Tesis Perubahan Iklim Adi ripaldi 224113

(1)

1

BAB I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Perubahan iklim global akan dirasakan secara berbeda diseluruh wilayah tergantung pada dampak lokal dan kekuatan di dalam masyarakatnya (Kirono dkk. 2012). Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu wilayah Indonesia bagian Timur yang sangat rentan terhadap perubahan iklim (Butler dkk. 2009; GTZ. 2010). Beberapa indikasi terjadinya perubahan iklim seperti, musim hujan yang berlangsung lebih pendek, meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim, membuat tanaman padi sebagai sumber pangan bagi penduduk Nusa Tenggara Barat yang berjumah 4,4 juta menjadi beresiko (Butler dkk. 2009).

Meningkatnya temperatur rata-rata permukaan bumi secara global dalam lima puluh tahun terakhir diklaim memberi dampak negatif terhadap sumber air dan pertanian di Asia dan di beberapa negara berkembang (IPCC, 2007). Case dkk. (2009) menyatakan bahwa menurunya produksi padi di Asia, lebih banyak disebabkan oleh temperatur yang tinggi dan kekeringan panjang yang mengakibatkan semakin berkurangnya sumber air bagi pertaninan. Peng dkk. (2004) melaporkan bahwa setiap kenaikan 1°C pada suhu minimum selama masa pertumbuhan akan menurunkan hasil panen padi sekitar (10%).

Berdasarkan skenario perubahan iklim, diprediksi bahwa pada akhir abad dua puluh satu, produksi padi di Asia akan menurun disebabkan oleh meningkatnya karbondioksida (CO2) yang mempengaruhi kesuburan tanah dan terbatasnya

ketersediaan air (Murdiyarso, 2000). Pertanian di daerah tropis sangat dipengaruhi oleh variasi hujan tahunan dan antar tahunan (Boer dan Las 2003). Aldrian dkk. (2007) menyatakan bahwa monsun dan El Nino Southern Oscilation (ENSO) lebih banyak menjadi pendorong variasi musim dan variasi inter annual dari hujan dan kejadian ekstrim di Indonesia.


(2)

2

Indikasi perubahan iklim di pulau Lombok dalam kurun (1961-2008) oleh GTZ, (2010) dinyatakan bahwa ada kecenderungan penurunan curah hujan dan perubahan tipe iklim, dari tipe (C) agak basah, (D) sedang, dan (E) agak kering, bergeser menjadi tipe (D) sedang dan (E) agak kering. Penurunan produksi padi di NTB selama 20 tahun terakhir lebih banyak disebabkan pengaruh nyata anomali iklim seperti El Nino 1982 dan 1997 yang mengakibatkan kekeringan sehingga luas tanam, luas panen dan hasil panen turun (Boer dan Las 2003). Kajian perubahan iklim di NTB baru dikaji wilayah Pulau Lombok saja oleh GTZ (2010). Sejauh ini belum adanya kajian perubahan iklim untuk keseluruhan wilayah NTB sehingga kajian perubahan iklim di wilayah ini menjadi penting untuk dikerjakan.

Dalam pelaksanaan penelitian ini, metode dynamical downscaling digunakan untuk penurunan skala grid (stretched grid resolution) menggunakan downscaling Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) untuk menterjemahkan proyeksi perubahan iklim dari model iklim global (GCM) resolusi 150-300 km, menjadi skala regional dengan resolusi 14 km. Hasil downscaling berisi data iklim untuk mensimulasikan kondisi sekarang (present) periode (1971-2000) sebagai informasi baseline dan proyeksi iklim masa depan periode (2040-2069) serta periode (2070-2099), yang kemudian digunakan sebagai inputan untuk menghitung kesesuaian agroklimat tanaman padi dan model produktivitas tanaman padi berdasarkan standar Food Agricultural Organization (FAO).

Dalam penelitian ini akan dianalisis sejauh mana perubahan curah hujan dan temperatur di NTB dimasa yang akan datang, berdasarkan pada skenario (Spesial Report on Emission Scenarios) SRES A2 IPCC (IPCC, 2007). Kemudian akan dianalisis juga dampak dari perubahan iklim dimasa depan terhadap kesesuaian agroklimat tanaman padi serta tingkat produktivitasnya pada jangka menengah (near future) (2040-2069) dan jangka panjang (future) (2070-2099).

Dengan melihat faktor-faktor kemungkinan proyeksi iklim masa depan di wilayah NTB, diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dan multi pihak didalam membuat kegiatan perencanaan di bidang pertanian.


(3)

3

I.2 Perumusan Masalah

Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu sentra produksi padi nasional, namun termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, seperti perubahan curah hujan dan kenaikan temperatur serta beberapa dampak serius seperti banjir dan kekeringan (Butller dkk. 2009). Boer dan Las (2003) menyatakan bahwa selain faktor lahan dan jenis tanaman, produktivitas padi sangat dipengaruhi oleh variasi iklim setempat. Penelitian ini akan mengkaji tentang perubahan curah hujan dan temperatur di NTB serta dampaknya terhadap tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi dan produktivitasnya di masa yang akan datang.

I.3 Hipotesis

Perubahan curah hujan dan temperatur akan berpengaruh signifikan terhadap pertanian khususnya kesesuaian agroklimat tanaman padi dan tingkat produktivitasnya di provinsi Nusa Tenggara Barat dimasa yang akan datang.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian dampak perubahan iklim terhadap kesesuaian agroklimat dan produktivitas tanaman padi di provinsi Nusa Tenggara Barat adalah :

(a) Diperolehnya proyeksi iklim (curah hujan dan temperatur) di Nusa Tenggara Barat pada periode (2040-2069) dan (2070-2099)

(b) Didapatkanya peta perubahan kesesuaian agroklimat untuk tanaman padi dimasa yang akan datang pada periode (2040-2069) dan (2070-2099)

(c) Diketahui tingkat produktivitas padi pada periode (2040-2069) dan (2070-2099).

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang akan diperoleh dari hasil kajian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

(a) Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat bisa membuat perencanaan pertanian masing-masing daerah di masa depan;

(b) Mendapatkan langkah aksi adaptasi yang diperlukan khususnya untuk tanaman padi dalam menghadapi kondisi iklim di masa mendatang.


(4)

4

I.6 Ruang Lingkup

Berdasarkan tujuan penelitian yang disebutkan diatas, proyeksi perubahan iklim yang dikaji hanya curah hujan dan temperatur, yang merupakan faktor iklim yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Proyeksi iklim yang digunakan berdasarkan data downscalingCCAM dari beberapa model global dengan skenario SRES A2 IPCC. Batas ruang kajian adalah wilayah Nusa Tenggara Barat, dengan koordinat 115°46’-119°5’ BT dan 8°10’-9°5’ LS. Analisis dampak perubahan iklim hanya pada tingkat kesesuaian agroklimat dan produktivitas tanaman padi dengan asumsi tipe tanah dan sistem pertanian dimasa depan tidak berubah.

I.6 Sistematika Penulisan Tesis

Sistematika penulisan tesis ini disusun sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, mencakup latar belakang, perumusan masalah, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan ruang lingkup penelitian.

Bab II Tinjauan Pustaka meliputi perubahan iklim, CCAM downscaling, kesesuaian agroklimat padi dan produktivitas padi di NTB.

Bab III Data dan Metodologi, mencakup data-data yang digunakan dan metodologi pengolahan data untuk mencapai tujuan penelitian.

Bab IV Hasil dan Pembahasan, menampilkan hasil pengolahan data dan analisis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Bab V Penutup, berisi kesimpulan umum dari hasil analisis yang telah dilakukan dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.


(5)

5

BAB II Tinjauan Pustaka

II.1 Perubahan Iklim Global

The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007) dalam laporanya menyimpulkan bahwa akibat efek rumah kaca di atmosfer mengakibatkan pemanasan global, temperatur rata-rata permukaan bumi mengalami peningkatan 0,7 °Celcius sejak 1900 dan terus meningkat dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir. Hal tersebut diilustrasikan pada Gambar II.1

Gambar II.1: Trend temperatur rata-rata global, sumber : IPCC (2007)

Perubahan iklim menurut IPCC (2001) adalah a change in the state of the climate that can be identified (eg, using statistical test by change in the mean and/or the variability) or as a result of human activity. Perubahan iklim diindikasikan dengan berubahnya variabel iklim, khususnya temperatur dan curah hujan yang terjadi secara berangsur angsur dalam jangka waktu yang panjang antara multidecadal sampai 100 tahun (KLH 2004 dalam GTZ 2010).

Panel perubahan iklim antar pemerintahan (IPCC) telah membuat beberapa skenario iklim terkait proyeksi iklim global dimasa depan. SRES (Special Report on Emission Scenario) dikembangkan oleh Nakicenovic dan Swart (2000) dalam laporan IPCC ke-3 tahun 2001 merupakan skenario iklim berdasarkan skenario emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikaitkan dengan perkembangan ilmu, tekonologi, ekonomi dan ketidakpastian sumber energi dimasa depan. Laporan ini masih dirujuk sebagai laporan IPCC ke-4 (IPCC. AR4.WG1. 2007).


(6)

6

Adapun untuk skema SRES diilustrasikan pada Gambar II.2

Gambar II.2 Diagram SRES,WG.1 AR4.IPCC, sumber : (IPCC, 2007)

Berdasarkan skema SRES dinyatakan bahwa skenario iklim masa depan dibentuk dari empat story line yaitu (A1, A2, B1 dan B2). Kemudian skenario famili (A1), dikembangkan menjadi (A1F1), (A1T) dan (A1B). Penjelasan selanjutnya untuk masing-masing skenario terdapat pada lampiran 1.

Skenario A2 merupakan skenario yang lebih tinggi dari SRESemissions scenarios

lainya, meskipun bukan yang paling tinggi, skenario lebih tinggi dipilih karena, alasan analisis dampak dan adaptasi, jika bisa beradaptasi terhadap skenario iklim yang lebih tinggi maka untuk skenario yang lebih rendah bisa juga beradaptasi

(www.narccap.ucar.edu). Kondisi level emisi masa kini pada skenario A2

posisinya berada sedikit diatas skenario spesifik, sehingga skenario A2 dianggap lebih realistis untuk analisis regional (www.fas.org/sgp/crs/misc dalam Katzfey dkk. 2010). Beberapa skenario model global dimana hasil simulasi pola curah hujannya mendekati pola curah hujan historis di Indonesia, disimulasikan dengan baik oleh skenario A2 dan B2, Kurniawan dkk. (2008). Hal ini juga dinyatakan dalam penelitian lainya oleh Susandi (2009); Katzfey dkk. (2010); Kirono dkk. (2012) dalam penelitianya menggunakan skenario A2, A1B dan B2 mampu mensimulasikan pola curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia dengan baik.


(7)

7

II.2 Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) Downscaling

Dalam analisis berbagai dampak dari suatu skenario model iklim global pada suatu wilayah, diperlukan model iklim regional resolusi tinggi yang bisa merepresentasikan topografi, distribusi daratan, lautan dan tata guna lahan (Katzfey dkk. 2010). Metode penurunan skala dari model iklim global (GCM) resolusi rendah atau kasar menjadi model iklim dengan resolusi grid yang lebih tinggi disebut downscaling. Sejauh ini baru dikenal dua metode downscaling yaitu

dynamical downscaling dan statistical downscaling. Dynamical downscaling

adalah suatu metode penurunan skala yang didasarkan pada penggunaan model matematis yang konsisten dengan gambaran fisis sistem iklim, kekurangan metode ini biasanya menghasilkan nilai estimasi dengan bias yang besar antara data model dan data observasi, serta membutuhkan teknik komputasi yang tinggi.

Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam melakukan dynamical downscaling. Langkah pertama adalah menghilangkan bias dari Sea Surface Temperature (SST) dari simulasi model iklim global sebagai hostnya. Hal ini dikarenakan semua model iklim global mempunyai bias SST karena resolusi dari GCM sendiri yang masih kasar dan beberapa proses fisis dan dinamis yang belum terselesaikan dalam model ini (Katzfey dkk. 2010). Untuk koreksi bias, nilai bulanan simulasi

SST dari GCM dibandingkan dengan nilai bulanan dari National Oceanic and Amospheric Administration (NOAA) dengan cara analisis interpolasi optimal untuk periode yang sama (Reynold, 1988 dalam McGregor dkk. 2010).

Comonwealth Science Industrial Reasearch Organization (CSIRO) Australia telah mengembangkan salah satu model iklim regional CCAM dengan metode

dynamical downscaling selama dua dekade terakhir. McGregor dan Dix (2005) menyatakan bahwa Conformal Cubic Atmospheric Model (CCAM) merupakan model numerik atmosfir berdasarkan pada conformal cubic grid, dimana dalam perhitungan model CCAM menggunakan conformal cubic grid dan transformasi

Shmidt untuk streching pada skala regional serta teknik multinesting untuk


(8)

8

CCAM menggunakan conformal cubic grid dimana setiap panel memiliki 48x48 titik grid untuk format C48 grid, 6 sisi kubus dan 18 level vertikal sigma, sehingga jumlah titik grid-nya 248.832 (Thatcher dkk. 2010). Kelebihan lain dari

CCAM adalah mempunyai kemampuan dalam menyediakan fleksibilitas tinggi untuk hasil dynamical downscaling dari data GCM dengan menggunakan data suhu permukaan laut dan beberapa nudging dari host model (Katzfey dkk. 2010).

DownscalingCCAM sudah dilakukan untuk wilayah Indonesia dan negara- negara pasifik dengan resolusi 60 km oleh Katzfey dkk. (2010); McGregor dan Dix (2005); Kirono dkk. (2012) dan khusus wilayah Nusa Tenggara Barat bersama tim

CSIRO dan BMKG dalam project research CSIRO-UNRAM NTB, downscaling

dilakukan hingga resolusi 14 km. Gambaran alur downscaling dari resolusi 200 km, menjadi 60 km wilayah Indonesia, kemudian diturunkan menjadi resolusi 14 km, khusus wilayah NTB (Katzfey dkk. 2010) diilustrasikan pada Gambar II.3

Gambar II.3: Downscaling CCAM (a) the quasi-uniform CCAM 200 km; (b) the

stretched grid, 60 km; dan (c) stretched grid 14 km (Katzfey dkk. 2010)

Dengan menggunakan teknik streched grid secara visual terlihat bahwa hasil

downscaling menghasilkan resolusi grid yang berbeda, resolusi yang tinggi berada di daerah domain yang dikaji, kemudian wilayah diluar dari daerah penelitian jarak grid-nya semakin melebar.


(9)

9

II.3 Kesesuaian Agroklimat

Dalam penentuan tingkat kesesuaian agroklimat tanaman, selain tipe tanah faktor iklim merupakan parameter yang paling diperhitungkan terutama curah hujan dan temperatur, karena kesesuaian agroklimat menggambarkan kondisi iklim optimum yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan baik di suatu lahan pertanian. Oldeman dkk. (1980) dengan konsep iklim pertaniannya menyatakan bahwa padi sawah membutuhkan air rata-rata 145 mm/bulan, sedangkan palawija membutuhkan air rata-rata 50 mm/bulan, kemudian hujan bulanan yang diharapkan mempunyai peluang kejadian 75% atau sama dengan 0,82 kali hujan rata-rata bulanan dikurangi 30. Berdasarkan konsep tersebut, dapat dihitung hujan bulanan yang diperlukan untuk padi sawah maupun palawija (misal X) dengan menggunakan data yang panjang, yaitu :

(a) Padi sawah : 145 = 1,00 (0,82 X - 30) X = 213 mm/bulan (b) Palawija : 50 = 0,75 (0,82 X - 30) X = 118 mm/bulan

Nilai 213 mm dan 118 mm, dibulatkan menjadi 200 mm dan 100 mm, yang digunakan sebagai batas penentuan bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) : Bulan basah (BB) : bulan dengan rata-rata curah hujan > 200 mm, sedangkan Bulan kering (BK) : bulan dengan rata-rata curah hujan < 100 mm.

Klasifikasi iklim Oldeman dikelompokan menjadi 5 tipe utama yang didasarkan pada jumlah bulan basah berturut-turut, sedangkan 4 subdivisinya dikelompokan didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut.

Berdasarkan hasil penelitian menurut As-Syakur dkk. (2011); BMKG (2008) tipe iklim C3, D3 dan D4 merupakan tipe iklim dominan di Pulau Lombok sedangkan di Pulau Sumbawa umumnya mempunyai tipe D3, D4 dan E4. Tipe ini mempunyai jumlah bulan basah sekitar 3-4 bulan pertahun. Kemudian hasil kajian GTZ (2010) menyatakan bahwa dalam kurun (1961-2008) terjadi kecenderungan penurunan curah hujan di bulan Januari dan perubahan tipe iklim di Pulau Lombok dari tipe agak basah, sedang, dan agak kering, bergeser menjadi sedang dan agak kering (GTZ, 2010). Pergeseran tipe iklim tentu akan berpengaruh terhadap kesesuaian agroklimat suatu tanaman.


(10)

10

Kesesuaian agroklimat menurut Food Agricultural Organization (FAO), adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tanaman tertentu. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kesesuaian agroklimat suatu lahan yaitu: parameter iklim, jenis tanaman dan lahan itu sendiri. Berdasarkan standar FAO

kesesuaian agroklimat digolongkan kedalam empat kelas, antara lain : (S1) sangat sesuai, (S2) cukup sesuai, (S3) sesuai marginal dan (N) tidak sesuai, Ritung dkk. (2007). Penjelasan dari definisi pembagian kelas diuraikan pada Tabel II.1

Tabel II.1 Klasifikasi kesesuaian agroklimat standar FAO

No Kelas Penjelasan

1 S1 Sangat Sesuai (Highly Suitable) merupakan lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau meskipun mempunyai pembatas tapi tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi.

2 S2 Cukup Sesuai (Moderately Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas.

3 S3 Sesuai Marginal (Marginal Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan.

4 N Tidak Sesuai (Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.

Sumber : Ritung dkk. (2007)

Berdasarkan hasil kajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2006) dalam Suriadi dkk. (2012) dari (1.911.294 ha) total luas lahan pertanian di provinsi Nusa Tenggara Barat, secara umum kesesuaian agroklimat untuk tanaman padi hanya (3,05) % masuk klasifikasi (S1) sesuai, (23,47) % klasifikasi sesuai marginal


(11)

11

II.4 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Padi

Pemanasan global diprakirakan akan berkisar (1,5–4,5) °C, jika CO2 meningkat dua kali

lipat dimasa depan, pemanasan terbesar akan terjadi didaerah kutub sedangkan di equator

lebih rendah (IPCC, 2007). Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian akan berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanaman, areal yang dapat diirigasi, efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan penyakit (Sumarno dkk. 2008). Meningkatnya frekuensi dan intensitas anomali iklim selama 20 tahun terakhir, berpengaruh nyata terhadap penurunan luas tanam dan hasil panen (Boer dan Las 2003; New dkk. 2012).

Hasil kajian FAO dalam New dkk. (2012) menunjukkan bahwa dampak variabilitas dan perubahan iklim dapat menurunkan produktivitas tanaman pangan di kawasan Asia Tenggara sekitar 2,5% sampai 7,8%. Sedangkan menurut Koesmaryono dkk. (2008) variabilitas dan perubahan iklim dengan segala dampaknya berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan utama sebesar 20,6% untuk padi, 13,6% untuk jagung dan 12,4% untuk kedelai. Sementara itu dampak dari kenaikan temperatur menurut Darwin dkk. (2001) dalam penelitianya menjelaskan bahwa seiring dengan kenaikan rata-rata temperatur global maka akan terjadi penurunan produksi pertanian dan produksi bahan pangan lainya di wilayah Asia Tenggara sebesar (0,8–4,8) %.

Untuk mengetahui interaksi antara unsur iklim, lahan dan tanaman pada sistem pertanian diperlukan suatu model sistem manajemen pertanian. Peranan model simulasi tanaman digunakan untuk merumuskan suatu sistem pertanian dengan mempertimbangkan aspek iklim yang sering disebut sebagai tactical management,

sehingga bisa diketahui faktor saja apa yang berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tanaman tersebut (Robertson dkk. 2002). Salah satu model simulasi tanaman yang sudah dikembangkan di APSRU (Agriculture Production System Research Unit, Natural Resource, CSIRO Australia, yaitu APSIM (Agricultural Production Systems Simulator). APSIM mampu mensimulasikan proses biofisik pada sistem pertanian, khususnya yang berhubungan dengan ekologi tanaman dalam menghadapi resiko iklim (Keating dkk. 2003).


(12)

12

Model APSIM mampu menyederhanakan interaksi lahan, iklim dan tanaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman, kisaran waktu untuk panen dalam kisaran data panjang, sehingga diketahui pengaruh variabilitas iklim terhadap produksi tanaman (Robertson dkk. 2002). Kelemahan model APSIM

tidak merumuskan pengaruh dari hama dan penyakit, kemudian subyektivitas dalam merancang suatu rancangan percobaan yaitu ulangan tidak bisa terdeskripsikan secara jelas. Kelebihan model APSIM mampu mensimulasikan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kontinyu antara satu musim tanam pertama dengan musim tanam berikutnya secara multiyear sehingga bisa diketahui faktor apa yang berpengaruh signifikan terhadap produktivitas tanaman tersebut.

Robertson dkk. (2002) menjelaskan bahwa tujuan model APSIM menyajikan dampak jangka pendek dan jangka panjang dari suatu sistem pertanian pada suatu pertanaman yang sangat dipengaruhi oleh variasi musim. Hasil output APSIM

berupa produktivitas yang disajikan dalam bentuk jumlah biomasa, waktu panen dan total produksi yang mampu dihasilkan oleh suatu tanaman dengan kondisi iklim, lahan dan jenis tanaman yang sudah ditentukan sebagai inputan model.

Beberapa peneliti sebelumnya yang sudah memvalidasi hasil APSIM dalam penelitian produtivitas sorghum, gandum dan kacang hijau di Australia oleh Keating dkk. (2003); di negara-negara Asia Pasifik dan Amerika Selatan oleh Robertson dkk. (2002) untuk simulasi produksi kapas, kacang tanah. Sedangkan untuk wilayah Indonesia hal ini sudah dilakukan oleh Boer dkk. (2003) dengan hasil korelasi (r = 0,91) untuk simulasi produksi kedelai dengan wilayah penelitian di Bogor. Sementara itu Suriadi dkk. (2012) dalam penelitianya menghasilkan bias total produksi padi yang sangat kecil antara hasil simulasi model APSIM dibanding hasil pengukuran lapangan dengan wilayah penelitian Nusa Tenggara Barat. Produksi padi rata-rata selama sepuluh tahun terakhir di provinsi NTB sebesar 6,1 ton/ha (http://www.ntb.bps.go.id).


(13)

13

BAB III Data Dan Metodologi

III.1 Data

Beberapa data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

(1) Data GCM (Global Climate Model), dipilih beberapa keluaran model yang dianggap cukup baik berdasarkan hasil kajian literatur mengenai pengujian kinerja GCM di daerah tropis (Katzfey dkk. 2010). Model iklim global yang direkomendasikan adalah yang digunakan dalam skenario IPCC 2007, keenam data model iklim global tersebut sudah di downscaling

bersama tim CSIRO dan BMKG, sehingga data yang digunakan pada penelitian ini menjadi data model iklim regional dengan resolusi 14 km, seperti terlihat pada Tabel berikut :

Tabel III.1 Daftar 6 model iklim global hasil downscaling

GCM Negara Resolusi

(km)

CCAM downscaling

(km)

CSIRO MK3.5 Australia 200 14

GFDL CM2.0 USA 300 14

GFDL CM2.1 USA 300 14

ECHAM5_MPI Jerman 200 14

MIROC3.2 Jepang 300 14

HadCM3 Inggris UK 300 14

Sumber : (CSIRO, 2010)

(2) Data lahan, lereng dan kemiringan lahan, sumber : BPTP NTB;

(3) Data temperatur 4 stasiun BMKG : Mataram, Kediri, Sumbawa dan Bima;

(4) Data produksi padi, sumber Dinas Pertanian provinsi NTB;

(5) Data curah hujan observasi (1971-2000) dari 56 pos hujan di NTB;

(6) Wilayah kajian pada penelitian ini adalah provinsi Nusa Tenggara Barat dengan posisi 115°46’ - 119°5’ BT dan 8°10’ - 9°5’ LS.


(14)

14

Dengan sebaran posisi pos hujan di seluruh wilayah provinsi NTB, bisa dilihat pada peta di Gambar III.1 :

Gambar III.1 Peta sebaran pos hujan di provinsi NTB

III.2 Metodologi

Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan beberapa tahapan dalam analisis data, adapun langkah pengolahan data sebagai berikut :

(1) Data hasil downscaling CCAM 14 km dari 6 model iklim global SRES A2

IPCC sudah dilakukan bersama tim CSIRO;

(2) Validasi terhadap 6 model hasil downscaling CCAM untuk memilih data terbaik yang ditentukan dengan kriteria mencari nilai korelasi (r) dan Root Means Square Error (RMSE) antara data observasi dan data model

baseline (1971-2000); Rejekiningrum (2008); Gunawan dan Ratag (2008); Estiningtyas dan Wigena (2011); Ratri (2012).

Validasi dilakukan dengan menggunakan beberapa pos hujan terpilih yang terletak dekat atau satu grid point yang sama dan dianggap mewakili posisi geografis NTB. Data model CCAM yang dipilih adalah data dengan RMSE kecil dan korelasi yang tinggi (r > 0,5).


(15)

15

Adapun formulasi dari RMSE, bisa dilihat pada persamaan berikut :

2 1

1 Nn (Mn On)

RMSE

N

 

………(III.1)

dimana :

RMSE = Root Mean Square Error

M = data model, O = data observasi, N = jumlah data

Sementara itu untuk menghitung korelasi digunakan persamaan berikut :

1 1 ( )( ) N n n n M O

M M O O

N Corr

 

  

………..(III.2)

dimana :

M = data model, O = data observasi M

O

standar deviasi model standar deviasi observasi

  

Sebelum digunakan sebagai masukan data dalam menghitung tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi, terlebih dahulu dilakukan koreksi terhadap data model

CCAM (curah hujan dan temperatur) dengan metode sederhana berdasarkan

statistic corrected method (Smith, 2009 dalam Kirono dkk. 2011). Hasil koreksi periode baseline selanjutnya digunakan untuk koreksi data proyeksi periode berikutnya. Untuk menghitung nilai koreksi proyeksi temperatur, digunakan persamaan berikut :

mod mod

mod

( ) obs

obs corrected

T

T T T T

T  

   ………..(III.3)

simbol bar diatas menyatakan nilai rata-rata dan lambang  untuk nilai standar deviasi dari data model dan observasi.

Sementara itu untuk koreksi data proyeksi curah hujan digunakan persamaan berikut : mod mod obs corrected R

R R x

R

……….(III.4)

Dimana simbol bar menyatakan nilai rata-rata baik untuk data model maupun data observasi.


(16)

16

Data CCAM periode (1971-2000) hasil koreksi, data ketinggian, jenis tanah, kemiringan dan sistem drainase digunakan untuk menghitung kesesuaian agroklimat tanaman padi untuk periode baseline, sedangkan data proyeksi yang sudah dikoreksi dan data non iklim lainya dari BPTP NTB, digunakan untuk menghitung klasifiklasi kesesuaian agroklimat dimasa depan. Demikian pula untuk menghitung produktivitas padi, data tersebut digunakan sebagai masukan model pertanian APSIM.

Untuk informasi spasial dilakukan pemetaan dengan bantuan perangkat lunak (Geographic Information System) GIS dan (Grid Analysis and Display System) GRADS secara perbandingan visual akan terlihat perubahan curah hujan dan temperatur, kesesuaian lahan pada jangka menengah (near future) periode (2040-2069) dan jangka panjang (future) periode (2070-2099) dibandingkan data

baseline periode (1971-2000) yang mewakili kondisi terkini (present).

III.3 Metode Evaluasi Kesesuaian Agroklimat

Dalam membuat evaluasi tingkat kesesuaian agroklimat diperhitungkan tiga faktor utama yaitu tanah, topografi dan iklim. Data curah hujan, temperatur, jenis tanah, ketinggian, kemiringan dan drainase digunakan sebagai inputan dalam analisis tingkat kesesuaian agroklimat dengan metode Simple Limitation Approach (SLA).

SLA menggambarkan tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi kedalam 4 kelas (FAO, 2004). Konsep yang digunakan adalah hukum minimum Liebig yang menyatakan bahwa jika salah satu faktor utama tidak sesuai, hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat meskipun faktor lainya terpenuhi sehingga tingkat kesesuaian menjadi turun (Paris, 1992).

Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia, hasil klasifikasi tersebut akan dilakukan pemetaan kelas kesesuaian agroklimat padi di NTB. Pemetaan akan dilakukan overlay beberapa layer parameter dengan menggunakan perangkat lunak GIS. Beberapa parameter yang digunakan dalam perhitungan kesesuaian agroklimat adalah sebagai berikut : iklim, tipe tanah, topografi dan sistem lahan. Tabel kebutuhan parameter tersebut untuk tanaman padi ada di dalam lampiran.


(17)

17

Sebagai ilustrasi gambaran proses overlay dari masing-masing parameter terlihat pada Gambar III.2

Gambar. III.2. Flowchart overlay kesesuaian agroklimat (Ratri, 2012; Ritung dkk. 2007)

III.4 Menghitung Produktivitas Padi

Untuk menghitung produktivitas padi pada model APSIM diperlukan inputan beberapa parameter yang meliputi: tipe tanah, data iklim harian (curah hujan, temperatur, radiasi matahari) data jenis tanaman, manajemen pupuk dan air. Kemudian diset periode simulasi untuk waktu awal tanam, waktu pemupukan dan pilih tanaman yang akan disimulasikan. Adapun hasil keluaran model APSIM

adalah ketersediaan air, kandungan nitrogen, luasan daun, waktu pembungaan dan waktu panen, produksi biomasa dan hasil panen (crops yield) dalam kg/ha. Hasil panen dua kali musim tanam dimana MT 1 sekitar November-Desember dan MT 2 sekitar Maret-April, akan dihitung sebagai tingkat produktivitas tahunan dari tanaman itu sendiri.

Adapun tampilan model APSIM bisa dilihat pada Gambar III.3

Gambar III.3.a. User interface model APSIM, Sumber: Robertson dkk.(2002) (a)


(18)

18

Gambar III.3.b Parameter input dan frame work model APSIM, Sumber : Keating dkk. (2003)

Berdasarkan ilustrasi Gambar III.3.b. APSIM digambarkan sebagai kerangka simulasi genetika, yang diaplikasikan pada situasi dimana data biosfisik tanah, jenis tanaman dan manajemen pertanian tersedia (Keating dkk. 2003). Pada model ini diperhitungkan masa tanam, perkembangan tanaman, proses dalam tanah termasuk ketersediaan air, tranformasi nilai nitrogen dan posfor, PH tanah, tingkat erosi dan manajemen kontrol (Keating dkk. 2003). Secara matematis perubahan pertumbuhan tanaman ditunjukan sebagai fungsi persamaan berikut :

int min( T, N, vpd) w

G R x xF F F xF

  ……….(III.5)

Pertumbuhan dihitung sebagai G, dimana,

G : pertumbuhan harian, Rint : radiasi matahari harian (MJ/m2 ),

ε : cahaya efisien yang diterima daun (g/MJ), FT : dinamika temperatur,

FN : keseimbangan nitrogen, Fvpd : dinamika tekanan defisit air,

dan Fw : curah hujan sebagai suplai air tanah.

Secara sederhana perkembangan pertumbuhan tanaman diilustrasikan mulai dari awal mulai tanam, kemudian proses transpirasi dihitung mulai dari suplai air minimum dari curah hujan harian bagi tanah dan akar, sedangkan kebutuhan energi radiasi matahari untuk produksi biomasa. Perhitungan perkembangan tanaman dari kondisi temperatur dan radiasi matahari harian, untuk menghitung perkembangan pertumbuhan tanaman, luasan daun potensial untuk fotosintesis, setelah itu dihitung akumulasi biomasa, pembungaan, kebutuhan nitrogen, waktu panen, produksi optimum dan hingga tanaman mati (Robertson dkk. 2002).


(19)

19

III.6 Alur Kerja Kegiatan Penelitian

Berikut ini adalah gambaran alur kerja kegiatan penelitian yang dilakukan, seperti terlihat pada Gambar III.4

Data CCAM Downscaling

Data CCAM (2040-2069) Data CCAM (2070-2099) Data Obs CH dan

Temp (1971-2000)

Uji Korelasi dan RMSE (CCAM vs Obs)

T corrected R corrected

Baseline - Curah Hujan

- Temperatur Topografi:

- Kemiringan - Ketinggian Data Tanah:

- Tekstur Tanah - Drainase

Kesesuaian Agroklimat Produktivitas Padi

(Baseline)

Proyeksi CH dan Temp Periode (2040-2069) dan

(2070-2099)

Kesesuaian Agroklimat dan Produktivitas Padi Periode 2040-2069 dan 2070-2099

Peta proyeksi Iklim, Agroklimat, dan Produktivitas Padi Data CCAM (1971-2000)


(20)

20

IV Hasil Dan Pembahasan

IV.1 Posisi Geografis Provinsi NTB

Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 2 pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pulau Lombok relatif lebih datar dibanding Pulau Sumbawa, meskipun di bagian Utara mempunyai Gunung Rinjani dengan ketinggian mencapai 3752 meter (www.ntb.go.id), pada bagian selatan terdiri dari bukit-bukit kecil. Pulau Sumbawa lebih bergunung-gunung, seperti Gunung Bersanak, Batu Lanteh, Dodo dan Gunung Tambora.

Pola hujan di Indonesia khususnya Nusa Tenggara Barat (NTB) sangat dipengaruhi oleh posisi geografis dan pengaruh monsun (Qian dkk. 2010) artinya wilayah ini sangat dipengaruhi oleh angin Timuran dan Baratan. Ketika angin Baratan banyak membawa masa udara dari kawasan Asia dan Pasifik sedangkan ketika angin Timuran datang dari benua Australia, angin dingin dari Selatan memiliki masa udara relatif lebih kering sehingga angin Timuran identik dengan musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia khususnya Nusa Tenggara Barat (Qian dkk. 2010; Aldrian dkk. 2007; Haylock dan McBride 2001).

Umumnya bagian Barat Indonesia mendapatkan hujan lebih banyak daripada wilayah Indonesia bagian Timur, kondisi serupa terjadi di NTB, dimana Pulau Lombok yang secara geografis di sebelah Barat, mendapat curah hujan relatif lebih banyak dibanding Pulau Sumbawa. Hujan dengan intensitas tinggi akan terjadi di daerah dengan ketinggian 600-900 meter diatas permukaan laut (Qian dkk. 2010).


(21)

21

IV.2 Pola Hujan Di Provinsi Nusa Tenggara Barat

Variasi hujan disuatu wilayah sangat dipengaruhi oleh aliran udara orografik dan pergerakan vertikal masa udara karena ketidakstabilan di atmosfir (Qian dkk. 2010). Umumnya curah hujan di NTB berdasarkan rata-rata curah hujan dari 56 pos hujan periode (1971-2000), termasuk tipe monsun, dengan rata-rata curah hujan tahunan bervariasi berkisar (1000-2000) mm/tahun (BMKG, 2008). Curah hujan tertinggi terjadi di Pulau Lombok sekitar (1200-1700) mm/tahun, sementara itu di Pulau Sumbawa curah hujan semakin berkurang dengan rata-rata (1000-1400) mm/tahun. Hal ini seperti yang diilustrasikan pada Gambar IV.1

Gambar IV.1 Grafik rata-rata curah hujan tahunan di NTB (1971-2000)

Berdasarkan grafik pola hujan di NTB termasuk tipe monsun, dengan satu puncak musim hujan dan mempunyai batas yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Secara klimatologi curah hujan maksimum pada musim hujan di NTB terjadi antara bulan Desember-Februari (DJF) dan minimum curah hujan pada musim kemarau terjadi antara bulan Juni-Agustus (JJA). Musim kemarau di wilayah NTB lebih banyak dipengaruhi oleh angin Timuran yang berasal dari daratan Australia yang bergerak menuju benua Asia. Aldrian, (2003) menyatakan bahwa masa udara kering dari Australia mulai bertiup menuju Indonesia sekitar bulan Mei, akibatnya Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) melemah, kondisi ini menyebabkan pertemuan masa udara di sekitar ekuator berkurang sehingga menjadi indikasi awal musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia.

0 100 200 300

400 Stasiun Ampenan

0 100 200 300

400 Stasiun Sengkol

0 100 200 300 400 Stasiun Sumbawa 0 100 200 300 400 Stasiun Bima CH (m m ) C H (m m) C H (m m) C H (m m)


(22)

22

Pada bulan November pengaruh monsun Australia mulai melemah, sementara itu massa udara basah dari monsun Asia mulai menguat (Aldrian, 2003). ITCZ

bergerak mendekati Equator memegang peranan penting pada musim hujan di Indonesia, hal ini terjadi pada saat Belahan Bumi Selatan (Australia) mengalami musim panas sekitar Desember sampai dengan Februari (Coll dan Whitaker 1990). Musim hujan di Indonesia juga sebagai pengaruh dari angin lembab dari samudera Indonesia, menghasilkan jumlah yang signifikan untuk terjadinya hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, namun demikian osilasi musiman dari angin dan hujan dipengaruhi topografi lokal. Angin lokal bisa memodifikasi hujan di tiap wilayah sehingga terjadi variasi hujan secara lokal, seperti halnya juga demikian, provinsi NTB mempunyai variasi hujan lokal yang sangat beragam.

Variasi musim di NTB sebagai daerah yang berada di selatan equator juga sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode. ENSO merupakan interaksi antara laut dan atmosfer di atas samudera Pasifik Tropis Tengah yang mempengaruhi iklim di seluruh dunia. Siklus ENSO lebih banyak dipengaruhi oleh variasi suhu muka laut di wilayah Pasifik Tengah (Coll dan Whitaker 1990). Menurut Rauniyar dan Walsh (2011) di Indonesia dampak ENSO sangat bervariasi tergantung pada posisi geografis, besarnya pulau, dan topografi lokal.

Dampak dari fenomena El Nino terhadap musim di NTB umumnya terjadi penurunan curah hujan dengan kisaran (50-100) mm dari normal curah hujan bulanan. Kirono dkk. (1999) mengidentifikasi awal musim kemarau akan datang lebih awal dan awal musim hujan terjadi sebaliknya sebagai dampak dari El Nino

di Indonesia. Pada kasus El Nino tahun 1997/1998 di sebagian besar wilayah Timur Indonesia termasuk NTB, awal musim kemarau di wilayah tersebut rata-rata lebih maju sekitar 20-30 hari dan awal musim hujannya mundur sekitar 60 hari (Kirono dkk. 1999). Dampak lain terhadap sektor pertanian adalah kekeringan panjang dan penurunan produksi pertanian, kasus penurunan produksi padi di NTB pada El Nino tahun 1986/1987 dan 1997/1998 sekitar (20-60) % dari rata-rata panen tahunanya.


(23)

23

IV.3 Validasi Model Iklim CCAM

Untuk memvalidasi data suatu model bisa dilakukan dengan melakukan uji statistik. Root Mean Square Error (RMSE) dan korelasi (r) dari rata rata jangka panjang antara model iklim regional dan data observasi digunakan untuk mengevaluasi perfoma model. Metode statistik ini digunakan untuk memilih model iklim yang mempunyai korelasi tinggi (r > 0,5) dan nilai RMSE yang kecil. Berdasarkan uji statistik curah hujan tahunan terhadap 6 model iklim hasil

downscaling CCAM untuk periode (1971-2000), didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel IV.1.

Tabel IV.1 Hasil uji statistik, data downscaling CCAM

No Model RMSE Korelasi

1 ECHAM.5MPI 136,4 0,59

2 GFDL 2.1 143,5 0,57

3 GFDL 2.0 144,57 0,52

4 HADCM 146,3 0,57

5 MIROC 3 148,3 0,58

6 MK 3.5 141,0 0,6

Nilai RMSE terkecil adalah model ECHAM.5MPI sekitar 136,4 dengan nilai korelasi (r = 0,59) dan yang terbaik kedua adalah model iklim MK 3.5 dengan nilai RMSE = 141 dan nilai korelasi (r = 0,6). Berdasarkan hasil uji statistik diatas dipilih 2 model iklim yaitu ECHAM.5 MPI dan MK 3.5. Kemudian uji statistik terhadap data model iklim dipilih 4 stasiun yang mewakili provinsi NTB, keempat stasiun ini dipilih selain dari segi keterwakilan geografis juga berdasarkan kelengkapan data. Sementara itu untuk koreksi data model terhadap data observasi curah hujan digunakan metode yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Berikut ini adalah hasil perbandingan antara beberapa model iklim global dengan 4 stasiun terpilih yang mewakili provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu daerah Ampenan dan Sengkol yang mewakili Pulau Lombok dan Sumbawa dan Bima yang mewakili Pulau Sumbawa, seperti terlihat pada Gambar IV.3.


(24)

24

Keterangan :

Gambar IV.2 Grafik perbandingan pola hujan, data model dan observasi (1971-2000)

Berdasarkan grafik diatas, hasil ploting dari beberapa model terhadap curah hujan secara umum memiliki pola yang sama dengan pola hujan observasi, meskipun ada beberapa model yang nilainya diatas nilai observasi, sehingga perlu dilakukan koreksi data baik untuk data curah maupun data temperatur. Kelebihan nilai hasil simulasi model (over estimate) disebabkan ketidak akurasian dari gradient sigma

permukaan, hal ini sering terjadi di daerah topografi tinggi (McGregor dan Dix 2005). Data CCAM (1971-2000) hasil koreksi digunakan untuk koreksi bias pada proyeksi curah hujan periode berikutnya, ilustrasi koreksi data model terhadap data observasi ditunjukkan pada Gambar IV.3 berikut.

Gambar IV.3 Perbandingan curah hujan bulanan di NTB (1971-2000) data model (garis biru), observasi (garis hijau) dan hasil koreksi (garis merah)

0 100 200 300 400 500 Stasiun Ampenan 0 100 200 300 400 500 600 Stasiun Sengkol cu ra h h u ja n ( mm ) 0 100 200 300 400

500 Stasiun Sumbawa

cu ra h h u ja n ( m m ) 0 100 200 300 400 500 600 cu ra h h u ja n ( m m ) Stasiun Bima cu ra h h u ja n ( m m ) Cu ra h H u ja n ( m m ) Tahun


(25)

25

IV.4 Analisis Curah Hujan Di NTB

Analisis curah hujan dilakukan dengan menggunakan hasil simulasi kedua model yaitu ECHAM5.MPI dan MK 3.5, dengan tahapan analisis dibagi kedalam tiga periode waktu yaitu periode (1971-2000) sebagai (baseline), kemudian untuk analisis jangka menengah (near future) periode (2040-2069) dan jangka panjang

(future) periode (2070-2099), untuk analisis masing-masing periode dibahas pada sub bab berikutnya.

IV.4.1 Simulasi Curah Hujan Di NTB Periode (1971-2000)

Secara spasial, simulasi curah hujan tahunan untuk periode (1971-2000) sebagai

baseline atau mewakili kondisi sekarang (present). Kedua model baik

ECHAM5.MPI dan MK 3.5, secara visual menghasilkan pola sebaran curah hujan yang relatif sama untuk daerah NTB, ini menunjukkan tingkat kecocokan (agreement) yang baik antara hasil kedua model pada periode baseline, hal ini memberi sinyal yang baik untuk analisis proyeksi iklim kedepan. Hasil simulasi curah hujan pada periode baseline terlihat pada Gambar IV.4 berikut.

Gambar IV.4 Curah hujan periode (1971-2000) model MK 3.5 (kiri) dan

ECHAM5.MPI (kanan)

Secara umum sebaran curah hujan di NTB berkisar (150–450) mm/bulan pada periode ini, dimana rata-rata curah hujan di Pulau Lombok relatif lebih besar yaitu sekitar (250-350) mm/bulan dibanding curah hujan di pulau Sumbawa sekitar (200-250) mm/bulan, hal ini senada dengan kajian Listiaji (2009); (BMKG, 2008), dimana wilayah Lombok bagian Utara rata-rata memiliki curah hujan yang lebih tinggi daripada Lombok bagian Selatan, sedangkan untuk Lombok bagian Barat lebih tinggi dari bagian Timur.


(26)

26

Curah hujan terendah sekitar (100-150) mm/bulan terjadi di puncak Gunung Rinjani, Gunung Batulanteh dan Gunung Tambora. Adanya pola hujan rendah di gunung seperti ini bisa disebabkan kondisi topografi gunung yang tinggi (seperti Mauna Loa dan Mauna Kea) dimana ketinggian gunung melewati lapisan inversi,

maka hujan yang terjadi tidak akan sampai pada puncak gunung tetapi terjadi di daerah lereng depan gunung (Miilen, 1996 dalam Listiaji, 2009).

Adanya curah hujan lebih tinggi di Sumbawa bagian Selatan sekitar (400-450) mm/bulan, meskipun tidak dapat digambarkan secara jelas, kebanyakan curah hujan pantai yang lebat terjadi di lepas pantai daripada di sekitar slope arah angin rangkaian pantai, kajian sebelumnya telah dicatat dan dipelajari untuk hujan lebat sepanjang pantai upstream bagian barat India Bagian Barat Ghats oleh Grossman dan Durran (1984), Smith (1985); Ogura dan Yoshizaki (1988) dalam Trilaksono, (2007). Kemudian Ogura dan Yoshizaki (1988) dalam Trilaksono, (2007) juga menyatakan bahwa posisi curah hujan paling lebat berada di lepas pantai bergantung pada geser angin vertikal kuat (Baratan level bawah dan Timuran level

atas) dan fluks permukaan kuat di atas laut.

Adaya variasi curah hujan secara spasial di suatu wilayah dalam hal ini tidak terlepas dari proses-proses lokal diantaranya, kondisi topografis, proses angin darat dan angin laut (Ramage 1971; Ding 1994 dalam Listiaji, 2009) yang dalam kajian ini tidak dibahas secara mendetail proses konvektif lokal di wilayah NTB. Terjadinya hasil simulasi yang kurang sesuai tersebut juga dinyatakan oleh (McGregor dan Dix 2005) sebagai kesulitan para modeler iklim regional dalam mensimulasikan hujan di daerah-daerah dengan perbedaan topografi yang tinggi.


(27)

27

IV.4.2 Proyeksi Curah Hujan Di NTB Periode (2040-2069)

Analisis berikutnya adalah proyeksi curah hujan jangka menengah (near future) periode (2040-2069), hasil kedua model baik ECHAM5.MPI dan MK 3.5, secara umum mempunyai kemiripan dalam memproyeksikan sebaran curah hujan periode jangka menengah di provinsi NTB. Secara spasial terlihat tidak terjadi pergeseran sebaran curah hujan di NTB dibanding periode baseline, yang terjadi adalah penurunan rata-rata curah hujan bulanan. Diprediksi rata-rata curah hujan berkisar antara (50-350) mm/bulan, penurunan curah hujan akan terjadi di sebagian wilayah Lombok bagian Utara dan Timur serta Sumbawa bagian Utara dan Tengah dari (300-350) mm/bulan menjadi (250-300) mm/bulan. Pada periode tersebut baik di wilayah Lombok dan Sumbawa diproyeksikan curah hujan terendah sekitar (50-150) mm/bulan, akan terjadi di daerah sekitar Gunung Rinjani dan Gunung Batulanteh dan Gunung Tambora. Adapun proyeksi curah hujan periode near future diilustrasikan pada Gambar IV.5 berikut :

Gambar IV.5 Curah hujan periode (2040-2069) model MK 3.5 (kiri) dan

ECHAM5.MPI (kanan)

IV.4.3 Proyeksi Curah Hujan Di NTB Periode (2070-2099)

Berdasarkan hasil proyeksi model ECHAM5.MPI dan MK 3.5, pada periode (2070-2099) diproyeksikan curah hujan di NTB akan berkisar (100-350) mm/bulan. Secara umum rata-rata curah hujan pada periode tersebut berkurang, hal ini terlihat dari sebaran curah hujan di wilayah Pulau Lombok diprediksi berkisar (150-250) mm/bulan, sedangkan di Pulau Sumbawa sebaran curah hujan yang dominan berksisar (150-200) mm/bulan. Curah hujan terendah terjadi masih di sekitar Gunung Rinjani dan Sumbawa bagian Barat dan daerah Gunung


(28)

28

Tambora. Namun demikian ada juga beberapa daerah tetap lebih basah dibanding daerah lain dengan rata-rata curah hujanya berkisar (300-350) mm/bulan terjadi di daerah Lombok bagian Barat, Sumbawa bagian Selatan dan Timur.

Ada sedikit perbedaan hasil proyeksi kedua model pada periode ini, dimana model

MK 3.5 memproyeksikan sebaran curah hujan untuk relatif lebih tinggi dibandingkan hasil proyeksi model ECHAM5.MPI, hal ini tentu akan berpengaruh terhadap hasil analisis kesesuaian agroklimat maupun analisis produktivitas padi. Hasil proyeksi curah hujan periode (2070-2099) disajikan pada Gambar IV.6 berikut.

Gambar IV.6 Curah hujan periode (2070-2099) model MK 3.5 (kiri) dan

ECHAM5.MPI (kanan)

IV.4.4 Perubahan Curah Hujan Periode (2040-2069) Dan (1971-2000)

Berdasarkan perbandingan peta curah hujan periode near future (2040-2069) terhadap data baseline/present periode (1971-2000) terjadi variasi sebaran perubahan curah hujan di masa mendatang di Nusa Tenggara Barat. Penurunan curah hujan sekitar (10-30) % dari rata-rata curah hujan bulananya diprediksi akan terjadi sebagian wilayah NTB. Sementara itu variasi peningkatan curah hujan diprediksi akan terjadi di daerah Lombok bagian Barat dan Tengah, Sumbawa bagian Barat dengan kenaikan sekitar (0-10) %. Peta perubahan curah hujan pada kedua periode disajikan pada Gambar IV.7.


(29)

29

Gambar IV.7 Perubahan curah hujan periode ((2040-2069) - (1971-2000)) (kiri) dan periode ((2070-2099) - (1971-2000)) (kanan) Model MK3.5

Hasil analisis perubahan curah hujan untuk periode future (2070-2099) terlihat perubahan curah hujan diperiode tersebut variasinya semakin besar, diproyeksikan perubahan curah hujan selama periode future relatif terhadap baseline/present, bervariasi sekitar -40% sampai dengan 20% dari rata rata bulananya. Penurunan curah hujan yang paling tinggi sekitar (30-40) % diprediksi akan terjadi di wilayah Lombok bagian Timur dan Sumbawa bagian Selatan dan Timur, disisi lain beberapa daerah diprediksi akan mengalami peningkatan curah hujan sekitar (10-20) % akan terjadi di Lombok bagian Barat, Sumbawa bagian Barat Daya. Jika dilihat dari posisi sebaran curah hujan di periode future kenaikan rata-rata curah hujan pada periode masa depan lebih disebabkan oleh kenaikan curah hujan yang signifikan pada musim hujannya yang relatif lebih basah daripada periode

baseline, namun demikian secara umum sebagian besar wilayah NTB mengalami penurunan curah hujan.

IV.4.5 Analisis Curah Hujan Pada Musim Hujan Periode (1971-2000)

Analisis curah hujan pada setiap musim dikaji pada periode-periode yang dianggap sebagai puncak di masing-masing periode musim, baik puncak musim hujan pada periode Desember, Januari, Februari (DJF) dan musim kemarau dengan puncaknya di bulan Juni, Juli, Agustus (JJA). Hasil simulasi sebaran curah hujan pada musim hujan (DJF) ditampilkan pada Gambar IV.8 berikut ini.


(30)

30

Gambar IV.8 Curah hujan pada musim hujan (DJF) (1971-2000) MK3.5 (kiri) dan

ECHAM5.MPI (kanan)

Hasil analis kedua model untuk simulasi curah hujan pada musim hujan di periode

baseline sebaran curah hujan pada musim hujan periode tersebut akan berkisar (100-550) mm/bulan, hasil kedua model menunjukan kecocokan dalam mensimulasikan sebaran curah hujan pada musim hujan di NTB. Untuk membantu analisis hasil simulasi curah hujan pada musim hujan periode baseline dilakukan analisis komposit angin terhadap curah hujan, dilustrasikan pada Gambar IV.9 berikut.

Gambar IV.9 Komposit angin permukaan dengan curah hujan (DJF) (1971-2000) MK 3.5

Secara klimatologis hasil simulasi model menunjukan bahwa pada musim hujan (DJF) di NTB angin yang aktif adalah angin baratan, dimana angin tersebut membawa masa uap air yang basah dari Asia dan laut sekitar Indonesia, ketika angin tersebut terhalang oleh faktor orografik yaitu Gunung Rinjani di Lombok dan Gunung Tambora di Sumbawa, maka awan awan konvektif akan lebih banyak berkumpul didaerah depan gunung, hasil simulasi komposit angin dan curah hujan mampu menunjukan sebaran hujan maksimum terjadi di daerah Lombok bagian


(31)

31

Barat dan Sumbawa bagian Barat dan Utara. Hal ini sesuai dengan Tjasyono (2008) secara klimatologi ketika musim hujan atau angin baratan berlangsung pantai Barat di sepanjang Jawa termasuk Nusa Tenggara akan mendapatkan curah hujan lebih banyak dibandingkan pantai Timur atau Selatan, karena awan-awan konvektif akan lebih banyak tertahan dan berkumpul didaerah tersebut.

Sebaran curah hujan tertinggi pada musim hujan periode baseline dengan kisaran (500-650) mm/bulan, akan terjadi di daerah Lombok bagian Barat dan Barat Laut, Sumbawa bagian Barat dan Utara. Curah hujan yang dominan pada periode musim hujan pada periode tersebut berkisar (250-400) mm/bulan, yaitu di sekitar Lombok Tengah dan Timur Sumbawa bagian Tengah dan Bima bagian Timur. Sementara itu sebaran curah hujan terendah masih berada didaerah puncak pegunungan baik Gunung Rinjani di Lombok maupun Gunung Tambora di Sumbawa. Kondisi topografi gunung yang tinggi (seperti Mauna Loa dan Mauna Kea) dimana ketinggian gunung melewati lapisan inversi, maka hujan yang terjadi tidak akan sampai puncak gunung tetapi terjadi di daerah lereng gunung (Miilen, 1996 dalam Listiaji, 2009). Kondisi serupa juga diduga terjadi di wilayah Lombok dan Sumbawa, dimana di Lombok terdapat Gunung Rinjani yang merupakan gunung tertinggi kedua di Indonesia, dengan orografi yang demikian dimana ketika angin barat terjadi maka masa udara akan terhalang oleh keberadaan gunung yang menghadang datangnya angin, sehingga angin yang membawa uap air terbentur gunung, maka hujan yang terjadi tidak akan sampai pada puncak gunung tetapi terjadi di daerah lereng depan gunung.


(32)

32

IV.4.6 Analisis Curah Hujan Pada Musim Kemarau Periode (1971-2000) Untuk hasil simulasi curah hujan pada musim kemarau di wilayah Nusa Tenggara Barat dengan puncaknya di bulan Juni, Juli, Agustus (JJA) pada periode baseline

ditampilkan pada Gambar IV.10.

Gambar IV.10 Curah hujan pada musim kemarau (JJA) (1971-2000) model MK 3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Hasil analis kedua model untuk simulasi curah hujan pada musim kemarau di periode baseline, sebaran curah hujan pada periode tersebut berkisar (20-120) mm/bulan, hasil kedua model kembali menunjukan tingkat kecocokan yang sangat baik dalam mensimulasikan sebaran curah hujan pada musim kemarau di NTB, hasil simulasi menunjukan bahwa sebaran curah hujan dominan dengan kisaran (20-60) mm/bulan terjadi di sebagian besar pulau Lombok dan pulau Sumbawa. Curah hujan tertinggi pada musim kemarau periode tersebut berkisar (80-120) mm/bulan, yaitu di sekitar Sumbawa bagian Selatan dan Timur. Sedangkan untuk analisis komposit angin periode JJA bisa di lihat pada Gambar IV.11.

Gambar IV.11 Komposit angin permukaan dengan curah hujan pada musim kemarau (JJA) (1971-2000) model MK 3.5


(33)

33

Secara klimatologis bisa dijelaskan bahwa periode musim kemarau di NTB dengan puncaknya sekitar Juni-Agustus (JJA), dimana kondisi angin pada periode itu adalah angin timuran atau lebih dikenal dengan monsun Australia sedang aktif (Aldrian dkk. 2007) dengan arah dari Timur dan Tenggara wilayah Nusa Tenggara Barat, dengan adanya obstacle dari pegunungan di sekitar Selatan Sumbawa dan Gunung Rinjani di pertengahan Lombok maka masa udara akan terhalang dan berkumpul di sekitar pegunungan sisi Selatan NTB sehingga hujan lebih berpeluang terjadi di daerah-daerah Selatan dan Timur NTB. Hal ini disimulasikan cukup baik pada Gambar IV.11, tentang komposit angin permukaan periode JJA dan sebaran curah hujan pada periode yang sama, dimana arah angin sudah dari arah Selatan dan Tenggara dan sebaran curah hujan pada periode ini sudah menunjukan kondisi musim kemarau seperti yang dinyatakan oleh Oldeman (1980) bahwa musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan dalam satu bulan kurang dari 100 mm.

IV.4.7 Proyeksi Curah Hujan Pada Musim Hujan Periode (2040-2069)

Sedangkan untuk proyeksi curah hujan pada musim hujan (DJF) di NTB periode (2040-2069) ditunjukkan pada Gambar IV.12 berikut :

Gambar IV.12 Proyeksi curah hujan pada musim hujan (2040-2069 ) model MK 3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Curah hujan pada musim hujan periode near future diproyeksikan akan meningkat dengan kisaran (150-650) mm/bulan, tidak terlihat adanya pergeseran distribusi hujan pada periode ini dibandingkan periode baseline, secara umum curah hujan dominan pada musim hujan (DJF) periode tersebut mengalami peningkatan curah


(34)

34

hujan dengan kisaran (250-400) mm/bulan, hampir di sebagian besar wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa. Sementara itu curah hujan tertinggi sekitar (450-700) mm/bulan diprediksi akan terjadi di Lombok Barat dan Sumbawa bagian Barat dan Utara.

IV.4.8 Proyeksi Curah Hujan Pada Musim Kemarau Periode (2040-2069) Jika dibandingkan curah hujan musim kemarau (JJA) pada near future periode (2040-2069) dengan hasil simulasi baseline, dari hasil kedua model pada Gambar IV.13, terlihat pola sebaran hujan yang relatif sama namun secara umum rata-rata curah hujannya mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Gambar IV.13 Proyeksi curah hujan pada Musim Kemarau (2040-2069 ) model MK 3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Sebagian besar wilayah NTB diproyeksikan mengalami curah hujan sekitar (10-100) mm/bulan. Hal ini menunjukan bahwa secara umum terjadi penurunan curah hujan cukup signifikan pada periode musim kemarau, curah hujan yang mendominsi wilayah NTB hanya berkisar (20-40) mm/bulan.


(35)

35

IV.4.9 Proyeksi Curah Hujan Pada Musim Hujan Periode (2070-2099)

Proyeksi curah hujan pada musim hujan (DJF) periode future berdasarkan kedua model diilustrasikan pada Gambar IV.14 berikut :

Gambar IV.14 Proyeksi curah hujan pada MH (2070-2099 ) model MK 3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Berdasarkan hasil proyeksi kedua model pada Gambar IV.14 memperlihatkan kecocokan hasil proyeksi curah hujan pada musim hujan (DJF). Curah hujan pada musim hujan periode (2070-2099) diprediksi akan meningkat dengan kisaran (150-750) mm/bulan, secara umum curah hujan dominan pada musim hujan (DJF) periode future mengalami peningkatan dengan curah hujan dominan sekitar (300-450) mm/bulan hampir disebagian wilayah pulau Lombok dan Sumbawa. Curah hujan tertinggi sekitar (550-750) mm/bulan diprediksi akan terjadi di Lombok Barat dan Sumbawa bagian Barat dan Utara. Sementara itu pada periode ini terlihat bahwa curah hujan yang rendah dengan kisaran (150-250) mm/bulan semakin meluas wilayahnya terutama di sekitar Gunung Rinjani, Sumbawa bagian Tengah, Selatan dan Timur, serta kawasan Gunung Tambora.


(36)

36

IV.4.10 Proyeksi Curah Hujan Pada Musim Kemarau Di NTB (2070-2099) Untuk proyeksi musim kemarau (JJA) periode (2070-2099) berdasarkan 2 model ditampilkan pada Gambar IV.15 berikut :

Gambar IV.15 Proyeksi curah hujan periode MK (2070-2099 ) model MK 3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Hasil proyeksi curah hujan musim kemarau periode (JJA) tersebut berdasarkan hasil kedua model relatif sama. Curah hujan pada musim kemarau diprediksi berkisar (0–80) mm/bulan, kembali terjadi penurunan rata-rata curah hujan pada musim kemarau periode future dengan sebaran curah hujan rendah (0-20) mm/bulan mendominasi sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Barat, curah hujan tertinggi dengan kisaran (60–80) mm/bulan hanya terjadi di Sumbawa bagian selatan dan Bima bagian Timur. Secara umum curah hujan pada periode

future turun sangat signifikan dibandingkan periode baseline, hal ini menunjukan bahwa di masa depan musim kemaraunya relatif akan lebih kering lagi dibanding periode sekarang.

IV.5 Analisis Data Temperatur

Proyeksi temperatur di provinsi Nusa Tenggara Barat tidak terlalu komplek dibandingkan proyeksi curah hujan. Laporan IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim diprediksi terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diikuti oleh peningkatan dua kali lipat konsentrasi CO2

pada tahun 2100. Peningkatan konsentrasi CO2 dianggap sebagai penyebab

peningkatan rata-rata temperatur global, meskipun prediksi iklim dimasa depan merupakan hal yang tidak pasti, prediksi kenaikan emisi karbon dan GRK seperti halnya apa yang sedang terjadi sekarang, diilustrasikan pada Gambar IV.16.


(37)

37

Gambar IV.16 Proyeksi temperatur global dengan beberapa skenario

emisi dan asumsi pertumbuhan GRK pada tahun 2100 (Sumber : IPCC, 2007)

Berdasarkan Gambar IV.16, diilustrasikan bahwa pemanasan global sangat tergantung pada arah dan besaran timbal balik parameter iklim yang tidak secara pasti bisa diprediksi (IPCC, 2007). Besaran timbal balik parameter iklim yang tidak secara pasti inilah yang membuat IPCC membagai proyeksi iklim masa depan berdasarkan beberapa skenario. IPCC memprediksi bahwa temperatur bumi akan meningkat sekitar (1,1–6,4) °C pada akhir abad 21. Prediksi yang dianggap terbaik untuk akhir abad 21, sekitar (1,8–4,0) °C, range peningkatan tersebut diyakini akan berdampak terhadap kehidupan manusia termasuk pertanian dimasa yang akan datang (IPCC, 2007).

Dalam melakukan analisis perubahan temperatur untuk proyeksi iklim mendatang pada penelitian ini, sebelumnya dilakukan koreksi data model dengan simple corrected method seperti yang dijelaskan pada bab III. Hasil menghitung nilai Tkoreksi didapatkan nilai faktor koreksi sebagai koreksi bias periode baseline

(1971-2000), sehingga nilai ini dijadikan sebagai nilai untuk koreksi bias proyeksi temperatur pada analisis berikutnya. Sebagai ilustrasi hasil perhitungan nilai koreksi temperatur ditunjukkan pada Gambar IV.17.


(38)

38

Gambar IV.17 Koreksi rata-rata temperatur baseline (1971-2000)

Dimana nilai bias dari (TCCAM) dikurangi (Tobs) digunakan untuk mengkoreksi

nilai proyeksi temperatur (Tcorr), berdasarkan hasil koreksi didapatkan nilai

proyeksi temperatur. Trend kenaikan temperatur periode masa depan seperti diilustrasikan pada Gambar IV.18 berikut ini :

Gambar IV.18 Proyeksi temperatur periode (2040-2099)

Berdasarkan hasil proyeksi temperatur untuk periode (2040-2099) terlihat adanya

trend kenaikan rata-rata temperatur relatif terhadap rata-rata temperatur baseline, dengan angka kenaikan rata-rata hasil koreksi sekitar (1,7–3,7) °C. Hasil analisis setelah dikoreksi ini masih sesuai dengan prediksi IPCC bahwa prediksi kenaikan temperatur terbaik untuk akhir abad 21 akan berada pada kisaran (1,8–4,0) °C (IPCC, 2007).


(39)

39

IV.5.1 Analisis Data Temperatur Di NTB Periode (1971-2000)

Berikut ini adalah gambaran sebaran temperatur baseline hasil simulasi kedua model seperti terlihat pada Gambar IV.19.

Gambar IV.19 Temperatur rata-rata baseline (1971-2000) model MK.3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Hasil simulasi temperatur periode (1971-2000) sebagai informasi baseline

mewakili kondisi masa kini, terlihat bahwa temperatur rata-rata di wilayah NTB pada periode tersebut bekisar antara (17-27)°C, hasil simulasi dua model baik

ECHAM5.MPI maupun MK 3.5 menampilkan sebaran temperatur yang relatif sama, dimana temperatur tertinggi terjadi didaerah pantai dan terendah didaerah sekitar gunung. Hal ini sesuai dengan metode lapsrate temperatur yang dinyatakan oleh Braak 1928 dalam Tjasyono (2008), Slingo dkk. (2011) bahwa seiring naiknya elevasi diikuti penurunan temperatur sekitar 0,65 °C/100 meter.

IV.5.2 Proyeksi Temperatur Di NTB Periode (2040-2069)

Untuk proyeksi temperatur jangka menengah (near future) periode (2040-2069), terlihat bahwa sebaran temperatur rata-rata secara umum meningkat di wilayah NTB, dengan kisaran temperatur antara (22-28) °C, hasil proyeksi kedua model baik MK 3.5 maupun ECHAM5.MPI menampilkan sebaran temperatur yang relatif sama, artinya kedua model mempunyai agreement atau kecocokan. Peningkatan temperatur rata-rata pada near future periode (2040-2069) merupakan salah satu gambaran dari skenario A2 yang menyatakan pada periode tersebut akan terjadi kenaikan jumlah penduduk, namun perubahan teknologi berjalan lambat, kenaikan konsentrasi GRK di atmosfer diduga akan menyebabkan peningkatan temperatur secara regional maupun lokal wilayah. Hasil proyeksi temperatur untuk jangka menengah disajikan pada Gambar IV.20.


(40)

40

Gambar IV.20 Temperatur rata-rata periode (2040- 2069)model MK.3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

IV.5.3 Proyeksi Temperatur Di NTB Periode (2070-2099)

Untuk proyeksi temperatur jangka panjang (future) periode (2070-2099) terlihat ada peningkatan temperatur rata-rata dibandingkan dengan temperatur periode (1971-2000) dengan kisaran antara (23-29) °C. Hasil proyeksi kedua model baik

MK 3.5 dan ECHAM5.MPI menampilkan sebaran temperatur yang relatif sama, hal ini dapat dilihat pada Gambar IV.21 berikut.

Gambar IV.21 Temperatur rata-rata periode (2070-2099) model MK.3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

Secara perbandingan visual terlihat bahwa seiring dengan periode waktu secara umum diproyeksikan akan terjadi kenaikan temperatur hampir merata di seluruh NTB baik untuk periode near future maupun periode future. Kenaikan temperatur secara umum di NTB merupakan gambaran masa depan dengan asumsi yang digunakan pada skenario A2 bahwa kenaikan konsentrasi GRK dan aerosol pada akhir abad 21 akan meningkat 2 kali lipat dibanding periode baseline.


(41)

41

IV.5.4 Perubahan Temperatur Di NTB Periode (2040-2069)-(1971-2000) Analisis perubahan temperatur jangka menengah (near future) periode (2040-2069) relatif terhadap baseline periode (1971-2000), terlihat perubahan temperatur rata-rata di wilayah NTB dengan peningkatan berkisar (1,1–2,0) °C menurut model MK 3.5 dan ECHAM5.MPI. Kisaran peningkatan rata-rata temperatur yang mendominasi wilayah NTB bekisar antara (1,1–1,7) °C, terjadi di wilayah Lombok bagian Barat, Tengah dan Timur serta Sumbawa bagian Barat. Sementara itu untuk sebaran perubahan temperatur tertinggi terjadi Lombok Tengah bergerak ke arah Timur dan Sumbawa bagian Barat dan Tengah.

Gambar IV.22 Perubahan temperatur periode (2040-2069) model MK.3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

IV.5.5 Perubahan Temperatur Di NTB Periode (2070-2099)-(1971-2000) Berdasarkan hasil proyeksi model MK 3.5 dan ECHAM.5MPI perubahan temperatur jangka panjang (future) periode (2070-2099), relatif terhadap baseline

periode (1971-2000), kedua model menunjukkan sebaran kenaikan temperatur di daerah yang relatif sama, perubahan temperatur rata-rata di wilayah NTB meningkat bekisar (2,6–3,7) °C menurut model ECHAM 5.MPI, sedangkan menurut hasil model MK 3.5 temperatur rata-rata meningkat bekisar (2,6–3,5) °C, dengan perubahan temperatur semakin meluas baik di pulau Lombok maupun pulau Sumbawa terutama bagian Barat dan Timur. Kenaikan temperatur tertinggi terjadi di wilayah Lombok bagian Utara dan Sumbawa bagian Tengah dan Barat. Dengan kenaikan temperatur yang relatif tinggi dan merata diseluruh wilayah NTB hal ini tentu akan mempengaruhi pada tingkat kesesuaian agroklimat dan produktivitas padi dimasa depan, hal ini akan di bahas pada sub bab berikutnya.


(42)

42

Adapun perubahan temperatur pada periode future relatif terhadap periode

baseline di ilustrasikan Gambar IV.23 berikut :

Gambar IV.23 Perubahan temperatur periode future (2070-2099) model MK.3.5 (kiri) dan model ECHAM5.MPI (kanan)

IV.6 Analisis Kesesuaian Agroklimat Tanaman Padi

Beras sebagai hasil tanaman padi merupakan makanan pokok paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Asia (Peng, 2004). Padi bisa tumbuh diberbagai variasi ketinggian, tinggi optimum lahan untuk padi adalah daerah dengan ketinggian sekitar (0-1500) meter diatas permukaan laut, dengan temperatur optimum (22-30) °C (Ritung dkk. 2007). Tanaman padi bisa tumbuh pada dua sistem pengairan, dimana 75% tanaman padi tumbuh di daerah irigasi dan 10% didaerah tadah hujan dataran rendah (FAO, 2004). Rosenzweig dkk. (2001) menyatakan bahwa cuaca yang sulit diprediksi dapat meningkatkan kerentanan terhadap perkembangan suatu tanaman baik dari segi pertumbuhan, hama penyakit dan beberapa dampak negatif dari iklim ekstrim.

Dalam analisis kesesuaian agroklimat ada lima parameter yang diperhitungkan yaitu data iklim meliputi curah hujan dan temperatur, data non iklim meliputi tekstur tanah, irigasi, kemiringan tanah, topografi dan jenis tanaman. Data curah hujan dan temperatur yang digunakan adalah data hasil downscaling 2 model iklim terpilih yaitu ECHAM.5MPI dan MK 3.5. Data iklim tersebut kemudian diklasifikan berdasarkan tingkat kesesuaian agroklimat, data tekstur tanah dan sistem lahan dari BPTP di klasifikasikan kedalam 4 kelas, hal demikian juga untuk data topografi dan kemiringan dari data dem (digital elevasi model)


(43)

43

diklasifikasikan kedalam 4 kelas, setelah diklasifikasikan terhadap tingkat kesesuaian agroklimat masing-masing parameter baik iklim maupun non iklim, kemudian diolah dan di overlay di perangkat lunak GIS.

Analisis tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi dibagi kedalam tiga periode waktu yaitu periode (1971-2000) sebagai informasi baseline atau mewakili kondisi masakini, periode (2040-2069) untuk jangka menengah (near future) dan periode (2070-2099), untuk jangka panjang (future). Selanjutnya untuk informasi spasial tentang gambaran kondisi kesesuaian agroklimat tanaman padi pada masing-masing periode akan di tuangkan dalam bentuk peta kesesuaian agroklimat.

IV.6.1 Analisis Kesesuaian Agroklimat Tanaman Padi Periode (1971-2000) Hasil analisis kesesuaian agroklimat untuk periode (1971-2000) seperti yang ditunjukkan pada Gambar IV.24 dan Gambar IV.25 memperlihatkan bahwa secara umum tingkat kesesuaian agroklimat untuk tanaman padi pada periode tersebut, hanya spot kecildaerah yang sangat sesuai (S1), secara umum tingkat kesesuaian agroklimat yang dominan adalah (S2) sesuai moderate dan sesuai marginal (S3), bahkan beberapa daerah tidak sesuai (N) cukup luas di Lombok sekitar Gunung Rinjani dan Sumbawa Tengah dan sekitar Gunung Tambora.

Gambar IV.24 Peta kesesuaian agroklimat tanaman padi periode (1971-2000) model MK 3.5


(44)

44

Gambar IV.25 Peta kesesuaian agroklimat tanaman padi periode (1971-2000) model ECHAM5.MPI

Terdapat perbedaan hasil simulasi dari kedua model, dimana pada hasil model MK 3.5 terdapat daerah yang mempunyai tingkat kesesuaian (S1) sangat sesuai yaitu wilayah Sumbawa bagian Timur dan bagian Selatan. Ketidakcocokan hasil simulasi dua model tersebut lebih disebabkan karena simulasi curah hujan hasil

MK 3.5 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ECHAM.5MPI. Hasil distribusi tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi periode (1971-2000) dengan parameter iklim inputan dari dua model ditunjukkan pada Tabel IV.2.

Tabel IV.2 Tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi periode (1971-2000) Tingkat Kesesuaian

Agroklimat Daerah

S1 (Sangat Sesuai) Sebagian Sumbawa bagian Selatan dan Timur

S2 (Sesuai Moderate) Lombok Timur bagian Selatan dan Timur dan Lombok Bagian Selatan

S3 (Sesuai Marginal) Lombok Barat bagian Utara, Selatan dan Barat Laut, Lombok Tengah dan Timur, Sumbawa bagian Barat, Bima, Dompu

N (Tidak Sesuai) Kota Mataram, Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa bagai Tengah,Barat serta Bima dan Dompu bagian Utara

Luasnya tingkat kesesuaian agroklimat kategori (N) tidak sesuai untuk tanaman padi di NTB lebih disebabkan oleh faktor non iklim yang menghambat faktor iklim. Seperti pulau Moyo di Utara Sumbawa disebabkan oleh jenis tanahnya yang tidak cocok untuk padi, di wilayah Lombok Barat, Bima bagian Utara dan


(45)

45

Dompu disebabkan karena tidak tersedia sistem irigasi. Faktor elevasi tinggi di sekitar Gunung Rinjani dan beberapa daerah pegunungan di Sumbawa menyebabkan tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman padi. Sebagai perbandingan, analisis tingkat kesesuaian agroklimat tanaman padi di NTB hasil kajian BPTP dalam Suriadi dkk. (2012), disajikan pada Gambar IV.26 dan IV.27.

Gambar IV.26 Peta kesesuaian agroklimat tanaman padi di Pulau Lombok (Sumber : Suriadi dkk. 2012)

Gambar IV.27 Peta kesesuaian agroklimat padi di Pulau Sumbawa (Sumber : Suriadi dkk. 2012)

Perbedaan mencolok terlihat di daerah Lombok Timur, dimana hasil BPTP menunjukan tingkat kesesuaian (S1) lebih luas dibandingkan hasil kedua model, perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh perbedaan inputan data parameter iklim atau non iklim. Pada analisis selanjutnya diasumsikan tidak terjadi perubahan jenis tanah dan topografi sehingga faktor yang diperhitungkan pada periode berikutnya hanya perubahan curah hujan dan temperatur.


(46)

46

IV.6.2 Proyeksi Kesesuaian Agroklimat Tanaman Padi (2040-2069)

Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dengan adanya perubahan curah hujan dan temperatur pada periode near future, bahwa diprediksi terjadi perubahan curah hujan yang variatif, penurunan sekitar 30% dan kenaikan 10% dari rata-rata bulananya, sedangkan kenaikan temperatur bekisar (1,1–1,7) C, hal berdampak pada kesesuaian agroklimat padi untuk periode tersebut, secara spasial disajikan pada Gambar IV.28 dan Gambar IV.29.

Gambar IV.28 Peta kesesuaian agroklimat tanaman padi periode (2040-2069) model MK 3.5

Gambar IV.29 Peta kesesuaian agroklimat tanaman padi periode (2040-2069) model ECHAM5.MPI


(1)

76

'reinit'

'set display color white'

'set gxout shaded'

'set mpdset hires'

'set csmooth on'

'set grads off'

'set grid off'

'sdfopen d:\ccam_tesis\periodical\Mk3.5_2070_2099.nc'

'set dfile 1'

'define v1=rnd24'

'sdfopen d:\ccam_tesis\periodical\mpi_echam5_2070_2099.nc'

'set dfile 2'

'define v2=rnd24'

'set lat -9.5 -7.5'

'set lon 115.5 119.5'

'set clevs 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500'

'set ccols 9 14 11 13 3 10 7 8 6 2'

'd v1*30'

'draw title Rainfall (mm) (2070-2099)

MK 3.5

'

'run cbarn.gs'

'printim d:\peta_tesis\peta_baru\MK35_CH90AN.png X800 Y600 white'

'c'

'set lat -9.5 -7.5'

'set lon 115.5 119.5'

'set clevs 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500'

'set ccols 9 14 11 13 3 10 7 8 6 2'

'd v2*30'

'draw title Rainfall (mm) (2070-2099) MPI_ECHAM5'

'run cbarn.gs'


(2)

77

LAMPIRAN 6.

Klasifikasi Tingkat Kesesuaian Agroklimat Padi Periode (1971-2000)

Stasiun/Grid

Curah

Hujan

Temperatur

Drainase

Jenis

Tanah

Topografi

Klas

Agroklimat

1

1

1

2

1

1

2

2

1

1

2

1

1

2

3

1

1

2

1

1

2

4

1

1

2

1

1

2

5

1

1

2

1

1

2

6

1

1

2

1

1

2

7

1

1

2

1

1

2

8

1

1

2

1

1

2

9

1

1

2

1

1

2

10

1

1

2

1

2

2

11

1

1

2

1

2

2

12

1

1

2

1

2

2

13

1

1

2

1

3

3

14

1

1

2

1

3

3

15

1

1

2

1

1

2

16

1

1

2

1

1

2

17

2

1

2

1

1

2

18

2

1

1

1

1

2

19

2

1

0

4

1

4

20

2

1

0

4

1

4

21

2

1

0

4

1

4

22

2

1

2

3

1

3

23

2

1

2

1

1

2

24

2

1

2

1

1

2

25

2

1

2

1

1

2

26

2

1

2

1

1

2

27

2

1

2

1

1

2

28

2

1

2

1

1

2

29

2

1

2

1

1

2

30

2

1

2

1

2

2

31

2

1

2

1

1

2

32

2

1

2

1

1

2

33

2

1

2

1

2

2

34

2

1

2

1

3

3

35

2

1

2

1

2

2

36

2

1

2

1

3

3


(3)

78

39

2

1

2

1

4

4

40

2

1

2

1

4

4

41

2

1

2

1

1

2

42

2

1

2

1

2

2

43

2

1

2

1

1

2

44

2

1

2

1

2

2

45

2

1

2

1

1

2

46

2

1

2

1

2

2

47

2

1

2

1

2

2

48

2

1

2

1

3

3

49

2

1

2

1

3

3

50

2

1

2

1

3

3

51

2

1

2

1

1

2

52

2

1

2

1

1

2

53

2

1

2

1

2

2

54

2

1

2

1

1

2

55

2

1

2

1

1

2


(4)

79

LAMPIRAN 7.

Tabel Hasil Produksi di Pulau Lombok, Keluaran Model APSIM

Tahun

Produksi (kg)

Baseline (kg/ha) Near Future (kg/ha) Future ECHAM5 MK 3.5 Echam5 MK 3.5 Echam5 MK 3.5 1971 2040 2070 6904.7 7344.6 6671.25 6708.43 6371.25 6508.89 1972 2041 2071 6815.085 7141.9 6696.635 6337.19 6396.635 6337.19 1973 2042 2072 7157.3 7312 6577.02 6410.1 6277.02 6310.1 1974 2043 2073 6845.855 7201.3 6557.405 6483.01 6257.405 6583.01 1975 2044 2074 7011.7 7535.8 6637.79 6455.92 6337.79 6655.92 1976 2045 2075 6806.625 7348.9 6518.175 6528.83 6218.175 6528.83 1977 2046 2076 6787.01 7273.3 6598.56 6401.74 6298.56 6501.74 1978 2047 2077 6865.47 7320.8 6478.945 6574.65 6178.945 6224 1979 2048 2078 6845.855 7011.7 6559.33 6607.56 6259.33 6608.89 1980 2049 2079 7026.24 7212.9 6439.715 6520.47 6139.715 6420.47 1981 2050 2080 6806.625 7352.9 6687 6493.38 6120.1 6193.38 1982 2051 2081 6787.01 7295.2 6400.485 6790 6100.485 6206.29 1983 2052 2082 6767.395 7113.6 6380.87 6439.2 6080.87 6339.2 1984 2053 2083 6949.705 7724.6 6461.255 6412.11 6161.255 6312.11 1985 2054 2084 7012 7322.8 6341.64 6864.8 6041.64 6085.02 1986 2055 2085 6728.165 7446.4 6322.025 6587.93 6022.025 6187.93 1987 2056 2086 6708.55 7157.3 6302.41 6498.67 6002.41 5998.67 1988 2057 2087 6988.935 7245.8 6223 6751.58 5789 5642.4 1989 2058 2088 6886 7384.8 5865.105 6224.49 5565.105 5824.49 1990 2059 2089 6532.015 6793 6385.49 6397.4 6085.49 5997.4 1991 2060 2090 6512.4 6756.5 6125.875 6170.31 5825.875 5670.31 1992 2061 2091 6669.32 7011.7 6106.26 6243.22 5806.26 5901 1993 2062 2092 6849.705 7212.9 6047.415 6216.13 5747.415 5816.13 1994 2063 2093 6734 6848 6155 6089.04 5855 5489.04 1995 2064 2094 6633.94 6594.7 5894.345 6161.95 5594.345 5761.95 1996 2065 2095 6414.325 6844 5947.415 6244.55 5647.415 5684.86 1997 2066 2096 6494.71 6771.31 5813.96 6167.77 5513.96 5767.77 1998 2067 2097 6644.66 6736.745 5694.345 6080.68 5394.345 5680.68 1999 2068 2098 6355.48 6702.18 5715.885 6153.59 5415.885 5208 2000 2069 2099 6385.865 6601.7 5766 5966 5168.8 5206.5


(5)

80

Tabel Hasil Produksi di Pulau Sumbawa, Keluaran Model APSIM

Tahun

Produksi (kg/ha) Baseline

(kg/ha) Near

Future (kg/ha) Future ECHAM5 MK 3.5 Echam5 MK 3.5 Echam5 MK 3.5 1971 2040 2070 6557.3 6644.6 5821.25 6028.43 5621.25 5658.89 1972 2041 2071 6245.855 6441.9 5846.635 5957.19 5446.635 5587.19 1973 2042 2072 6411.7 6612 5827.02 5930.1 5327.02 5560.1 1974 2043 2073 6206.625 6501.3 5567.405 5603.01 5707.405 5833.01 1975 2044 2074 6187.01 6635.8 5987.79 5975.92 5687.79 5705.92 1976 2045 2075 6265.47 6348.9 5768.175 5848.83 5568.175 5778.83 1977 2046 2076 6245.855 6573.3 5848.56 5721.74 5348.56 5651.74 1978 2047 2077 6426.24 6620.8 5628.945 5694.65 5228.945 5551.74 1979 2048 2078 6206.625 6311.7 5709.33 5927.56 5228.945 5358.89 1980 2049 2079 6187.01 6512.9 5789.715 5840.47 5489.715 5670.47 1981 2050 2080 6167.395 6452.9 5673.87 5813.38 5370.1 5343.38 1982 2051 2081 6349.705 6595.2 5650.485 5811.9 5050.485 5356.29 1983 2052 2082 6412 6513.6 5703.87 5859.2 5230.87 5389.2 1984 2053 2083 6128.165 6442 5711.255 5832.11 5311.255 5462.11 1985 2054 2084 6108.55 6222.8 5891.64 5984.8 5391.64 5335.02 1986 2055 2085 6388.935 6446.4 5672.025 5807.93 5072.025 5137.93 1987 2056 2086 6286 6457.3 5752.41 5818.67 5252.41 5448.67 1988 2057 2087 5932.015 6345.8 5452.41 5671.58 5352.41 5492.4 1989 2058 2088 6212.4 6344 5415.105 5544.49 5015.105 5174.49 1990 2059 2089 6099.32 6193 5635.49 5817.4 5205.49 5147.4 1991 2060 2090 6249.705 6056.5 5475.875 5590.31 4975.875 5220.31 1992 2061 2091 6134 6311.7 5556.26 5363.22 5156.26 5220.31 1993 2062 2092 6033.94 6512.9 5397.415 5436.13 5097.415 4966.13 1994 2063 2093 5914.325 6148 5503.05 5609.04 5177.415 5211.95 1995 2064 2094 6094.71 6194.7 5364.345 5281.95 4944.345 5011.95 1996 2065 2095 6044.66 6144 5497.415 5564.55 4997.415 5134.86 1997 2066 2096 5955.48 6171.31 5383.96 5487.77 4863.96 4827.77 1998 2067 2097 5785.865 6036.745 5244.345 5340.68 4744.345 4830.68 1999 2068 2098 5955.48 6202.18 5365.885 5473.59 4665.885 4758.68 2000 2069 2099 5785.865 5901.7 5316 5386 4568.8 4696.5


(6)

81

LAMPIRAN 9

Tabel Hasil Uji Statistik Regresi Linier Berganda

(Curah Hujan, Temperatur dan Produktivitas Padi)

Temp+CH Temp CH

Periode R R Square

Adjusted R

S sig Corr Sig Corr sig

DJF 0.67 0.45 0 0.000 -0.67 0.00 0.079 0.33

JFM 0.81 0.67 0.64 0.000 -0.769 0.00 -0.557 0.001 FMA 0.738 0.54 0.511 0.000 -0.738 0.00 -0.134 0.02

MAM 0.708 0.502 0.46 0.000 -0.66 0.00 0.245 0.02

AMJ 0.72 0.52 0.49 0.000 -0.69 0.00 0.45 0.006

MJJ 0.77 0.59 0.566 0.000 -0.69 0.00 0.718 0.00

JJA 0.669 0.448 0.407 0.000 -0.65 0.00 0.34 0.04

JAS 0.67 0.454 0.4 0.000 -0.67 0.00 0.12 0.2

ASO 0.477 0.227 0.17 0.030 -0.46 0.004 -0.03 0.1

SON 0.44 0.19 0.134 0.03 -0.34 0.03 0.25 0.34

OND 0.56 0.32 0.27 0.03 -0.29 0.05 0.55 0.001