4.5 Proses Terbentuknya Simbol-Simbol Perlawanan Sebagai Proses
Pembentukan Identitas Komunitas Street Punk Gonzo
Makna diberikan pada suatu fakta dan tindakan manusia oleh manusia. Perspektif simbolis memusatkan perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan
orang pada perilaku orang lain, bagaimana arti ini diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya. Mengutip dalam Ishomuddin 2005: 150 menjelaskan
bahwa pada dasarnya, proses perubahan kebudayaan atau perubahan sosial berlangsung kompleks.
Maka dalam Komunitas Street Punk Gonzo sendiri, bentuk-bentuk simbol perlawanan yang sarat makna tersebut lahir atau diciptakan melalui proses yang
juga begitu kompleks. Beragam aspek kondisi sosial, politik, ekonomi, maupun budaya baik yang terjadi di lingkungan secara luas negara maupun dalam skala
yang lebih sempit di sekitarnya, menjadi peranan dan respon yang paling berpengaruh di dalam proses pembentukan simbol perlawanan di dalam
komunitas ini. Melalui beragam aspek kondisi tersebut, identitas sepenuhnya merupakan kontruksi sosial yang dibentuk berdasarkan proses sosialisasi. Dengan
demikian, melalui proses ini Komunitas Street Punk Gonzo belajar untuk membedakan persamaan dan perbedaan signifikan secara sosial antara mereka
dengan orang lain, atau dengan kata lain identitas mereka dibentuk dalam hubungan dengan orang lain.
Proses yang mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk simbolik perlawanan dalam Komunitas Street Punk Gonzo tersebut di kelompokkan berdasarkan proses
yang melatarbelakangi nya, sebagai berikut: 1.
Fashion.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan, menurut Komunitas Street Punk Gonzo, yang menjadi latar belakang proses lahirnya simbol-simbol dalam
bentuk fashion ialah sebagian besar merupakan hasil proses imitasi peniruan terhadap asal mula lahirnya gerakan Punk itu sendiri yang lahir di Inggris dan
Amerika. Penggunaan fashion dan makna fashion tersebut yang tidak jauh berbeda merupakan bentuk adopsi. Dengan kata lain menurut komunitas ini,
hanya terdapat beberapa simbol fashion yang memiliki proses tertentu yang melatarbelakangi terbentuknya simbol-simbol dalam bentuk fashion sebagai
wujud representasi makna dari perlawanan Komunitas Street Punk Gonzo. Bentuk-bentuk tersebut antara lain:
a. Celana ketat, yang dimaknai sebagai himpitan hidup yang mencekik
masyarakat miskin. Kondisi ini khususnya yang terjadi pada masyarakat di Indonesia saat ini. Tingginya harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi
dengan upah yang rendah menjadi penyebab semakin terpuruknya kondisi masyarakat miskin yang semakin mencekik.
Hal ini seperti pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun sebagai berikut:
“style yang dipake Punker itu punya nilai bang, bagi kami Punk Gonzo Punker rata-rata pake celana ketat yang koyak sebagai
himpitan hidup yang terjadi masyarakat miskin kayak kita ini lah, khususnya di Indonesia sekarang ini. Harga apa-apa mahal,
upah murah, kerjaan gak ada…”
b. Celana dan baju robek, yang dimaknai sebagai bentuk kebebasan bergerak di
tengah situasi himpitan hidup yang mencekik masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi tingginya harga kebutuhan pokok yang tidak
diimbangi dengan upah yang rendah menjadi penyebab semakin terpuruknya
Universitas Sumatera Utara
kondisi masyarakat miskin yang semakin mencekik. Melihat kondisi demikian Komunitas Punk Gonzo ingin menyuarakan kepada masyarakat untuk bisa
lepas dan tetap hidup di tengah kondisi perekonomian tersebut. Hal ini seperti pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun sebagai
berikut: “style yang dipake Punker itu punya nilai bang, bagi kami Punk
Gonzo Punker rata-rata pake celana ketat yang koyak sebagai himpitan hidup yang terjadi masyarakat miskin khususnya di
Indonesia sekarang ini. Harga apa-apa mahal, upah murah, kerjaan gak ada. Koyak di baju lutut itu lambang kebebasan,biar
bisa tetap hidup biarpun sekarat bang.”
c. Sepatu boot, yang dimaknai sebagai perlawanan terhadap militer yang
merupakan prajurit pemerintah dengan melalui perlawanan dari bawah. Hal ini muncul ketika sekitar pada tahun 2010 tepatnya ketika komunitas ini berada di
Jalan Aksara Kota Medan terjaring razia gelandangan dan pengemis. Menurut informan, saat melakukan razia tersebut, aparat pemerintah yang saat itu
Satuan Polisi Pamong Praja, melakukan penangkapan secara brutal dan semena-mena. Akibat kejadian itu, hingga saat ini komunitas Street Punk
Gonzo menjadikan sepatu boot sebagai simbol wujud perlawanan terhadap militerisasi, maupun segala bentuk penindasan terhadap komunitas mereka.
Hal ini seperti pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun sebagai berikut:
“kalo boot itu anti militer. Dulu kami tahun 2010 kalo gak salah kena razia Satpol PP bang. Pas masih di Aksara itu. Kena angkut
semua, pengamen, pengemis, kami juga. Pas nangkap itu lah ribut kami, kami lawan. Nangkap kayak nangkap babi pula,
ditendangi dipukuli, macam babi betul dibuat. Uda lah sepatunya boot yang tebal itu, yang kayak dipake polisi bang, kan keras kali
itu. Kami juga pake sepatu tapi gak boot. Tendang aja lah
Universitas Sumatera Utara
pokoknya. Sejak itu kami sepakati sepatu ini sejarah kejadian itu…”
d. Rambut di cat, yang dimaknai sebagai keberagaman identitas ataupun
kelompok di masyarakat seperti hal nya pelangi. Menurut komunitas Street Punk Gonzo budaya yang terbangun di masyarakat saat ini adalah budaya
yang membuat masyarakat semakin bersifat hedonis dan seragam. Hal ini seperti dicontohkan informan, budaya K-pop Korea Pop yang saat ini banyak
digandrungi masyarakat khususnya remaja. Menurut komunitas, budaya ini dinilai sebagai budaya yang menghilangkan ciri khas bangsa Indonesia dan
kesannya mewah, tidak memiliki budaya yang positif bagi Indonesia, bila dibandingkan dengan Komunitas Punk.
Hal ini seperti pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun sebagai berikut:
“style yang dipake Punker itu punya nilai bang, bagi kami Punk Gonzo Punker rata-rata pake celana ketat yang koyak sebagai
himpitan hidup yang terjadi masyarakat miskin khususnya di Indonesia sekarang ini. Harga apa-apa mahal, upah murah,
kerjaan gak ada. Koyak di baju lutut itu lambang kebebasan,biar bisa tetap hidup biarpun sekarat bang. Oh kalo rambut itu iya
karna, liat aja pelangi bang kan warna-warni. Liat lah K-pop k- pop itu, entah apa bagusnya. Laki-laki kayak banci, budaya kita
uda bagus ini ikut ikutan budaya lain pula. Mending positif ya, kayak kita ini walaupun dari luar juga tapi tujuannya itu positif.
Kalo anak sekarang k-pop k-pop itu barang-barangnya mewah. Bagus lagi budaya Indonesia ini sebenarnya.”
2. Musik.
Dalam bermusik Komunitas Street Punk Gonzo memiliki lagu yang menurut mereka merupakan representasi dari bentuk simbol perlawanan, yang
disuarakan melalui kegiatan mengamen. Kritik, propaganda, dan pesan-pesan
Universitas Sumatera Utara
sosial yang disampaikan tersebut terkandung dalam lirik lagu yang komunitas ini nyanyikan seperti berikut ini:
“Para Penghianat”
Kami punya teman, kami punya saudara Mereka yang duduk disana
Duduk manis dan santai Diguyur tahta dan duit yang banyak
Tapi sekarang orang-orang itu Sudah sama seperti tikus-tikus got
Makan sana makan sini Gak peduli saudara apalagi teman
Kami gak perlu tahta apalagi duitmu Hanya tanggungjawab yang perlu kau kerjakan
Ini pesan kami Dari teman dan saudaramu
Buat tikus-tikus got yang duduk santai disana
“Surga Buta”
Banyak orang disana sini Di sekitar kita
Punya mata tapi buta Buta mencari surga
Surga Tuhan katanya Yang nggak tau dimana tempatnya
Ringan ngasih sumbangan Tapi gak mikir Buat anak istrinya
Buat Surga itu katanya Surga dimana tempatnya
Surga yang mencekik, menjerat orang-orang kecil Atau surga cuma buat orang-orang berduit
Yang ringan ngasih sana sini Berdasarkan kedua lirik yang biasa dinyanyikan Punker Komunitas Street
Punk Gonzo seperti di atas, terdapat makna sesuai realitas yang ingin disampaikan komunitas ini terhadap masyarakat di sekitarnya. Pada lirik yang pertama yang
berjudul “Para Penghianat”, Komunitas Street Punk Gonzo ingin menyampaikan berupa kritik khususnya kepada pemerintah, yang bertugas sebagai pengelola
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan untuk secara serius dalam menjalankan tugasnya. Terutama terkait maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, yang menurut mereka tidak
diimbangi dengan kesejahteraan masyarakat dan banyaknya masyarakat miskin. Menurut Komunitas Street Punk Gonzo pemerintah hanya sibuk mengurusi
permasalahan-permasalahan yang besar seperti korupsi, politik, narkoba dan sederet permasalahan lainnya. Bagi mereka masalah kemiskinan juga harus
menjadi prioritas dan ditanggulangi pemerintah. Berikut pemaparan informan Ariadi 23 tahun sebagai berikut:
“…besar korupsi di negara ini, memang itu harus dibinasakan. Tapi bukan hanya melulu korupsi, narkoba,politik itu-itu aja
yang diurusi bang. Masalah orang miskin ini juga masalah pemerintah. Banyak koruptor ditangkapi, uangnya itu alokasikan
buat ngatasi kemiskinan”
Sedangkan pada lirik yang kedua yang berjudul “Surga Buta”, Komunitas Street Punk Gonzo ingin menyampaikan kritik sosial kepada masyarakat miskin
yang mengaku memiliki agama. Bagi komunitas ini, mereka memandang masyarakat memposisikan agama sebagai segala sesuatu yang benar secara
absolut. Cara pandang demikian yang menurut komunitas ini membuat masyarakat miskin itu tetap terbelenggu di jalur kemiskinan itu sendiri. Bagi
mereka memiliki agama akan membatasi untuk bergerak dan berekspresi. Pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun sebagai berikut:
“…kalo lagu yang surga buta itu uda lama bang, sebelum pindah kesini kami itu pas masih di aksara. Itu ada dulu bang beni
namanya. Dia yang buat lagu itu. Sekarang gak tau uda kemana, tapi dia yang buat. Kalo dari liriknya ya bang, itu lagunya
karena banyak orang miskin tapi kasarnya ya “gak tau diri”. Uda tau susah buat makan aja, malah sok ngasih sedekah. Binik
sama anaknya aja gak terkasih dia. Maaf ya bang, kami ini gak percaya yang namanya agama. Bagi kami agama itu banyak
aturan.”
3. Grafity
Universitas Sumatera Utara
Dalam Komunitas Street Punk Gonzo, media grafity juga dijadikan sebagai simbol untuk merepresentasikan makna yang bersifat kritik dan pesan-
pesan sosial. Pada unsur ini grafity merupakan sarana penyampaian bahasa non formal. Grafity digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan ketakutan
terhadap kondisi yang tidak pada jalurnya. Menurut komunitas ini, kritik-kritik dan pesan yang disampaikan dalam grafity akan dapat mempengaruhi orang-orang
sekitarnya secara persuasif, untuk dapat merasakan apa yang komunitas ini sampaikan. Adapun bentuk-bentuk grafity yang dibuat Komunitas Street Punk
Gonzo sebagai bagian bentuk simbol-simbol perlawanan, seperti berikut:
Gambar 4.2 : Grafity Komunitas Street Punk Gonzo yang berada di Jalan Mandala By Pass Gg. Tengah.
Melalui simbol di atas, Komunitas Street Punk Gonzo ingin menyampaikan makna kepada orang-orang di sekitarnya untuk berpikir kritis, ikut
melakukan perlawanan seperti hal nya komunitas tersebut. Dengan perantara pesan tersebut, diharapkan terbangunnya pola pikir masyarakat yang tidak selalu
pasif terhadap aturan, kebijakan, maupun segala bentuk penindasan. Selain itu, pada pesan berikutnya Komunitas Street Punk Gonzo ingin menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
makna, dicita-citakannya sebuah pelayanan pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah yang benar-benar melayani masyarakat tanpa batas-batas status sosial
tertentu.
Gambar 4.3 : Grafity Komunitas Street Punk Gonzo yang berada di Jalan Pukat Banting X dan VII, tidak jauh dari lokasi Jalan
Mandala By Pass.
Melalui simbol di atas, Komunitas Street Punk Gonzo ingin menyampaikan makna kepada orang-orang di sekitarnya untuk turut andil dalam
memberantas tindak korupsi yang terjadi di sekitar mereka. Selain memberantas, pada grafity yang lainnya juga mempengaruhi orang lain di sekitarnya yang
melihat untuk secara bersama-sama menjauhi tindak korupsi yang menurut Komunitas Street Punk Gonzo merupakan biang kemiskinan di negara ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.4 : Grafity Komunitas Street Punk Gonzo yang berada di Jalan Mandala By Pass,
Kompleks Pasar Firdaus. Dalam grafity yang satu ini, salah satu informan Ariadi Purba 23 tahun
menjelaskan bahwa dalam memaknai gambar tersebut tidak akan langsung mudah memahami pesan yang ingin disampaikan. Dalam gambar tersebut, dapat dilihat
tiga orang individu yang terdiri dari seorang raja, prajurit, dan seorang rakyat. Dari gambar juga dilihat bahwa ketiganya terlihat sedang saling mengejar satu
sama lain. Beliau menuturkan bahwa makna yang tersirat melalui gambar tersebut adalah kehidupan masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merdeka atau hidup
sebagai manusia yang seutuhnya. Hal ini dikarenakan banyaknya aturan, kesewenang-wenangan, dan hukum negara dalam hal ini pemerintah dan pemilik
modal sebagai pemangku kekuasaan dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut seperti pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun sebagai berikut:
“orang biasa susah mengartikan gambar itu bang. Itu kan coba perhatikan gambarnya, tiga orang. Raja, rakyat, yang tengah
pasukan raja. Itu kejar-kejaran. Hahaha…. Maksudnya gini bang. Kita belum ini merdeka, karena aturan-aturan dari
pemerintah makanya rakyat negara ini diam tanpa perlawanan. Berani melawan aparat menghadang. Kan gitu….”
Universitas Sumatera Utara
4. Produk
Komunitas Street Punk Gonzo, selain mengandalkan mengamen sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, komunitas ini
juga memiliki bentuk usaha lain yang juga menjadi sumber penghasilan mereka. Kegiatan itu adalah menghasilkan dan menjual produk yang mereka hasilkan
sendiri sebagai bagian dari Komunitas Street Punk Gonzo secara mandiri. Produk- produk yang dihasilkan di bagi dalam dua bentuk, yaitu pertama dalam bentuk
barang dan kedua dalam bentuk jasa. Produk dalam bentuk barang tersebut adalah aksesoris seperti diantaranya rantai, kalung, gelang, emblem, sticker, cincin,
sablon, dan poster. Selain itu, produk dalam bentuk jasa adalah jasa pembuatan tatto dan sulam alis.
Melalui simbol usaha ini, Komunitas Street Punk Gonzo selain sebagai alat pemenuhan kebutuhan sehari-hari, kegiatan ini memiliki makna lain. Menurut
mereka kegiatan ini bukan hanya sekedar aktivitas usaha seperti hal nya pedagang lainnya dengan tujuan memperoleh uang, namun lebih jauh untuk membuktikan
bahwa Punk yang selama ini diidentik dengan stigma negatif dalam kehidupan masyarakat sebagai sampah masyarakat, pemalas, atau orang-orang kelas bawah
yang hanya dapat hidup dengan bermodalkan belas kasihan orang lain, kini bukan lagi demikian. Kegiatan ini menyuarakan bagi masyarakat di sekitarnya bahwa
Punk dapat berdiri secara mandiri, berkarya dengan menghasilkan produk dan usaha yang tidak sama dengan masyarakat lainnya sesuai dengan ideologi yang
dipahami dalam Punk itu yaitu Do It Yourself berdiri atas diri sendiri. Hal ini seperti pernyataan informan Budi 25 tahun sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“…memang jualan sama kayak yang lain. Tapi kami jualan ini modal sendiri, bukan utang atau digaji orang. Pikiran orang kan
selama ini Punk itu cuma ngamen aja taunya, tapi bukan itu aja. Ini lah contohnya, biar orang tau aja. Gak perlu kerja kantoran,
PNS atau apalah itu kalo kita sendiri gak nyaman. Ya memang aku karena gak ada kerjaan juga dulu, makanya kawan-kawan
nyuruh aku yang jaga ini. Kerjaan susah zaman sekarang ini, harus minimal ijazah SMA lah….”
5. Kegiatan
Komunitas Street Punk Gonzo memiliki beberapa kegiatan sosial yang sering dilakukan di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari bentuk simbol
perlawanan dalam komunitas tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya untuk mencerminkan stigma
positif keberadaan mereka di tengah kehidupan masyarakat. Perilaku tersebut adalah “Polisi gopek” dan menggunakan “gelek” secara bersama-sama.
“Polisi gopek” adalah kegiatan mengatur jalan lalu lintas seperti hal nya polisi Satlantas yang bertugas mengatur lalu lintas dan berusaha untuk
mendapatkan upah dari pengemudi kendaraan dengan sukarela. Dalam penelitian ini, kegiatan “Polisi gopek” di perempatan antara Jalan Letda Sudjono dan Jalan
Mandala By Pass biasa dilakukan anggota-anggota Komunitas Street Punk Gonzo ketika terjadi kemacetan lalu lintas, dan tidak adanya petugas Satlantas di lokasi
tersebut. Menurut komunitas ini, perilaku itu diibaratkan sebagai sebuah simbol yang sarat makna yaitu untuk menyinggung para aparatur pemerintah yang
seharusnya menjalankan tugas dan peran dalam mengatur lalu lintas dalam hal ini Polisi Satuan Lalu Lintas, kini diambil alih oleh masyarakat yang tidak
seharusnya memberikan pelayanan tersebut. Hal ini seperti yang disampaikan informan Ariadi Purba 23 tahun seperti:
Universitas Sumatera Utara
“…kadang juga kalo lagi macet-macetnya disini, tengah hari panas gitu bang, mana mau polisi-polisi itu ngatur lalu lintas ini.
Selo dia di kede sebrang itu santai. Kawan-kawan ini lah turun tangan langsung jadi “Polisi Gopek”, lumayan lah ada yang
ngasi juga. Tapi itu kan sebenarnya sindiran juga kalo dia merasa kan bang. Tugas dia itu, ini malah gak tau
tanggungjawab…”
Kegiatan lainnya yaitu menggunakan “gelek”. Gelek sendiri merupakan sejenis barang narkotika seperti hal nya ganja. Barang ini biasa digunakan
Komunitas Street Punk Gonzo secara bersama-sama diiringi dengan minuman alkoho l ketika anggota-anggota dalam komunitas sedang berkumpul, serta
penghasilan yang mereka peroleh seharian lebih. Penggunaan “gelek” secara bersama-sama ini menurut Komunitas Street Punk Gonzo dimaknai sebagai
bentuk simbol solidaritas di dalam kelompok internal mereka. Dengan berkumpul, akan tercipta rasa persaudaraan yang kuat diantara anggota-anggota dalam
komunitas tersebut. Hal ini seperti pernyataan informan Ariadi Purba 23 tahun: “…kadang juga kalo lagi macet-macetnya disini, tengah hari
panas gitu bang, mana mau polisi-polisi itu ngatur lalu lintas ini. Selo dia di kede sebrang itu santai. Kawan-kawan ini lah turun
tangan langsung jadi “Polisi Gopek”, lumayan lah ada yang ngasi juga. Tapi itu kan sebenarnya sindiran juga kalo dia
merasa kan bang. Tugas dia itu, ini malah gak tau tanggungjawab. Ada lagi bang?. Oh kalo begelek disini itu uda
biasa lah, apalagi kalo banyak duit orang ini hasil ngamen dapat. Disini pun kalo make, minum rame-rame, abg liat lah kan
santing-santingan. Itu makanya kami ini saudara semua. Satu rasa semua ini”
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan