Analysis of land cover changes, genetic structure, and carbon biomass stock of pinus Merkusii Jungh Et De Vriese Strain Tapanuli In Its Natural Distribution In North Sumatra

(1)

and carbon biomass stock of Pinus merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli in Its Natural Distribution in North Sumatra. Under supervision of ULFAH JUNIARTI SIREGAR, HADI SUSILO ARIFIN, and CHAIRIL ANWAR SIREGAR.

Pinus merkusii strain Tapanuli is currently considered as endangered because of declining population and habitat due to logging activity and land use changes. With recent development on carbon trade the natural populations of P. merkusii strain Tapanuli has the potential as carbon sink. The objective of the research were 1) To analyze the landcover changes in five locations of strain Tapanuli natural habitat, which occured in 1994, 2005, and 2011, 2) To analyze the genetic structure of those five natural populations using microsatellite markers 3) To formulate the allometric equation for carbon biomass estimation of strain Tapanuli. Five study locations in strain Tapanuli natural habitat were selected as follows: a) two protected forests, i.e. Dolok Tusam Timur and Dolok Tusam Barat, b) two open and cultivated area, i.e. Parinsoran and Lobugala village, and c). Mixed forests in Tolang hilly village. Analysis of land cover changes was based on Landsat imagery 7 ETM+ in 1994, 2005, and 2011. Microsatellite markers were generated from microsatellite primers developed previously on P. merkusii strain Aceh. Formulation of allometric equations was done using destructive sampling method combined with volumetric method. The results showed that 1) Land cover changes that occur in Tapanuli terrestrial ecosystem from 1994 to 2011 has led to increased extent of weeds-shrub land, and cause the site of natural populations of Tapanuli strain of P. merkusii into nutrient poor. The cumulative soil carbon stock in the five research sites are as follows: Dolok Tusam Timur 55,5 ton C/ha, Parinsoran 46,1 ton C/ha, Dolok Tusam Barat 65,8 ton C/ha, Lobugala 89 ton C/ha, dan Tolang 71,1 ton C/ha. 2) Heterozygosity levels of those populations were high, and Population of Parinsoran and Tolang into one group, Population of Lobugala into one grup. 3). The best allometric equation for estimation of biomass carbon content of P. merkusii strain Tapanuli as follows: allometric equation for above ground biomass is Y = 0,1900(DBH)2,2730; for below ground biomass is Y = 0,0283(DBH)2,4393 and allometric equation for total biomass estimation of P. merkusii strain Tapanuli is Y= 0,2451(DBH)2,2757, 3). Based on this equation the potential carbon estimated in five location of natural distribution of P. merkusii strain Tapanuli are as follows: Dolok Tusam Timur 187,8 ton C/ha, Parinsoran 48,9 ton C/ha, Dolok Tusam Barat 190,4 ton C/ha, Lobugala 93,2 ton C/ha, and Tolang 45,7 ton C/ha.

Keyword: Tapanuli strain of Pinus merkusii, land cover changes, genetic structure, carbon biomassa, Diameter at Breast Height (DBH)


(2)

Struktur Genetik dan Kandungan Biomassa Karbon Pinus merkusii Jungh. et de Vriese strain Tapanuli pada Sebaran Alaminya di Sumatera Utara. Dibawah bimbingan: ULFAH JUNIARTI SIREGAR, HADI SUSILO ARIFIN, dan CHAIRIL ANWAR SIREGAR.

Pinus merkusii Jungh. et de Vriese adalah satu-satunya jenis pinus tropis di dunia yang penyebarannya mampu memasuki lintang selatan garis khatulistiwa. Di Indonesia, P. merkusii tersebar secara alami di tiga lokasi di Sumatera bagian Utara, yakni Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Pinus merkusii strain Tapanuli merupakan salah satu populasi alam tusam yang keberadaannya terus mendapatkan tekanan atau gangguan sehingga kelestariannya pun menjadi terancam. Karenanya, kegiatan pelestarian jenis P. merkusii strain Tapanuli pada ekosistem daratan Tapanuli merupakan kegiatan penting yang perlu diprioritaskan dan didukung oleh banyak pihak. Namun pada kenyataannya kegiatan pelestarian jenis P. merkusii strain Tapanuli sering terkendala dengan minimnya data dan informasi penting yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun rencana dan program. Sedikitnya ada 3 aspek penting yang perlu digali informasinya secara akurat dan aktual yakni aspek silvikultur, aspek genetik dan aspek biomassa karbon. Atas dasar inilah maka dilaksanakanlah penelitian dengan

judul: ”Analisis Perubahan Tutupan Lahan, Struktur Genetik dan

Kandungan Biomassa Karbon Pinus merkusii strain Tapanuli Jungh et de Vriese pada Sebaran Alaminya di Sumatera Utara”.

Ada 3 tujuan dalam penelitian ini, yaitu: 1). Menganalisis karakteristik tutupan lahan, sifat kimia tanah, dan struktur tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara. 2). Menganalisis struktur populasi dan keragaman genetik tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan menggunakan penanda molekuler mikrosatelit. 3). Menganalisis kandungan biomassa karbon tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan menggunakan persamaan allometrik yang disusun berdasarkan metode destructive sampling.


(3)

strain Tapanuli yang tersebar di ekosistem daratan Tapanuli. Analisis perubahan tutupan dilakukan melalui analisis citra Landsat 7 ETM+ (seri 7 Enhanced Thematic Mapper Plus) tahun 1994, 2005, dan 2011. Adapun analisis kondisi tapak tumbuh dilakukan berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah.

Analisis genetik lima populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tersebar di Tapanuli dilakukan dengan menggunakan penanda molekuler mikrosatellite. Sampel daun untuk analisis genetik diambil dari pohon Pinus merkusii yang tumbuh di 5 lokasi sebaran alam yang berbeda, yakni Kawasan Hutan Lindung Dolok Tusam Barat, areal perladangan di desa Parinsoran, Hutan Lindung Dolok Tusam Timur, areal perladangan di kampung Lobugala, dan areal perbukitan hutan campuran di desa Tolang – Kec. Aek Bilah – Kab. Tapanuli Selatan.

Penyusunan persamaan allometrik dilakukan dengan modifikasi metode

destructive sampling pada 36 pohon sampel dan metode volumetrik pada 8 pohon sampel. Sebaran kelas diameter pohon sampel ini ditentukan dengan mengacu pada sebaran kelas diameter tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh di dalam kawasan hutan lindung Dolok Tusam – Tapanuli. Metode

destructive sampling mengacu pada metode yang dikembangkan oleh JIFPRO (2000), Siregar (2007) dan Siregar (2011).

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data maka ada 3 simpulan yang dihasilkan dari penelitian ini:

a. Berdasarkan hasil analisis perubahan tutupan lahan dapat diketahui kondisi tutupan hutan di lima lokasi penelitian relatif stabil. Bahkan di lokasi Lobugala, tutupan hutannya meningkat. Selanjutnya berdasarkan analisis sifat kimia tanah dapat diketahui kandungan karbon tanah di lima lokasi penelitian berkisar antara 46,1- 89 ton C/ha. Kandungan karbon tanah tertinggi ditemukan di Lobugala, sedangkan yang terendah di Parinsoran. Adapun berdasarkan analisis struktur tegakan dapat diketahui bahwa kelima lokasi penelitian mengalami defisit permudaan alam P. merkusii strain Tapanuli.


(4)

0,3779 hingga 0,4693. Nilai He tertinggi dimiliki oleh populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh di Lobugala, sedangkan yang terendah dimiliki oleh populasi alam Dolok Tusam Barat. Namun demikian, berdasarkan nilai heterosigositas aktualnya, hanya populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh di Dolok Tusam Barat yang mengalami surplus heterosigositas. Selanjutnya berdasarkan kedekatan jarak genetiknya, kelima populasi alam P. merkusii strain Tapanuli mengelompok menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama terdiri atas populasi Dolok Tusam Timur dan Dolok Tusam Barat. Adapun kelompok kedua terdiri atas dua sub kelompok. Sub kelompok pertama terdiri atas populasi Parinsoran dan Tolang, sedangkan sub kelompok kedua hanya terdiri populasi Lobugala.

c. Persamaan allometrik terbaik untuk pendugaan biomasa karbon P. merkusii strain Tapanuli menggunakan peubah bebas diameter setinggi dada (DBH) dengan model persamaan sebagai berikut: untuk pendugaan biomassa di bagian atas tanah adalah Y = 0,1900(DBH)2,2730 R² = 0,97980, R2adj=0,979317,

RMSE=0,177670; untuk pendugaan biomassa akar adalah Y =

0,0283(DBH)2,4393 , R² = 0,90240, R2adj=0,900094 RMSE=0,436644; dan untuk pendugaan biomassa total adalah Y= 0,2451(DBH)2,2757 R² = 0,97840 R2adj= 0,977900 RMSE=0,183996. Stok karbon P. merkusii strain Tapanuli di 5 lokasi penelitian sbb: Dolok Tusam Timur 187,8 ton C/ha, Parinsoran 48,9 ton C/ha, Dolok Tusam Barat 190,4 ton C/ha, Lobugala 93,2 ton C/ha, dan Tolang 45,7 ton C/ha.

Kata kunci: Pinus merkusii strain Tapanuli, tutupan lahan, keragaman genetik, biomassa karbon, Diameter at breast height (DBH)


(5)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan menyerap dan menyimpan karbon lebih banyak dibanding ekosistem daratan lain dan memiliki peran penting didalam pencegahan (mitigasi) perubahan iklim. Namun ketika hutan ditebang habis atau terdegradasi maka karbon yang tersimpan tersebut akan terlepas ke atmosfer sebagai gas karbondioksida atau gas rumah kaca yang lain. Diperkirakan setiap tahun sebanyak 1-2 Milyar ton karbon dilepaskan ke atmosfer akibat deforestasi di kawasan tropis selama 20 tahun terakhir. Hal ini menjadikan deforestasi dan degradasi hutan sebagai sumber emisi terbesar gas rumah kaca pada sebagian besar negara tropis. Sebagai contoh, deforestasi di Afrika telah mendekati 70% total emisi gas rumah kaca dari semua sektor (ITTO 2011).

Selain itu, deforestasi juga menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekosistem daratan pada skala bentang alam (lanskap) (Fitzsimmons 2001; Lira et al. 2012), dinamika nutrisi tanah hutan (Ellingson et al. 2000), struktur tegakan (Echeverria et al. 2012), kepadatan karbon (Fitzsimmons et al. 2001), hingga struktur genetik suatu jenis (Kangas 1990; Sebbenn et al. 2008). Hal ini menempatkan deforestasi sebagai bentuk gangguan yang paling mengancam kelestarian hutan dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini (Myers 1996; WCFSD 1999).

Pengurangan luas hutan akibat deforestasi dan bencana alam di muka bumi selama kurun waktu 1990-2000 adalah 14.2 juta ha/tahun, dan 15.2 juta ha/tahun untuk periode 2000 hingga 2005. Adapun laju afforestasi dan perluasan hutan alam selama periode 1990 hingga 2000 adalah 10,1 juta ha/tahun dan 8,8 juta ha/tahun untuk periode 2000-2005. Dengan demikan total bersih tutupan hutan yang hilang di muka bumi selama 15 tahun (1990-2005) adalah sebesar 72.9 juta hektar dengan rata-rata laju kehilangan hutan 4,9 juta ha/tahun (FAO 2010).

Selanjutnya berdasarkan hasil survey Forest Watch Indonesia (2011), dapat diketahui bahwa dalam periode 2000-2009, hutan Indonesia mengalami deforestasi sebanyak 15.16 juta hektar. Pulau Sumatera menjadi penyumbang kedua deforestasi setelah Kalimantan, yakni sebesar 3.71 juta hektar. Laju


(6)

deforestasi nasional pada kurun waktu tersebut adalah 1.51 juta ha/tahun. Adapun laju deforestasi untuk pulau Sumatera sebesar 412 ribu ha/tahun. Laju deforestasi untuk Sumatera Utara antara tahun 2006-2009 adalah 44099.6 ha/tahun (Kemenhut 2010).

Upaya pelestarian sisa sumberdaya hutan pun harus dapat dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan terpadu sehingga mampu memenuhi berbagai kebutuhan hajat hidup manusia yang bersumber dari hutan. Upaya pelestarian sisa sumberdaya hutan selain dilakukan untuk mempertahankan keberadaan tegakan pohon, juga untuk mempertahankan fungsi sumberdaya hutan secara optimal dan berkesinambungan. Perhatian terhadap kelestarian keberadaan dan fungsi sumberdaya hutan inilah yang mendorong banyak pihak memberikan peluang metode dan pendanaan untuk kegiatan pelestarian tersebut. Skema Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation + (REDD+) merupakan salah satu peluang yang ditawarkan oleh negara maju untuk kegiatan pelestarian sumberdaya hutan yang merupakan upaya mitigasi untuk mengurangi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.

Skema REDD+ ini merupakan salah satu hasil dari pertemuan para pihak

(Conference of the Parties atau COP) ke 16 yang diselenggarakan oleh United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Cancun, Mexico pada tahun 2010. Skema REDD+ memberikan peluang bagi negara-negara pemilik hutan tropis untuk mendapatkan insentif pendanaan sebagai bentuk kompensasi atas upayanya melakukan mitigasi perubahan iklim melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan serapan biomassa karbon melalui kegiatan konservasi (therole of conservation), pengelolaan hutan secara lestari (sustainable management of forest), dan peningkatan stok karbon di hutan negara berkembang (enhancement of forest carbon stocks in developing countries) (FCCC 2011). Melalui skema REDD+ diharapkan stok karbon yang terkandung di dalam hutan tropis dunia dapat tetap terjaga dengan baik sehingga emisi karbon akibat adanya deforestasi dapat berkurang.

Bagi Indonesia, kesepakatan internasional para pihak tentang REDD+ tersebut harus dapat dipahami dan dioptimalkan dengan tepat. Pemerintah


(7)

Indonesia tidak boleh melihat skema REDD+ secara pragmatis saja yakni sebagai skema untuk mendapatkan kompensasi pendanaan dari negara maju atas partisipasi negara didalam kegiatan yang tercakup dalam REDD+. Lebih dari itu, secara substansional, pemerintah harus dapat melihat skema REDD+ sebagai salah satu bentuk metode keilmuan untuk pelestarian sisa sumberdaya hutan yang masih ada di negeri ini sehingga sumberdaya hutan tersebut mampu menjalankan fungsinya secara optimal dan berkesinambungan. Dengan demikian keterlibatan Indonesia di dalam melestarikan sisa sumberdaya hutan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan adalah keterlibatan secara aktif, profesional, dan bermartabat. Melalui mekanisme REDD+ tersebut, diharapkan sisa sumberdaya hutan yang masih ada di muka bumi mampu menjalankan fungsi konservasi secara menyeluruh, baik sebagai areal konservasi keanekaragaman hayati maupun sebagai areal konservasi biomassa karbon.

Salah satu sisa sumberdaya hutan yang memiliki potensi sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi biomassa karbon adalah kawasan hutan lindung Dolok Tusam Timur dan Dolok Tusam Barat di Tapanuli Utara - Provinsi Sumatera Utara. Keberadaan P. merkusii strain Tapanuli yang merupakan jenis pohon daun jarum asli Tapanuli, menjadikan kawasan hutan lindung Dolok Tusam Timur dan Dolok Tusam Barat sebagai kawasan yang bernilai konservasi tinggi. Adapun kondisi tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli yang berdimensi besar (diameter mencapai > 120 cm, dan tinggi mencapai 40 m), menjadikan kawasan hutan lindung Dolok Tusam Timur dan Dolok Tusam Barat sebagai kawasan hutan yang memiliki potensi tinggi sebagai kawasan konservasi biomassa karbon. Masyarakat mengenal P. merkusii strain Tapanuli dengan sebutan Tusam Tapanuli dan menamai kawasan hutan lindung tersebut dengan sebutan Dolok Tusam (Dolok dalam bahasa Batak artinya gunung, Tusam = Pinus).

Ketersediaan data yang aktual dan akurat merupakan salah satu faktor penting agar upaya pelestarian P. merkusii strain Tapanuli dapat dilaksanakan secara optimal. Seiring dengan munculnya peluang mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim global melalui pelestarian sumberdaya hutan maka data yang perlu disediakan tersebut sedikitnya meliputi tiga aspek yakni silvikultur, genetik,


(8)

dan biomassa karbon. Ketiga aspek inilah yang di dalam disertasi ini akan diulas lebih mendalam.

Aspek silvikultur meliputi tutupan lahan, sifat kimia tanah, dan struktur tegakan. Aspek genetik mencakup struktur populasi dan keragaman genetik. Adapun aspek biomassa karbon menganalisis kandungan biomassa karbon berdasarkan persamaan allometrik yang dibentuk melalui metode destructive sampling. Melalui pembahasan ketiga aspek ini maka karakteristik tegakan alam

P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dapat tergambarkan dengan jelas, aktual, dan akurat.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis karakteristik tutupan lahan, sifat kimia tanah, dan struktur tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli

– Sumatera Utara.

2. Menganalisis struktur populasi dan keragaman genetik tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan menggunakan penanda molekuler mikrosatelit.

3. Menganalisis kandungan biomassa karbon tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan menggunakan persamaan allometrik yang disusun berdasarkan metode

destructive sampling.

Untuk mencapai ketiga tujuan di atas maka ada 3 sub-topik penelitian yang dilakukan sebagai berikut:

1. Analisis perubahan tutupan lahan, sifat kimiawi tanah, dan struktur tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara.

2. Analisis struktur populasi dan keragaman genetik tegakan alam P. merkusii

strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan menggunakan penanda molekuler mikrosatelit.

3. Analisis kandungan biomassa karbon tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan


(9)

menggunakan persamaan allometrik yang disusun berdasarkan metode

destructive sampling.

Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan data-data dasar (database) tentang struktur tegakan P. merkusii

strain Tapanuli disertai kondisi biofisik dan kimiawi tanah, perubahan tutupan lahan serta proses regenerasi alamiah merupakan informasi penting yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pelestarian P. merkusii strain Tapanuli.

2. Status keragaman genetik dan struktur populasi alam P. merkusii strain Tapanuli merupakan informasi penting yang diperlukan untuk kegiatan pemuliaan dan pelestarian P. merkusii strain Tapanuli.

3. Hasil pendugaan kandungan karbon serta persamaan allometrik yang dapat digunakan sebagai salah satu metode praktis untuk pendugaan kandungan biomassa karbon P. merkusii strain Tapanuli dalam dalam rangka persiapan pelaksanaan program Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI) di kawasan hutan lindung dan konservasi.

Perumusan masalah

Merujuk pada hasil-hasil penelitian terdahulu, dapat diketahui bahwa populasi alam P. merkusii strain Tapanuli merupakan salah satu strain P. merkusii

yang saat ini sedang terancam kelestariannya. Rendahnya nilai Heterosigositas harapan (He = 0,206) pada populasi alam P. merkusii strain Tapanuli secara tidak langsung menunjukkan adanya gangguan terhadap populasi alam P. merkusii

strain Tapanuli sehingga penyebaran dan luas daerah sebarannya semakin menyempit. Hal ini menjadikan populasi alam P. merkusii strain Tapanuli tersebut diisi oleh individu-individu pohon yang secara genetik seragam (Munawar 2002; Siregar & Hattemer 1999).

Selain dari indikator genetik, peringatan bahwa populasi alam P. merkusii

strain Tapanuli saat ini sedang terancam kelestariannya juga muncul dari The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang memasukkan Pinus merkusii Junghn et de Vriese ke dalam kategori


(10)

Vulnerable dengan kode B1+2cde ver 2.3 dalam Red List of Threatened Species

tahun 2012. Menurut IUCN (2012), kategori ini menunjukkan bahwa perkiraan luas areal yang ditumbuhi oleh P. merkusii saat ini tidak lebih dari 2000 Km2 atau jangkauan areal ditemukannya P. merkusii diperkirakan tidak lebih dari 20.000 Km2. Kondisi ini terjadi antara lain karena: 1). Kondisi habitat yang terfragmentasi, 2). Terjadinya penurunan kualitas tegakan secara terus menerus, yang antara lain disebabkan oleh menurunnya kualitas tempat tumbuh, menurunnya jumlah lokasi atau sub populasi, dan menurunnya jumlah pohon induk. Sehubungan dengan hal ini, maka upaya pelestarian populasi alam P. merkusii strain Tapanuli merupakan agenda mendesak yang perlu dilakukan dan didukung banyak pihak.

Dalam upaya pelestarian populasi alam P. merkusii strain Tapanuli tersebut maka ada tiga hal menarik yang sekaligus menjadi pertanyaan dalam rumusan masalah penelitian ini, yakni:

a. Ekosistem daratan Tapanuli hingga sekarang terus mengalami perubahan bentuk bentang alam akibat adanya perubahan tutupan lahan sebagai dampak dari perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia. Selain menyebabkan perubahan tutupan hutan, perubahan tutupan lahan yang terjadi pada ekosistem daratan Tapanuli juga akan mempengaruhi sifat kimia tanah dan struktur tegakan populasi alam P. merkusii strain Tapanuli. Atas dasar inilah maka perlu diketahui bagaimanakah karakter tutupan lahan, sifat kimia tanah, dan struktur tegakan alam P. merkusii strain tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara.

b. Saat ini ada tiga model penyebaran populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang dapat dijumpai di lapangan. Pertama, populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh dan menyebar di dalam kawasan hutan lindung Dolok Tusam dengan kondisi tutupan lahan berupa hutan. Kedua, populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh dan menyebar di areal perladangan dengan kondisi tutupan lahan terbuka. Ketiga, populasi alam P. merkusii

strain Tapanuli yang tumbuh bersamaan dengan jenis pohon daun lebar dengan kondisi tutupan lahan tertutup. Bagaimanakah keragaman genetik dan


(11)

pola kekerabatan genetik diantara lima populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tersebar di ekosistem daratan Tapanuli ?

c. Populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh di dalam hutan lindung Dolok Tusam Timur dan Dolok Tusam Barat terdiri atas tegakan alam dengan diameter besar sehingga kawasan hutan lindung tersebut memiliki potensi besar sebagai penyimpan biomassa karbon. Bagaimanakah model persamaan allometrik yang dapat digunakan untuk menduga kandungan biomassa karbon pada tegakan alam P. merkusii strain Tapanuli? Dan berapakah simpanan biomassa karbon pada lima lokasi yang menjadi sebaran alam P. merkusii strain Tapanuli di Tapanuli – Sumatera Utara?

Hipotesis

Ada 3 hipotesis yang akan dijawab melalui penelitian ini, yakni:

1. Perubahan tutupan lahan pada ekosistem daratan Tapanuli akan menyebabkan

terjadinya keragaman sifat kimia tanah dan struktur tegakan alam P. merkusii

strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara.

2. Populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tumbuh pada tapak tumbuh dengan kondisi tutupan lahan yang sama akan memiliki struktur genetik yang sama sehingga berada pada kelompok (cluster) yang sama.

3. Populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang secara genetik berada dalam satu kelompok yang sama akan memiliki kandungan biomassa karbon yang relatif sama juga.

Nilai Kebaruan Ada 3 nilai kebaruan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi sifat kimia tanah dan

karakter struktur tegakan P. merkusii strain Tapanuli pada sebaran alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara

2. Diketahuinya nilai keragaman genetik dan pola pengelompokan diantara

lima populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang tersebar di ekosistem daratan Tapanuli – Sumatera Utara


(12)

3. Terbentuknya model persamaan allometrik yang akurat dan praktis untuk pendugaan stok biomassa karbon pada populasi alami P. merkusii strain Tapanuli yang tersebar di Tapanuli – Sumatera Utara.

Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Kerangka penelitian “Analisis Perubahan Tutupan Lahan, Struktur Genetik dan Kandungan Biomassa Karbon Pinus merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli pada Sebaran Alaminya di Sumatera Utara”.

Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation +

Perubahan Tutupan Lahan ekosistem daratan yang menjadi sebaran alam Pinus merkusii strain Tapanuli di Tapanuli - Sumut

Sustainable Forest Management

Tutupan hutan

Sifat kimia tanah

Struktur tegakan

Analisis model persamaan allometrik yang disusun dengan metode destructive sampling

Cadangan biomassa karbon pada populasi alami P.

merkusii strain Tapanuli

Database untuk konservasi

P. merkusii strain Tapanuli Aspek

Silvikultur

Aspek Genetik

Aspek Biomassa Karbon

Struktur populasi

Analisis keragaman genetik dengan menggunakan penanda molekuler mikrosatellite


(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Pengelolaan Hutan Lestari

Permasalahan yang muncul di sekitar pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya sumberdaya hutan, akan senantiasa bergulir dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Macam dan kualitas permasalahan ini akan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan manusia terhadap manfaat sumberdaya hutan sebagai akibat dari terus meningkatnya jumlah penduduk, kualitas hidup manusia serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat (Suhendang et al. 1996). Ketika manusia di muka bumi ini menjadikan kayu sebagai kebutuhan utama yang dapat terpenuhi dari hutan maka ketika itu pulalah kayu menjadi fokus utama tentang kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan. Namun pada saat manusia di muka bumi ini sudah bisa merasakan bahwa oksigen, air, dan jasa lingkungan yang membuat hidup mereka nyaman tersebut harus dipenuhi dari hutan maka pada saat itu pula fokus kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan pun berkembang. Selain mendapat tuntutan untuk memenuhi kebutuhan kayu, sumberdaya hutan juga dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan non kayu untuk kenyamanan kehidupan manusia.

Pergeseran paradigma tentang pengelolaan hutan lestari tersebut juga dirasakan oleh International Tropical Timber Organization (ITTO) melalui beberapa kali revisinya tentang konsep Sustainable Forest Management (SFM). Pada awalnya di tahun 1990, ITTO mencanangkan konsep SFM yang berbasiskan kelestarian hasil kayu (Sustained yield and single-use management for timber). Namun dalam perkembangannya, ITTO menyempurnakan konsep SFM dengan memasukkan beberapa aspek selain kayu, antara lain: petunjuk dan pembentukan manajemen hutan tanaman tropis (ITTO, 1993), petunjuk tentang konservasi keanekaragaman hayati (ITTO 1993), petunjuk tentang pengelolaan api di hutan tropika (ITTO 1997), petunjuk untuk restorasi, pengelolaan, dan rehabilitasi untuk hutan tropika sekunder dan terdegradasi (ITTO 2002), petunjuk untuk konservasi dan keberlanjutan pemakaian keanekaragaman hayati di hutan produksi kayu tropis (ITTO 2009). Melalui serangkaian revisi tersebut pada tahun 2011, ITTO


(14)

mendefinisikan SFM secara umum sebagai suatu cara menggunakan sistem biologis yang tidak merugikan kapasitas mereka untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Keberlanjutan telah menjadi prioritas politik secara global, dan untuk hutan, pengelolaan hutan lestari telah berkembang menjadi alat penting.

Sekilas Tentang REDD+

Sejak diputuskan pertama kali sebagai hasil resmi dari Converence of Parties (COP) ke 13 di Bali, istilah Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) kini semakin sering didiskusikan oleh berbagai pihak dari beragam latar belakang pengetahuan. Hasil kesepakatan internasional itu pun kini juga menjadi pembicaraan tingkat nasional dan lokal. Bahkan cakupan pembahasannya bertambah sehingga istilah REDD kini berubah menjadi

Reducing emissions from deforestation and forest degradation, and enhancing forest carbon stocks in developing countries (REDD+) (Angelsen 2009).

Hasil rumusan para pihak di Bali mengatakan bahwa baik deforestasi maupun degradasi hutan merupakan sumber utama emisi dan bahwa dalam beberapa kasus degradasi hutan (misalnya tanah lahan gambut) dapat menimbulkan tingkat emisi yang tinggi. Disepakati bahwa diskusi dan kegiatan metodologi dalam Konvensi dengan demikian harus menangani kedua sumber itu bersama-sama, meskipun para pihak terus menyatakan besarnya kesulitan untuk

mendefinisikan ‘degradasi’ hutan.’ Isu-isu ilmu pengetahuan dan hukum dengan definisi yang tepat dan dapat dipercaya mengenai hutan dan degradasi hutan juga merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat adat dan organisasi organisasi sosial. Secara khusus, definisi degradasi hutan dapat memberikan implikasi besar mengenai bagaimana kebijakan REDD berdampak pada hak dan kesejahteraan masyarakat adat dan komunitas lokal, dan bagaimana pemanfaatan hutan tradisional ditangani sesuai dengan sistem pemantauan dan verifikasi REDD nasional.

Perluasan cakupan REDD menjadi REDD+ diputuskan dalam pertemuan SBSTA bulan Juni tahun 2009 di Bonn – Jerman. Keputusan tersebut ditetapkan dalam UNFCCC Decision 2/CP.13-11 yang antara lain berbunyi: .. policy approaches and positive incentives on issues relating to reducing emissions from


(15)

deforestation and forest degradation in developing countries; and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries. Sejak keputusan ini maka REDD+ menjadi istilah payung untuk aksi lokal, nasional maupun global dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara berkembang. Simbol plus menandakan peningkatan cadangan karbon hutan, juga merujuk pada rehabilitasi dan regenerasi hutan, pengurangan degradasi, pengurangan emisi, peningkatan serapan karbon, pergerakan karbon, atau hanya sebatas penyerapan karbon dari atmosfer dan menyimpan di dalam pool karbon hutan (Angelsen 2009).

Tinjauan Umum tentang Pinus merkusii

Pinus merkusii merupakan jenis Pinus tropika alami dari Asia Tenggara,

meliputi Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Indonesia.

P. merkusii adalah satu-satunya jenis pinus yang tumbuh sampai di sebelah selatan garis khatulistiwa hingga 2o6’ LS (Cooling 1968; Soekotjo 1978). Sebaran alami P. merkusii di Indonesia berada pada 3 wilayah yang berbeda di Sumatera, yaitu Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Iklim di ketiga tempat ini termasuk tipe B menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson, dengan curah hujan 1.200- 2.500 mm/tahun. Suhu udara maksimum bulanan 20-28oC, sedangkan suhu udara minimum 15-28oC (Fandeli 1977).

Berdasarkan taksonominya, klasifikasi P. merkusii sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub division : Gymnospermae

Kelas : Coniferae

Ordo : Pinales

Famili : Pinaceae

Genus : Pinus

Species : Pinus merkusii Jungh et de Vriese

Menurut Dallimore dan Jackson (1948), P. merkusii Jungh et de Vriese sama dengan P. finlaysoniana Wallich, P. latteri Mason, P. merkiana Gordon dan P.


(16)

sumatrana Jungh. Cooling (1968) mengatakan bahwa tusam mempunyai toleransi yang luas terhadap iklim dan dapat tumbuh pada daerah-daerah yang mempunyai masa 6 bulan kering sampai ke daerah-daerah basah. Jenis pinus ini ditemukan dari dekat permukaan laut sampai kira-kira 1000 meter. Di Sumatera, tegakan alam bisa juga tumbuh antara 500 sampai 2000 meter dan mungkin lebih tinggi. Iklim dan tanah sangat bervariasi menurut lokasi. Di Sumatera, tanah pada umumnya berasal dari bahan volkanik dan iklimnya basah dengan musim kering yang pendek dan curah hujan 1500 sampai 2500 mm (Lamb & Cooling 1967).

Pohon P. merkusii berbatang utama tunggal (monopodial), yaitu terdiri atas batang utama yang tinggi, lurus, dan meruncing ke atas. Cabang sekundernya kecil dan banyak sekali cabang yang tersusun melingkar (verticillate) yang nampak memencar luas. Batangnya tidak mempunyai saluran xylem (xylem), dan sebagai gantinya adalah trakeida (tracheid). Kayunya mempunyai saluran getah (Suhaendi 1988).

Ekologi Lanskap Habitat Alami P. merkusii strain Tapanuli

Ekologi lanskap merupakan suatu cabang ilmu yang relatif baru dan memiliki peranan penting sebagai dasar untuk pengelolaan suatu ekosistem secara optimal dan berkesinambungan. Arifin et al. (2009) menyatakan bahwa secara garis besar ekologi lanskap mempelajari dasar-dasar tentang struktur, fungsi, dan perubahan-perubahan serta aplikasinya, yaitu penggunaan dasar-dasar tersebut dalam formulasi dan pemecahan masalah-masalah. Struktur merupakan salah satu aspek ekologi yang mengkaji tentang hubungan spasial antara ekosistem-ekosistem yang berbeda atau kehadiran elemen-elemen lebih khusus, distribusi energi, material, dan spesies dalam hubungannya terhadap ukuran, bentuk, jumlah, jenis dan konfigurasi ekosistem. Adapun fungsi menunjukkan interaksi antara elemen spasial, yaitu aliran energi, material dan spesies dalam komponen ekosistem. Proses interaksi yang terjadi dari waktu ke waktu menyebabkan kondisi struktur dan fungsi mosaik ekologis di dalam suatu lanskap atau ekosistem mengalami perubahan-perubahan.

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kini berbagai ilmuwan lintas kepakaran mulai memasukkan ekologi lanskap sebagai salah satu perangkat penting untuk pengelolaan sumberdaya hayati yang berkelanjutan di muka bumi


(17)

ini. Terkait dengan hal ini, berbagai data ekologis pada suatu ekosistem merupakan informasi penting untuk pengelolaan populasi alami suatu jenis tumbuhan atau satwa secara optimal dan berkelanjutan (Arifin & Nakagoshi 2011; Saroinsong et al. 2007).

Populasi alami P. merkusii strain Tapanuli pertama kali ditemukan oleh Dr Junghuhn pada tahun 1841 di hutan alam Dolok Suanon – Tapanuli, Sumatera Utara. Sejak saat itu pemerintah kolonial Belanda segera mengukuhkan Suaka Alam Dolok Saut seluas 39 Ha di Tapanuli. Hutan alam Tusam di Tapanuli tersebar secara berkelompok dalam luasan yang tidak layak diusahakan serta bercampur dengan hutan alam lainnya di gunung-gunung. Bahkan di Dolok Tusam, jenis tusam tersebut banyak dicampur dengan kemenyan. Penduduk di sekitar hutan menanami areal hutan tusam dengan kemenyan tanpa merusak pohon yang ada (Harahap 2000a).

Dolok Tusam yang merupakan salah satu ekosistem alami P. merkusii strain Tapanuli terletak di Kabupaten Tapanuli Utara – Provinsi Sumatera Utara. Dolok Tusam merupakan areal yang akan ditunjuk menjadi cagar alam berada di dekat Kampung Lobu Gala, dengan ketinggian 1200 – 1300 mdpl. Tanahnya termasuk satuan dari kompleks podsolik merah kuning, latosol, dan litosol, dengan bahan induk batuan beku endapan dan metamorf, termasuk fisiografi pegunungan patahan. Geologi termasuk efusiva liparit dan permo-karbon (Kemenhut 1984 b). Curah hujan sekitar 2088 mm per tahun dan digolongkan pada tipe curah hujan B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson di Siborong-borong (Harahap 2000b).

Pinus merkusii strain Tapanuli memiliki sifat morfologi yang relatif lebih bagus dibanding strain Aceh, antara lain batangnya lurus, percabangan ramping, bebas cabangnya tinggi, dan getahnya banyak. Karakteristik inilah yang menjadikan P. merkusii strain Tapanuli diminati oleh banyak pihak sehingga hal ini memicu dan memacu peningkatan permintaan kayu tusam Tapanuli dari waktu ke waktu. Hasil pengamatan empiris di pos kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20-25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Medan (Harahap & Aswandi 2008). Fenomena


(18)

pembalakan ini telah mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi lanskap ekosistem alami P. merkusii strain Tapanuli. Karenanya, perlu segera diantisipasi agar kondisi lanskap ekologinya mengalami perbaikan sehingga dinamika pertumbuhan tegakan hutannya (khususnya P. merkusii strain Tapanuli) dapat kembali tumbuh dengan sehat dan normal.

Perkembangan Penelitian tentang Keragaman Genetika Pinus merkusii

Kegiatan penelitian tentang keragaman genetik P. merkusii di Indonesia sudah sejak lama dilakukan oleh Suhaendi (1988) yang memulai penelitian keragaman genetik secara konvensional. Di dalam penelitiannya, Suhaendi (1988) melakukan pendugaan parameter-parameter genetika-ekologi dari beberapa sifat kuantitatif dalam hutan tanaman P. merkusii Jungh et de Vriese strain Tapanuli dan strain Aceh. Hasil penelitian Suhaendi (1988) menunjukkan bahwa dari 12 sifat pohon yang diamati, diketahui ada 7 sifat pohon dalam setiap strain yang dikendalikan secara kuat oleh faktor genetik, yakni: diameter batang, bentuk batang, tebal kulit batang, produksi getah, berat jenis, diameter serat dan lebar lumen sel serat kayu. Pengendalian genetik yang kuat juga terdapat pada tinggi batang bebas cabang dalam strain Tapanuli, dan pada tinggi pohon total serta kadar selulosa kayu dalam strain Aceh.

Penelitian dengan topik yang sama juga dilakukan oleh Harahap (2000b), yang melakukan penelitian tentang keragaman sifat dan data ekologi populasi alam P. merkusii di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada lokasi tempat tumbuh yang berbeda terdapat perbedaan sangat nyata pada beberapa sifat pohon berikut: panjang serat, tebal dinding serat, panjang daun, berat kering daun, panjang kerucut, dan tebal kulit. Perbedaan lokasi memberikan pengaruh nyata terhadap sifat berat jenis kayu. Adapun untuk sifat diameter lumen, diameter serat, jumlah biji, dan diameter kerucut, tidak berbeda nyata pada lokasi tempat tumbuh yang berbeda.

Seiring dengan kemajuan teknologi biomolekuler, penelitian keragaman genetik dengan penanda morfologi seperti yang dilakukan Suhaendi (1988) dan Harahap (2000b) mulai beralih ke penanda biokimia. Salah satunya menggunakan isozim. Analisis isozim untuk mengetahui besarnya keragaman genetik Tusam telah dilakukan oleh Kartikawati (1996 dan 1998) dan Indrioko (1996). Hasil


(19)

penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 8 sistem enzim yang digunakan ternyata hanya 3 sistem enzim dengan 7 (tujuh) loci yang polimorfik untuk tusam yaitu Esterase (EST) dengan Est-1, Est-2, Est-3 loci; Glutamate Oxaloacetate Transaminase (GOT) dengan Got-1, Got-2 loci; dan Shikimate dehydrogenase

(ShDH) dengan Shd-1 dan Shd-2 loci (Munawar 2002).

Obyek penelitian Kartikawati (1996) dan Indrioko (1996) tersebut adalah hutan tanaman P. merkusii yang ada di Jawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Tusam yang sudah berkembang luas di Jawa ternyata hanya berasal dari sebagian provenans yang ada di Aceh. Hasil penelitian Harahap (2000b) tentang keragaman sifat dan data ekologi populasi alami P. merkusii serta hasil uji asal benih P. merkusii di Sumatera Utara lebih mempertegas lagi bahwa tusam yang telah berkembang luas selama ini adalah berasal dari populasi Aceh. Adapun tusam yang berasal dari populasi Tapanuli dan Kerinci belum dibudidayakan dalam skala luas, antara lain disebabkan oleh keterbatasan ketersediaan benih.

Kartikawati dan Na’im (1999) kembali melakukan uji keragaman genetik

dengan menggunakan penanda isozim. Di dalam penelitiannya mereka menguji keragaman genetik dari tiga populasi P. merkusii yang berbeda yakni populasi alami P. merkusii dari hutan alam di Aceh, populasi P. merkusii dari hutan tanaman di Jawa, ( populasi P. merkusii dari kebun benih di Jember, Jawa Timur) . Ada 3 (tiga) sistem enzim yang digunakan dalam penelitian mereka yakni

Esterase (EST), Glutamate Oxaloacetate Transaminase (GOT) dan Shikimate Dehydrogenase (ShDH). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi alami Aceh memiliki keragaman genetik tertinggi (nilai He=0.304) dibanding populasi hutan tanaman (nilai He = 0.276) dan kebun benih (nilai He = 0.266).

Analisis keragaman genetik P. merkusii dengan menggunakan penanda genetik isozym kembali dilakukan oleh Siregar dan Hattemer (1999). Penelitian ini menguji keragaman genetik dari dua populasi alam P. merkusii di Sumatera dan satu populasi hutan tanaman di Jawa. Sampel yang diuji keragaman genetiknya berupa biji. Ada delapan lokus isoenzym yang digunakan untuk penelitian ini yakni: GOT-B, GOT-C, GOT-D, PGM-A, PGM-B, SKDH-A, NDH-A, dam FHD-A. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa nilai beberapa parameter genetik antara populasi alami P. merkusii Aceh dengan hutan


(20)

tanaman di Jawa relatif sama. Namun demikian, nilai beberapa parameter genetik hutan tanaman P. merkusii di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding populasi alaminya di Aceh. Selain itu, hasil penelitian ini juga menujukkan bahwa nilai keragaman genetik P. merkusii yang ada di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan P. merkusii yang ada di Thailand (Szmidt et al. 1996).

Penelitian tentang analisis keragaman genetik dengan penanda genetik isozim juga dilakukan oleh Munawar (2002). Di dalam penelitiannya, Munawar (2002) melakukan studi keragaman genetik Tusam (P. merkusii Jungh. et de Vriese) di hutan alam Tapanuli dan Kerinci. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa provenansi Kerinci memiliki nilai Heterozigositas harapan (He) paling kecil (0.042) dibanding populasi alam Tapanuli (0.206), Aceh (0.304) dan Jawa (0.276). Keragaman genetik populasi alam Tapanuli lebih rendah dibanding poopulasi Aceh dan Jawa. Fenomena ini terjadi antara lain karena populasi alami P. merkusii di Kerinci sudah terpecah-pecah berupa kumpulan individu-individu dalam jumlah dan luasan yang sempit sehingga terjadi seleksi mundur (dysgenic selection) dan telah banyak terjadi kawin kerabat (inbreeding) (Munawar 2002).

Penggunaan penanda genetik mikrosatelit untuk menganalisis keragaman genetik P. merkusii di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Nurtjahjaningsih et al. (2005). Di dalam penelitiannya, Nurtjahjaningsih et al. (2005) mencoba mengembangkan penanda genetik mikrosatelit untuk mendapatkan informasi genetik dari kebun benih P. merkusii yang ada di Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 10 primer yang dikembangkan dari P. merkusii, 5 diantaranya bersifat kodominan dan polimorfik. Jumlah alel per lokus berkisar antara 3 sampai 6 dan nilai heterosigositas harapan berkisar antara 0.389 sampai 0.728. Kelima penanda mikrosatelite tersebut dapat digunakan untuk analisis genetik populasi dan pola perkawinan.

Tinjauan Tentang Mikrosatelit

Mikrosatelit atau yang juga dikenal dengan Short Tandem Repeats (STRs) atau Variable Number of Tandem Repeats (VNTR) merupakan untaian basa nukleotida 1-6 pasang basa yang berulang dan tersebar di dalam genom, baik


(21)

genom inti maupun genom organel. Tipe pengulangan basa dari mono-, di-, tri-, tetra-, dan penta-nukleotida. Mikrosatelit genom organel terdiri mikrosatelit kloroplas (cpSSRs) dan mikrosatelit mitokondrion (mtSSRs) dengan tipe mononukleotida. Mikrosatelit yang berasal dari genom organel ini banyak digunakan untuk studi pewarisan karena sifat dari genom organel yang hanya diturunkan secara uniparental. Mikrosatelit telah banyak dipergunakan untuk meneliti berbagai tanaman dan ada sekitar 8000 konten penulisan jurnal tentang mikrosatelit (Zane et al. 2002). Mikrosatelit memiliki keunggulan dalam berbagai studi genetika karena pola pewarisan mengikuti hukum Mendel, tingkatan polimorfik tinggi, bersifat kodominan, keakuratan yang tinggi dan berlimpah di genom. Marka ini banyak digunakan untuk studi genetik populasi, ekologi, pemuliaan tanaman dan aliran gen (gene flow).

Penanda mikrosatelit dipilih karena merupakan penanda kodominan yang mampu mengidentifikasi genotipe homozigot dan heterozigot dalam populasi, memiliki reproducibility yang tinggi, tingkat polimorfisme tinggi, multialelik, dan terdistribusi merata dalam genom (Karhu 2001 dan Weising et al. 2005 ). Pada pinus lain di daerah temperate penggunaan mikrosatelit telah umum digunakan, namun pada P.merkusii baru pada tahun 2005 dikembangkan (Nurtjahjaningsih et al.2005). Hasil penelitian menemukan sepuluh lokus yang mampu diisolasi dimana lima lokus bersifat polimorfik dan kodominan, dua lokus bersifat monomorfik, dua lokus bersifat multiband dan satu lokus tidak mampu mengamplifikasi. Selanjutnya Nurtjahjaningsih et al. (2005) merekomendasikan penggunaan lima primer (pm01, pm05,pm07, pm09a dan pm12) untuk deteksi mikrosatelit pada P. merkusii.

Pendugaan Kandungan Biomassa Karbon Pinus merkusii strain Tapanuli

Berbagai bentuk tekanan terhadap ekosistem hutan yang menjadi habitat alami populasi P. merkusii strain Tapanuli selain berpengaruh terhadap struktur genetik jenis P. merkusii juga berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan tegakannya. Biomassa merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui besarnya kondisi pertumbuhan suatu jenis tumbuhan di dalam suatu ekosistem. Hal ini mengacu pada IPCC (2003) yang mengartikan biomassa


(22)

sebagai total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu. Pengertian ini diperkuat oleh Brown (1997), yang mendefinisikan biomassa sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas. Mengingat sebagian besar komponen biomassa tumbuhan terdiri atas karbon dan seiring dengan menguatnya upaya mitigasi perubahan iklim global maka istilah biomassa karbon kini menjadi lebih populer dibanding istilah biomassa.

Pendugaan biomassa tegakan dan pohon telah diakui sebagai salah satu tahapan penting dalam rangka penilaian stok karbon hutan sesuai dengan Protokol Kyoto untuk pengurangan gas rumah kaca (Brown 2002; Korner 2005; Pili et al, 2006). Salah satu pendekatan untuk mengkuantifikasi simpanan biomassa karbon adalah melalui penelaahan terhadap perubahan-perubahan yang berasal dari plot inventarisasi hutan jangka panjang. Model regresi digunakan untuk mengkonversi data inventarisasi tersebut menjadi nilai dugaan biomassa bagian atas (above ground biomass) (Chave et al. 2005). Aplikasi persamaan allometrik yang dikombinasikan dengan data inventarisasi hutan merupakan suatu pendekatan yang cukup efektif untuk menghitung besarnya biomassa hutan dan simpanan karbon hutan pada suatu skala regional (Xiang et al. 2011).

Pinus merkusii strain Tapanuli merupakan tusam yang memiliki morfologi dan beberapa sifat pohon lebih baik dibanding tusam Aceh yang selama ini telah banyak dibudidayakan. De Veer dan Govers (1953) ; Soerianegara dan Djamhuri (1979) diacu dalam Suhaendi (1988) dan Harahap (2000b) telah mencatat beberapa keunggulan sifat pohon tusam Tapanuli tersebut, yakni: bentuk batang lurus dan ramping, daun tebal dan berwarna hijau tua dan mengkilap, sistem percabangan: cabang-cabang lebih kecil, membentuk sudut lancip terhadap batang; ruas batang lebih panjang dan jaraknya lebih teratur, kulit batang tipis dan berwarna muda, beralur dangkal, umumnya licin; produksi getah lebih banyak. Beberapa keunggulan sifat pohon tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pertumbuhan P. merkusii strain Tapanuli lebih unggul dibanding pertumbuhan P. merkusii strain Aceh sehingga jumlah biomassa karbonnya pun lebih besar. Saat ini belum ada penelitian yang secara khusus melakukan penghitungan biomassa karbon P. merkusii strain Tapanuli, serta mendapatkan


(23)

persamaan allometrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk pendugaan kandungan biomassa karbonnya. Beberapa penelitian yang telah berhasil mendapatkan persamaan allometrik untuk pendugaan kandungan biomassa karbon dari P. merkusii dilakukan pada hutan tanaman di Jawa yang merupakan P. merkusii strain Aceh. Hasil penelitian Basuki et al. (2004) menunjukkan bahwa tegakan pinus umur 16 tahun dengan kerapatan 1200 pohon/ha dapat mengandung 126.8 C-organik/ha atau setara dengan penyerapan 464.9 ton CO2/ha. Persamaan

allometrik untuk pendugaan kandungan biomassa karbon P. merkusii telah dihasilkan Siregar (2007) di Jawa Barat yakni:

Y = 0.0936 X 2.4323 untuk biomasa Pinus merkusii di atas tanah Y = 0.0103 X 2.6036 untuk biomasa Pinus merkusii di bawah tanah Y = 0.1031X2.4587 untuk biomasa total Pinus merkusii

Inisial X menunjukkan diameter batang Pinus merkusii yang diukur pada ketinggian 1,3 meter (setinggi dada orang dewasa).

Ancaman Kelestarian Pinus merkusii

Pinus merkusii strain Tapanuli merupakan satu dari tiga strain P. merkusii

yang memiliki nilai ekonomi kayu relatif tinggi karena bentuk kayunya yang relatif lebih lurus, percabangan ramping, kulit batang tipis, dan getah lebih sedikit. Hal inilah yang menyebabkan jenis P. merkusii strain Tapanuli diburu oleh para penebang liar. Hasil pengamatan sepintas di pos kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20-25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Medan (Harahap & Aswandi 2008).

Selain ancaman dari kegiatan penebangan, kelestarian P. merkusii juga mendapat ancaman dari faktor alami, seperti serangan hama, penyakit, atau kebakaran. Di Indonesia tanaman ini diserang oleh beberapa hama diantaranya adalah Melionia basalis (Geometridae, Lepidoptera), Eumeta variagatus

(Psehidae, Lepidoptera), Dyorictria rubella (Pyralidae, Lepidoptera) dan juga

Coptotermes traviens (Husaeni 1996). Resiko terhadap munculnya serangan hama, penyakit, atau kebakaran tersebut semakin meningkat seiring dengan terjadinya fenomena perubahan iklim global. Munculnya jenis hama baru akibat pengaruh perubahan iklim global tersebut ditengarai kuat telah terjadi di wilayah


(24)

ekosistem hutan tropis, seperti hama kutu lilin yang menyerang tegakan hutan tanaman Pinus (P. merkusii) di Pulau Jawa (Rahmatsyah & Haneda 2007).

Permasalahan pelestarian Pinus merkusii

Sedikitnya ada 2 permasalahan pelestarian P. merkusii yang sering dijumpai di lapangan yakni keterbatasaan ketersediaan anakan alami di lapangan dan masih terbatasnya teknologi perbenihan P. merkusii strain Tapanuli. Permudaan alami P. merkusii strain Tapanuli sulit didapatkan pada tegakan yang tertutup. Akan tetapi permudaan alami banyak ditemui pada daerah yang terbuka seperti pada bekas tanah longsor (Yafid et al. 2005).

Sementara itu teknologi perbenihan P. merkusii strain Tapanuli dan Kerinci relatif belum berkembang dibandingkan P. merkusii strain Aceh yang telah diteliti hasil persilangan terkendali dan dibangun tegakan kebun benihnya (Harahap 2000c; Hendrati et al. 1997). Keterbatasan teknologi perbenihan tersebut kemungkinan besar terkait dengan adanya gejala ketidaksesuaian diri secara genetik (genetic self incompatibility akibat pengaruh dari pembentukan strobili jantan dan strobili betina pada waktu yang berbeda pada satu pohon yang sama (Burley 1976; Harahap & Mukti 1976).


(25)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama sembilan bulan (Agustus 2011 – Mei 2012). Penelitian ini dilaksanakan di lima lokasi yang menjadi sebaran populasi alam P. merkusii strain Tapanuli, seperti pada Tabel 1. Adapun posisi lokasi penelitian di dalam peta Sumatera Utara disajikan pada Gambar 2.

Tabel 1 Lokasi sebaran populasi alam P. merkusii strain Tapanuli

Sebaran Populasi Lokasi

Kawasan hutan lindung Dolok Tusam

Timur Kecamatan Garoga, Kabupaten Tapanuli Utara

Areal perladangan milik penduduk Desa Parinsoran, Kecamatan Garoga, Kabupaten. Tapanuli Utara

Kawasan hutan lindung Dolok Tusam Barat

Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara

Areal perladangan milik penduduk

Kampung Lobugala, Desa Pansurnatolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara

Hutan campuran di perbukitan Desa Tolang, Kecamatan Aek Bilah, Kabupaten Tapanuli Selatan

Gambar 2 Posisi lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan Garoga – Tapanuli Utara serta Kecamatan Aek Bilah – Kabupaten Tapanuli Selatan.


(26)

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kelima lokasi penelitian merupakan sebaran alam P. merkusii strain Tapanuli yang terletak di kawasan perbukitan dengan kondisi topografi berat dengan ketinggian tempat berkisar antara 800 – 1300 mdpl. Posisi geografis kelima lokasi yang diteliti berada diantara 99o07’00” – 99o27’00” Bujur Timur dan 1o47’00” – 2o07’00” Lintang Utara. Secara lebih terperinci informasi mengenai kondisi ekologis kelima lokasi sebaran alam P. merkusii strain Tapanuli yang diteliti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Posisi geografis, ketinggian tempat, dan kelerengan lima lokasi sebaran alam P. merkusii strain Tapanuli pada ekosistem daratan Tapanuli yang diteliti

Pada Tabel 2 dapat diketahui urutan lokasi sebaran alam P. merkusii

strain Tapanuli dari yang tertinggi hingga yang terendah sebagai berikut: Dolok Tusam Barat, Lobugala, Dolok Tusam Timur, Tolang, dan Parinsoran. Adapun berdasarkan kondisi topografinya, sebagian besar lokasi sebaran alam P. merkusii

strain Tapanuli berada pada lokasi dengan kelerengan agak curam hingga sangat curam. Hanya di Parinsoran dan Lobugala, populasi alam P. merkusii strain Tapanuli berada pada kelerangan landai hingga agak curam. Berdasarkan hitungan jarak datar yang diukur dari software Geographical Information System

(GIS) dapat diketahui jarak datar antar lokasi penelitian (Tabel 3). Tabel 3 Jarak antar lokasi penelitian

Lokasi Jarak datar (km)

Dolok Tusam timur Parinsoran Dolok Tusam Barat Lobugala Tolang Dolok Tusam timur *****

Parinsoran 2.3 *****

Dolok Tusam Barat 4.2 6.3 *****

Lobugala 5.1 7.3 2.3 *****

Tolang 20.5 20.9 17.5 19.7 *****

No. LOKASI Ketinggian

Lintang Utara Bujur Timur (mdpl) Satuan Klasifikasi

1. DOLOK TUSAM TIMUR 01o59'29,8" 099o15'10,0" 1096 25 - 45% atau lebih curam - sangat curam 2. PARINSORAN 02o00'41,2" 099o15'34,4" 1031 8-25% landai - agak curam 3. DOLOK TUSAM BARAT 01o57'16,2" 099o15'50,1" 1269 15 - 45% atau lebih agak curam - sangat curam 4. LOBUGALA 01o56'49,2" 099o14'39,4" 1175 8-25% landai - agak curam 5. TOLANG 01o54'30,3" 099o25'02,2" 1059 25 - 45% atau lebih curam - sangat curam

Kelerengan Koordinat geografis


(27)

Sub-topik Penelitian 1:

Analisis Perubahan Tutupan Lahan, Sifat Kimiawi Tanah, dan Struktur Tegakan Populasi Alam P. merkusii strain Tapanuli pada Sebaran Alaminya

di Tapanuli – Sumatera Utara Bahan dan Alat

Bahan utama penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) liputan tahun 1994, 2005, dan 2011 dan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) provinsi Sumatera Utara. Bahan lain berupa bahan tulis menulis dan beberapa software yang terkait, yakni: software ERDAS Imagine dan ArcView GIS. Adapun peralatan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah: komputer, kompas, GPS, ring tanah untuk pengambilan contoh tanah, kamera digital, tally sheet.

Metode

1. Analisis tutupan lahan pada ekosistem hutan Tapanuli – Sumatera Utara Perubahan tutupan lahan dianalisis dengan menggunakan pengolahan citra satelit (Image Processing) elit dan analisa spasial. Sumber data untuk menganalisis perubahan tutupan lahan yaitu citra Landsat tahun 1994, 2005, dan 2011. Jenis citra yang digunakan adalah citra Landsat 7 ETM+ (seri 7 Enhanced Thematic Mapper Plus) yang memiliki resolusi menengah (1 pixel = 30 x 30 m) dengan daerah liputan cukup luas bila dibandingkan dengan citra SPOT-5 dan Quickbird.

Klasifikasi penutupan lahan secara digital dilakukan dengan menggunakan metode maximum likelihood classification (MLC). Tahapan pengolahan data citra dan analisis perubahan tutupan lahan adalah sebagai berikut :

a. Persiapan

Citra Satelit dibuat dalam format image (img) dan dibuat dalam bentuk Citra Komposit (layer stack) dengan kombinasi Band 542. Band 542 umum digunakan untuk klasifikasi lahan untuk penentuan tutupan lahan dan penggunanaan lahan karena menggambarkan perbedaan lahan bervegetasi dan non vegetasi dengan lebih jelas.


(28)

b. Cropping Area

Citra Satelit dipotong (cropping) sesuai dengan batas area yang akan diklasifikasi melalui metode Subset Image.

c. Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra menggunakan gabungan tiga metode yaitu Unsupervised Classification, Supervised Classification (Maximum Likelihood) (Richards 1986), dan Visual Interpretation. Tiga metode tersebut lebih menghasilkan hasil klasifikasi citra yang mendekati kondisi lapangan atau hasil groundcheck. Pada kelas penggunaan lahan yang sulit dipisahkan berdasarkan karakteristik pixel-nya dilakukan deliniasi manual sesuai metode interpretasi visual (penafsiran visual). Kelebihan dari teknik interpretasi visual ini dibandingkan dengan interpretasi otomatis adalah dasar interpretasi tidak semata-mata kepada nilai kecerahan, tetapi konteks keruanganpada daerah yang dikaji juga ikut dipertimbangkan (Lillesand & Kiefer 1990). Dalam interpretasi manual ini peranan interpreter dalam mengontrol hasil klasifikasi menjadi sangat dominan, sehingga hasil klasifikasi yang diperoleh relatif lebih masuk akal.

d. Mengidentifikasi dan analisis obyek atau tipe vegetasi dari dengan menggunakan informasi spasial seperti ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan asosiasi dan situs sesuai dengan konteks keruangan. Hasil identifikasi dan analisis obyek akan menentukan klasifikasi penutupan lahan yang terbagi menjadi lima kelas.

e. Konversi Format Raster ke Vektor

Proses ini untuk memudahkan dalam analisis spasial menggunakan

Geographic Information System (GIS)

f. Membuat antar waktu tampilan visual peta perubahan tutupan lahan analisis spasial pada masing-masing lokasi atau plot penelitian (5 lokasi). Selanjutnya untuk mendapatkan luas perubahan tutupan lahan dibuat matrik perubahan tutupan lahan antar waktu (1994, 2005dan 2011).


(29)

2. Analisis sifat kimia tanah dan struktur tegakan pada tapak tumbuh Pinus merkusii strain Tapanuli

Kondisi tapak tumbuh dianalisis melalui analisis sifat kimia tanah pada lima lokasi sebaran alam P. merkusii strain Tapanuli. Contoh tanah diambil dari 4 lapisan kedalaman tanah yakni: 0-5 cm, 5-10 cm, 10- 20 cm, 20-30 cm pada setiap kluster plot penelitian dengan menggunakan ring tanah.

Plot pengamatan untuk analisis struktur tegakan berbentuk kluster plot yang penempatannya menggunakan metode purposive sampling. Setiap lokasi diwakili oleh 1 kluster plot yang terdiri atas 4 sub plot berbentuk lingkaran dengan luas masing-masing sub plot 0.1 ha sehingga luas per kluster plot adalah 0.4 ha. Kluster plot yang berbentuk lingkaran ini dipilih dengan pertimbangan kemudahan dan kepraktisan penggunaannya di lapangan. Penggunaan kluster plot ini diturunkan dari metode Forest Health Monitoring (FHM) yang membagi habis permukaan bumi dengan bentuk heksagon. Setiap heksagon memiliki luas 2400 hektar sehingga intensitas sampling untuk setiap kluster plot adalah 0.016 % (Mangold 1997) seperti disajikan pada Gambar 3. Parameter yang diamati adalah diameter dan tinggi tegakan P. merkusii strain Tapanuli.

Gambar 3 Bentuk Permanen Sampel Plot (PSP) mengacu pada metode Forest Health Monitoring (FHM) (Mangold 1997).


(30)

Setiap kluster plot terdiri atas 4 annular-plot dan 4 sub-plot. Annular-plot dan sub-plot nomor 1 berada di pusat, sedang annular-plot dan sub-plot lainnya berada pada azimuth tertentu dari annular-plot dan sub-plot nomor 1. Posisi annular-plot dan sub-plot nomor 2 berada pada azimuth 360o dari posisi annular-plot dan sub-annular-plot nomor 1. Posisi annular-annular-plot dan sub-annular-plot nomor 3 berada pada azimuth 120o dari posisi annular-plot dan sub-plot nomor 1. Posisi annular-plot dan sub-plot nomor 4 berada pada azimuth 240o dari posisi annular-plot dan sub-plot nomor 1. Antara titik pusat annular sub-plot 1 dengan titik pusat annular sub-plot yang lain berjarak 36.6 m. Setiap annular-plot memiliki luas 0.1 ha sehingga luas dalam 1 kluster plot adalah 0.4 m. Adapun total luas lingkaran kluster (di dalam dan di luar plot) menjadi 1 ha. Di dalam setiap sub-plot terdapat mikroplot dengan radius 2.07 m pada jarak 3.66 m dan azimuth 90o dari titik pusat sub-plot.

Sub-topik Penelitian 2:

Analisis Genetik Populasi Alam P. merkusii strain Tapanuli pada Sebaran Alaminya di Tapanuli – Sumatera Utara dengan Menggunakan Penanda

Molekuler Mikrosatelit Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman Pinus merkusii strain Tapanuli. Untuk proses ekstraksi, bahan kimia yang digunakan adalah buffer ekstrak, PVP 2%, Chloroform IAA, phenol, isopropanol dingin, NaCl, Etanol 95%, buffer TE, aquabidest, H2O, primer mikrosatelit, Qiagen Taq

polymerase, agarose, buffer TAE 1x, blue juice 10x, marker, Etidium bromida.

Acrilamide, APS, Temed, Formalin, NaOH, NH4OH, Asetat 1%, Amonia,

AgNO3.

Sedangkan alat yang digunakan adalah sarung tangan karet, gunting, tube 1.5 ml, tube 0.2 ml spidol permanen, mortar, pestel, pipet mikro, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi, waterbath, freezer, timbangan analitik, desikator, mesin PCR, bak elektroforesis, cetakan agar, microwave, gelas ukur, ultraviolet transilluminator, alat foto DNA.


(31)

Metode

1. Pengambilan Sampel

Unit sampel untuk analisis genetik ini adalah populasi. Di dalam penelitian ini ada 5 populasi alam P. merkusii strain Tapanuli yang menyebar pada lokasi yang berbeda tetapi masih di dalam ekosistem hutan Tapanuli. Informasi kelima lokasi sebaran disajikan pada Tabel 1. Jumlah pohon yang dijadikan sampel untuk setiap lokasi populasi alam diupayakan mencapai 24-30 individu pohon, sedangkan sampel yang diambil untuk analisis genetika ini berupa daun. Prosedur pengambilan sampel di lapangan adalah sebagai berikut:

a. Daun diambil dari setiap individu pohon sebanyak 2 – 5 pucuk daun. b. Daun tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik klips yang berisi

silika gel.

c. Dalam satu lokasi diharapkan dapat dijumpai 24 - 30

d. Setiap pohon yang daunnya diambil diukur tinggi, diameter dan letak geografisnya dengan menggunakan alat ukur

e. Jarak antar pohon sampel dalam satu populasi minimal 30 meter

f. Data mengenai tinggi, diameter dan letak geografis, serta pemetaan pohon induk maupun anakan dicatat kedalam lembar data (datasheet).

2. Ekstraksi DNA

Metode yang digunakan untuk ekstraksi DNA ini adalah metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi. Daun dipotong dengan ukuran 2 X 2 cm, kemudian digerus dengan menambahkan nitrogen cair di dalam pestel/mortar yang bersih. Hasil gerusan kemudian dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambahkan larutan buffer ekstrak sebanyak 500 – 700 µl. Agar daun hasil gerusan tercampur dengan larutan penyangga dan PVP 2% secara merata maka tabung yang berisi hasil gerusan tersebut di vortex. Setelah itu diinkubasi dalam dalam water bath selama 45 menit – 1 jam sambil dibolak-balik setiap 15 menit. Suhu optimal yang digunakan dalam proses inkubasi berkisar antara 65-700C. Apabila proses inkubasi melebihi suhu optimal maka DNA yang ada dalam tube akan rusak.

Setelah proses inkubasi, tabung mikro tersebut diangkat dan didinginkan selama 15 menit kemudian ditambahkan kloroform sebanyak 500 µl dan fenol


(32)

sebanyak 10 µl, lalu sentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 2 menit. Hasil sentrifugasi (supernatan) akan terpisah menjadi dua fase yaitu bagian atas merupakan fase air yang berisi asam nukleat dan bagian bawah yaitu fase organik yang berisi pelarut organik. Fase air dipisahkan dari fase organik dengan menggunakan pipet mikro lalu dipindahkan kedalam tabung mikro baru. Kemudian ditambahkan chloroform 500 µl dan fenol 10 µl sebanyak dua kali secara berulang yang bertujuan untuk memperoleh DNA yang memiliki tingkat kemurnian tinggi.

Supernatan yang telah terpisah dari fase organik, ditambahkan isoproponal dingin sebanyak 500 µl dan NaCl atau NaOAc sebanyak 500 µl dan 300 µl. Campuran ini disimpan dalam freezer selama 45 menit – 1 jam. Hasil pengendapan tersebut disentrifuge pada kecepatan 13000 rpm selama 2 menit kemudian cairan dalam tabung mikro dibuang. Hasil pengendapan akan berupa pelet DNA. Pelet DNA ini kemudian ditambahkan etanol 100% sebanyak 300 µl dan disentrifuge selama 2 menit pada kecepatan 13000 rpm, kemudian cairan etanol tersebut dibuang. Setelah itu pelet DNA yang tersisa dalam tabung mikro dikeringkan dalam desikator dengan posisi terbalik selama 10 menit lalu ditambahkan larutan TE sebanyak 20 µl difortex kemudian disimpan didalam freezer.

Selama proses pengeringan pelet DNA, disiapkan agarose 1% (0.33 gram agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, diambil 3 µl DNA ditambahkan 2 µl blue juice 10 X dan kemudian di running pada tegangan 100 selama ± 30 menit. DNA akan bergerak kearah positif (anoda). Hasil elektroforesis kemudian direndam dalam larutan etidium Bromide (ETBR) 10 µl per 200 ml aquades selama 3 – 5 menit dan selanjutnya dilihat pada UV transiluminator.

3. Seleksi Primer

Primer adalah rantai pendek DNA yang dihasilkan secara buatan biasanya antara 10 – 25 nukleotida. Primer berfungsi sebagai titik mula terjadinya sintesis oleh enzim yang disebut DNA polymerase yang diperoleh dari bakteri Thermus aquaticus. Enzim ini biasa disebut juga Taq DNA polymerase. Enzim ini sesuai untuk proses amplifikasi karena dapat bertahan pada suhu tinggi hingga 950C


(33)

meskipun suhu optimum bagi aktifitas enzim adalah 720C. Setelah terjadi

annealing selanjutnya dilakukan perbanyakan fragmen DNA melalui proses ekstensi pada suhu 720C.

Seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Proses penyeleksian primer yang digunakan dalam metoda mikrosatellite mengikuti primer yang pernah diuji oleh Nurtjahjaningsih et al. (2005), karena belum ada penelitian pendahuluan terhadap jenis P. merkusii alami yang dapat mengamplifikasi DNA tanaman ini. Dalam penelitian ini digunakan 7 primer yang dipilih dari hasil temuan mikrosatelit pada P. merkusii di hutan tanaman (Nurtjahjaningsih et al. 2005). Informasi tentang ketujuh primer mikrosatelit tersebut tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik primer mikrosatelit dari Pinus merkusii di hutan tanaman, di Pulau Jawa (Nurtjahjaningsih et al. 2005)

4. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Proses PCR membutuhkan 4 komponen utama yaitu H2O, HotStar Mix,

primer dan DNA. DNA hasil proses ektraksi sebelum dilakukan proses

amplifikasi PCR harus dilakukan pengenceran dengan menggunakan aquabidest.

Besarnya perbandingan antara DNA dengan aquabidest tergantung dari tebal dan tipisnya DNA hasil ekstraksi.

Untuk proses PCR, DNA 1.5 µl dicampurkan dengan HotStar Mix 7.5 µl,

Nuclease-free water 2.5 µl dan primer 1.5 µl) disentrifugasi selama 5-10 detik

Suhu Nomor Akses

annealing (oC) ke Bank Gen

1. pm01 111-117 56 (TG)12 F: AGAGAAGGCACGATTTTGTC AB201535 R: TCCCACTAATCACTTTGAAAG

2. pm04 92 56 (TG)10 F: CTCTAAGTAGGACAAGGCCT AB201536

R: CATAATCCAAGGAGTCAAGG

3. pm05 112-118 52 (TG)9 F: GAGTCTAATTGCAAACCCCA AB201537

R: TGGAGATCTACCACTTTTTC

4. pm07 284-309 52 (AC)8(AT)4 F: GAATCTAAGCATATGAAATGAG AB201538 R: CTTGTTAATGCTACTAGTTATG

5. pm08 132 59 (AT)2(GT)11 F: GCTTCAATCTATTGACCCCAT AB201539 R: TAAAGGGGCAGCTGCTACAACCAATGG

6. pm09a 81-99 52 (AT)5(GT)18(AT)2 F: CCTTCTCATTTCGATATGCAC AB201540 R: ATTAAAGGTTATATGGGGCT

7. pm12 181-193 59 (GT)5CT(GT)5(AT)5 F: GAACAATCATTGCGGGTCCCG AB201541 R: TATGCTGCGTTTATATGTATAAGTGTC

Ukuran Produk (bp) Lokus


(34)

kemudian dimasukkan kedalam mesin PCR. Tahapan serta suhu PCR seperti disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Tahapan dalam proses PCR

Metode Tahapan Suhu (0C) Waktu (menit) Jumlah

siklus Mikrosatelit Pre- Denaturation

Denaturation Annealing Extention Final Extention 95 95 53 72 72 2 1 2 2 5 1 35 1

Pengujian polimorfisme dilakukan dengan melihat pita hasil PCR yang divisualisasi berdasarkan hasil elektroforesis. Hasil pengujian ini dikatakan polimorfisme jika pola pita yang dihasilkan mempunyai sekurang-kurangnya lebih dari satu variasi, sedang hasil pengujian dikatakan monomorfik jika tidak memperlihatkan adanya variasi pada pola pita hasil elektroforesis.

5. Analisis Data

Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pita yang muncul. Pada metode RAPD pola pita yang muncul diterjemahkan kedalam data biner berdasarkan ada atau tidak adanya pita, sedangkan untuk data mikrosatelit dihitung berdasarkan banyaknya alel yang ditemukan sesuai panjang basa.

Hasil perhitungan pita-pita DNA tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui keragaman dalam populasi maupun antar populasi. Parameter keragaman genetik yang dihitung dalam penelitian ini adalah (Finkelday 2005) : a. Persentase Lokus Polimorfik (PLP)

Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika sekurang-kurangnya ada dua varian yang berbeda (alel). Sedang untuk monomorfik tidak memperlihatkan variasi genetik. Persentase lokus polimorfik dihitung dengan rumus;

Persentase Lokus Polimorfik (PLP) =

(

)

( ) ) ( LM LP LP X 100% dimana Σ (LP) ; jumlah lokus polimorfik

Σ(LM) ; jumlah lokus monomorfik b. Jumlah alel yang teramati (na) =

Lokus

Alel


(1)

***********************************************************************************

** Summary of Heterozygosity Statistics for All Loci **

***********************************************************************************

================================================================================

Locus Sample Size Obs_Hom Obs_Het Exp_Hom* Exp_Het* Nei** Ave_Het

================================================================================

Pm01 24 0.4167 0.5833 0.3804 0.6196 0.5938 0.5298

Pm05 24 0.2500 0.7500 0.4601 0.5399 0.5174 0.5486

Pm07 24 0.1667 0.8333 0.3478 0.6522 0.6250 0.4752

Pm04 24 1.0000 0.0000 0.6087 0.3913 0.3750 0.3769

Pm08 24 1.0000 0.0000 0.7101 0.2899 0.2778 0.3399

Pm09a 24 0.8333 0.1667 0.4783 0.5217 0.5000 0.4074

Pm12 24 0.8333 0.1667 0.8406 0.1594 0.1528 0.3669

Mean 24 0.6429 0.3571 0.5466 0.4534 0.4345 0.4350

St. Dev 0.3559 0.3559 0.1809 0.1809 0.1733 0.0830

================================================================================

* Expected homozygosty and heterozygosity were computed using Levene (1949)

** Nei's (1973) expected heterozygosity

The number of polymorphic loci is : 7

The percentage of polymorphic loci is : 100.00 %

Wright's (1978) fixation index (Fis) as a measure of heterozygote deficiency or excess

=======================================================================================

===

Allele \ Locus Pm01 Pm05 Pm07 Pm04 Pm08 Pm09a Pm12

=======================================================================================

===

Allele 1 1.0000 -0.0909 -0.7143 1.0000 1.0000 0.6250 -0.0909

Allele 2 -0.1748 -0.6000 -0.7143 1.0000 1.0000 0.4000 -0.0909

Allele 3 -0.4118 -0.4118 1.0000 **** **** 1.0000 ****

Total 0.0175 -0.4497 -0.3333 1.0000 1.0000 0.6667 -0.0909

=======================================================================================

===


(2)

Lampiran 3. Hasil inventarisasi sebaran diameter tegakan alam

Pinus merkusii

strain Tapanuli di dalam kawasan Hutan Lindung Dolok Tusam

Timur dan Dolok Tusam Barat

Sumatera Utara

Kelas Diameter

Destructive

Pendekatan

Jumlah Data

HL DT Barat HL DT Timur

Dolok Tusam

Sampling

Volumetrtik

>0-9,9

0

0

0

0

0

0

10-19,9

0

2

2

3

0

3

20-29,9

0

5

5

6

0

6

30-39,9

1

6

7

6

0

6

40-49,9

6

9

15

7

0

7

50-59,9

12

5

17

6

0

6

60-69,9

6

9

15

4

0

4

70-79,9

11

2

13

3

2

5

80-89,9

1

2

3

1

1

2

90-99,9

6

3

9

0

1

1

100-109,9

0

1

1

0

1

1

110-119,9

0

2

2

0

2

2

120-129,9

0

1

1

0

1

1

43

47

90

36

8

44


(3)

Lampiran 4. Sebaran persentase biomassa hasil

destructive sampling

36 pohon

Pinus merkusii

strain Tapanuli di Tapanuli

Sumatera Utara

No. Diameter Tinggi

(cm) (m) kg % kg % kg % kg % kg % kg % kg %

1. 13.0 16.53 35.3 82.05% 0.6 1.39% 2.3 5.35% 0.7 1.63% 0.0 0.00% 4.1 9.58% 43.0 100.00 2. 17.0 25.80 140.7 81.71% 7.1 4.12% 3.7 2.15% 4.2 2.44% 0.0 0.00% 16.5 9.58% 172.2 100.00 3. 19.3 21.26 166.2 76.78% 15.1 6.97% 5.8 2.66% 8.7 4.02% 0.0 0.00% 20.7 9.58% 216.5 100.00 4. 20.0 25.50 216.6 82.25% 10.2 3.87% 5.7 2.16% 5.6 2.13% 0.0 0.00% 25.2 9.58% 263.3 100.00 5. 23.0 22.50 212.4 55.27% 17.1 4.45% 8.0 2.08% 5.7 1.48% 0.0 0.00% 141.1 36.71% 384.3 100.00 6. 25.0 17.10 186.0 50.14% 32.5 8.76% 8.5 2.29% 7.8 2.10% 0.0 0.00% 136.2 36.71% 371.0 100.00 7. 26.0 21.30 196.9 48.58% 44.0 10.86% 8.3 2.05% 7.3 1.80% 0.0 0.00% 148.8 36.71% 405.3 100.00 8. 27.2 16.50 186.1 38.02% 53.2 10.87% 38.2 7.80% 32.3 6.60% 0.0 0.00% 179.7 36.71% 489.5 100.00 9. 29.1 26.30 392.3 52.14% 52.7 7.00% 15.8 2.10% 15.4 2.05% 0.0 0.00% 276.2 36.71% 752.4 100.00 10. 30.5 22.60 330.8 48.45% 75.2 11.01% 16.8 2.46% 9.3 1.36% 0.0 0.00% 250.6 36.71% 682.7 100.00 11. 32.7 21.92 392.3 51.63% 145.0 19.08% 38.8 5.11% 34.0 4.47% 0.0 0.00% 149.8 19.71% 759.9 100.00 12. 34.3 28.10 511.9 63.00% 89.7 11.04% 27.6 3.40% 23.2 2.86% 0.0 0.00% 160.2 19.71% 812.6 100.00 13. 36.5 19.05 331.3 53.39% 74.6 12.02% 50.9 8.20% 41.4 6.67% 0.0 0.00% 122.3 19.71% 620.5 100.00 14. 38.4 23.73 575.2 56.81% 140.1 13.84% 46.0 4.54% 50.8 5.02% 0.9 0.09% 199.6 19.71% 1012.6 100.00 15. 39.0 27.90 677.8 60.66% 145.9 13.06% 45.3 4.05% 28.2 2.52% 0.0 0.00% 220.2 19.71% 1117.4 100.00 16. 40.5 23.30 671.5 56.07% 173.8 14.51% 63.9 5.34% 52.0 4.34% 0.3 0.03% 236.0 19.71% 1197.5 100.00 17. 41.3 27.67 593.2 67.45% 52.3 5.95% 13.1 1.49% 13.0 1.48% 0.0 0.00% 207.8 23.63% 879.4 100.00 18. 43.0 30.86 1112.7 63.29% 148.2 8.43% 45.8 2.61% 35.9 2.04% 0.0 0.00% 415.5 23.63% 1758.1 100.00 19. 44.1 21.52 585.5 54.54% 138.0 12.86% 59.3 5.52% 37.0 3.45% 0.0 0.00% 253.7 23.63% 1073.5 100.00 20. 45.0 27.74 953.6 62.27% 114.7 7.49% 57.3 3.74% 43.8 2.86% 0.0 0.00% 361.9 23.63% 1531.3 100.00 21. 47.0 27.78 766.4 53.64% 260.0 18.20% 34.2 2.39% 30.6 2.14% 0.0 0.00% 337.7 23.63% 1428.9 100.00 22. 48.0 20.80 753.0 57.61% 127.5 9.76% 65.1 4.98% 51.8 3.96% 0.7 0.05% 308.9 23.63% 1307.0 100.00 23. 50.0 31.20 1299.1 65.20% 139.9 7.02% 52.4 2.63% 30.3 1.52% 0.0 0.00% 470.9 23.63% 1992.6 100.00 24. 53.0 20.40 858.8 48.08% 278.7 15.60% 138.9 7.78% 77.9 4.36% 1.9 0.11% 430.0 24.07% 1786.2 100.00 25. 54.5 30.90 1294.3 53.84% 419.6 17.45% 60.6 2.52% 50.7 2.11% 0.0 0.00% 578.7 24.07% 2403.9 100.00 26. 55.2 28.00 1430.6 58.10% 264.2 10.73% 111.7 4.54% 62.9 2.55% 0.0 0.00% 592.7 24.07% 2462.1 100.00 27. 57.0 30.08 1221.8 54.94% 359.9 16.18% 58.3 2.62% 48.4 2.18% 0.0 0.00% 535.3 24.07% 2223.7 100.00 28. 59.5 25.05 1651.0 48.00% 674.0 19.59% 181.1 5.26% 104.0 3.02% 1.7 0.05% 828.1 24.07% 3439.9 100.00 29. 61.0 30.65 1692.6 58.84% 596.5 20.74% 101.0 3.51% 72.5 2.52% 0.0 0.00% 414.0 14.39% 2876.6 100.00 30. 62.0 28.04 1631.5 66.08% 354.1 14.34% 74.1 3.00% 54.0 2.19% 0.0 0.00% 355.4 14.39% 2469.1 100.00 31. 63.0 26.20 1776.4 65.50% 399.7 14.74% 79.5 2.93% 66.0 2.43% 0.0 0.00% 390.3 14.39% 2711.9 100.00 32. 65.3 29.94 1981.9 59.15% 764.3 22.81% 62.6 1.87% 59.4 1.77% 0.0 0.00% 482.2 14.39% 3350.4 100.00 33. 72.0 28.57 1817.8 43.56% 1058.1 25.36% 159.7 3.83% 128.3 3.07% 0.0 0.00% 1009.2 24.18% 4173.1 100.00 34. 74.0 34.80 2874.2 54.56% 886.0 16.82% 128.7 2.44% 105.0 1.99% 0.0 0.00% 1274.0 24.18% 5267.9 100.00 35. 76.0 24.28 1854.8 38.16% 1377.7 28.35% 304.0 6.25% 148.4 3.05% 0.0 0.00% 1175.4 24.18% 4860.3 100.00 36. 82.0 28.60 2681.5 53.84% 892.4 17.92% 146.6 2.94% 86.5 1.74% 0.0 0.00% 1173.1 23.56% 4980.1 100.00

57.88% 12.87% 3.74% 2.83% 0.01% 22.68% 100.00

Rata-rata total

Berat Kering (kg)


(4)

Lampiran 5. Data biomassa yang menjadi input peubah bebas X untuk

penyusunan persamaan allometrik untuk

Pinus merkusii

strain

Tapanuli di Tapanuli

Sumatera Utara

Above Ground Biomass (Kg) Below Ground Biomass (Kg) Total Biomass (Kg)

D H WD D*H D*WD D*H*WD AGB BGB TB

1. 13.0 16.53 0.447 214.89 5.82 96.15 38.9 4.1 43.0

2. 17.0 25.80 0.478 438.60 8.13 209.63 155.7 16.5 172.2

3. 19.3 21.26 0.534 410.32 10.32 219.30 195.7 20.7 216.5

4. 20.0 25.50 0.467 510.00 9.34 238.20 238.1 25.2 263.3

5. 23.0 22.50 0.479 517.50 11.03 248.14 243.2 141.1 384.3

6. 25.0 17.10 0.446 427.50 11.15 190.65 234.8 136.2 371.0

7. 26.0 21.30 0.337 553.80 8.76 186.67 256.5 148.8 405.3

8. 27.2 16.50 0.468 448.80 12.74 210.18 309.8 179.7 489.5

9. 29.1 26.30 0.495 765.33 14.41 379.04 476.2 276.2 752.4

10. 30.5 22.60 0.509 689.30 15.52 350.82 432.1 250.6 682.7

11. 32.7 21.92 0.512 716.78 16.73 366.76 610.1 149.8 759.9

12. 34.3 28.10 0.458 963.83 15.69 440.96 652.4 160.2 812.6

13. 36.5 19.05 0.447 695.33 16.32 310.85 498.2 122.3 620.5

14. 38.4 23.73 0.486 911.23 18.65 442.66 813.0 199.6 1012.6

15. 39.0 27.90 0.440 1088.10 17.17 479.01 897.2 220.2 1117.4

16. 40.5 23.30 0.464 943.65 18.81 438.32 961.5 236.0 1197.5

17. 41.3 27.67 0.428 1142.77 17.67 489.02 671.6 207.8 879.4

18. 43.0 30.86 0.499 1326.98 21.46 662.34 1342.6 415.5 1758.1

19. 44.1 21.52 0.471 949.03 20.75 446.59 819.8 253.7 1073.5

20. 45.0 27.74 0.499 1248.30 22.45 622.66 1169.4 361.9 1531.3

21. 47.0 27.78 0.424 1305.66 19.91 553.01 1091.2 337.7 1428.9

22. 48.0 20.80 0.491 998.40 23.58 490.56 998.1 308.9 1307.0

23. 50.0 31.20 0.539 1560.00 26.94 840.58 1521.7 470.9 1992.6

24. 53.0 20.40 0.555 1081.20 29.43 600.43 1356.2 430.0 1786.2

25. 54.5 30.90 0.472 1684.05 25.75 795.62 1825.2 578.7 2403.9

26. 55.2 28.00 0.450 1545.60 24.86 695.97 1869.4 592.7 2462.1

27. 57.0 30.08 0.394 1714.56 22.48 676.19 1688.4 535.3 2223.7

28. 59.5 25.05 0.558 1490.48 33.21 831.86 2611.8 828.1 3439.9

29. 61.0 30.65 0.464 1869.65 28.30 867.41 2462.6 414.0 2876.6

30. 62.0 28.04 0.520 1738.48 32.22 903.41 2113.7 355.4 2469.1

31. 63.0 26.20 0.507 1650.60 31.97 837.56 2321.6 390.3 2711.9

32. 65.3 29.94 0.481 1955.08 31.43 941.12 2868.2 482.2 3350.4

33. 72.0 28.57 0.491 2057.04 35.32 1009.13 3163.9 1009.2 4173.1

34. 74.0 34.80 0.524 2575.20 38.78 1349.48 3993.9 1274.0 5267.9

35. 75.0 36.00 0.520 2700.00 39.00 1404.00 3561.7 1124.8 4686.5

36. 76.0 24.28 0.500 1845.28 38.02 923.02 3684.9 1188.7 4873.6

37. 79.5 32.50 0.558 2583.75 44.36 1441.73 3876.9 1224.3 5101.2

38. 82.0 28.60 0.507 2345.20 41.56 1188.54 3807.0 1173.1 4980.1

39. 86.0 33.00 0.586 2838.00 50.40 1663.07 4837.8 1527.7 6365.5

40. 95.0 35.00 0.539 3325.00 51.21 1792.18 5758.9 1818.6 7577.5

41. 104.0 36.00 0.520 3744.00 54.08 1946.88 6848.7 2162.8 9011.5

42. 110.9 38.00 0.551 4214.20 61.11 2322.02 8710.4 2750.6 11461.0

43. 115.5 37.00 0.583 4273.50 67.34 2491.45 9733.5 3073.8 12807.3

44. 120.6 36.50 0.451 4401.90 54.39 1985.26 8018.1 2532.0 10550.1

No. Parameter Pertumbuhan Peubah Bebas (X)


(5)

Lampiran 6. Perbandingan nilai dugaan biomassa

P. merkusii

strain Tapanuli

antara hasil dari persamaan allometrik Tapanuli dengan persamaan

allometrik Cianten (Siregar, 2007)

Y=0,1031(DBH)2,4587 Y = 0,2451(DBH)2,2757

No. Diameter Berat Aktual Cianten Tapanuli Selisih Cianten - Aktual Selisih Tapanuli - Aktual

a b c b-a c-a

1. 13.0 43.02 56.51 84.01 13.49 40.99

2. 17.0 172.20 109.29 154.69 -62.91 -17.51

3. 19.3 216.47 149.30 206.48 -67.17 -9.99

4. 20.0 263.33 162.97 223.92 -100.36 -39.41

5. 23.0 384.27 229.79 307.77 -154.47 -76.50

6. 25.0 371.00 282.08 372.08 -88.92 1.08

7. 26.0 405.28 310.64 406.82 -94.65 1.53

8. 27.2 489.50 347.08 450.81 -142.42 -38.69

9. 29.1 752.42 409.76 525.68 -342.66 -226.74

10. 30.5 682.74 459.95 585.01 -222.79 -97.73

11. 32.7 759.87 545.85 685.49 -214.01 -74.38

12. 34.3 812.55 613.88 764.21 -198.67 -48.34

13. 36.5 620.50 715.27 880.35 94.77 259.85

14. 38.4 1012.58 810.31 988.11 -202.26 -24.47

15. 39.0 1117.45 841.80 1023.60 -275.65 -93.85

16. 40.5 1197.53 923.65 1115.40 -273.88 -82.14

17. 41.3 879.44 969.16 1166.17 89.72 286.73

18. 43.0 1758.09 1070.21 1278.28 -687.88 -479.80

19. 44.1 1073.50 1138.78 1353.92 65.28 280.42

20. 45.0 1531.29 1196.77 1417.62 -334.51 -113.67

21. 47.0 1428.89 1331.82 1565.08 -97.07 136.19

22. 48.0 1306.98 1402.58 1641.89 95.60 334.91

23. 50.0 1992.61 1550.66 1801.73 -441.96 -190.89

24. 53.0 1786.20 1789.52 2057.21 3.32 271.01

25. 54.5 2403.90 1916.62 2192.10 -487.28 -211.80

26. 55.2 2462.12 1977.72 2256.70 -484.40 -205.42

27. 57.0 2223.73 2140.07 2427.66 -83.66 203.93

28. 59.5 3439.90 2378.28 2676.77 -1061.62 -763.13

29. 61.0 2876.61 2528.42 2832.82 -348.19 -43.79

30. 62.0 2469.05 2631.55 2939.61 162.50 470.55

31. 63.0 2711.91 2737.14 3048.62 25.24 336.71

32. 65.3 3350.40 2989.41 3307.82 -360.99 -42.58

33. 72.0 4173.14 3800.86 4131.19 -372.28 -41.95

34. 74.0 5267.90 4065.73 4396.97 -1202.17 -870.93

35. 76.0 4860.33 4341.25 4672.09 -519.08 -188.25

36. 82.0 4980.10 5233.02 5554.05 252.92 573.95

Jumlah 62276.81 54157.72 61492.70 -8119.09 -784.11


(6)