Pembangunan Sarana dan Prasarana Kota

60

3.1.3 Pembangunan Sarana dan Prasarana Kota

Air Bangis secara resmi masuk dalam administratif Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1825. Sejak tahun tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan penataan dan perencanaan tata Kota Air Bangis secara baik. Tahap pertama yang dilalukan Pemerintah Hindia Belanda adalah dengan memindahkan pusat perdagangan dan pelayaran dari Pulau Panjang ke daratan pesisir Air Bangis. Kawasan daratan ini ditata dengan baik melalui sistem drainase yang rapi, dan menimbun daerah-daerah yang rendah dan berawa. Jalan-jalan dibangun secara vertikal dari garis pantai, sehingga memudahkan menuju pelabuhan, dan sebahagian dibangun secara horizontal. Pemukiman diatur mengikuti garis pantai dan jalan-jalan yang telah dibangun, sehingga terlihat seperti kotak-kotak. 106 Seperti yang telah disebutkan terdahulu, pada tahun 1837 Air Bangis dijadikan ibu kota Residentie Air Bangis. Untuk mendukung statusnya sebagai ibu kota, Pemerintah Hindia Belanda banyak membangun fasilitas pemerintahan dan fasilitas umum, seperti sarana pemerintahan, fasilitas pelabuhan, markas militer, rumah sakit, tempat ibadah gereja, perumahan, pertokoan, kantor pos, dan lain sebagainya. 107 Dalam menjalankan pemerintahan di Air Bangis, maka Pemerintah Hindia Belanda pertama kali membangun sarana pemerintahan, seperti kantor residen, kantor 106 M. Nur, dkk., Dinamika Pelabuhan Air Bangis Dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat, Padang, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2004, hal. 104. 107 Ibid., hal. 105. 61 pengadilan, kantor pos, dan dilanjutkan dengan pembangunan fasilitas pelabuhan. 108 Kantor Residen dibangun tidak jauh dari area pelabuhan Air Bangis, sedangkan gedung pengadilan sebenarnya berada di Afdeling Rao salah satu afdelingen dari Residentie Air Bangis. Adapun salah satu contoh perkara yang ditangani di pengadilan ini yaitu, kasus pencurian di malam hari oleh Si Paoler dan Si Djakiat. Kedua pelaku pencurian tersebut dijatuhi hukuman seumur hidup, dan akan menjalani hukuman di Pulau Cingkuak. 109 Sarana pemerintah lainnya adalah kantor pos. Jasa pengiriman barang dan surat-surat di kota-Air Bangis sudah sangat dibutuhkan. Hal ini terjadi karena telah adanya korespondensi yang teratur antara Air Bangis dengan kota-kota Pantai Barat Sumatera, seperti Natal, Tapanuli, dan Nias di bagian utara, dan Pariaman, Padang, Pulau Cingkuak, Bengkulu hingga Jawa di bagian selatan. Jasa pengiriman ini menggunakan kapal sebagai jenis angkutan pengirimannya. Paket pos masuk ke Air Bangis, lima kali dalam sebulan. 110 Setelah pembangunan sarana pemerintahan dan fasilitas pelabuhan, Pemerintah Hindia Belanda memperkuat pengamanan di Air Bangis dengan membangun markas militer. Markas militer Belanda di Air Bangis sebenarnya sudah ada sejak VOC mendirikan loji di Air Bangis, yang disebut pos dagang dan pertahanan, dan setelah Pemerintah Hindia Belanda berkuasa penuh pada Air Bangis 108 Fasilitas Pelabuhan diuraikan pada bab IV. 109 Arsip Sumatra’s Westkust Swk., No. 1b, Aankomende Brieven, Januari-Maret 1861, ANRI. 110 Swk., op.cit., no. 1253. 62 tahun 1825, pos ini dikembangkan. Pada tanggal 1 Maret 1831 di bawah instruksi Letnan Kolonel Elout, dilakukan pembagian pasukan tentara di wilayah Sumatra’s Westkust . Adapun pembagian pasukan tentara untuk Afdeling Air Bangis, seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 6 Divisi Tentara di Afdeling Air Bangis Nama Afdeling Nama Divisi Jenis Pasukan P etugas Prajurit Total Per Divisi Total Dalam Afdeling E rop a Pr ib u m i Pe tugas Pr ajurit Pe tugas Pr ajurit Afdeling Air Bangis Noordelijke Afdeling Natal Layanan Medis 1 - - 4 37 5 88 Infanteri 3 15 16 Artileri - 4 2 Air Bangis Infanteri - 10 15 - 28 Artileri - 2 1 Tapanuli Infanteri 1 8 9 1 23 Artileri - 2 4 Sumber: H. M. Lange, Het Nederlandsch Oost-Indisch Lager ter Westkust van Sumatra, 1819-1845, ‘s-Hertogenbosch: Gebroeders Muller, 1852, hal. 167. Pembangunan markas militer di Air Bangis, bertujuan untuk pengamanan wilayah itu sendiri, dan juga untuk pos utama dalam melakukan ekspansi ke daerah hinterland dan kawasan utara Tapanuli yang masih berada dalam pengaruh Paderi. 63 Keadaan ini terus berlanjut, setidaknya sampai benteng Paderi di Bonjol ditaklukkan pada tahun 1837 dan penguasaan Tapanuli pada tahun 1842. Gambar 3. Detasemen Infanteri di Air Bangis Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. diakses dari www.kitlv.nl Pembangunan rumah sakit di Air Bangis dimulai pada tahun 1841. 111 Rumah Sakit Air Bangis ini milik militer, sehingga disebut juga rumah sakit militer. Rumah Sakit ini bertipe kelas tiga, dengan jumlah rata-rata pasien per harinya 10 orang. 112 Keberadaan rumah sakit di Air Bangis ialah untuk memudahkan Pemerintah Hindia 111 Pos kesehatan sebenarnya sudah ada di Air Bangis sejak tahun 1829, yang merupakan gabungan dari pos kesehatan Natal dan Tapanuli. Petugas pada masing-masing pos kesehatan tersebut, untuk di rumah sakit ada 4 orang, dan untuk petugas pelayanan 4 orang. Orang Eropa yang datang ke rumah sakit untuk berobat berjumlah 25 orang, 4 orang dirawat di rumah sakit dan 24 orang lainnya rawat jalan. Adapun penduduk lokal yang mendatangi pos kesehatan berjumlah 43 orang, 3 orang dirawat di rumah sakit dan 40 orang lainnya hanya memeriksa kesehatan. Lihat tulisan H. M. Lange, op.cit., hal. 154. 112 D. Schoute, Geneeskunde in Nederlandsche-Indie Gedurende de Negentiende Eeuw, Batavia: G. Kolff, 1934, hal. 279-280. 64 Belanda memberikan vaksinasi dan penanganan terhadap penyakit kolera dan penyakit epidemik, yang menjadi wabah di kawasan Pantai Barat Sumatera. Penyakit epidemik ini sering menyerang tentara yang berada di hutan. Gejala yang ditimbulkan penyakit epidemik ini hampir sama dengan penyakit tifus, yaitu demam tinggi, sehingga para dokter ketika itu memberi istilah “penyakit demam ganas”. Akumulasi dari penyakit ini sangat berbahaya, sehingga memerlukan penanganan yang cepat. 113 Pemerintah Hindia Belanda juga membangun permukiman bagi orang Eropa secara terpisah dari permukiman penduduk pribumi. Permukiman ini terdiri dari rumah-rumah pejabat pemerintahan, pengusaha, dan pendatang lainnya yang berkebangsaan Eropa. Gambar 4. Rumah Kediaman Asisten Residen J. H. C. Schultze di Air Bangis Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. diakses dari www.kitlv.nl 113 Ibid., hal. 212-213. 65 Gambar 5. Asisten Residen J. H. C. Schultze di atas bendi dengan latar rumah kediamannya di Air Bangis Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. diakses dari www.kitlv.nl Sementara itu pemerintah tradisional Air Bangis juga mengatur dan menata kota menurut kelompok suku penghuninya, seperti permukiman suku Jambak, permukiman suku Sikumbang, permukiman suku Caniago, permukiman suku Koto. Akan tetapi bukan berarti di permukiman tersebut semua masyarakatnya dari suku yang sama, ada juga suku-suku lain, biasanya karena perkawinan. Penamaan permukiman tersebut berdasarkan suku yang mayoritas di wilayah itu. 114 Akan tetapi tidak semua permukiman penduduk setempat ini diberi nama berdasarkan suku, bagi 114 M. Nur, dkk., op.cit., hal. 106. 66 penduduk yang bertempat tinggal disekitar pantai biasanya diberi nama kampung nelayan. Hal ini didasari profesi sehari-hari penduduk yang menangkap ikan di laut. Gambar 6. Rumah Penghulu Adat di Air Bangis Sumber: www.airbangis.com. Gambar 7. Kampung Nelayan di Air Bangis Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. diakses dari www.kitlv.nl 67 Pada akhirnya, penataan kota Air Bangis yang telah direncanakan Pemerintah Hindia Belanda tidak berjalan secara maksimal. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, hal ini dikarenakan pada tahun 1842 Air Bangis tidak lagi menjadi ibu kota kresidenan. Ibu kota kresidenan untuk kawasan utara dipindahkan ke Sibolga seiring dikuasainya wilayah Tapanuli, dan tentunya residen dan para pejabat pemerintahan juga pindah ke Sibolga.

3.2 Pengembangan Pelabuhan Air Bangis sebagai Pusat Ekonomi Belanda dan