Hutan Primer- Hutan sekunder

Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 15 Degradasi pada kawasan hutan lindung seluas 3,7 Ha dan deforestasi seluas 31.908,7 Ha meliputi 8.848,2 Ha di dalam kawasan dan 23,060.5 Ha di luar kawasan atau Areal Penggunaan Lain APL. Degradasi dan deforestasi hutan di Aceh yang terus berlangsung disebabkan oleh banyak faktor yang terkadang sulit dicari solusinya. Penebangan liar illegal logging dan illegal cutting, perambahan hutan untuk perladangan berpindah, serta kebakaran hutan merupakan penyebab utama kerusakan hutan di Aceh yang semakin memprihatinkan. Tutupan hutan sebagai salah satu tolok ukur kondisi hutan terus berkurang sejalan dengan intervensi dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Luas penutupan lahan dalam dan non kawasan hutan dinyatakan dengan luas kawasan hutan tetap HT dan kawasan hutan produksi konversi HPK serta areal penggunaan lain APL. Hutan tetap HT merupakan jumlah luasan dari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam KSA- KPA, hutan lindung HL, hutan produksi terbatas HPT dan hutan produksi HP. Hasil penafsiran citra satelit resolusi rendah Dinas Kehutanan Aceh Tahun 2013 diperoleh data tutupan Hutan Aceh di dalam kawasan hutan seluas 2.934.594,45 Ha atau sebesar 51,69 dari luas wilayah Aceh yang terdiri dari hutan primer seluas 1.226.797,8 Ha atau sebesar 21,61 sisanya berupa hutan sekunder dan hutan tanaman seluas 1.707.796,65 Ha atau sebesar 30,08 Tabel 4.1 Buku Data SLHD Tahun 2014. Kanopi hutan primer paling banyak menutupi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung Aceh yang didominasi oleh hutan hujan tropis diatas tanah gambut. Perbandingan luas penutupan lahan pada tahun 2009 dengan tahun 2013 menunjukan bahwa terjadi penurunan baik dalam dan luar kawasan hutan, kecuali luas kawasan suaka alam KSA - kawasan pelestarian alam KPA, dimana pada Tahun 2013 mengalami penambahan luas area sebesar 19,40 dibandingkan tahun 2009 yatu dari 852.600 Ha pada Tahun 2009 menjadi 1.057.942,74 pada tahun 2013. Perubahan luas kawasan tersebut dikarenakan pada tahun 2009 data luasan KSA – KPA berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 170Kpts-II2000 dan SK Gubernur Nomor 19 Tahun 1999 hanya wilayah daratan saja, sedangkan pada Tahun 2013 data luas kawasan berdasarkan SK Menhut 941Menhut-II2013, KSA – KPA mencakup luas daratan dan luas kawasan konservasi perairan yaitu Taman Wisata Alam Laut TWAL Kepulauan Banyak dan Sabang. Perbandinngan luas tutupan hutan tahun 2009 dengan tahun 2013 dapat dilihat pada gambar berikut : Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 16 Gambar II.4 Perbandingan Luas Tutupan Hutan Tahun 2009 dengan Tahun 2013 Kondisi Hutan Aceh berbeda-beda di setiap kabupaten baik dari segi fungsi dan peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang dipengaruhi oleh bentang alam dan letak geografis yang sering berbeda antara suatu wilayah kabupatenkota dengan kabupatenkota yang lainnya, hal ini berpengaruh juga terhadap jenis dan komposisi flora maupun fauna di dalamnya. Beberapa hal yang mempengaruhi perubahan tutupan lahanhutan diantaranya pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan untuk keperluan aktivitas misalnya pertanian dan perkebunan. Di sisi lain perubahan tutupan lahan dapat juga di pengaruhi oleh adanya kemajuan teknologi misalnya dari segi penggarapan lahan yang sebelumnya memakan waktu yang lama, dibandingkan dengan saat sekarang yang penggarapannya lebih singkat. Luas tutupan lahanhutan setiap kabupatenkota di Aceh sebagaimana hasil penafsiran citra satelit Tahun 2013 secara rinci dapat dilihat pada Tabel SD-4.2 Buku Data SLHD Tahun 2014. Keberadaan data tersebut tidak menjelaskan fungsi kawasan sebagaimana kebutuhan data pada Tabel SD-4 Buku Data SLHD Aceh Tahun 2014 akan tetapi menampilkan luas tutupan lahanhutan secara keseluruhan baik di dalam maupun di luar kawasn hutan. Tabel SD-4.2 tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 4 kabupatenkota memiliki persentase luas penutupan lahan terbesar berupa hutan primer dan hutan skunder adalah : Kabupaten Aceh Tenggara sebesar 85,16; Gayo Lues 79,27; Aceh Selatan 72,76; dan Kabupaten Aceh Tengah 71,7. Persentase tutupan hutan paling kecil terdapat di Kota 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2.000.000 KSA - KPA HL HPT HP HPK Tahun 2009 Tahun 2013 Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 17 Lhokseumawe seluas 21,01 Ha atau sebesar 0,13 diikuti Kota Langsa seluas 3.165,53 Ha atau 15,59. Dua Kota tersebut tutupan hutannya hanya berupa hutan manggrove skunder. A.5. Luas Lahan Kritis Ancaman degradasi hutan dan Penggunaan lahan untuk berbagai peruntukan sebagaimana telah diuraikan di atas menimbulkan lahan kritis, dimana akan terjadi kerusakan ekologis, menurunnya estetika, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktifitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global dan menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya. Lahan kritis atau degradasi lahan dapat diakibatkan oleh proses alam berupa erosi, tanah longsor, dan pencucian tanah maupun akibat perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan seperti perusakan hutan, pertanian sistem ladang berpindah, kegiatan pertambangan terbuka, dan sistem pertanian di pegunungan yang tidak menggunakan terassering sengkedan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan Nomor : SK.4V-DAS2015 Tanggal 29 Januari 2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013, luas lahan kritis Provinsi Aceh adalah 625.358 Ha meliputi kritis 474.664 Ha, dan sangat kritis 150.694 Ha dan potensial kritis seluas 3.374.853 Ha Direktorat PEPDAS, Ditjen BPDASPS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Apabila kita bandingkan dengan data Tahun 2012 luas lahan kritis menurun meskipun relatif kecil yaitu sebesar 1,28 sebagaimana data pada Tabel SD-5 Buku Data SLHD Tahun 2013 yaitu mencapai 633.352 ha atau 11,16 total luas lahan di Provinsi Aceh. Hampir semua kabupatenkota memiliki lahan kritis yang luasnya beragam antara kisaran 0.00 sampai 33.33 terhadap luas kabupaten masing-masing. Hanya Kota Banda Aceh yang tidak memiliki lahan kritis. Persentase luas lahan kritis tertinggi adalah di Kota Langsa 33.33 serta yang terendah di Kota Banda Aceh 0.00. Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Besar dan Kota Sabang memiliki lahan kritis dalam persentase yang cukup tinggi, yaitu berturut- turut 27.99; 27.49, 26.87 dan 25.00 terhadap luas wilayah masing-masing. Kabupaten Gayo Lues, Simeulue, Aceh Selatan, dan Aceh Jaya memiliki lahan kritis berturut- turut 15.39; 11.07; 10.19, dan 7.72. Lahan kritis di kabupaten lainnya dibawah 5 Tabel SD-5 Buku Data SLHD Tahun 2013. Luas Lahan kritis masing-masing kabupatenkota untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini : Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 18 Gambar II.5 Luas lahan kritis Seluruh Kabupatenkota Dalam Provinsi Aceh Tahun 2012 A.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air , Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Basah, dan Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya Buku Data Tabel SD-6, SD-7 dan SD-8 belum mencantumkan besaran erosi maupun kerusakan tanah di lahan kering maupun lahan basah. Belum tersedia data sehubungan dengan evaluasi terhadap kerusakan tanah di lahan kering maupun di lahan basah. Kajian mendalam tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk tindakan rehabilitas. Konservasi lahan basah khususnya lahan gambut menjadi lahan pertanian terutama perkebunan masih terus berlangsung, sekalipun diketahui bahwa lahan gambut tersebut ketebalannya ada yang lebih dari 3 m. Perubahan kualitias air permukaan dan sungai terutama perubahan warna air di musim hujan mengindikasikan bahwa tingkat kerusakan tanah akibat erosi cukup tinggi. Salah satu indikasi telah terjadinya erosi yang cukup tinggi adalah semakin bertambahnya lahan kritis dari tahun ke tahun. Sebagaimana telah disajikan pada Tabel SD- 5, luas lahan kritis telah mencapai 633.352 Ha 11.16, dibanding tahun sebelumnya hanya 381.484 ha atau 6.82 luas wilayah Provinsi Aceh. A.7. Perkiraan Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya .Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh kebakaran hutan, ladang berpindah, penebangan liar, perambahan hutan dan lain-lainnya. Pada tahun 2012 kerusakahan hutan di Provinsi Aceh seluas 17.106,50 Ha. Penyebab kerusakan hutan terbesar 0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00 Kab u p ate n S im e u lu e Kab u p ate n A ce h S in g ki l Kab u p ate n A ce h S e latan Kab u p ate n A ce h T e n g g ara Kab u p ate n A ce h T imu r Kab u p ate n A ce h T e n g ah Kab u p ate n A ce h B a rat Kab u p ate n A ce h B e sar Kab u p ate n P id ie Kab u p ate n B ire u e n Kab u p ate n A ce h Ut ara Kab u p ate n A ce h B a rat Daya Kab u ate n G ayo L u e s Kab u p ate n A ce h T ami an g Kab u p ate n N ag a n R a ya Kab u p ate n A ce h Jay a Kab u p ate n B e n e r M e ri ah Kab u p ate n P id ie Jay a Ko ta B an d a A ce h Ko ta S ab an g Ko ta L an g sa Ko ta L h o ks e u maw e Ko ta S u b u lu ss a lam Luas Lahan Kritis Ha Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 19 adalah perambahan hutan seluas 14.221,5 Ha 83,13, kebakaran hutan seluas 2.386,00 13,95, dan ladang berpindah seluas 501,00 Ha 2,93, sedangkan akibat penebangan liar tidak tersedia data Tabel SD-9 Buku Data SLHD Tahun 2013. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar II.6. Perkiraan Persentase Luas Kerusakan Hutan Menurut Penyebabnya A.8. Pelepasan Kawasan Hutan Yang Dapat Dikonversi Menurut Peruntukan Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah scientific authority bersama-sama dengan pihak lain yang terkait Permasalahan mendasar pada hutan dan lahan salah satunya adalah konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain seperti pemukiman, pertanian, perkebunan, industri, pertambangan dan lainnya. Apabila kita amati kondisi nyata di lapangan pembukaan lahan terus berlangsung dan semakin meningkat, yang paling sering dijumpai adalah pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertanian, dan pertambagan baik legal maupun ilegal namun tidak diketahui luasannya mengingat tidak ada data terkait luasan 13,95 2,92 83,13 Kebakaran Hutan Ladang Berpindah Penebangan Liar Perambahan Hutan Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 20 konversi hutan terhadap masing-masing peruntukan sebagaimana kebutuhan data untuk Tabel SD-10 Buku Data SLHD tahun 2014.

B. KEANEKARAGAMAN HAYATI

Menurut Global Village Translations 2007:4 Keanekaragaman hayati adalah semua kehidupan di atas bumi ini baik tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi di mana mereka hidup. Termasuk didalamnya kelimpahan dan keanekaragaman genetik relatif dari organisme- organisme yang berasal dari semua habitat baik yang ada di darat, laut maupun sistem- sistem perairan lainnya. Keanekaragaman hayati memiliki nilai-nilai lingkungan, budaya, sosial dan ekonomi yang penting. Karena itu, keanekaragaman hayati suatu daerah akan turut membentuk kebudayaan dan sosiologi masyarakat suatu daerah. Selain itu, sesuai dengan perkembangan zaman, maka keanekaragaman hayati juga bisa mempengaruhi aktivitas perekonomian kelompok masyarakat yang menempati daerah tersebut. Provinsi Aceh dengan hutan tropisnya yang menyebar di seluruh kabupatenkota memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, khususnya pada kawasan pegunungan Leuser atau sebelum pengesahan RTRWA 2013 – 2033 disebut Kawasan Ekosistem Leuser KEL, terbukti berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. KEL dianggap sebagai salah satu tempat yang terkaya keanekaragaman hayatinya di Asia Tenggara. Sebagian besar jenis satwa langka dapat ditemukan di hutan dataran rendah. KEL adalah satu- satunya tempat di dunia yang sekaligus memiliki Gajah Sumatera elephas maximus , Orangutan pongo pygmaeus , Harimau Sumatera panthera tigris sumatraensis , Badak Sumatera dicherorinus sumatraensis , sehingga KEL merupakan harapan nyata sebagai tempat terakhir untuk kelangsungan hidup jangka panjang dari empat spesies fauna tersebut di atas yang sangat terancam punah ini hidup secara berdampingan di alam liar. Selain itu KEL juga merupakan habitat b eberapa jenis burung seperti Argus pheasant , dan rumah bagi pohon-pohon Keruing yang banyak digunakan dalam industri kayu yang saat ini telah menjadi langka. Keanekaragamanhayati di Provinsi Aceh tidak sedikit diantaranya yang terancam kepunahan. Untuk itulah perlu suatu regulasi untuk melindungi kelestarian Flora dan Fauna tersebut. CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah, merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Misi dan tujuan konvensi ini adalah melindungi tumbuhan Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 21 dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Pengendalian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa eksploitasi tumbuhan dan satwa liar untuk kepentingan perdagangan merupakan ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup tumbuhan dan sawa liar tersebut. CITES memuat tiga lampiran appendix yang menggolongkan keadaan tumbuhan dan satwa liar pada tingkatan yang terdiri dari : 1 Apendiks I CITES Appendix I merupakan lampiran yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah illegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Di Aceh, tumbuhan dan satwa liar yang masuk dalam Appendix I CITES adalah: dari golongan mamalia 10 jenis Badak Sumatera, Gajah Sumatera, Kucing Hutan, Kucing Emas, Beruang Madu, Owa, macan dahan, macan tutul, Harimau Sumatera, Orang utan; Aves 1 jenis Rangkong; dan Reptil 4 jenis penyu hijau, buaya muara, penyu belimbing, dan penyu sisik, total 15 jenis satwa sedangkan jenis tumbuhan tidak ada yang tergolong dalam apendiks 1. SD – 11 Buku Data SLHD Tahun 2014. 2 Apendiks II CITES Appendix II memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang di daftar dalam Apendiks I. Berdasarkan tabel SD – 11 Buku Data SLHD Tahun 2014 sebanyak 5 jenis yang masuk dalam katagori Apendiks II yaitu mamalia 1 jenis Trenggiling; Aves 2 jenis burung elang, kuau; Reptil 1 jenis sanca bodo dan tumbuh-tumbuhan 1 jenis Nephentes spp. 3 Apendiks III CITES Appendix III memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan option bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. Dari tabel tabel SD – 11 Buku Data SLHD Tahun 2014 tidak ada spesies baik flora maupun fauna di Propinsi Aceh yang masuk dalam data apendiks III. Disamping itu satu spesies burung yang dilindungi berstatus endemik yaitu Murai batu Aceh Copsychus malabaricus dan satu species tumbuhan yaitu Rafflessia acehensis. Bab II Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecendrungan II- 22 Menurunnya keanekaragaman hayati berupa kekayaan spesies suatu ekosistem akan memiliki efek sekunder, yang mengurangi kualitas dan jumlah jasa yang diberikan oleh ekosistem tersebut sehingga menimbulkan masalah lingkungan yang akhirnya merugikan manusia.

C. AIR

Air merupakan unsur penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup yang dapat membantu metabolisme dalam tubuh, dan bila tidak ada air maka proses kehidupan akan terhenti. Ketersediaan air sangat bervariasi yang tergantung kepada lokasi geografis dan waktu dan dengan adanya daur air secara alami di bumi kebutuhan air oleh manusia masih mampu dipenuhi, dimana semua sumberdaya air di bumi ini dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan air sungai, mata air, embungdanau, maupun sumur-sumur yang dibuat melalui proses penggalian dan pengeboran. Secara umum, sumber air yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dikategorikan atas 2 kelompok, yaitu : 1. Sumber air permukaan , yang dapat diperoleh dari sungai, danau, embung, telaga, dan tidak termasuk air laut. Air tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti air minum, MCK, perairan sawah, dan perikanan. 2. Sumber air tanah , sumber air tanah dimanfaatkan melalui proses penggalian atau pengeboran. Pemanfaatan air ini biasanya hanya untuk keperluan rumah tangga dan industri. Adanya peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan dan pemenuhan air bersih bagi penduduk juga meningkat dan pemerintah berupaya melakukan pelayanan untuk mendapatkan air bersih melalui pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan yang dipercayakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum PDAM kabupatenkota. Saat ini, pelayanan air bersih di Provinsi Aceh meningkat 35 yang dilakukan melalui perpipaan PDAM yang tersebar di seluruh kabupatenkota. Banyaknya pelanggan air minum yang mampu dilayani mencapai 140.125 pelanggan dengan rincian sosial sebanyak 1.920 pelanggan, non niaga sebanyak 121.792 pelanggan, niaga sebanyak 15.224 pelanggan, industri sebanyak 127 pelanggan, dan pelanggan khusus ada 1062 pelanggan. Jumlah pelanggan didominasi oleh pelanggan yang berdomisili di Kota Banda Aceh. Jumlah air minum yang disalurkan di Provinsi Aceh mencapai 22.791.684 m 3 dengan perincian untuk sosial 706.453 m 3 , non niaga 18.257.921 m 3 dan untuk niaga 2.402.057 m 3 , sedangkan untuk industri 31.517 m 3 serta untuk yang khusus 1.393.736 m 3 . Sumber utama air bersih yang diolah oleh PDAM untuk konsumsi masyarakat umumnya berasal dari aliran sungai di setiap kabupatenkota. Berdasarkan hasil inventarisir Dinas Pengairan Aceh, Provinsi Aceh memiliki paling sedikit 274 sungai besar yang tersebar di pelosok daerah dengan panjang maksimum 208 km dan panjang minimum 2 km dengan debit maksimum 968,54 m 3 detik dan debit minimum 0,01