1.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA USU Medan. Uji aktivitas antioksidan dilakukan di salah satu Laboratorium Perusahaan Swasta di Medan. Uji
bilangan peroksida dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU Medan. Analisis GC-MS dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta, dan analisis
Spektroskopi FT-IR dilakukan di Laboratorium Terpadu FMIPA USU Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Edible Film
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, teknologi pengemasan juga berkembang dengan pesat. Akhir-akhir ini kemasan yang lebih modern telah banyak digunakan secara
meluas pada produk bahan pangan dan hasil pertanian misalnya plastik, kertas, aluminium, foil, logam dan kayu. Diantara bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan
yang paling populer dan sangat luas penggunaannya. Bahan kemasan ini memiliki berbagai keunggulan yakni, fleksibel, transparan, tidak mudah pecah, bentuk laminasi dapat
dikombonasikan dengan bahan kemasan lain, tidak korosif dan harganya relatif murah. Disamping memiliki berbagai kelebihan, plastik juga memiliki kelemahan yakni, tidak tahan
panas, dapat mencemari produk sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami
nonbiodegradable.
Saat ini, bahan kemasan plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukkan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaanya secara meluas, oleh karena akan menambah persoalan
lingkungan dan kesehatan di waktu mendatang. Menurut Syarief et al, 1988 ada lima persyaratan yang dibutuhkan dalam menentukan pilihan jenis dan cara pengemasan yang
akan digunakan yaitu penampilan, perlindungan, fungsi, harga dan biaya, serta penanganan limbah kemasan. Dengan tidak dapat dipertahankannya lagi penggunaan plastik sebagai
bahan kemasan serta adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan, maka hal ini mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan teknologi
bahan kemasan yang “biodegradable”. Saat ini pengembangan teknologi bahan kemasan
Universitas Sumatera Utara
biodegradable terarah pada usaha untuk membuat bahan kemasan yang memiliki sifat seperti plastik yang berbahan dasar dari bahan alam dan mudah terurai yang disebut dengan Edible
film.
Edible film packaging adalah suatu lapisan yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dikonsumsi dan ditempatkan di atas komponen makanan coating atau diletakkan
diantara komponen makanan film yang berfungsi sebagai penghalang transfer massa seperti kelembapan, oksigen, lipid, dan zat terlarut, dan atau sebagai pembawa bahan makanan aditif,
serta meningkatkan kemudahan penanganan makanan Krochta et al., 1992. Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu yang berfungsi sebagai pelapis
edible coating dan yang berbentuk lembaran edible film Krochta et al., 1994. Edible film dan coating berbeda dalam cara pembentukannya dan penggunaannya pada makanan. Edible
coating dibentuk dan digunakan secara langsung pada produk makan dengan cara mengolesi menggunakan kuas cat, penyemprotan, pencelupan, atau penyiraman Cuq et al., 1995.
Sedangkan Edible film merupakan lapisan tipis berupa lembaran yang dibentuk melalui penuangan pada cetakan yang selanjutnya dikeringkan. Edible coating banyak digunakan
untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan terutama obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul Krochta et al., 1994.
Edible film dan coating dapat memberikan penahanan terhadap uap air, oksigen O
2
, karbondioksida CO
2
, aroma, lipida, dan sebagai pembawa zat seperti anti mikroba, antioksidan, flavour, dan lain sebagainya Krochta and De Mulder-Johnston, 1997.
Salah satu fungsi dari edible film adalah mempertahankan kualitas produk makanan yang dikemasnya agar tidak mengalami degradasi. Degradasi dalam sistem makanan sangat
ditentukan oleh komposisi gas yang terdapat dalam lingkungan produk yang dikemas tersebut. Sebagai contoh, oksigen yang terlibat dalam proses ketengikan lemak dan minyak,
pertumbuhan mikroorganisme, pembentukkan warna coklat oleh enzim dan kerusakan vitamin. Dengan demikian edible film yang ingin dibuat harus dapat melindungi produk
makanan dari oksigen Gontard et al., 1996. Namun demikian, permeabilitas edible film terhadap oksigen dan karbon dioksida sangat penting dalam menjaga kesegaran produk
tersebut. Untuk itu bahan yang dapat membentuk edible film dengan kemampuan yang seimbang lebih diutamakan. Oleh karena karakteristik utama dalam mempertimbangkan
pemilihan edible film adalah daya permeabilitas terhadap oksigen, karbon dioksida dan uap airnya Ayranci and Tunc, 2002. Pada produk makanan segar, keberhasilan edible film
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan kesegaran produk bergantung pada kemampuannya untuk mengontrol komposisi gas internal Park, 1999.
Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan subtansi lain untuk mempertinggi kualitas warna, aroma dan tekstur produk, untuk mengontrol pertumbuhan
mikroba Krochta et al., 1994. Selama proses pembuatan, bahan yang akan dibuat dilarutkan dalam pelarut seperti alkohol, air, campuran air dan alkohol, atau campuran pelarut lainnya.
Bahan pemlastis, pewarna, penambah rasa atau antimikroba dapat juga ditambahkan pada saat pelarutan. pH dan pemanasan larutan dilakukan untuk penyempurnakan dispersi. Larutan
film kemudian dicetak dan dikeringkan pada suhu yang diinginkan hingga diperoleh film Bourtoom, 2008.
Menurut Harris 1999, proses pembuatan edible film dapat dibagi atas tiga tahap sebagai berikut:
1. Pembentukkan emulsi 2. Casting atau pencetakan bahan emulsi ke permukaan cetakan yang mempunyai
permukaan datar dan licin 3. Pengeringan
Pembuatan emulsi sangat tergantung pada sifat-sifat fisik-kimia bahan emulsi, jenis emulsifier, jumlah dan konsentrasi emulsifier, ukuran partikel yang diinginkan, viskositas
larutan dan jenis alat pengemulsi yang digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat kelenturan film yang diperoleh maka ditambahkan plastisizer. Casting biasanya dilakukan pada
permukaan datar dan halus seperti kaca dengan menuangkan bahan emulsi ke permukaan cetakan tersebut pada ketebalan tertentu. Film kemudian dikeringkan pada aliran udara kering
selama 10-12 jam Kinzel, 1992.
Salah satu sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan edible film adalah kolang-kaling. Menurut Mahmud dan Amrizal 1991, kolang
kaling mengandung karbohidrat, pati dan kadar air yang tinggi dari berat buah, dengan demikian kolang-kaling dapat digunakan sebagai bahan baku edible film katagori
hidrokoloid. Keunggulan dari kolang-kaling digunakan sebagai sumber bahan baku edible film adalah ketersediaannya sepanjang tahun, mudah didapat, harga relatif murah dan secara
ekonomis bernilai rendah karena kolang – kaling hanya digunakan pada bulan Ramadhan untuk berbuka puasa. Kolang-kaling diperoleh dari tanaman aren yang berumur sekitar 1
Universitas Sumatera Utara
tahun sampai 1,5 tahun. Buah aren yang muda akan menghasilkan kolang-kaling yang sangat lunak dan bila terlalu tua akan menghasilkan kolang-kaling yang keras Maryadi, 2004.
2.1.1 Komponen Penyusun Edible Film
Komponen penyusun edible film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusunnya dapat dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu: hidrokoloid contoh: polisakarida atau protein, lemak contoh: asam lemak, asilgliserol, dan lilin dan komposit serta komponen tambahan yang dapat
memodifikasi film Donhowe and Fennema, 1994.
Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta
memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kelemahannya, film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air
sementara film dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.
Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi produk dari penguapan air. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya dalam
bentuk murni sebagai pelapis masih terbatas, karena mempunyai kekurangan dari segi ketahanannya.
Edible film dari komposit gabungan hidrokoloid dan lipid dapat meningkatkan kelebihan film dari hidrokoloid dan film dari lipid, serta mengurangi kelemahannya.
Pembentukkan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen-fragmen kecil yang akan membentuk suatu polimer. Perinsip pembentukkan edible film adalah interaksi rantai polimer
menghasilkan polimer yang lebih besar dan stabil Syamsir, 2008.
Sifat dari edible film yang penting diketahui sebelum digunakan untuk mengemas produk dan penentuan umur simpan, antara lain permeabilitas terhadap uap air, permeabilitas
terhadap gas, dan permeabilitas terhadap lipid. Permeabilitas air adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan
Universitas Sumatera Utara
tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan tertentu pada kondisi suhu dan kelembapan tertentu.
Hal ini disebabkan polimer dengan polaritas tinggi mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Polimer dengan gugus hidrofilik akan menghasilkan film yang rentan terhadap uap air,
sebaliknya polimer dengan gugus hidrofobik tinggi akan menghasilkan film dengan sifat sekat barrier yang baik terhadap uap air. Kebalikan dari teori tersebut, polimer dengan
komponen hidrofilik tinggi cenderung akan menjadi sekat lintas yang baik bagi gas oksigen Paramawati R., 2001.
2.1.2 Plasticizer pada Edible Film
Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa komponen bukan plastik yang
diantaranya berfungsi sebagai plasticizer, penstabil pangan, pewarna, penyerap uv dan lain- lain. Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih
tinggi atau suatu padatan dengan titik leleh rendah ditambahkan kedalam resin seperti PVC yang keras dan kaku, sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan
menurun Yavad and Satoskar, 1997.
Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering digunakan pada pembuatan film, disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan rantai hidrofilik biopolimer. Fungsi utama
gliserol adalah sebagai suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembapan. Gliserol dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai
zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai plasticizer dan didalam industri resin untuk menjaga kelenturan.
2.2. Galaktomanan
Galaktomanan merupakan polisakarida heterogen yang terdiri dari rantai utama β-1-4-D- manopiranosa dengan satu unit cabang α-D-galaktopiranosa yang terikat pada posisi α-1-6.
Dengan struktur berikut :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Struktur Galaktomanan Kelebihan utama dari galaktomanan ini dibandingkan polisakarida lainnya adalah
kemampuannya untuk membentuk larutan yang sangat kental dalam konsentrasi yang rendah dan hanya sedikit dipengaruhi oleh pH, kekuatan ionik dan pemanasan. Viskositas
galaktomanan sangat konstan sekali pada kisaran pH 1 – 10,5 yang kemungkinan disebabkan oleh karakter molekulnya yang bersifat netral. Namun demikian galaktomanan akan
mengalami degradasi pada kondisi yang sangat asam atau basa pada suhu tinggi Cerqueira et al., 2009.
Aren Arenga pinnata merupakan tanaman serba guna yang dapat hidup didaerah tropis basah serta mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi tanah. Aren banyak
ditanam di Indonesia termasuk di propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tanaman aren
belum dibudidayakan dan sebagian besar masih menerapkan teknologi yang minim Anonim, 2009.
Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah aren yang
masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir ini mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat kolang-kaling. Kolang-
kaling adalah endosperma biji buah aren yang berumur setengah masak setelah melalui proses pengolahan. Setelah diolah menjadi kolang-kaling, maka akan menjadi lunak, kenyal,
dan berwarna putih agak bening Sunanto, 1993. Endosperma dari Arenga pinnata telah diteliti mengandung komponen polisakarida yang larut dalam air, komponen itu adalah
galaktomanan. Galaktomanan dipisahkan dari ekstrak endosperma biji mentah arenga pinnata yang dilarutkan dalam sodium hidroksida kemudian di endapkan dengan etanol
setelah dilakukan pengasaman. Polisakarida terlarut di murnikan dengan penambahan reagen
Universitas Sumatera Utara
fehling untuk menghasilkan galaktomanan. Perbandingan manosa dan galaktosa yang diperoleh adalah 2,26 : 1 Kooiman, 1971.
2.3. Jahe