaitu pengumpulan data lapangan (pengukuran kualitas air dan pengukuran kondisi Caulerpa racemosa) dan penelitian analisis antioksidan.

3.2.1 Pra penelitian

Sebelum menentukan lokasi penelitian dilakukan survey pendahuluan berupa survey peta lokasi untuk mengamati keberadaan Caulerpa racemosa di Teluk Hurun, Lampung. Selain itu dilakukan wawancara dengan pegawai Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung yang sehari-hari menangani rumput laut di kawasan Teluk Hurun Lampung. Dari informasi yang diperoleh dilakukan penyisiran lapangan dengan penyelaman untuk mengetahui keberadaan

Caulerpa racemosa di Teluk Hurun, Lampung. Berdasarkan hasil survey

lapangan tersebut, maka ditetapkan 3 stasiun penelitian.

3.2.2 Penelitian utama

3.2.2.1 Pengumpulan data lapangan

Dalam pengumpulan data lapangan dilakukan pengamatan terhadap kondisi

Caulerpa racemosa yang meliputi pengamatan terhadap substrat, alga atau lamun

yang berasosiasi dengan Caulerpa racemosa pengukuran biomassa Caulerpa

racemosa, biota yang berperan sebagai pemangsa Caulerpa racemosa dan

pengamatan fisik terhadap Caulerpa racemosa. Selain itu dilakukan pula pengukuran kualitas air disetiap stasiun.

Pengukuran kualitas perairan dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 28 April 2009 dan pada tanggal 12 Mei 2009, saat pasang dan surut (Gambar 4). Data pasang surut diperoleh dari data sekunder yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Pengukuran kualitas air diawali dari stasiun 1 kemudian stasiun 3 dan terakhir di stasiun 2. Dengan selang waktu pengukuran dari satu stasiun 1 ke stasiun lain + 45 menit.

Pada setiap stasiun penelitian dilakukan pengukuran parameter-parameter secara in situ yang meliputi suhu, pH, salinitas, kecerahan, kecepatan arus, DO,


(39)

intensitas cahaya, dan kedalaman. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan TM 6801B digital thermometer. Pengukuran salinitas dilakukan dengan merode refraksi menggunakan Portable refraktrometer FG 211. Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan sechidish. Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan alat pengukur arus dari kayu yang berbentuk silang dan stopwacth. Pengukuran DO dilakukan dengan Ion Catch SLC DO meter. Pengukuran kedalaman dengan penggaris dan pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan LUX/FC Light Meter DL-204.

Gambar 4 Skema pengambilan data parameter air

Selain pengamatan secara insitu pada penelitian ini juga dilakukan analisis parameter air di Laboratorium Kualitas Air, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung, yang meliputi pengukuran pH, nitrat, phosphat dan amonia. Pengambilan sampel air untuk analisis dilakukan menggunakan botol plastik polipropilene 250 ml kemudian sampel dimasukkan kedalam cooler box untuk kemudian dianalisis.

Pengukuran pH dilakukan dengan metoda elektrometri APHA(1998) 4500 H+ menggunakan Hk-3C Ph Meter. Pengukuran nitrat dilakukan dengan menggunakan metode brucine (Seameo-biotrop 1998). Pengukuran phosphat dengan menggunakan metode spektrofotometri (Byod 1979) dan pengukuran

28-4-2009 12-5-2009

+12.00 WIB

11.00-14.00 WIB

16.00-17.30WIB

11.00-14.00 WIB

16.00-17.30WIB

+ 18.00 WIB

+12.00 WIB


(40)

amonia dengan menggunakan metode spektrofotometri (APHA 1998). Analisis amonia, phospat dan nitrat disajikan pada Lampiran 2.

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk pengamatan kondisi

Caulerpa racemosa adalah metode transek plot kuadrat yang berbentuk bujur

sangkar berukuran 1 x 1 m2 (English et al.1994). Metode transek plot kuadrat dipilih karena metode ini dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat. Tiga garis transek ditarik tegak lurus terhadap pantai ke arah laut sejauh 100 m dengan jarak antara titik plot sejauh 50 m, setiap 10 m pada garis transek dibuat menyilang tegak lurus pantai dan ditempatkan plot kuadrat.

Pada setiap diagram tersebut dihitung jumlah segi empat yang berukuran 50 x 50 cm2 yang ditutupi Caulerpa racemosa, dicatat subtrat dasar dalam plot,

pengambilan substrat, dicatat alga atau lamun yang berasosiasi dengan Caulerpa

racemosa dan biota yang berperan sebagai pemangsa Caulerpa racemosa.

Kegiatan transek dilakukan pada saat surut rendah. Skema mengenai transek kuadrat disajikan pada Gambar 5.

Rumput laut yang ada pada setiap plot diambil dan dimasukan ke dalam kantung plastik. Setelah diberi tanda rumput laut ditimbang untuk memperoleh berat basah. Berat basah ini diperlukan untuk mengetahui biomassa rumput laut. Biomassa menurut Bower (1977) dalam Atmajaya (1996) adalah berat per total area studi. Biomassa dihitung dengan B = W/A, B adalah biomassa rumput laut (g/m2), W adalah jumlah total berat basah spesies ke- i, A adalah total area studi.

Dari rumput laut yang sudah diambil dari masing-masing stasiun dilakukan pengamatan fisik. Pengamatan fisik Caulerpa racemosa dilakukan dengan cara visual dimana pada pengamatan fisik ini diamati kesegaran buah Caulerpa

racemosa, bagaimana rangkaian buah, warna buah. Panjang frond diukur dengan


(41)

Gambar 5 Skema transek kuadrat dalam pengamatan kondisi Caulerpa racemosa

3.2.2.2 Analisis antioksidan

Dalam analisis antioksidan properti antioksidan yang dianalisis adalah total fenol (AOAC 1990), aktivitas antioksidan metoda DPPH (Molyneoux 2004), dan bilangan peroksida (Kataren 1986). Dalam penelitian ini dilakukan 2 macam analisis terhadap properti antioksidan. Analisis yang pertama adalah analisis antioksidan terhadap Caulerpa racemosa dari tiga lokasi penelitian dimana pada analisis ini digunakan ekstrak kering Caulerpa racemosa dengan pelarut etil asetat. Analisis yang kedua adalah analisis antioksidan terhadap Caulerpa

racemosa yang diperoleh dari stasiun 1. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi

1m

50m 1 m

Kuadrat

Garis pantai Transek


(42)

dengan tiga macam pelarut yaitu pelarut polar (metanol), semi polar (etil asetat) dan non polar (heksana) dan sampel digunakan dalam dua bentuk yaitu segar dan kering.

a. Persiapan rumput laut (Santoso et al. 2009)

Persiapan rumput laut dilakukan di laboratorium basah Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, Lampung. Tahap persiapan rumput laut diawali dengan pembersihan dan pencucian rumput laut segar menggunakan air laut untuk menghilangkan berbagai macam kotoran yang menempel pada rumput laut, seperti batu-batuan, kerikil, lumpur, kulit kerang, kayu, ranting, rumput laut jenis lain dan benda-benda asing lainnya. Rumput laut ditiriskan dan ditimbang masing-masing ± 100 g, kemudian disimpan dalam kondisi beku (frozen) pada suhu -20 oC untuk digunakan pada tahap selanjutnya.

Sementara itu untuk sampel kering, rumput laut segar yang sudah dicuci dengan air laut, ditiriskan kemudian dipotong-potong dan diperkecil ukurannnya dengan gunting serta dikeringkan hingga kering. Setelah kering, rumput laut dihaluskan dengan blender dan disimpan dalam wadah plastik yang tertutup.

b. Ekstraksi (Santoso et al. 2009 yang dimodifikasi)

Tahapan ekstraksi dilakukan di laboratorium Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah ekstraksi tunggal. Pada analisis antioksidan terhadap ekstrak kering etil asetat dari tiga lokasi penelitian, ekstraksi sampel kering dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan 6 erlenmeyer bervolume 1000 ml untuk sampel kering. Sampel untuk tiap lokasi menggunakan 2 erlenmeyer. Masing-masing sampel yang ditimbang untuk diekstrak dalam erlenmeyer adalah sebanyak ± 4.50 g.

Tahapan ekstraksi diawali dengan sonikasi pertama selama 30 menit, dilanjutkan dengan maserasi selama 24 jam dan sonikasi kedua yang dilakukan selama 30 menit menggunakan sonikator. Pada ekstraksi ini digunakan pelarut etil asetat. Volume masing-masing pelarut dalam tiap erlenmeyer untuk sonikasi pertama adalah 350 ml. Kemudian pada tahap maserasi pelarut ditambahkan ke


(43)

dalam tiap erlenmeyer sebanyak 100 ml Setelah maserasi, sonikasi kedua dilakukan selama 30 menit.

Pada analisis antioksidan dengan pelarut dan kondisi sampel yang berbeda, ekstraksi sampel segar maupun kering dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan 6 erlenmeyer bervolume 500 ml, untuk sampel segar dan 6 erlenmeyer bervolume 1000 ml untuk sampel kering. Sampel untuk tiap jenis pelarut menggunakan 2 erlenmeyer. Ekstraksi sampel segar (B) diawali proses penghancuran sampel sebanyak ± 1080 g dengan cawan mortar. Masing-masing jenis pelarut menggunakan sampel sebanyak ± 180 g dengan dua kali ulangan, sehingga tiap erlenmeyer ± 180 g sampel. Pada sampel kering (K), sampel yang ditimbang untuk diekstrak dalam erlenmeyer adalah sebanyak ± 9 g.

Pada proses pengeringan, dari 800 gram sampel segar diperoleh sampel kering sebanyak + 20 gram. Sehingga perbandingan antara sampel segar dan kering adalah 40 : 1. Dalam penelitian ini digunakan sampel segar 180 gram dan sampel kering 9 gram, atau dengan perbandingan 20 : 1. Hal ini menunjukkan jumlah sampel segar yang digunakan setengah dari jumlah sampel kering yang digunakan, sehingga jumlah pelarut pada sampel segar adalah setengah dari jumlah sampel kering yang digunakan, sehingga pelarut pada sampel segar adalah setengah dari sampel kering. Tahapan ekstraksi diawali dengan sonikasi pertama selama 30 menit, dilanjutkan dengan maserasi selama 24 jam dan sonikasi kedua yang dilakukan selama 30 menit menggunakan sonikator. Volume masing-masing pelarut dalam tiap erlenmeyer untuk sonikasi pertama adalah 700 ml pada sampel kering dan 350 ml pada sampel segar. Pada tahap maserasi pelarut ditambahkan ke dalam tiap erlenmeyer sebanyak 200 ml pada sampel kering dan 100 ml pada sampel segar pada tahap maserasi. Maserasi merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan mengaduk sampel dalam pelarut selama 24 jam menggunakan magnetik stirer dan meletakkan sampel di atas hot plate tanpa perlakuan panas serta pada kondisi suhu ruang. Setelah maserasi, sonikasi kedua dilakukan selama 30 menit.

Tahap setelah ekstraksi adalah filtrasi. Pada tahap ini, sampel hasil ekstraksi disaring dengan kertas saring biasa dengan ukuran tiap sisi 10-15 cm untuk memisahkan padatan dan dilanjutkan dengan penyaringan kedua dengan kertas saring Whatman nomor 42. Filtrat ekstrak ditampung dalam botol vial berukuran


(44)

75 ml. Setelah diperoleh ekstrak hasil penyaringan, pelarut dari setiap ekstrak diuapkan dengan vaccum rotary evaporator pada suhu 40 oC hingga ekstrak menjadi pasta. Ekstrak kasar yang diperoleh dari masing-masing pelarut baik pada sampel basah dan kering dilakukan uji aktivitas antioksidan metode DPPH dan determinasi kandungan total fenol.

c. Kandungan fenol (AOAC 1990)

Sampel rumput laut sebanyak 0.50 - 0.60 g dicampur dengan 30 ml aquades dan 5 ml larutan NaOH 0.2 N di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian aquades ditambahkan hingga tanda tera. Dari larutan tersebut sebanyak 25 ml dipipet dan dituangkan ke dalam erlemenyer 250 ml, kemudian larutan ditambahkan dengan 25 ml bromat bromide 0.20 N, aquades 50 ml dan 5 ml HCL pekat. Larutan diaduk selama 1 menit kemudian ditambahkan lagi 5 ml KI 5 % dan diaduk kembali selama 1 menit kemudiam larutan ditambahkan 5 tetes amilum sebagai indikator dan diaduk kembali selama 1 menit.

Larutan sampel kemudian dititrasi dengan larutan thiosulfat, Na2SO3 0.10 N

(a ml) hingga warna berubah menjadi bening. Untuk blanko semua prosedur digunakan namun tanpa sampel. Total fenol dihitung berdasarkan rumus berikut :

b-a x N thio x BM fenol/6x 1000 0.1 x sampel (gram)

Keterangan :

a = ml titran larutan thiosulfat dalam sampel b = ml titran larutan thiosulfat dalam blanko

6 = jumlah atom brom yang digunakan dalam proses bromisasi

d. Aktivitas antioksidan metoda DPPH (Molyneux 2004)

Aktivitas antioksidan Caulerpa racemosa berdasarkan pada aktivitas penghambatan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH), ditentukan berdasarkan metode Molyneux 2004 dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 45 µl ekstrak rumput laut dicampur dengan 1.50 ml buffer asetat 0.10 M pH 7. Larutan kemudian ditambah dengan 2.905 ml metanol dan 150 µl DPPH yang memiliki konsentrasi 1 mg/ml. Larutan tersebut tersebut diaduk merata dan didiamkan di dalam inkubator dengan suhu 37 0C atau ruang gelap selama 20 menit. Asam askorbat (1-16 mg/ml) digunakan sebagai kontrol positif. Larutan diukur pada

X 100 % Total fenol (%) =


(45)

absorbansi 517 nm menggunakan UV-Vis spectrophotometer Hitachi U-2800. Kemampuan ekstrak rumput laut dalam menghambat radikal DPPH dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :

Aktivitas antioksidan juga dapat diekspresikan dalam ascorbic acid equivalent antioxidant capacity (AEAC) (Leong dan Shui 2002 in Yan 2006) menggunakan persamaan sebagai berikut :

Keterangan :

A0 = Absorbansi kontrol

A1 = Absorbansi sampel AA = Asam Askorbat

AAA = Absorbansi asam askorbat

Perhitungan IC50 atau inhibiton concentration berdasarkan pada persamaan

berikut :

e. Uji bilangan peroksida (Kataren 1986)

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak (Kataren 1986). analisis ini dilakukan untuk mengetahui adanya sifat antioksidan pada Caulerpa racemosa. Pada uji bilangan peroksida, bilangan peroksida dianalisis pada sistem emulsi minyak kelapa. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dari parutan kelapa yang diperas untuk diambil santan kentalnya. Santan kental tersebut dipanaskan dengan cara direbus untuk memisahkan komponen minyak yang terkandung di dalamnya. Setelah terpisah kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan minyak dan ampas parutan kelapa. Filtrat yang dihasilkan disaring lagi dengan kertas Whatman nomor 42 agar diperoleh minyak kelapa yang bening.

Sistem emulsi minyak dibuat dengan mengacu metode Santoso (2003) yang dimodifikasi, yaitu dengan menghomogenkan 3 % minyak kelapa dan 97 % air

IC50 askorbat / AEAC (mgAA /100 g)

100000

Aktivitas penghambatan (%) = [(A0 – A1 ) / A0)) X 100]

IC50 =


(46)

yang mrngandung 0.30 % Tween 20. Sebanyak + 5 g emulsi minyak digunakan sebagai model untuk mempelajari aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut

Caulerpa rasemosa.

Aplikasi dilakukan dengan menambahkan 16 mg ekstrak rumput laut kedalam 30 g emulsi minyak kelapa untuk tiap perlakuan. Selanjutnya dari enam jenis ekstrak tersebut dilakukan penentuan bilangan peroksida terhadap emulsi minyak kelapa.

Analisis bilangan peroksida dilakukan terhadap sistem emulsi yang telah ditambahkan ekstrak. Sampel minyak ditimbang sebanyak 5 g di dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 30 ml pelarut yang terdiri dari 60 % asam asetat glasial dan 40 % kloroform. Setelah minyak larut ditambahkan 0.50 ml larutan KI jenuh dan didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil dikocok. Iod yang terbentuk dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.10 N dengan

indikator pati 1 %. Titrasi dihentikan saat larutan sampel menjadi tidak berwarna. Hasil pengurangan volume akhir terhadap volume awal larutan Na2S2O3 0.10 N

yang ditunjukkan oleh skala pada burret, merupakan volume total larutan Na2S2O3

0.10 N yang digunakan untuk titrasi sampel. Dengan cara yang sama dibuat juga untuk penetapan blanko. Nilai bilangan peroksida dinyatakan dengan miligram oksigen per 100 g minyak / lemak yaitu dengan rumus sebagai berikut :

(a-b) x N x 8 x100

G Keterangan :

a = jumlah ml larutan untuk titrasi sampel b = jumlah ml larutan untuk titrasi blanko N = normalitas larutan

8 = setengah dari berat atom oksigen

G = berat sampel


(47)

3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

3.3.1 Pengaruh perbedaan lokasi terhadap parameter kualitas perairan, total fenol, aktivitas antioksidan, bilangan peroksida

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data parameter fisik kimia perairan, total fenol, aktivitas antioksidan, bilangan peroksida adalah Rancangan Acak Lengkap. Linear model yang digunakan pada masing-masing parameter sebagai berikut (Steel and Torrie 1980).

Yij = µ + i + ij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada lokasi ke- i dengan ulangan ke-j

µ = rataan umum

i = pengaruh nilai pengamatan pada lokasi ke-i

ij = pengaruh galat nilai pengamatan pada lokasi ke-i, dengan ulangan ke-j

Hipotesis terhadap setiap parameter adalah sebagai berikut :

H1 : Lokasi berpengaruh nyata terhadap rataan parameter yang diuji (parameter

fisik kimia perairan, total fenol, aktivitas antioksidan, bilangan peroksida) ( i 0).

Jika hasil analisis berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Untuk parameter air yang berbeda nyata dikorelasikan dengan masing-masing parameter total fenol, aktivitas antoksidan dan bilangan peroksida (Jika ketiga parameter ini berbeda nyata) melalui uji korelasi Pearson.

3.3.2 Pengaruh perbedaan pelarut dan kondisi Sampel

Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data determinasi total fenol, aktivitas antioksidan dan bilangan peroksida dengan dua perlakuan yaitu kondisi sampel dan jenis pelarut adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan model sebagai berikut :

Yijk = µ + i + j + ( )ij + ijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan kondisi sampel ke-i dan perbedaan

jenis pelarut ke-j pada ulangan ke-k. µ = rataan umum.


(48)

i = pengaruh faktor kondisi sampel ke-i.

j = pengaruh faktor perbedaan jenis pelarut ke-j.

ij = pengaruh interaksi antara perlakuan ke-i dan perlakuan ke-j pada ulangan

ke – k.

ijk = pengaruh galat faktor kondisi sampel ke-i, faktor perbedaan jenis pelarut

ke-j pada ulangan ke-k.

Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap data total fenol adalah sebagai berikut :

1. H1 : Kondisi sampel berpengaruh nyata terhadap rataan kandungan total fenol

ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( i 0).

2. H1 : perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rataan kandungan

total fenol ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( j 0).

3. H1 : Kondisi sampel dan perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap

rataan kandungan total fenol ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( j 0). Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut dan kondisi sampel (segar dan kering) terhadap kandungan total fenol rumput laut

Caulerpa racemosa dalam satuan %. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata,

maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap data aktivitas antioksidan adalah sebagai berikut :

1. H1 : Kondisi sampel berpengaruh nyata terhadap rataan aktivitas antioksidan

ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( i 0).

2. H1 : perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rataan aktivitas

antioksidan ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( j 0).

3. H1 : proses pengeringan dan perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata

terhadap rataan aktivitas antioksidan ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( j 0).

Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut dan kondisi sampel (segar dan kering) terhadap aktivitas antioksidan rumput laut

Caulerpa racemosa. Jika hasil analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan


(49)

Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) faktorial terhadap data bilangan peroksida adalah sebagai berikut :

1. H1 : proses pengeringan berpengaruh nyata terhadap rataan kandungan total

fenol ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( i 1).

2. H1 : perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rataan bilangan

peroksida ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( j 0).

3. H1 : Proses pengeringan dan perbedaan jenis pelarut berpengaruh nyata

terhadap rataan bilangan peroksida ekstrak rumput laut Caulerpa racemosa ( j 0).

Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut dan kondisi sampel (segar dan kering) terhadap bilangan peroksida rumput laut

Caulerpa racemosa dalam satuan mg O2/100g. Jika hasil analisis ragam berbeda

nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Analisis ragam dan Duncan dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13. Analisis Pearson dilakukan dengan software Microsoft office excel 2007.


(1)

Lampiran 22 Tabel analisis ragam bilangan peroksida di tiga lokasi penelitian

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 4304.392(a) 3 1434.797 100.823 .000

Intercept 6318.236 1 6318.236 443.980 .000

Lokasi 4304.392 3 1434.797 100.823 .000

Error 56.924 4 14.231

Total 10679.551 8

Total terkoreksi 4361.315 7

Hasil uji Duncan bilangan peroksida di tiga

lokasi penelitian

KODE N

Subset

1 2

st2 2 12.6945

st3 2 13.8186

st1 2 17.7513

blanko 2 68.1476


(2)

Lampiran 23 Tabel analisis ragam persen penghambatan di tiga lokasi penelitian

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 674.349(a) 2 337.175 1133.527 .000

Intercept 7232.927 1 7232.927 24315.938 .000

Lokasi 674.349 2 337.175 1133.527 .000

Error .892 3 .297

Total 7908.169 6

Total terkoreksi 675.242 5

Hasil uji Duncan persen penghambatan di tiga lokasi penelitian

Lokasi N

Subset

1 2 3

st1 2 20.7570

st3 2 36.9731

st2 2 46.4304


(3)

Lampiran 24 Tabel analisis ragam AEAC di tiga lokasi penelitian

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 167.916(a) 2 83.958 244.529 .000

Intercept 1942.679 1 1942.679 5658.087 .000

Lokasi 167.916 2 83.958 244.529 .000

Error 1.030 3 .343

Total 2111.625 6

Total terkoreksi 168.946 5

Hasil uji Duncan AEAC di tiga lokasi

penelitian

KODE N

Subset

1 2 3

st1 2 10.9402

st3 2 19.3612

st2 2 23.6802


(4)

Hasil uji Duncan AEAC

PELARUT N Subset

1 2

heksan 4 .3811

Etil ase 4 23.8651

Metanol 4 23.9118

Sig. 1.000 .872

Post hoc test tidak dapat menunjukan kondisi karena kondisi kurang dari

2

Lampiran 25 Tabel analisis ragam aktivitas antioksidan (AEAC)

2142.964

5 428.593 2751.838 .000

3092.264 1 3092.264 19854.296 .000

240.764 1 240.764 1545.859 .000

1473.587 2 736.793 4730.682 .000

428.613 2 214.307 1375.984 .000

.934 6 .156

5236.162 12

2143.899 11

Sumber Keragaman Model terkoreksi Intercept

KONDISI PELARUT

KONDISI * PELARUT Error

Total

Total terkoreksi

JK db KT F hitung Sig.

R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)


(5)

Hasil uji Duncan AEAC pada kondisi basah

Perlakuan N Subset

1 2 3

Basah

heksan 2 .3541

Basah

metanol 2 24.4518

Basah etil

ase 2

36.7899

Sig. 1.000 1.000 1.000

Lampiran 26 Tabel analisis ragam hasil uji AEAC pada kondisi basah

1373.670a 2 686.835 2371.158 .000

2529.362 1 2529.362 8732.112 .000

1373.670 2 686.835 2371.158 .000

.869 3 .290

3903.900 6

1374.538 5

Sumber Keragaman Model terkoreksi Intercept PERLAKUAN Error

Total

Total terkoreksi

JK db KT F hitung Sig.

R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999) a.


(6)

Hasil uji Duncan AEAC pada kondisi

kering

Perlakuan N Subset

1 2 3

Kering heksan 2 .4082

Kering metanol 2 10.9402

Kering etil ase 2 23.3718

Sig. 1.000 1.000 1.000

Lampiran 27 Tabel analisis ragam hasil uji AEAC pada kondisi kering

528.530a 2 264.265 12103.612 .000

803.666 1 803.666 36808.717 .000

528.530 2 264.265 12103.612 .000

.066 3 .022

1332.262 6

528.596 5

Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan Error

Total

Corrected Total

JK db KT F hitung Sig.

R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) a.