Representasi Media dari Dunia Sosial

41 Dengan ketidaksamaan itu, konten media memang menunjukkan ketidaksamaan yang nyata dalam dunia sosial dan dalam industri media. Literatur pada media dan studi kebudayaan mengingatkan kita bahwa representasi pada media adalah tidak nyata, bahkan pada saat audiens memutuskan. Repesentasi Bahkan yang memproduksi kenyataan seperti film dokumenter  sebagai hasil dari proses seleksi yang artinya bahwa aspek tertentu diutamakan dan aspek lainnya diabaikan. Media biasanya tidak mencoba untuk merefleksikan dunia nyata. Representasi merupakan produk dari proses seleksi yang mengakibatkan ada sejumlah aspek dari realitas yang ditonjolkan serta ada sejumlah aspek lain yang sengaja dilenyapkan. Ini berarti seluruh representasi merupakan penghadiran kembali dunia sosial yang memiliki akibat bahwa hasil dari representasi itu pastilah bersifat sempit dan tidak lengkap. 47 Pertama, representasi merupakan produk dari proses seleksi yang mengakibatkan ada sejumlah aspek dari realitas yang ditonjolkan serta ada sejumlah aspek lain yang sengaja dilenyapkan. Ini berarti seluruh representasi merupakan penghadiran kembali dunia sosial yang memiliki implikasi bahwa hasil dari representasi itu pastilah bersifat sempit dan tidak lengkap. Kedua, media biasanya tidak sudi mencoba untuk merefleksikan dunia riil yang serba nyata. Ini disebabkan adanya keterbatasan atau bahkan mungkin juga pembatasan waktu dan intervensi berbagai sumber daya finansial, misalnya kemampuan jurnalis dalam melakukan liputan, atau juga ketertutupan narasumber pemberitaan, dan juga campur tangan pemilik modal dalam kebijakan 47 David Croteau, Wiliam Hoynes, MediaSociety:Industries, Images, and Audiences pine Foge Press, 1997 h 133-135, 194-196 42 pemberitaan. Ketiga, apa yang dinamakan dengan dunia yang riill itu sendiri pantas dipermasalahkan. Dalam hal ini, kita dapat bersepakat dengan kalangan pemikir konstruksionisme yang menegaskan bahwa tidak ada satu pun representasi dari realitas yang secaa keseluruhan pastilah benar dan nyata. Ini disebabkan media massa sendiri sudah membingkai suatu isu atau figur politik tertentu, dan memilih untuk memasukkan atau menyingkirkan komponen- komponen tertentu dari realitas yang mempunyai banyak sisi-sisinya. Keempat, dalam benak konsumen media sendiri, terdapat pemikiran bahwa media tidaklah harus merefleksikan realitas. Sebab, media sekadar dianggap sebagai tempat pelarian dari kesumpekan hidup sehari-hari . 48 Kebanyakan dari kita menyukai program berita, buku sejarah dan film dokumenter untuk merepresentasikan yang terjadi di dunia sosial sadil dan seakurat mungkin. Tapi melalui seleksi alam, film fiksi ilmiah pun menjadi acuan sebagai gambaran dunia sosial. Ini mempengaruhi perilaku kita untuk memastikan pesan yang mungkin dari media ini. Termasuk melihat bentuk media, film sains fiksi, opera sabun, musik video, dan novel roman dengan jelas tidak mengklaim secara akurat merefleksikan masyarakat. Ada sekitar lima cara bagaimana peneliti bisa melihat signifikansi dari konten media. Mereka melibatkan tautan konten kepada produser, ketertarikan audiense, kepada masyarakat secra umum, atau kepada efek audiens, atau melihat konten independen dari konteksnya. 49 48 http:alioebaid.blogspot.com diakses tanggal 21 Desember 2010 pukul 22:00 WIB 49 David Croteau, Wiliam Hoynes, MediaSociety:Industries, Images, and Audiences h 136-37 43

F. News Factory Model

Bantz, Mc Crockle, and Baade merefleksikan cara yang sama dalam memahami yaitu dengan menggunakan istilah News Factory atau pengolahan berita untuk penelitian mereka dalam ruang berita. Berita sebagaimana yang telah dicontohkan, adalah sebuah konstruksi realita dan bukanlah sebuah gambaran kenyataan. Berita bukan refleksi dari realitas, melainkan konstruksi dari realitas tersebut. Dalam proses pengolahan adalah mencampurkan berbagai bahan untuk mengkoversikannya ke dalam beberapa tipe konten dalam sebuah surat kabar atau buletin berita, yaitu tempat peristiwa terjadi dan ada orang-orang yang berkaitan dengan apa dengan peristiwa itu, orang- orang yang secara langsung mempunyai nilai berita. 50 50 Downing John D.H. Denis McQuail. Philip Schkesinger. Ellen Wartella, Media Studies, Sage Publications. United Kingdom:2004 h 402-403 44

BAB III GAMBARAN UMUM MEDIA CETAK

HARIAN JURNAL NASIONAL

A. Sejarah

Jurnal Nasional adalah salah satu harian nasional di Indonesia yang terbit di Jakarta sejak 1 Juni 2006. Harian ini diterbitkan oleh PT. Media Nusa Pradana. Jurnal Nasional didesain sebagai koran yang tidak “memaki” namun juga tidak “lembek” pada penyelewengan yang dilakukan aparatur negara. Koran ini memilih sikap “integritas” atas kebenaran berita dan fakta yang diungkapkannya. Tidak ada koran yang sepenuhnya independen. Makanya, Jurnal Nasional lebih memilih integritas sebagai paham yang mendasari koran ini. 1 Usia Jurnal Nasional memang masih seumur bayi yang baru belajar merangkak. Tak heran, dalam kurun sejauh ini, sejak diluncurkan 1 Juni 2006, Jurnal Nasional merasakan dirinya tengah “belajar” memahami pasar koran harian. Jurnal Nasional ingin diharapkan dapat menjadi koran yang diperhitungkan. Bukan sekadar energi kapital, tapi juga produk, serta kemampuan menembus barikade pasar koran di Jakarta yang makin semrawut saja belakangan ini. Susunan pengurus awal surat kabar ini ada enam orang sekaligus sebagai pimpinan dan dewan redaksi, yaitu: 1 Company Profile Harian Jurnal Nasional