Bentuk-Bentuk Hukuman Dalam KUHP

yang cacat pada jiwanya atau karena gangguan penyakit adalah tindakan bukan pidana. 140 Hal ini dapat kita lihat pada bentuk – bentuk hukuman dalam KUHP.

2. Bentuk-Bentuk Hukuman Dalam KUHP

Pidana dan tindakan maatregel termasuk sanksi dalam hukum pidana. KUHP tidak menyebut istilah maatregel tindakan . Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke rumah sakit jiwa, dan menyerahkan kepada orang tua Pasal 45 dan 46 KUHP . 141 KUHP pidana dalam Pasal 10 membedakan hukuman pidana menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari Hoofd Straffen: 142 a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidanan kurungan d. Pidana denda Adapun pidana tambahan terdiri dari Bijkomende Straffen: 143 a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu b. Pidana perampasan barang-barang tertentu 140 Ibid. 141 Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 2008 , hal 185 142 Ibid 143 Ibid Universitas Sumatera Utara c. Pidana pengumuman keputusan hakim. KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci dan merumuskan tentang bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menentukan lain Pasal 103 KUHP Di atas telah disebutkan bahwa dalam KUHP pidana dibedakan menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara keduanya yaitu: 144 a. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan imperatif, Penjatuhan jenis pidana bersifat keharusan berarti apabila seseorang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka seorang hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. b. Penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. penjatuhan tindak pidana tambahan bersifat fakultatif maksudnya adalah hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok, dan penjatuhan hukuman tambahan bersifat fakultatif, artinya hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman tambahan hakim boleh memilih. 144 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002 , hal. 25 Universitas Sumatera Utara Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan berdiri sendiri, sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok. Dalam hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri.

a. Pidana Mati Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman

hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 Pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri. 145 Orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan. 145 www.zharfan29.blogspot.com, Op.cit Universitas Sumatera Utara Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama. 146 Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan perbuatan-perbuatan kejam. Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam KUHP sendiri telah memberikan isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. 147 Isyarat yang diberikan oleh KUHP agar pidana mati tidak terlalu mudah dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya, 148 yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Misalnya: dalam KUHP Pasal 365 ayat 4, Pasal 340 dan lain-lain. Eksekusi 146 C.S.T. Kansil, S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta; Sinar Grafika, 2007, hal. 226 147 www.zharfan29.blogspot.com, Op.cit 148 Ibid Universitas Sumatera Utara hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan. Beberapa ketentuan terpenting tentang hukuman mati yang termuat didalam Undang – Undang No 2 Pnps Tahun 1964 tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer secara garis besar memuat tata cara tentang pelaksanaan hukuman mati, adalah sebagai berikut: 149 a Dalam waktu 30 hari, sebelum pelaksanaan hukuman mati, wajib diberitahukan kepada terdakwa tentang pelaksanaannya hukuman mati tersebut, oleh pihak yang diberi kewenangan untuk itu Jaksa tinggi atau jaksa b Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga Melahirkan. c Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yang biasanya akan ditentukan menurut wilayah hukum Pengadilan Negeri di mana terdakwa tersebut dijatuhi hukuamn mati. d Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya, Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi. e Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum. 149 Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Djambatan, 2003, hal.180 Universitas Sumatera Utara f Setelah selesai pelaksanaan hukuman mati Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga. g Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

b. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam suatu tempat lembaga pemasyarakatan dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu. 150 Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun Pasal 12 ayat 2 , dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam KUHP Pasal 12 ayat 3. Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya menurut ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Pasal 29 KUHP. Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara dapat juga dilakukan diluar lembaga pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam Pasal 25 KUHP. 150 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung : Armico, 1984 , hal. 69 Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 13 KUHP narapidana penjara terbagi dalam beberapa kelas, pembagian tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu: 151 a Kelas I yaitu: bagi narapidana yang dipenjara seumur hidup dan narapidana sementara yang membahayakan orang lain; b Kelas II yaitu: i Bagi narapidana yang dipenjara dengan hukuman lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk kelas 1 tersebut di atas; ii Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari kelas pertama, bagi narapidana kelas 1 jika kemudian ternyata berkelakuan baik maka ia dapat dinaikkan ke kelas 2. c Narapidana kelas III, yaitu: diperuntukkan bagi narapidana yang sebelumnya menghuni kelas II, yang selama 6 bulan menjalani hukuman menunjukkan perbuatan – perbuatan yang baik. d Kelas IV yaitu: bagi narapidana yang dipidana penjara kurang dari 3 bulan. Dalam hukum pidana dikenal 3 sistem hukuman penjara, yaitu: 152 a Sistem Pennsylvania suatu negara bagian dari Amerika Serikat yaitu sistem yang menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri- sendiri dalam satu kamar; 151 Waluyadi, Op.cit hal 181 152 www.zharfan29.blogspot.com, Op.cit Universitas Sumatera Utara b Sistem Auburne suatu kota dalam negara bagian New York di Amerika Serikat, yaitu yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh bersama-sama untuk bekerja, tetapi tidak boleh berbicara; c Sistem Irlandia, yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup secara terus menerus, kemudian dikerjakan bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya setelah tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau dimerdekakan dengan syarat. Sedangkan untuk sistem hukuman yang diterapkan di Indonesia adalah dengan cara menggabungkan ketiganya, yaitu biasanya beberapa orang hukuman dikumpulkan dalam satu ruangan, tetapi ada juga seorang tahanan yang nakal dipisahkan sendiri dalam satu kamar.

c. Pidana Kurungan

Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan dapat dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. 153 Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan, yaitu: 154 153 Lihat Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Pasal 18 154 www.zharfan29.blogspot.com, Op.Cit Universitas Sumatera Utara a Persamaan: i Sama berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak. ii Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal minimum khusus. iii Sama-sama diwajibkan untuk bekerja iv Sama-sama bertempat di penjara b Perbedaan: i Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara Pasal 69 KUHP ii Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun iii Pelaksanaan pidana penjara dapat dilakukan di lembaga permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya bisa dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim.

d. Pidana Denda

Hukuman utama ke empat yang disebutkan dalam KUHP Pasal 10 adalah pidana denda. Pidana denda di ancamkan pada banyak jenis pelanggaran buku III baik secara alternatif maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan- kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering di ancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Universitas Sumatera Utara Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda, akan tetapi bila kemudian ia membayar denda ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan penggantinya. Menurut KUHP dapat disimpulkan bahwa hukuman denda mengalami posisi sebagai berikut : 155 a Hukuman denda itu merupakan hukuman utama dengan tidak memberikan jenis pidana lain untuk mengganti denda. b Hukuman denda merupakan hukuman alternatif, sementara pidana utamanya adalah pidana kurungan. c Pidana denda juga merupakan jenis pidana alternatif dari pidana penjara. d Hukuman denda itu merupakan pidana utama, sementara pidana kurungan sebagai alternatif. e Denda dijatuhkan bebarengan dengan pidana penjara. f Pidana denda yang dijatuhkan bersama dengan pidana kurungan. Uraian tentang sanksi dalam KUHP diatas menggambarkan bahwa sanksi pidana dan tindakan maatregel termasuk dalam hukum pidana Indonesia, lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan atau yang didalam bahasa Belanda juga sering disebut dengan perkataan maatregel itu adalah lembaga – lembaga hukum yang disebutkan dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara – perkara pidana, akan 155 Waluyadi, Op.cit, hal 202 Universitas Sumatera Utara tetapi yang bukan merupakan pemidanaan. 156 Mengenai perbedaan antara pidana dengan tindakan, bahwa suatu pemidanaan itu hakekatnya merupakan suatu kesengajaan untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang pelaku dari suatu tindak pidana, sedangkan pada suatu penindakan menurut hukum pidana, unsur kesengajaan untuk memberikan semacam penderitaan seperti itu tidak ada sama sekali. 157 Berdasarkan pemikiran diatas, para penulis dinegara Belanda dalam membicarakan masalah hukum penistensier biasanya telah membuat pembagian, yaitu : a. masalah pidana atau straf dan b. masalah tindakan atau maatregel. Salah satu lembaga hukum yang mereka sebut sebagai tindakan atau maatregel seperti itu adalah lembaga penempatan seseorang dibawah pengawasan pemerintah, dimana seseorang itu dapat dimasukkan ke dalam suatu lembaga pendidikan negara atau dapat diserahkan kepada seseorang, kepada sebuah lembaga atau kepada sebuah yayasan untuk dididik sesuai dengan keinginan dari pemerintah, hingga orang tersebut mencapai usia delapan belas tahun. 158 Penempatan dari seseorang dibawah pengawasan pemerintah seperti itu, walaupun ia memang lebih tepat untuk disebut sebagai suatu tindakan atau maatregel dari pada sebagai suatu pidana atau straf , akan tetapi kiranya tidak dapat disangka lagi kebenarannya, bahwa tindakan seperti itu juga membawa suatu penderitaan bagi orang yang ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah, karena secara paksa orang 156 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung : Armico, 1984 , hal. 209 157 Ibid 158 Ibid Universitas Sumatera Utara tersebut harus menjadi ottroken atau harus menjadi dilepaskan atau dipisahkan dari orang tua serta sanak keluarganya, yakni dalam lingkungan mana orang tersebut sebenarnya dapat memperoleh perlakuan dengan cinta kasih yang lebih baik daripada dalam lingkungan yang manapun orang itu akan ditempatkan oleh hakim. 159 Perkembangan sistem pemidanaan dua jalur double track system dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana criminal punishment, dapat juga dikenakan berbagai tindakan treatment. Sistem pemidanaan dua jalur ini terdapat dalam Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana yang baru dimana, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah diatur dalam KUHP Indonesia Pasal 10 KUHP. 160 Temuan studi menunjukkan bahwa dalam hukum pidana modern yang berorientasi pada perbuatan dan pelaku , stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan. Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan pada pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan 159 Ibid 160 http:www.negarahukum.comhukum-penitensier.html 12 6 2012 Universitas Sumatera Utara tujuannya lebih bersifat mendidik. 161 Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera , maka focus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar para pelaku tindak pidana dapat berubah. 162 Perbedaan orientasi dasar dari dua jenis sanksi tersebut sanksi pidana dan sanksi tindakan , sebenarnya memiliki kaitan pula dengan faham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme sebagai sumber ide sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber ide sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika manusia itu melakukan kejahatan. Karenanya sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku. Determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh faktor – faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Dengan demikian, perilaku jahat seseorang maupun masyarakat ditentukan oleh berbagai 161 Sholehuddin, Op.cit, hal.18 162 Ibid Universitas Sumatera Utara faktor itu dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku. 163 Jika ditinjau dari teori – teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata – mata ditujukan pada preverensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. Karena sanksi pidana dan sanksi tindakan memiliki perbedaan ide dasar, tujuan dan sifatnya, maka kedua jenis sanksi tersebut seyogyanya ditetapkan dalam kedudukan yang sejajar atau setara dalam kebijakan legeslasi. Kebijakan sanksi yang integral dan seimbang sanksi pidana dan tindakan , selain menghindari penerapan sanksi yang fragmentaristik yang terlalu menekankan pada sanksi pidana , juga menjamin keterpaduan sistem sanksi yang bersifat individual dan sistem sanksi yang bersifat fungsional. 164 Dengan kata lain, terdapat kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya. Sistem dua jalur Doubel track system mengenai stelsel sanksi, bermakna adanya pemisahan secara tegas antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, keduanya memiliki kedudukan yang setara, dan oleh karena itu harus diatur sekaligus dalam setiap perundang – undangan pidana. 165 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tidak menyebutkan istilah sanksi tindakan, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 KUHP tetapi dapat kita lihat pengaturan tindakan secara tersirat dalam Pasal 44, 45 dan 46 . Dalam 163 Ibid 164 Ibid 165 Ibid Universitas Sumatera Utara perkembangan masyarakat yang makin kompleks juga diiringi dengan perkembangan hukum pidana yang begitu cepat. Hukum pidana bukan hanya diatur dalam KUHP kodifikasi melainkan juga telah diatur di luar kodifikasi KUHP. Sehingga untuk tindak pidana yang diatur di luar KUHP dengan menggunakan asas lex specialis, maka dalam hal menjerat pelaku kejahatan juga dengan menggunakan ketentuan pidana di luar KUHP misalnya hukum pidana yang berkenaan dengan anak sebagai pelaku kejahatan dan Undang-Undang tentang Narkotika . Di mana untuk tindak pidana yang berhubungan dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dan Pecandu Narkotika telah menerapkan bukan hanya sanksi pidana akan tetapi juga sanksi tindakan maatregel. 166 Berkaitan dengan masalah tersebut di atas secara lebih umum , khususnya dalam melakukan pembaharuan hukum pidana termasuk di dalamnya tentang masalah pidana dan pemidanaan termasuk jenis pidana dan lebih khusus lagi tentang penyusunan Undang – Undang tentang Tindak Pidana baru dan konsep KUHP Baru, tidak dapat dilepaskan dari idekebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan Hukum Pidana Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar basic ideas Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilaiideparadigma : a.moral religius ketuhanan, b.kemanusiaan humanistik, 166 http:www.negarahukum.comhukum-penitensier.html 12 6 2012 Universitas Sumatera Utara c.kebangsaan, d. demokrasi, dan e. keadilan sosial. 167 Di samping itu perlu ada harmonisasisinkronisasikonsistensi antara pembangunanpembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio- filosofik dan sosio kultural yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya pembaharuan hukum pidana KUHP nasional, perlu dilakukann pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang ada di masyarakat nilai-nilai religius maupun nilai-nilai budayaadat. 168 Secara teoretis, sistem pemidanaan di Indonesia sudah menganut double track system. Artinya, sistem sanksi dalam perundang – undangan pidananya tidak hanya memuat jenis sanksi pidana, tetapi juga jenis sanksi tindakan. Hanya saja dalam KUHP kita, bentuk sanksi tindakan masih diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak di bawah umur. 169 Perkembangan hukum pidana di Indonesia dalam hal penerapan sistem pemidanaan dua jalur sanksi pidana dan tindakan justru telah banyak diterapkan dalam untuk tindak pidana diluar kodifikasi KUHP. Misalnya penerapan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan Narkotika Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 167 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional “ Menyongsong Berlakuknya KUHP Nasional FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005, hlm 5 168 Ibid 169 Lihat Pasal 44 dan 45 KUHP Universitas Sumatera Utara tentang Narkotika . Namun dapat dikatakan bahwa jenis sanksi tindakan di Indonesia hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat komplemen atau pelengkap. Jadi tak ubahnya sama dengan fungsi jenis sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Hal ini dapat terlihat dengan jelas pada perundang – undangan yang memuat jenis sanksi tindakan dalam perumusanya 170 , misal Undang – Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 103 ayat 1 yang mengatakan: Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Kata dapat dalam Pasal tersebut menunjukkan bahwa legislator memberikan kebebasan yang sangat luas kepada hakim untuk menjatuhkan jenis sanksi tindakan atau tidak terhadap terdakwa. Kebebasan yang sangat luas ini bila dilihat dari sudut pendekatan keadilan akan mengakibatkan pelaku kejahatan tidak memperoleh sanksi yang patut dan tepat. 171 Karena penulisan dalam tesis ini berkenaan dengan Undang – Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka akan dibandingkan Penghukuman dalam KUHP 170 Sholehuddin, Op.cit, hal.190 171 Sholehuddin, Op.cit, hal.191 Universitas Sumatera Utara dengan Penghukuman yang ada pada UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tersebut terdapat beberapa perbedaan yaitu : 172 a. Undang-Undang Narkotika Bersifat Elastis. Artinya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah untuk dirubah apabila terdapat penyimpangan atau untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut, karena undang-undang tersebut hanya mengatur tentang satu hal yaitu tentang narkotika. Misalnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 yang dirubah dengan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan KUHP tidak bersifat elastic karena ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya tidak hanya mengatur mengenai satu hal melainkan banyak hal. b. Pengaturan Tersendiri Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran. Dalam Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika hanya mengatur mengenai kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika saja. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan mengenai penyimpangan, maka hukumannya diatur sendiri, seperti dalam Pasal 14 ayat 2 UU ini mengenai sanksi adminisratif berupa: 172 http:iqbalrullya.blogspot.com, perbedaan-antara-hukum-materil-dalam-uu narkotika dengan KUHP.html 11 6 2012 Universitas Sumatera Utara a teguran b peringatan c denda adminisratif d penghentian sementara kegiatan e pencabutan izin c. Percobaan dan Membantu Melakukan Tindak Pidana Diancam Dengan Hukuman. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang narkotika tersebut diancam dengan pidana penjara yang sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini, misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika golongan 1,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah dan paling banyak Rp8.000.000.000,00delapan miliar rupiah. Sedangkan dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan. Universitas Sumatera Utara d. Perluasan Berlakunya Asas Teritorial ekstera teritorial. Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain danatau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Hal tersebut diatur dalam Pasal 63 UU No.35 Tahun 2009. Sedangkan KUHP tidak bersifat ekstra teritorial karena KUHP hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia. e. Mempunyai Sifat Terbuka. Maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menentukan menjadi tindak pidana. Artinya tindak pidana dalam UU lain dapat dijadikan tindak pidana dalam UU Narkotika apabila perbuatan pidana tersebut berkaitan dengan kejahatan narkotika. Sedangkan balam KUHP tidak bisa. f. Hukuman-Hukuman Dalam Undang – Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda. Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 130 ayat 2 UU Narkotika, berupa: Universitas Sumatera Utara a pencabutan izin usaha; danatau b pencabutan status badan hukum. Sedangkan dalam KUHP hukumannya berupa: a Hukuman Pokok Hukuman mati. Hukuman penjara. Hukuman kurungan. Hukuman denda. b Hukuman Tambahan Pencabutan beberapa hak yang tertentu. Perampasan barang yang tertentu. Pengumuman keputusan hakim. g. Penggunaan Pidana Minimal Penggunaan pidana minimal dalam undang-undang narkotika memberikan asumsi bahwa undang-undang tersebut diberlakukan untuk menjerat pihak- pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika. Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam Pasal 113 ayat 1 UU No.35 tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal pidana minimal, yang ada hanya pidana maksimal, seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Universitas Sumatera Utara h. Hukuman Bersifat Komulatif. Hukuman yang terdapat dalam UU no.35 Tahun 2009 tentang Narkotika bersifat komulatif, artinya orang yang tertangkap melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum dengan hukuman pidana hukuman denda. Jadi orang tersebut harus memenuhi kedua hukuman tersebut, tidak boleh memilih salah satu. Sedangkan dalam KUHP, hukumannya bersifat alternatif, artinya terhadap suatu tindak pidana hukumannya adalah hukuman penjara danatau hukuman denda. Artinya pihak yang melakukan kejahatan atau pelanggaran dapat memilih sendiri hukumannya baik itu hukuman penjara atau denda subside. i. Tidak Dikenal Adanya Delik Culpa. Dalam undang-undang narkotika ini tidak mengenal adanya delik culpa atau ketidak sengajaan. Hal tersebut nampak dari kata “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum”. Yang artinya siapa saja dapat dipidana tanpa melihat apakah dia melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja. Sedangkan dalam KUHP terdapat delik culpa, dimana terhadap orang yang melakukan delik tersebut masih dipertimbangkan, seperti dalam Pasal 359 KUHP. Universitas Sumatera Utara

3. Penyalahgunaan Narkotika

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Peranggungjawaban Pidana Terhadap Pecandu Narkotika Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

0 9 93

Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 20 140

Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika - [PERATURAN]

0 3 96

PENDAHULUAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAKAN ANGGOTA KEPOLISIAN DENGAN UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 2 13

PENUTUP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA MENGUNAKAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAKAN ANGGOTA KEPOLISIAN DENGAN UNDANG UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 2 4

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 19

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

ASPEK HUKUM ASESMEN TERPADU BAGI PENGGUNA DAN PECANDU NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA - repo unpas

0 2 29