Pengembangan Teknologi Biogas dengan Pemamfaatan Kotoran Ternak dan Jerami Padi Sebagai Alternatif Energi Pedesaan
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS DENGAN
PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK DAN JERAMI PADI
SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI PEDESAAN
PAULUS RAJA KOTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis” Pengembangan Teknologi Biogas Dengan Pemanfaatan Kotoran Ternak dan Jerami Padi sebagai Alternatif Energi Pedesaan” adalah karya saya sendiri di bawah arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Paulus Raja Kota P052070101
(3)
ABSTRACT
Paulus Raja Kota. Development and Utilization of Biogas Technology Using
Cattle Dung and Rice Straw as Rural Energy Alternative. Supervised by Hariyadi and Siswanto
The research was done in laboratory scale field scale. Complete Random Design method was used at the laboratory experiment, which intend to found the best combination between cattle dung and rice straw in producing biogas. The results
of research show that addition of the rice straw, which composted with EM4 and
acticomp, not respectively to temperature and pH at under normal range. The
parameter of TS, VS, COD and BOD were increased at the 20 days and 40days.
Addition of rice straw doesn't cause an increasing of biogas volume significantly. Significant difference was found among the treatment of control and the rice straw treatment. The rice straw treatment with different C/N ratio level was significant difference. The best quality of biogas was found at the treatment with composting
by using acticom, which give result 56-65% CH4 content, higher than control
treatment and rice straw treatment which is 51.4% CH4 content. Whereas rice
straw treatment which composting with EM4 is 42-52% CH4 content. Bioreactor
model design in the field experiment is continue type. The bioreactor diameter is
1.1 m, total volume is 6.28 m3 with working volume 5.5 m3. The yield volume of
biogas is 0,85 m3/days with 56% CH4 content. This biogas can use as an energy to
cook which could replace firewood and kerosene. The results of economic analysis show that installation biogas proper to be developed. This research also showed that biogas very compatible in ecological and social aspect to apply in the rural area.
(4)
RINGKASAN
PAULUS RAJA KOTA P052070101. Pengembangan Teknologi Biogas dengan Pemanfaatan Kotoran Ternak dan Jerami Padi sebagai Alternatif Energi Pedesaan. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Dr. Siswanto, DEA, APU.
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber biomassa. Sumber biomassa tersebut tersebar hampir di seluruh daerah, baik berupa limbah pertanian ataupun produksi hasil hutan. Sejalan dengan peningkatan produksi pertanian dan peternakan, maka jumlah limbah yang dihasilkan dari kedua sektor ini juga cukup besar. Dua macam limbah yang cukup besar jumlahnya dari pertanian dan peternakan adalah jerami dan kotoran ternak. Limbah-limbah ini selain belum dimanfaatkan secara maksimal, limbah-limbah tersebut juga ikut memberi peran dalam meningkatkan efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Teknologi pengolahan limbah pertanian yang sangat efektif untuk pemecahan masalah di atas adalah teknologi biogas. Bertolak dari masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan mencari kombinasi terbaik antara jerami dan kotoran ternak dalam memproduksi biogas.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian yaitu penelitian laboratorium dan aplikasi lapangan. Penelitian laboratorium menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan kandungan C/N pada setiap perlakuan, dengan membedakan juga aktivator yang digunakan pada proses pengomposan jerami. Penelitian laboratorium berlansung di Laboratorium Pengolahan Limbah Fakultas Peternakan IPB Darmaga, selama 40 hari. Sedangkan aplikasi lapangan dilaksanakan di Kelompok peternakan Tuanebu di Desa Kuanheum Kecamatan Amabi Oefeto Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, selama 60 hari. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah suhu, pH, TS,VS, COD,BOD dan C/N. Untuk mengetahui kombinasi campuran terbaik, diukur volume gas dan kualitas gas. Analisis kelayakan ekonomis dilakukan untuk mengetahui kalayakan aplikasi di lapangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa suhu dan pH berada dalam kisaran normal untuk produksi biogas pada semua perlakuan. Begitu juga persentase TS dan VS tidak menunjukan peningkatan atau penurunan pada kisaran normal. Perlakuan yang mendapatkan penambahan jerami, penurunan TS dan VS lebih terlihat pada hari ke-0 hingga hari ke-20. Sedangkan pada hari ke-20 hingga pada hari ke-40 tidak terjadi penurunan. Hal yang sama tejadi juga pada kandungan COD dan BOD yang meningkat pada hari ke-20 hingga hari ke-40. Peningkatan ini mungkin disebabkan karena degradasi bahan organik secara sempurna baru terjadi pada pertengahan perlakuan anaerob.
Rata-rata pertambahan biogas setiap hari terbanyak dicapai oleh perlakuan kontrol atau tampa jerami yaitu rata-rata 5026,25 ml/hari. Perlakuan dengan campuran jerami yang memiliki rata-rata biogas tertinggi adalah perlakuan P2 dengan rata-rata 4410,42 ml/hari. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan P1 dengan rata-rata 4314,33 ml/hari. Perlakuan P5 rata-rata mengahasilkan biogas sebanyak 4094,83 ml/hari, diikuti dengan perlakuan P1 dengan rata-rata produksi biogas sebesar 4070,58 ml/hari. Untuk perlakuan P6 menghasilkan biogas terendah yaitu rata-rata 3508,33 ml/hari dan diikuti oleh perlakuan P3 dengan produksi 3842,92 ml/hari. Hasil uji statistik menunjukan ada perbedaan nyata antara perlakuan
(5)
kontrol dan perlakuan yang mendapatkan campuran jerami. Sedangkan antara semua perlakuan dengan campuran jerami tidak ada perbedaan yang nyata.
Rata-rata kandungan CH4 terbesar ada pada semua perlakuan dengan
pengomposan menggunakan aktikom. Kualitas gas terbaik di tunjukan oleh
perlakuan (P4) dengan campuran jerami 35,5%, dengan kandungan CH4 sebesar
64,1% atau lebih tinggi 12,7% dari perlakuan kontrol dengan kandungan CH4
51,44%. Tertinggi ke-2 ada pada perlakuan (P5) dengan campuran jerami 62,2%
dengan kandungan CH4 sebesar 56% dan diikuti oleh perlakuan (P6) dengan
campuran jerami 86,6%, kandungan CH4 sebesar 55,59%. Selanjutnya untuk
perlakuan yang mendapatkan campuran jerami yang dikomposkan dengan EM4
menghasilkan biogas dengan kandungan EM4 berturut-turut adalah perlakuan (P2)
dengan jerami 36,7%, kandungan CH4 sebesar 52,95%. Perlakuan (P1) dengan
jerami 36,7%, kandungan CH4 sebesar 51,17%. Sedangkang perlakuan (P3)
dengan jerami 86,6%, kandungan CH4 44,71%.
Desain model reaktor untuk aplikasi lapangan adalah reakto tipe kontinyu
dan merupakan modifikasi dari tipe floating dome. Bahan utama yang digunakan
adalah cincin beton dengan diameter 1,1 meter. Volume total reaktor adalah 6,28
m3 dengan volume bahan basah 5,5 m3. Campuran slury yang digunakan adalah
jerami 35,5% yang dikomposkan dengan akticom dan kotoran ternak 65,5%
kotoran ternak. Volume biogas yang dihasilkan rata-rata 0,85 m3/hari dengan
persentase CH4 sebesar 56%. Gas ini digunakan untuk energi memasak
mengantikan minyak tanah dan kayu bakar.
Hasil analisis kelayakan ekonomi menunjukan nilai NPV yang dihasilkan dari instalasi biogas jika dihitung dengan kesetaraan nilai minyak tanah adalah sebesar Rp 10.804.723. Artinya bahwa nilai sekarang (present value) dari pendapatan yang diterima bernilai positif selama 15 tahun pada tingkat suku bunga 17%. Nilai Net B/C yang dihasilkan pada tingkat diskonto 17%, yaitu 3,46.
Sedangkan nilai pengembalian investasi atau payback period sudah dapat dilunasi
pada tahun pertama pada bulan ke-6.
(6)
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS DENGAN
PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK DAN JERAMI PADI
SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI PEDESAAN
PAULUS RAJA KOTA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(8)
Judul Penelitian : Pengembangan Teknologi Biogas dengan Pemamfaatan Kotoran Ternak dan Jerami Padi Sebagai Alternatif Energi
Pedesaan.
Nama : Paulus Raja Kota
NRP : P052070101
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hariyadi,MS Ketua
Dr. Siswanto, DEA,APU Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingungan
Prof.Dr.Ir. Surjono H.Sutjahjo,MS
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
(9)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis dengan judul; Pengembangan Teknologi Biogas dengan Pemanfaatan
Kotoran Ternak dan Jerami Padi Sebagai Alternatif Energi Pedesaan.
Limbah jerami padi dan kotoran ternak yang berada dipedesaan sebenarnya dapat dilihat sebagai potensi yang dapat diolah menjadi energi pedesaan dengan teknologi biogas. Teknologi ini sebenarnya telah lama ditemukan, namun perlu terus dikembangkan lewat berbagai penelitian agar bisa diterapkan dan bernilai ekonomis. Dengan teknologi ini maka sistem pertanian
zero waste dapat terapkan untuk pengembangan pertanian organik, karena lumpur buangan dari biogas dapat dimamfaatkan lagi sebagai pupuk organik.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
Dr. Ir. Hariyadi, MS, sebagai Ketua komisi Pembimbing dan Dr. Siswanto, DEA,APU, sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas ilmu yang diberikan, arahan dan bimbingan hingga penyelesaian penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Prof Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc sebagai sekertaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang selalu mendorong kami untuk penyelesaian tesis ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh teman angkatan 2007 Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas kebersamaannya dalam memberikan masukan dan saran selama penulis menyelesaikan studi dan penelitian ini.
Akhirnya penulis mempersembahkan tesis ini kepada:
1. Bapak, Mama serta kakak-kakak dan adik-adik tercinta atas doa dan kasih
sayang yang diberikan.
2. Masyarakat pulau sabu, melalui Sabu Devolopment Faundation (SDF)
(10)
3. Keluarga besar Yayasan Cermin Masyarakat Rasional (CEMARA) dan kelompok penggemukan sapi Tuanebu yang membantu penulis selama penelitian aplikasi.
Tesis ini juga masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Oenoni Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur pada Tanggal 19 September 1979 dari ayah Matheos Kota dan ibu Naomi Nubatonis. Penulis merupakan putra kedelapan dari sembilan bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1992 di SDN Binoni, kemudian melanjutkan ke SMP PGRI Oenoni dan lulus tahun 1995. Tahun 1995 penulis melanjutkan sekolah di SMUN 5 Kupang dan tamat pada tahun 1998. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana strata satu pada Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang. Setelah tamat tahun 2003 penulis bekerja sebagai relawan di Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada pembemberdayaan masyarakat. Tahun 2007, penulis melanjutkan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
(12)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pemikiran ... 2
1.3 Perumusan Masalah ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Pembangunan Ramah Lingkungan. ... 7
2.2 Pengelolaan Energi Berkelanjutan. ... 8
2.3 Limbah Ternak . ... 9
2.4 Jerami Padi ... 10
2.5 Teknologi Biogas ... 11
2.6 Proses Pembentukan Biogas ... 12
2.7 Faktor yang Berpengaru Terhadap Produksi Biogas ... 18
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 19
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19
3.2 Bahan dan Alat ... 19
3.3 Rancangan Penelitian ... 20
3.3.1. Parameter Yang Diamati ... 27
3.3.2. Volume Gas Yang Di Hasilkan ... 29
3.3.3. Analisis Aspek Finansial, Ekologi dan Sosial masyarakat ... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1. Penelitian Laboratorium ... 32
4.1.1. Keadaan Umum Penelitian ... 32
4.1.2. Karakteristik Bahan Baku ... 33
4.1.3. Pendegredasian Jerami Dengan Pengomposan ... 33
4.1.4. Hasil Perlakuan Anaerob Terhadap Parameter Pengamatan . 35 4.1.5. Produksi Biogas ... 41
(13)
4.2. Penelitian Aplikasi ... 46
4.2.1. Keadaan Umum Penelitian ... 46
4.2.2. Rancangan Reaktor ... 47
4.2.3. Pengisian Bahan Baku ... 48
4.2.3. Hasil Penelitian Aplikasi... 49
4.2.4. Analisi Aspek Ekonomis ... 51
4.1.5. Analsis Aspek Sosial... 55
4.1.6. Analisis Aspek Ekologis. ... 57
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
5.1. Kesimpulan ... 59
5.2. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Parameter yang diamati terhadap laju produksi biogas... 25
2. Kadar air dan persentasi C/N Rasio Bahan Baku ... 33
3. Rasio C/N awal dan akhir pengomposan ... 34
4. Komposisi Jerami dan Kotoran ternak pada reaktor dengan kapasitas 20 liter ... 34
5. Perbandingan total kalori dari masing-masing perlakuan... 45
6. Kandungan bahan organik dalam substrat ... 50
7. Perbandingan aplikasi biogas, kayu bakar dan minyak tanah... 51
8. Rincian arus penerimaan instalasi biogas jika disetarakan dengan Minyak tanah... 53
9. Rincian biaya investasi instalasi biogas.. ... 53
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram Alur Pikir ... 4
2. Tahap pembentukan gas bio ... 13
3. Lay-aut rancangan percobaan penelitian... 21
4. Rancangan reaktor skala laboratorium ... 21
5. Bagan alur tahapan penelitian ... 24
6. Perubahan warna jerami hasil pengomposan dengan aktifator yang berbeda. ... 34
6. Pencampuran jerami dan kotoran ternak serta desain reactor... 35
7. Perubahan pH yang terjadi selama perlakuan anaerob ... 37
8. Perubahan Total Solid pada setiap perlakuan... 38
9. Perubahan Vilatile Solid pada setiap perlakuan ... 39
10. Perubahan BOD dan COD pada setiap perlakuan ... 41
11. Produksi biogas selama 40 hari... 42
12. Presentasi gas CH4 pada pertengahan dan akhir perlakuan... 44
13. Hasil rancangan reactor penampung, penampung pupuk, Penampung gas dan kompor biogas... 48
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Gambar Reaktor Skala Laboratorium ... 64
2. Hasil analisa statistik... 65
3. Hasil analisa parameter pengujian ... 68
4. Pertambahan volume gas ... 69
5. Analisa kelayakan ekonomis... 71
6. Perhitungan NPV, Net B/C dan Payback Period dengan nilai biogas disetarakan dengan harga minyak tanah ... 73
(17)
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potensi biomassa yang sangat besar. Estimasi potensi biomassa Indonesia sekitar 46,7 juta ton per tahun (Kamaruddin, 2000). Sumber biomassa tersebar di seluruh wilayah baik yang berupa produksi hasil hutan maupun limbah pertanian. Sebagian besar biomassa ada di wilayah pedesaan. Secara alami limbah biomassa ini mengalami degradasi dengan bantuan mikroorganisme. Dalam proses ini akan dihasilkan
gas-gas yang terlepas ke udara. Diantaranya adalah CO2 dan CH4 yang berperan dalam
pembentukan Gas Rumah Kaca (GRK).
Sektor pertanian, sawah merupakan sumber emisi GRK terbesar, kemudian diikuti oleh perternakan, emisi GRK dari tanah dan dari pembakaran biomassa(sisa pertanian). Diantara tiga gas utama diatas, metan merupakan jenis yang diemisikan oleh sektor pertanian. Total emisi metan tahun 1994 dari sektor pertanian sekitar 3.2 Tg, sebagaian besar dari padi sawah (71%) dan peternakan
(29%) (Boer, 2002).
Propinsi Nusa Tengara Timur terutama Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten yang memiliki potensi pertanian yang cukup besar. Potensi yang ada berupa pertanian padi/palawija dan ternak ruminansia. Jumlah populasi ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) di propinsi ini sebanyak 700.363 ekor sedangkan untuk di kabupaten kupang sendiri sebanyak 186.360 ekor (Ditjennak,2007). Sedangkan luasan pertanian sawah dan palawija pada tahun 2007 dan musim tanam 2008 mencapai 62.339 Ha. Berdasarkan hasil Renstra di kabupaten kupang, jumlah populasi dan areal pertanian akan terus bertambah dari tahun ke tahun sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.
Jika diasumsikan seekor sapi menghasilkan jumlah feses 18 kg/hari (Sudono, 1995), maka kotoran ternak yang akan dibuang ke alam di kabupaten ini sebanyak 3.354.480 kg/hari. Jumlah limbah yang besar ini apabila tidak diolah secara benar maka dapat mencemari lingkungan dan juga berdampak negatif terhadap kesehatan bagi ternak itu sendiri. Sedangkan limbah pertanian terutama di persawahan berupa jerami padi yang sangat besar jumlahnya. Apabila satu
(18)
hektar lahan sawah menghasilkan 5-8 ton jerami padi (Makarim et al. 2007) maka ada 311.695 sampai 498.712 ton jerami padi setiap kali panen.
Limbah peternakan berupa feses dan urine, dari proses pencernaan ternak
ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini
adalah salah satu gas yang ikut berperan terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1% per tahun dan terus meningkat (Boer, 2002). Menurut IPCC (1994), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20-35% dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Sedangkan setiap kilogram jerami
padi dapat menghasilkan 0,25 m3 gas metan dan residunya mengandung 38%
Carbon. Makarim et al (2007) melaporkan bahwa pemberian 5 ton/ha jerami
kering pada lahan sawah tadah hujan mengakibatkan emisi gas metan selama satu
musim 73-48 kg CH4/Ha.
Disisi lain gas methan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai
sumber energi pengganti bahan bakar fosil. Salah satu dari energi terbarukan yang dapat dihasilkan adalah biogas, yang memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya. Daerah-daerah pedesaan di Indonesia merupakan pusat produksi pertanian dan merupakan sumber bahan baku biogas berupa limbah pertanian yang kaya akan biomassa seperti; limbah peternakan berupa kotoran ternak dan limbah pertanian berupa jerami padi.
Untuk meningkatkan pemanfaatan dan peranan biogas sebagai sumber energi di pedesaan saat ini, baik di sektor rumah tangga maupun sektor industri harus ditunjang dengan menerapkan teknik-teknik baru yang berefisiensi tinggi dan berwawasan lingkungan. Salah satu caranya yaitu mencari biomasa pertanian yang dapat dimamfaatkan untuk mengahasilkan biogas.
1.2. Kerangka Pemikiran.
Harga bahan bakar minyak yang meningkat dan ketersediaannya yang makin menipis serta permasalahan emisi gas rumah kaca merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara global. Upaya pencarian akan bahan bakar yang lebih ramah terhadap lingkungan dan dapat diperbaharui merupakan solusi dari permasalahan ini. Salah satunya adalah dengan teknologi biogas.
(19)
Tenologi biogas merupakan pengelolaan limbah yang bukan hanya bersifat penanganan namun juga memiliki nilai guna/manfaat. Selain itu, dengan biogas, teknologi yang digunakan sederhana, mudah dipraktekkan dengan peralatan yang relatif murah dan mudah didapat sehingga para industri kecil dan menengah tidak lagi beranggapan bahwa pengolahan limbah merupakan beban yang sangat mahal.
Energi biogas yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai energi pengganti bahan bakar fosil sehingga akan menurunkan gas rumah kaca di atmosfer dan emisi lainnya. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya di atmosfer akan meningkatkan temperatur, dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakar maka akan mengurangi gas metana di udara. Limbah berupa sampah kotoran hewan dan limbah pertanian merupakan material yang tidak bermanfaaat, bahkan bisa menngakibatkan racun yang sangat berbahaya. Aplikasi biogas akan meminimalkan efek tersebut dan meningkatkan nilai manfaat dari limbah.
Selain keungulan secara ekologis, pemanfaatan energi biogas memiliki banyak keuntungan secara sosial maupun ekonomi. Biogas dapat menagtasi permasalahan seperti mengurangi bau yang tidak sedap, mencegah penyebaran penyakit, serta hasil samping berupa pupuk organik berupa padat dan pupuk cair. Pemanfaatan limbah dengan cara seperti ini secara ekonomi akan sangat kompetitif seiring naiknya harga bahan bakar minyak dan pupuk anorganik.
Daerah pedesaan merupakan tempat yang cocok untuk mengembangkan biogas. Hal ini karena sebagian besar pertanian ada dipedesaan dan limbah yang dihasilkan belum dimamfaatkan secara baik. Selain itu masih banyak daerah pedesaan yang belum dilewati oleh jaringan listrik. Penerapan biogas pedesaan merupakan praktek pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (zero waste). Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
(20)
Gambar 1. Diagram Alur Pikir 1.2. Perumusan Masalah
Sejalan dengan meningkatnya produksi peternakan dan pertanian maka jumlah limbah yang dihasilkannya juga semakin besar. Dalam hal ini pengelolaan limbah menjadi sangat penting untuk dilakukan agar tidak mencemari lingkungan. Salah satu cara yang bisa diterapkan adalah menginventarisir, melatih dan menyebarluaskan paket-paket teknologi untuk digunakan oleh petani dan peternak sebagai bagian perubahan pola bertani/beternak untuk mengurangi emisi GRK dari sektor pertanian.
Limbah Pertanian Potensi Pertanian Indonesia
Masyarakat Pedesaan:
Ekologi Ekonomi Sosial
Perancangan Instalasi Biogas
Gas methan Dampak
Energi Listrik Pedesaan Ramah Lingkungan
Jerami padi Kerusakan
Lapisan Ozon
Kotoran ternak
Biogas
(21)
Salah satu paket teknologi yang dapat diterapkan pada sektor pertanian adalah biogas. Teknologi biogas sebagai salah satu pengahasil energi dari pemamfaatan limbah, merupakan tekonologi yang tepat untuk mengatasi limbah biomasa baik dalam bentuk padat maupun cair. Biogas sebenarnya sudah lama dikembangkan di Indonesia, namun selama ini lebih banyak menggunakan bahan baku berupa limbah cair yaitu kotoran ternak atau limbah industri.
Pemanfaatan limbah padat berupa limbah pertanian sebagai penghasil biogas belum banyak yang dilakukan. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang cukup besar jumlahnya dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hal ini karena walaupun limbah pertanian mengandung kandungan methan yang tinggi namun sangat lama terurai. Hal ini karena jerami mempunyai dinding sel kuat. Jerami padi terdiri dari hemisellulosa 44,9%, sellulosa 37,4%, lignin (4,9%) dan silicon 13,1% (Hills and Roberts 1981).
Limbah padat memiliki C/N yang tinggi dan sangat berperan dalam bertumbuhnya mikroba. Penelitian yang dilakukan oleh Sahudi (1983) dengan mencampurkan jerami padi 5 persen dengan kotoran ternak, menghasilkan biogas 74% lebih banyak dari yang tidak mengunakan campuran jerami yang menghasilkan biogas 65%. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya perbandingan (rasio) antara sumber C dengan N (C/N). Perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang dihasilkan.
Untuk mengetahui efektifitas teknologi bioproses dalam membentuk energi biogas maka perlu diketahui komposisi campuran limbah jerami padi dan kotoran ternak yang dapat menghasilkan biogas secara maksimal. Sehingga yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji laju produksi volume biogas dengan bahan kombinasi antara
kotoran ternak dan jerami?
2. Bagaimana persentase CH4 dan nilai kalor yang dihasilkan, sehingga
mendapatkan kombinasi campuran terbaik dari kotoran ternak dan jerami padi?
3. Bagaimana kelayakan ekonomi dalam memanfaatkan limbah jerami padi
(22)
1.4. Tujuan:
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
1. Mengkaji laju produksi biogas dengan bahan kombinasi antara kotoran
ternak dan jerami padi.
2. Menganalisis presentasi CH4 dan nilai kalor yang dihasilkan, sehingga
mendapatkan kombinasi campuran terbaik dari kotoran ternak dan jerami padi.
3. Mengkaji kelayakan ekonomi, dalam pemanfaatan jerami padi dan kotoran
ternak sebagai energi alternatif pedesaan. 1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai informasi bagi pemerintah dan stakeholder dalam upaya
pengembangan teknologi biogas sebagai alternatif energi di pedesaan.
2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah daerah dalam rencana
(23)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Ramah Lingkungan
Dalam pengelolaan SDA selama ini, dinilai telah terjadi kesalahan dalam meletakkan paradigma pembangunan. Pengelolaan SDA seharusnya memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, secara berkeadilan dan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah pengelolaan SDA lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi SDA sebagai sumber devisa namun tidak secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan. Titik berat ini telah menimbulkan dampak (a) tidak terwujudnya kesejahteraan rakyat, dan (b) kerusakan SDA dan lingkungan hidup makin parah.
Pembangunan dapat disebut berkelanjutan bila memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan terus mengalami perubahan sejak diperkenalkan pada tahun 1970. Pada tahun tujuh puluhan konsep pembangunan berkelanjutan didominasi oleh dimensi ekonomi yang dipicu adanya krisis minyak bumi pada tahun 1973 dan tahun 1979. Harga minyak dunia melambung yang mengakibatkan resesi di negara-negara maju khususnya di negara pengimpor
minyak. Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 merupakan titik tolak
dipertimbangkannya dimensi sosial dalam pembangunan berkelanjutan (TERI 2002).
Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang cukup kompleks. UN World Commission on Envirowment and Development mendefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini menuntut masyarakat agar memenuhi kebutuhan manusia dengan meningkatkan potensi produktif melalui cara-cara yang rama lingkungan maupun dengan menjamin tersedianya peluang yang adil bagi semua pihak. Deklarasi Johannesburg tentang pembangunan berkelanjutan mengidentifikasikan aspek-aspek ekologi, ekonomi dan sosial sebagai tiga tiang pembangunan berkelanjutan yang harus dihadapi secara holistik.
(24)
2.2. Pengelolaan Energi Berkelanjutan
Secara umum sumber energi terbagi atas dua golongan yaitu sumber
energi tak terbarukan (non renewable energy sources) dan energi yang terbarukan
(renewable energy resources). Sumber energi tak terbarukan bersifat konvensional yang terdiri dari minyak bumi, gas alam dan nuklir, sedangkan yang
konkonvensional adalah batubara, coalbed methan, shale gas, oil shale dan
gambut. Energi tak terbarukan bersifat habis dan tidak dapat didaur ulang. Selanjutnya sumber energi terbarukan adalah geothermal, hydropower, ocean energy, solar, wind dan bioenergi dan lain-lain. Sifat utama yang terpenting dari energi yang terbarukan adalah ramah lingkungan dan dapat didaur ulang sehingga tidak akan habis dari waktu ke waktu.
Kondisi sumber daya energi yang sebagian besar tidak dapat diperbaharui, terutama minyak bumi, saat ini sudah cukup kritis (Pangestu 1996). Laju penemuan cadangan energi lebih rendah dari laju konsumsi energi. Bila tidak diketemukan cadangan baru, Indonesia berpotensi menjadi negara pengimpor minyak. Upaya-upaya pencarian sumber energi alternatif selain fosil menyemangati para peneliti di berbagai negara untuk mencari energi lain yang kita kenal sekarang dengan istilah energi terbarukan.
Energi terbarukan dapat didefinisikan sebagai energi yang secara cepat dapat diproduksi kembali melalui proses alam. Energi terbarukan meliputi energi air, panas bumi, matahari, angin, biogas, bio mass serta gelombang laut. Beberapa kelebihan energi terbarukan antara lain: Sumbernya relatif mudah didapat; dapat diperoleh dengan gratis; minim limbah, tidak mempengaruhi suhu bumi secara global, dan tidak terpengaruh oleh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass, 1980).
2.3. Limbah Ternak
Menurut Gaur (1983) limbah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun proses alam yang belum atau tidak memiliki nilai ekonomis. Sedangkan menurut Mahinda (1992) limbah buangan cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah digunakan dengan minimal 0,1% bagian merupakan zat padat yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik. Limbah merupakan komponen penyebab
(25)
pencemaran yang terdiri dari zat yang tidak mempunyai mamfaat lagi bagi masyarakat. Untuk mencegah pencemaran atau untuk pemamfaatan kembali diperlukan biaya dan teknologi.
Limbah peternakan biasanya diartikan sempit berupa kotoran atau tinja dan air kemih ternak. Dalam arti luas limpah ternak diartikan dengan sisa produksi peternakan setelah diambil hasil utamanya. Sedangkan menurut Soeharji (1989), limbah adalah semua buangan yang bersifat padat, cair maupun gas. Sejalan dengan definisi tersebut maka limbah peternakan adalah semua buangan dari usaha peternakan yang bersifat padat, cair maupun gas.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak,
besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Limbah ternakyang terdiri dari feces
dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar limba yang dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000). Sedangkan menurut Mitchel (1980) mengatakan bahwa produksi limbah ternak diasumsikan dari proporsi bobot hidup ternak. Untuk ternak babi, limbah yang dikeluarkan kurang lebih 3,6% dari total bobot hidup, untuk sapi 9,4% dari total hidup, domba 1,8% untuk setiap bobot badan 50 kg, sedangkan untuk sapih perah dengan berat badan 500 kg akan mengahilkan limbah kurang lebih 47 kg/hari.
Berdasarkan laporan ADB-GEF-UNDP (1998) 1 kg kotoran ternak
mengasilkan 230 liter gas metan. Satu ekor sapi perah mengeluarkan emisi gas
metan sebanyak 56 kg CH4/ekor/tahun, sedangkan sapi pedaging sebanyak 44 kg,
kerbau 55 kg, kambing 8 kg, domba 5 kg, kuda 18 kg, unggas/ayam 0 kg (IPCC,
1994). Sedangkan emisi metan (kg CH4/ekor/tahun) dari pengelolaan kotoran
ternak untuk masing-masing ternak adalah: sapi perah 27, sapi pedaging 2, babi 7, kerbau 3, kambing 0,37, domba 0,23, kuda 2,77, unggas (ayam dan bebek) 0,157. Data ini berdasarkan asumsi bahwa kotoran ternak tersebut dikelola dengan cara
(26)
Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi.
2.4. Jerami Padi
Semua bahan organik yang terdapat dalam tanaman, karbohidrat, selulosa adalah salah satu bahan yang disukai sebagai bahan untuk dicerna. Selulosa secara normal mudah dicerna oleh bakteri, tetapi selulosa dari beberapa tanaman sedikit sulit didegradasikan bila dikombinasikan dengan lignin. Lignin adalah molekul komplek yang memiliki bentuk rigid dan struktur berkayu dari tanaman, dan bakteri hampir tidak dapat mencernanya.
Salah satu limbah pertanian yang sangat besar jumlahnya adalah jerami padi. Yang dimaksud dengan jerami adalah bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun tangkai malai) dan merupakan bagian yang tidak dipungut saat pemanenan (Makarim dkk ,2007). Di Indonesia jerami belum dinilai sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis. Petani kebanyakan membiarkan siapa saja untuk mengambil dari lahan sawahnya. Dari hamparan 100 Ha pertanaman padi yang dipanennya bersamaan dapat mengahilkan 500-800 ton jerami. Jerami tidak bermasalah berada dilahan sawah apabila penanaman dilakukan sekali dalam setahun. Namun apabila penanaman dilakukan lebih dari sekali maka perlu biaya dan tenaga untuk menyingkirkan jerami-jerami tersebut.
Jerami yang mengadung sekitar 40% C dan mudah dirombak secara biologis dan merupakan substrat untuk pertumbuhan mikroorgnisme tanah. Ketika jerami dibenamkan ke sawah, maka dalam tanah segera terjadi berbagai reaksi biokimia seperti reduksi tanah, imobilisasi dan fiksasi N, produksi asam-asam
organik dan pelepasan gas CO2, CH4, C2H4, dan H2S. Gas-gas tersebut, kecuali
metan (CH4), bersifat racun bagi tanaman padi bila berada dalam jumlah yang
(27)
Fermentasi biogas dapat dibuat dari berbagai residu tanaman dan sumber
bahann organik, termasuk jerami dan dari setiap kg jerami dihasilkan 0,25 M3 gas
metan dan residunya mengandung 38% . Jerami padi relatif sulit terkomposisi, hanya 9-16% dari produksi total terjadi dalam periode yang sama dan pada suhu yang sama. Untuk mempercepat roduksi gas sebaiknya jerami dikomposkan terlebih dahulu.
2.5. Teknologi Biogas
Biogas adalah campuran gas terutama metan yang mencakup 60-70% dan sisanya berupa CO2 dan lain-lain. Gas metan menjadi bagian terpenting dari biogas. Biogas terjadi dari hasil perombakan/fermentasi bahan organik dalam keadaan anaerob (Yani dan Darwis, 1990). Semua bahan organik dapat digunakan sebagai bahan penghasil biogas, seperti sisa-sisa buangan (sampah) organik, sisa hasil pertanian seperti kulit singkong, kulit kelapa sawi, batang pisang, jerami, tumbuhan air seperti eceng gondok dan kotoran dari hewan maupun manusia.
Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktifitas sistem biogas disamping parameter-parameter lain seperti temperatur digester, pH, tekanan dan kelembaban udara.
Proses untuk mendapatkan biogas diawali dengan perombakan (degradasi) limbah cair organik akan menghasilkan gas metana, karbondioksida dan gas-gas lain serta air. Perombakan tersebut dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Pada proses aerobik limbah cair kontak dengan udara, sebaliknya pada kondisi anaerobik limbah cair tidak kontak dengan udara luar (Yani dan Darwis, 1990). Mikroba dapat membentuk simbiosis yang menguntungkan dengan tumbuhan-tumbuhan tertentu, misalnya antara bakteri rizobium penambat nitrogen dan beberapa jenis kacang-kacangan. Dalam proses degradasi yang dilakukan oleh
(28)
mikroba misalnya proses fermentasi bahan organik oleh mikroba dihasilkan berbagai materi seperti alkohol, asetat maupun materi akhir berupa gas-gas seperti
CH4, CO2, NH3 dan lain-lain (Adisoemarto 1998).
2.6. Proses Pembentukan Biogas
Dalam proses metabolisme, gas metan terbentuk dari hasil kerja sinergis beberapa golongan mikroba seperti bakteri fermentasi, bakteri asetogenik dan bakteri methanogenik (Suhadi et al. 1989). Bakteri metanogenik secara alami hidup dirawa-rawa, kolam tanah basah dan becek serta dalam alat pencernaan hewan besar. Enzim-ensim yang berperan pada mikroba metanogenik antara lain Coensim M-SH methyltransferase dan methyl-S Coenzim M reduktase (mcrA) berperan penting dalam pembentukan gas metan (White, 2000). Secara garis besar proses pembentukan gas bio dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi (pengasaman) dan pembentukan gas mehtan (Gambar 2).
2.6.1. Tahap Hidrolisis
Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh
enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptida dan asam amino.
2.6.2. Tahap Asidifikasi (Pengasaman)
Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai
pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan
karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah`
(29)
menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas
metana.
Selulosa
Gambar 2. Tahap Pembentukan Biogas (FAO, 1978)
2.6.3. Tahap Pembentukan Gas Methan
Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai
contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2 dan asam asetat untuk membentuk
metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara
simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses
Glukosa
Asam Lemak dan Alkohol
(C6H10O5)n + nH2O n(C6H12O6)
selulosa glukosa
1. Hidrolisis
(C6H12O6)n + nH2O CH3CHOHCOOH
glukosa asam laktat
CH3CH2CH2COOH + CO2 + H2
asam butirat CH3CH2OH + CO2
etanol
2. Pengasaman
4H2 + CO2 2H2O + CH4
CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + CH4
CH3COOH + CO2 CO2 + CH4
CH3CH2CH2COOH + 2H2 + CO2 CH3COOH + CH4 3. Metanogenik
(30)
simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam.
Dari fermentasi akan dihasilkan campuran biogas yang terdiri atas metana
(CH4), karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan gas lain seperti H2S. Selama
proses itu, mikroba yang bekerja butuh makanan. Makanan tersebut mengandung karbohidrat, lemak, protein, fosfor dan unsur-unsur mikro. Lewat siklus biokimia, nutrisi tadi akan diuraikan. Dengan begitu, akan dihasilkan energi untuk tumbuh. Dari proses pencernaan anaerobik ini akan dihasilkan gas metan.
Gas metan hasil fermentasi ini akan menyumbang nilai kalor yang dikandung biogas, besarnya antara 590-700 K.cal per kubik. Sumber utama nilai
kalor biogas berasal dari gas metan itu, dan sedikit dari H2 serta CO. Sedang
karbon dioksida dan gas nitrogen tidak memiliki konstribusi dalam soal nilai panas. Sementara dalam hal tingkat nilai kalor yang dimiliki, biogas punya keunggulan yang signifikan ketimbang sumber energi lainnya, seperti coalgas
(586 K.cal/m3) ataupun watergas (302 K.cal/m3). Nilai kalor biogas itu lebih
rendah gas alam (967 K.cal/m3).
Biogas pun sanggup membangkitkan tenaga listrik sebesar 1,25-1,50 kilo watt hour (kwh). Dari nilai kalor yang dikandung, biogas mampu dijadikan sumber energi dalam beberapa kegiatan sehari-hari. Mulai dari memasak, pengeringan, penerangan hingga pekerjaan yang membutuhkan pemanasan (pengelasan). Selain itu, biogas juga bisa dipakai sebagai bahan bakar untuk menggerakkan motor. Bila biogas digunakan sebagai bahan bakar motor maka diperlukan sedikit modifikasi pada sistem karburator. Hasil kerja motor dengan bahan bakar biogas ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pembangkit tenaga listrik, pompa air dan lainnya. Selain itu, biogas juga bisa dipadukan dengan sistem produksi lain.
2.7 Faktor yang Berpengaruh Pada Proses Anaerobik 2.7.1 Temperatur
Temperatur yang optimal untuk digester adalah temperatur 30-350C,
kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi biogas di dalam digester dengan lama proses yang pendek.
(31)
Temperatur yang tinggi (thermophilic) jarang digunakan karena sebagian besar
bahan sudah dicerna dengan baik pada temperatur mesophilic, selain itu bakteri
thermophilic mudah mati karena perubahan temperatur. (Bitton, 1994). Selain itu keluaran/ sludge memiliki kualitas yang rendah untuk pupuk, berbau dan tidak ekonomis untuk mempertahankan pada temperatur yang tinggi, khususnya pada iklim dingin .
Bakteri mesophilic adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada kondisi
buffer yang (mantap (well buffered) dan dapat tetap aktif pada perubahan
temperatur yang kecil, khususnya bila perubahan berjalan perlahan. Pada
temperatur yang rendah 150C laju aktivitas bakteri sekitar setengahnya dari laju
aktivitas pada temperatur 350C. Pada temperatur 100C-70C dan dibawah
temperatur aktivitas, bakteri akan berhenti beraktivitas dan pada range ini bakteri fermentasi menjadi dorman sampai temperatur naik kembali hingga batas aktivasi.
Apabila bakteri bekerja pada temperatur 400C produksi gas akan berjalan dengan
cepat hanya beberapa jam tetapi untuk sisa hari itu hanya akan diproduksi gas yang sedikit ( Nagamani 2006).
Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada 350C
dibanding pada 150C dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak gas pada
waktu proses yang sama. Seperti halnya proses secara biologi tingkat produksi
metan berlipat untuk tiap peningkatan temperatur sebesar 100C-150C. Jumlah total
dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap, meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur ( Nagamani 2006).
Lebih lanjut, yang harus diperhatikan pada proses biometananisasi adalah perubahan temperatur, karena proses tersebut sangat sensitif terhadap perubahan temperatur. Perubahan temperatur tidak boleh melebihi batas temperatur yang
diijinkan. Untuk bakteri psychrophilic selang perubahan temperatur berkisar
antara 2 0C/ jam, bakteri mesophilic 10C/jam dan bakteri thermophilic 0.50C/jam.
Walaupun demikian perubahan temperatur antara siang dan malam tidak menjadi masalah besar untuk aktivitas metabolisme (Yani dan Darwis, 1990). Sangat penting untuk menjaga temperatur tetap stabil apabila temperatur tersebut telah dicapai.
(32)
Panas sangat penting untuk meningkatkan temperatur bahan yang masuk ke dalam biodigester dan untuk mengganti kehilangan panas dari permukaan biodigester. Kehilangan panas pada biodigester dapat diatasi dengan meminimalkan kehilangan panas dari bahan. Misalnya, kotoran sapi segar
memiliki temperatur 350C Apabila jarak waktu antara tubuh ternak dan
biodigester dapat diminimalkan, kehilangan panas dari kotoran dapat dikurangi
dan panas yang dibutuhkan untuk mencapai 350C lebih sedikit.
2.7.2 Ketersediaan Unsur Hara
Bakteri Anaerobik membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang
mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium dan kobalt.
Level nutrisi harus sekurangnya lebih dari konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi dengan bahan yang sederhana seperti glukosa, buangan industri, dan sisa sisa tanaman terkadang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester. Walaupun demikian kekurangan nutrisi bukan merupakan masalah bagi mayoritas bahan, karena biasanya bahan memberikan jumlah nutrisi yang mencukupi (Gunerson and Stuckey, 1986).
Nutrisi yang penting bagi pertumbuhan bakteri, dapat bersifat toksik apabila konsentrasi di dalam bahan terlalu banyak. Pada kasus nitrogen berlebihan, sangat penting untuk mempertahankan pada level yang optimal untuk mencapai digester yang baik tanpa adanya efek toksik (Gunerson and Stuckey, 1986).
2.7.4 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua kehidupan. Kebanyakan dari proses kehidupan memiliki kisaran pH antara 5-9. Nilai pH yang dibutuhkan untuk digester antara 7-8,5. Bila proses tidak dimulai dengan membibitkan bakteri methan, seperti memasukkan kotoran hewan ke dalam kolam, kondisi buffer tidak akan tercipta dan perubahan yang terjadi adalah: selama tahap awal dari proses
(33)
diberikan. Hal ini akan terjadi selama 3 bulan dengan penurunan keasaman yang
lambat (6 bulan pada cuaca yang dingin) selama waktu itu ikatan asam volatile
dan nitrogen terbentuk .
Seperti pada pencernaan, karbondioksida dan metana diproduksi dan pH perlahan meningkat hingga 7. Ketika campuran menjadi berkurang keasamannya maka fermentasi metanalah yang mengambil alih proses pencernaan. Sehingga nilai pH meningkat diatas netral hingga 7,5 – 8,5. Setelah itu campuran menjadi
buffer yang mantap (well buffered), dimana bila dimasukkan asam/basa dalam
jumlah yang banyak, campuran akan stabil dengan sendirinya pada pH 7,5 – 8,5 (Buyukkamaci dan Filibeli, 2004).
Apabila campuran sudah mantap, ini memungkinkan untuk menambah sejumlah kecil bahan secara berkala dan dapat mempertahankan secara konstan produksi gas dan sludge (pada digester aliran kontinyu). Bila bahan dimasukkan
tidak teratur (digester tipe batch), enzim akan terakumulasi sehingga padatan
organik menjadi jelek dan produksi metana terhenti. Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH bahannya pada keadaan alkali (basa). Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka pH akan secara otomatis berkisar antara 7-8,5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau
lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap
bakteri metanogenik (Buyukkamaci dan Filibeli, 2004).
Derajat keasaman dari bahan didalam digester merupakan salah satu indikator bagaimana kerja digester. Derajat keasaman dapat diukur dengan pH meter atau kertas pH. Untuk bangunan digester yang kecil, pengukuran pH dapat diambil dari keluaran/effluent digester atau pengambilan sampel dapat diambil di permukaan digester apabila telah terpasang tempat khusus pengambilan sampel. 2.7.5 Penghambat Nitrogen dan Ratio Carbon Nitrogen
Mikroorganisme membutuhkan nitrogen dan karbon untuk proses
asimilasi. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel. Bakteri penghasil metana menggunakan karbon 30 kali lebih cepat daripada nitrogen. Proses anaerobik akan optimal bila diberikan bahan makanan yang mengandung karbon dan nitrogen secara bersamaan. CN ratio menunjukkan perbandingan jumlah dari kedua elemen tersebut.
(34)
Pada bahan yang memiliki jumlah karbon 15 kali dari jumlah nitrogen akan memiliki C/N ratio 15 berbanding 1. C/N ratio dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Bila terlalu banyak karbon, nitrogen akan habis terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Bila nitrogen terlalu banyak (CN ratio rendah; misalnya 30/15), maka karbon habis lebih dulu dan proses fermentasi berhenti . 2.7.6 Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat
Walaupun tidak ada informasi yang pasti, mobilitas bakteri metanogen di dalam bahan secara berangsur-angsur dihalangi oleh peningkatan kandungan padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan biogas. Selain itu yang terpenting untuk proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran bahan yang baik akan menjamin proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna. Hal yang paling penting dalam pencampuran bahan adalah:
• Menghilangkan unsur-unsur hasil metabolisme berupa gas (metabolites)
yang dihasilkan oleh bakteri metanogen.
• Mencampurkan bahan segar dengan populasi bakteri agar proses
fermentasi merata.
• Menyeragamkan temperatur di seluruh bagian pencerna.
• Menyeragamkan kerapatan sebaran populasi bakteri.
(35)
III.
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2009 - Juli 2009. Penelitian ini berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap penelitian laboratorium yang dilaksanakan selama 120 hari yang bertempat di laboratorium pengolahan limbah Fapet IPB Dramaga Bogor. Sedangkan tahap penelitian skala lapangan dilaksanakan selama 90 hari di kelompok penggemukan ternak sapi di Desa Kuanheum Kecamatan Amabi Oefeto Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan analisis hasil dilakukan di laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dan laboratorium Fakultas MIPA Universitas Nusa Cendana. Untuk analisis gas methan dilakukan di laboratorium terpadu IPB.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian laboratorium adalah berupa alat-alat laboratorium yang digunakan untuk pengujian yaitu berupa termometer, pH meter, tabung reaksi, pipet, batang gelas melengkung Colony counter, cawan petri, oven, tanur, cawan keramik dan timbangan analitik. Sedangkan alat-alat yang dipakai untuk analisis yaitu pipet, desikator, labu takar, erlenmeyer, cawan porselin. Alat-alat ini digunakan pada dua tahap penelitian yaitu penelitian skala laboratorium dan penelitian skala lapangan.
3.2.2. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kotoran ternak
sapi, jerami padi serta aktifator berupa larutan EM4 dan akticom. Kotoran ternak
sapi di ambil dari usaha peternakan rakyat, sedangkan limbah pertanian berupa jerami diperoleh lansung dari kebun petani yang ada disekitar kampus IPB darmaga untuk skala laboratorium dan skala lapangan diambil dari kebun petani di desa tempat penelitian. Sedangkan aktifator yang digunakan untuk
(36)
diperoleh dari Balai Penelitian Hasil Perkebunan Bogor. Bahan-bahan ini diperlukan baik dipenelitian laboratorium maupun penelitian lapangan.
Bahan yang akan dipakai untuk merancang reaktor dalam penelitian laboratorium adalah berupa jergen kapasitas 20 liter, pipa PVC 0,5 inch, lem PVC selang, toples plastik, ban dalam, tali karet, kawat pengikat. Sedangkan bahan yang diperlukan untuk merancang reaktor skala lapangan adalah Cincin beton , pipa PVC 4 inch dan 0.5 inch, PVC sambungan siku 4 inch, PVC ulir 0.5 inch jantan dan betina, lem PVC, stop kran 0,5 inchi, drum, selang 0,5 inch, tali karet ban dalam, triplek 3 mm.
3.3. Rancangan Penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap percobaan yaitu percobaan skala laboratorium dengan kapasitas 20 liter. Hasil percobaan dalam skala laboratorium akan dilakukan perancangan skala semi proyek untuk satu kelompok peternak pengemukan sapi.
3.3.1. Skala Laboratorium.
Percobaan skala laboratorium akan dilakukan untuk mengetahui campuran
terbaik dari jerami padi dan kotoran ternak dalam menghasilkan biogas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 6 perlakuan dan kontrol, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Sehingga dalam penelitian ini ada 21 unit percobaan. Perlakuan
pembeda pertama yaitu pengomposan dengan EM4 dan pengomposan dengan
acticomp. Sedangkan perlakuan kedua yaitu perbedaan C/N 25, 30 dan 35 ( Gambar 3). Rumus model rancangan percobaan adalah:
ij i
Yij = μ + τ + ∑ ...(1)
Yij = Produksi biogas pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Efek rata-rata yang sebenarnya
τ i = Efek sebenarnya dari perlakuan ke-i
(37)
C/N 25 (P1U1)
C/N 30 (P2U2)
C/N 35
(P3U3)
C/N 30
(P2U1)
C/N 35
(P3U2)
C/N 25
(P2U3) Pengomposan
dengan EM4
C/N 35
(P2U2)
C/N 25
(P2U2)
C/N 30
(P2U2)
C/N 25
(P4U1)
C/N 25
(P4U2)
C/N 35
(P6U3)
C/N 30
(P5U1)
C/N 35
(P6U2)
C/N 30
(P5U3) Pengomposan
dengan acticomp
C/N 35
(P6U1)
C/N 30
(P5U2)
C/N 25
(P4U3)
Gambar 3. Lay –out Rancangan Percobaan Penelitian
Rancangan digester skala laboratorium yaitu tipe batch. Pada tipe ini bahan dimasukan sekali dalam pengoperasian. Bahan yang dipakai untuk reaktor skala laboratorium terbuat dari jerigen dengan kapasitas 20 liter, sedangkan penampung gas terbuat dari toples ukuran 5 liter. Setiap reaktor terisi dengan bahan campuran dengan volume 18 liter. Setiap reaktor dilengkapi dengan lubang
pengontrolan, juga katup input dan autput yang dihubungkan dengan tabung
penampung gas (Gambar 4).
Toples 5 liter
Penampung air
Pipa
Pengontrolan Saluran biogas
Reaktor pembangkit terbuat dari jerigen 20 liter
18 liter
Toples 10 liter Kran gas
Penampung Biogas
(38)
3.3.2. Skala Aplikasi Lapangan
Dari hasil pengukuran dan analisis skala laboratorium akan dilihat hasil perlakuan yang mengahasilkan biogas secara optimal akan dilanjutkan pada perancangan dengan skala lapangan. Skala lapangan akan dilaknakan di dua kelompok pengemukan ternak sapi dan merupakan kelompok binaan Yayasan Cemara-Kupang.
Rancangan digester untuk skala lapangan adalah tipe kontinyu dengan dua bangunan yaitu : bak pencerna atau bak fermentasi dan bak penampung gas metan. Jumlah ternak yang dimiliki oleh satu kelompok peternak adalah 7-10 ekor maka ukuran bak pencerna adalah kapasitas 6,5 m³. Digester yang dibangun akan mengunakan bahan cincin beton, hal ini bertujuan agar wakru pengunaan instalasi berlansung lama sehingga masyarakat khususnya peternak sapi tertarik untuk memanfaatkan energi biogas dengan pertimbangan murah dan mudah diperoleh.
Tahapan skala lapangan dilakukan untuk mengetahui penerapan dengan skala yang lebih besar. Skala lapangan juga bertujuan mengetahui kelayakan ekonomi, sosial dan ekologi dari pemamfaatan kotoran ternak dan jerami padi sebagai penghasil biogas.
3.3.3. Tahapan penelitian
Kedua tahapan penelitian diatas mendapatkan perlakuan awal bahan penelitian sebelum bahan-bahan tersebut dimasukan ke dalam digester. Proses perlakuan awal dimaksudkan agar terjadi proses pendegradasian bahan baku berupa jerami dengan cara pengomposan. Dalam proses pengomposan diharapkan akan terjadi dekomposisi bahan organik yang komplek yang diubah menjadi elemen yang sederhana atau senyawa organik dan terjadi proses mineralisasi
(Higa, 1990). Untuk mempercepat proses pengomposan akan digunakan EM4
sebagai aktifator. Tahapan proses persiapan bahan pencerna adalah sebagai berikut:
1. Jerami dicacah dengan ukuran 2-3 cm kemudian di komposkan hingga jerami
berubah menjadi kompos. Tujuan dari pengomposan adalah melunakan perlindungan lignin agar selulosa dapat dihidrolisis.
(39)
2. Penyaringan terhadap kotoran ternak segar yang telah diambil hal ini bertujuan mengeluarkan sampah-sampah atau kotoran kandang selain kotoran ternak, seperti batang dan daun keras, sisa batang rumput dan kotoran lainnya yang sebagian besar adalah sisa-sisa pakan ternak yang terlalu kasar.
3. Jerami yang telah dikomposkan dicampurkan kedalam kotoran ternak
kemudian ditambahkan air hingga adonan berupa lumpur ( 7% - 9% bahan padat). Jumlah jerami yang ditambahkan didasarkan pada rasio C/N yaitu, 25, 30 dan 35. Persamaan yang digunakan untuk menentukan C/N adalah sebagai berikut:
). 35 30 , 25 ..( *
% *
%
* %
* %
dan Bobot
NKotoran Bobot
NJerami
Bobot CKotoran
Bobot
CJerami =
+ +
...(2)
4. Pengadukan dilakukan terhadap campuran hingga bahan pencerna tercampur
secara homogen.
5. Adonan bahan pencerna dimasukan kedalam reaktor yang telah dipersiapkan.
6. Kemudian dilakukan pengamatan/pengukuran terhadap parameter-parameter
untuk mengetahui produksi biogas.
(40)
Dicacah 2-3 cm Jerami padi Kotoran ternak
Limbah
Pengomposan
Gambar 5. Bagan Alir Tahapan Penelitian Analisis
laboratorium Pencampuran
/Pengadukan Air
Larutan EM4/akticom Penyaringan
Kolam pencerna
Pengambilan Sampel II Pengambilan
Sampel I
Inlet Autlet
Pengukuran produksi biogas
Pengambilan sampel Kualitas biogas Penampungan gas
(41)
3.3.2. Parameter Yang Diamati Terhadap Laju Produksi Biogas
Parameter yang diamati dan akan berpengaruh terhadap produksi biogas
meliputi: pH, suhu, kandungan Total Solid (TS), Volitile Solid (VS), Chemical
Oxygen Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan kandungan
Carbon dan Nitrogen (C/N). Parameter suhu akan diukur dan dicatat setiap hari,
sedangkan pH diukur setiap minggu. Parameter lainnya akan dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis pada tahap pemasukan bahan pencerna dan saat akhir pengeluaran pencerna. Metode analisis yang dipakai untuk mengetahui parameter-parameter tersebut dilakukan dengan mengacu pada metode APHA (1998). Parameter ,waktu dan metode pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter dan waktu pengamatan serta metode yang digunakan
Parameter Waktu Pengamatan Metode
pH Setiap hari Pengamatan lansung
Suhu Setiap hari Pengamatan lansung
Total Solid (TS) Awal, pertengahan dan akhir Analisis Lab. (APHA)
Volitile Solid (VS) Awal, pertengahan dan akhir Analisis Lab. (APHA)
Chemical Oxygen Demand
(COD) Awal, pertengahan dan akhir
Analisis Lab. (APHA)
Biochemical Oxygen Demand
(BOD) Awal pertengahan dan akhir
Analisis Lab. (APHA) Kandungan Carbon dan
Nitrogen (C/N). Awal, pertengahan dan akhir
Analisis Lab. (APHA dan Kjeldahl )
3.3.1. Derajat Keasaman (pH)
Untuk mengetahui derajat keasaman (pH) maka akan diambil sampel dari dalam digester setiap minggu untuk mengukur pH. Sampel dari dalam digester bisa lansung diamati dengan mengunakan ph meter. Derajat keasaman sangat berpengaruh terhadap aktifitas mikroorganisme. Nilai pH yang dibutuhkan dalam biodigester adalah berkisar antara 7-8,5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan bersifat toksik terhadap bakteri metanogenik.
(42)
3.3.2. Suhu
Suhu digester dapat diketahui dengan mengunakan termometer yang terpasang pada masing-masing digester perlakuan. Pada penelitian ini bakteri yang bekerja adalah bakteri mesophilic yang aktif bekerja pada kisaran suhu
30-400 C. Suhu ini akan dijaga agar tetap berada pada kisaran angkat diatas.
3.3.3. Kandungan Total Solid (TS)
Total solid adalah sejumlah padatan yang ada didalam bahan. Langkah pengukuran TS adalah adalah mempersiapkan cawan porselen yang bersih,
kemudian keringkan di dalam oven bersuhu 103 – 105oC , lalu masukkan ke
dalam desikator, setelah beberapa saat ditimbang. Indikasikan sebagai (B).
Langkah berikutnya adalah pengambilan sampel sebanyak 200 mg, dan dimasukan ke dalam cawan porselen, lalu dipanaskan dan keringkan di dalam
oven bersuhu 103 – 105oC selama 1 jam. Kemudian masukkan ke dalam
desikator, dan disimpan hingga suhu dan beratnya seimbang.
Indikasikan sebagai (A).
Perhitungan:
Total Solids Mg/L =
(
)
( )
ml sampel VolB A
.
1000
× −
...(3) Dimana: A = berat sampel setelah ditimbang + berat cawan (mg)
B = berat cawan tanpa sampel (mg)
3.3.4. Volitile Solid (VS)
Padatan organik yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak. Langkah pengukuran TS adalah: Cawan porselen yang bersih,
dikeringkan di dalam oven pada suhu 103 – 105oC, kemudian masukkan ke dalam
desikator, setelah beberapa saat ditimbang. Indikasikan sebagai (B). Sampel
sebanyak 25 – 50 gr, dimasukkan ke dalam oven bersuhu 103 – 105oC selama 1
jam, kemudian dinginkan di dalam desikator hingga suhu dan bertanya seimbang, lalu ditimbang. Indikasikan sebagai (A). Kemudian sampel (A) diambil dan
dibakar di dalam tanur dengan suhu 550oC selama 1 jam, setelah itu dinginkan di
(43)
Perhitungan:
% voletile solids =
(
)
B A D A − × − 1000 ...(4)
Dimana: A = berat sampel setelah didinginkan + cawan (mg) B = berat cawan
C = berat sampel + cawan setelah dibakar di dalam tanur (mg)
3.3.5. Chemical Oxygen Demand (COD)
Sampel sebanyak 20 ml dimasukkan ke dalam labu didih 300 ml,
tambahkan 10 ml K2Cr2O7 0,25 N; 0,4 gr H2SO4; 40 ml asam sulfat yang
mengandung silver sulfat dan batu didih. Panaskan dan didihkan selama 10 menit dengan direflux menggunakan kondensor. Kemudian dinginkan dan cuci dengan menggunakan 50 ml air suling. Dinginkan, kemudian tambahkan 2 tetes indikator ferroin dan titrasi dengan amonium ferro sulfat 0,25 N hingga terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi merah kecoklatan. Kemudian catat volume yang digunakan. Indikasikan sebagai (B).
Dengan melakukan prosedur yang sama, lakukan titrasi terhadap blangko air suling sebanyak 20 ml dengan menggunakan 0,25 amonium ferro sulfat. Indikasikan sebagai (A).
Perhitungan:
COD (mg O2/L) =
(
)
sampel ml M B A . 8000 × × − ...(5) Dimana: A = ml titrasi blankoB = ml titrasi sampel M = molaritas (0,25)
8000 = miliequivalent berat oksigen x 1000 ml/L
3.3.6. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Sampel sebanyak 1 atau 2 liter, apabila sampel terlalu tinggi tingkat kepadatannya, maka dilakukan pengenceran dengan menggunakan akuades. Kemudian tingkatkan kadar air sampel dengan aerasi menggunakan oksigen baterai selama 5 menit. Setelah itu sampel dipindahkan ke botol BOD gelap dan terang sampai penuh. Sampel pada botol terang dianalisa kadar oksigen
(44)
terlarutnya. Indikasikan sebagai (DO1). Sedangkan botol BOD gelap yang berisi sampel kemudian di dalamnya ditambahkan masing-masing 3 tetes buffer fosfat,
MgSO4, CaCl2 dan FeCl3 kemudian diinkubasi pada suhu 20oC selama 5 hari.
Setelah 5 hari dilakukan pengukuran kadar oksigen terlarutnya. Diindikasikan sebagai (DO5).
Perhitungan:
BOD5 (mg/L) =
(
)
pengencer fak Botol vol DO Pereaksi vol Botol vol contoh ml Tio N DO DO ml . . . . . . 1000 8 . 5 1 . × ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − × × × − ...(6)
3.3.7. Kandungan Carbon dan Nitrogen (C/N)
Cawan porselen yang bersih,dimasukkan ke dalam oven selama 1 jam
dengan suhu 105oC, kemudian dinginkan di dalam desikator hingga suhu beratnya
seimbang. Indikasikan sebagai (A). Sampel sebanyak 2 gr. Indikasikan sebagai (B). Kemudian sampel diletakkan ke dalam cawan porselen lalu pijar dan panaskan diatas bunsen hingga tidak berasap. Kemudian masukkan sampel ke
dalam tanur bersuhu 6500C selama 12 jam. Kemudian cawan porselen
didinginkan di dalam desikator hingga suhu dan beratnya seimbang, kemudian ditimbang. Indikasikan sebagai (C).
Perhitungan:
Kadar Abu (%) =
(
+)
− ×100%B C B A
...(8) Kadar C (%) = 100% - kadar Abu (%)...(9)
Untuk mengetahui kandungan Nitrogen (N) maka dilakukan dengan Metode Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,25 gr sampel dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl, kemudian tambahkan larutan H2SO4 pekat sebanyak 2,5 ml dan selen
sebanyak 0,25 gr. Kemudian destruksi campuran larutan tersebut menjadi jernih, kemudian dinginkan. Setelah dingin, tambahkan ke dalamnya NaOH 40% sebanyak 15 ml. Di lain pihak, siapkan larutan penampung di dalam erlenmeyer
125 ml yang terdiri dari 19 ml H3BO3 4% dan BCG-MR 2 sebanyak 3 tetes.
Kemudian larutan sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi. Kemudian lakukan destilasi hingga tidak terdapat lagi gelembung yang keluar pada bagian dalam penampung. Kemudian hasil destilasi dititrasi dengan menggunakan HCl 0,01 N.
(45)
Perhitungan:
% N =
(
)
. 14 100.
. . .
.
× × ×
−
HCl N sampel
ml
blanko titrasi
ml sampel titrasi
ml
...(10)
3.3.2. Volume Gas yang Dihasilkan.
Untuk mengetahui perbedaan perlakuan dalam menghasilkan gas maka akan diukur volume gas yang dihasilkan sedangkan kualitas gas yang dihasilkan dapat dilakukan dengan analisis sampel gas untuk mengetahui presentasi gas metana yang dihasilkan. Analisis gas metana akan dilakukan dengan metode cromatography.
Volume gas yang diproduksi diukur setelah biodigester mulai memproduksi gas dan tertampung pada tabung penampung. Volume gas dihitung dengan cara menghitung volume yang dapat dibentuk gas pada penyimpanan sementara per hari. Karena penampung gas berbentuk silinder maka rumus yang digunakan untuk menghitung volume gas adalah sebagai berikut:
V= π × r2 × t …………...……..……( 11 )
Dimana : V = Volume penyimpan sementara (ml )
π = 3,14
r = Jari-jari penampung gas (cm) t = Tinggi gas tertampung (cm)
Untuk mengetahui kualitas gas yang dihasilkan maka dilakukan penghitungan persentase gas metana yang dihasilkan dilakukan dengan menggunakan gas cromatography. Dengan mengetahui persentase gas metana dapat dihitung nilai kalor bersih gas bio. Nilai kalori bersih dapat dihitung dari persentase metana seperti berikut :
Q = k × m ………...……. (12)
Dimana Q = Nilai kalor bersih ( joule/cm3)
k = Konstanta ( 0,33 ) m = Persentase metana ( % )
(46)
3.3.3. Analisis Kelayakan Ekonomi, Sosial dan Ekologis 3.3.3.1. Analis Kelayakan Ekonomi
Data yang diperoleh dari skala lapangan akan digunakan untuk dinalisis kelayakan ekonomi. Hal dapat dilakukan dengan melihat aspek finansial dengan membandingkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan nilai mamfaat yang diterima dalam suatu investasi untuk jangka waktu tertentu. Dalam analisis finansial diperlukan kreteria investasi yang digunakan untuk melihat kelayakan
suatu usaha. Analisis ini meliputi perhitungan, Benefit Cost Ratio (B/C), Net
Present Value (NPV) dan Analisis Payback Period.
1. Penggunaan rasio manfaat dan biaya (Benefit Cost-Ratio) dapat dihitung
dengan mengalikan jumlah satuan dengan harganya dan apabila produk atau jasa tersebut tidak dapat dipasarkan maka digunakan metode
pendekatan untuk menyatakan nilai moneternya. Benefit Cost-Ratio
adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR lebih besar dari 1. Secara matematis BCR dapat disajikan seperti berikut:
BCR =
(
)
∑
= + − n t t t t i C B 1 1 ...(13)Dimana Bt= Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t
Ct= Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t
i = Tingkat suku bunga
t = Tingkat investasi (t=1,2,3...n) n= Umur ekonomis proyek
2. Net Present Value(NPV) dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang didapatkan dari investasi (Husman dan Suwarsono, 2000). Nilai NPV akan menunjukan keuntungan yang diperoleh selama umur investasi. Secara matematis NPV dapat disajikan seperti berikut:
NPV =
(
)
∑
= + − n t t t t r C B 1 1 ...(14)Dimana Bt= Penerimaan yang diperoleh pada tahun ke-t
(47)
n = Umur ekonomis proyek r = Tingkat suku bunga
i = Tingkat investasi (t=1,2,3...n)
3. Payback Period merupakan jangka waktu periode yang dibutuhkan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan didalam investasi suatu proyek. Semakin cepat waktu pengembalian, semakin baik proyek itu diusahakan. Secara matematis dapat disajikan seperti berikut:
A I
P= ...(15)
Dimana P= Jumlah waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal I= Biaya Investasi
A= Benefit tiap tahun.
3.3.3.2. Analisis Aspek Sosial
Analisis aspek sosial dilakukan secara deskriptif untuk melihat dampak yang ditimbulkan dari pembuatan instalasi biogas terhadap masyarakat peternak. Aspek ini meliputi persepsi, kemauan pengelolaan dan keberlanjutan perawatan.
Data untuk aspek ini diperoleh dengan Fokus Group Discussioan (FGD) dan
wawancara mendalam.
3.3.3.3. Analisis Aspek Ekologi
Aspek Ekologi akan dianalisis untuk mengetahui dampak pemamfaatan biogas oleh peternak terhadap lingkungan sekitar. Untuk melihat dampak pembangunan instalasi biogas terhadap lingkungan sekitar maka akan dilihat dampak terhadap pencemaran lingkungan, dampak terhadap pengunaan energi kayu bakar dan pemamfaatan pupuk dari reaktor biogas. Data diperoleh dengan cara pengamatan langsung dan wawancara mendalam.
(48)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Laboratorium 4.1.1. Keadaan Umum Penelitian
Penelitian laboratorium berlangsung selama empat bulan yaitu januari 2009 sampai Mei 2009 yang berlangsung di dalam ruangan dilaboratorium pengolahan limbah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Walaupun penelitian ini berlangsung pada musim penghujan namun suhu ruangan berkisar
antara 250C sampai 290C yang diukur setiap harinya. Kondisi lingkungan sangat
mempengaruhi produktifitas mikroorganisme dalam proses pengomposan maupun perlakuan anaerob.
Pengukuran data dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pukul 08.00 dan pukul 18.00 WIB. Pengadukan dilakukan setiap hari sebelum pengukuran suhu dan pH, dengan cara mengguncangkan reaktor. Pengadukan ini dimaksudkan agar medium dalam reaktor tercampur secara homogen. Pada perlakuan anaerob, terjadi kegagalan pada salah satu reaktor ulangan dengan perlakuan kontrol tidak menhasilkan gas. Kegagalan ini mungkin disebabkan karena ada kebocoran pada reaktor. Kegagalan salah satu reaktor ini menyebabkan jumlah ulangan pada kontrol berkurang menjadi dua ulangan.
4.1.2. Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian laboratorium adalah kotoran ternak sapi perah yang diambil dari Laboratorium sapi perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, sedangkan jerami padi didapat dari persawahan Cifor Darmaga. Sedangkan penelitian aplikasi mengunakan bahan baku jerami padi dari kebun petani disekitar lokasi. Sedangkan kotoran ternak bersumber dari kelompok pengemukan sapi yang ada. Jerami yang dipilih adalah jerami yang baru selesai dipanen, dan kotoran ternak yang dipakai adalah kotoran yang masih berumur satu sampai empat hari.
Hasil analisis bahan baku awal meliputi parameter kadar air, kadar Carbon (C) dan kadar Nitrogen (N) untuk mengetahui C/N rasio. C/N merupakan karakteristik terpenting dalam bahan organik yang nantinya berguna dalam proses
(49)
pendegradasian (Sulaeman, 2007). Analisis C/N (Tabel 2) dilakukan untuk mengetahui kandungan kandungan carbon dan nitrogen dalam bahan baku sehingga dapat dipakai sebagai acuan dalam menentukan perbandingan antar perlakuan. Kedua unsur ini juga nantinya akan dimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan methan.
Tabel 2. Kadar air dan presentasi C/N rasio bahan baku
Bahan baku Karakteristik Nilai
C 46,8 N 1,6
C/N rasio 65
Jerami
Kadar Air (%) 60
C 23 N 1,2
C/N rasio 19
Kotoran ternak
Kadar air(%) 80
Agar bahan padat lebih mudah terdegradasi maka bahan baku padat perlu
mendapatkan perlakuan awal. Hal ini senada yang disampaiakan Yadvika, et al.
(2004) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi biogas dalam proses fermentasi, maka bahan baku perlu dilakukan pre-treatment. Hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan struktur organik kompleks menjadi molekul sederhana, sehingga mikroba lebih mudah mendegradasinya. Proses pendegradasian bahan baku dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengomposan.
4.1.3. Pendegredasian Jerami dengan Pengomposan
Proses pengomposan diawali dengan pencacahan jerami dengan ukuran 2-4 cm, untuk memperkecil ukuran jerami. Untuk mempercepat proses
pengomposan dilakukan dengan menambahkan aktifator berupa EM4 atau akticom
untuk mempercepat degradasi. Proses ini dilakukan secara aerob selama 35 hari. Untuk meningkatkan suplay oksigen maka pada tumpukan jerami diberikan juga
aerase yang dilakukan setiap hari. Suhu pengomposan berkisar antara 300C
sampai 450C. Selama pengomposan terjadi perubahan tekstur yaitu kasar menjadi
(50)
warna yang terlihat antara pengomposan dengan aktifator EM4 dan aktifator
aktikom yaitu yang menggunakan akticom terlihat lebih hitam (Gambar 6).
EM4 Akticom
Gambar 6. Perubahan Warna Jerami yang Dikomposkan dengan Aktifator yang Berbeda
Selama pengomposan akan terjadi pemanfaatan sumber carbon dan nitrogen oleh mikroba. Mikroorganisme membutuhkan karbon untuk pertumbuhannya sedangkan nitrogen diperlukan untuk sintesis protein. Kecepatan degradasi bahan organik dapat ditunjukan dengan perubahan C/N yang terjadi. pada proses pengomposan (Tabel 3).
Tabel 3. Rasio C/N awal dan akhir pengomposan
Aktifator C/N awal C/N akhir
EM4 75 38,27
Akticom 75 38,33
Hasil pengomposan jerami ini selanjutnya akan dicampur dengan kotoran ternak sesuai dengan perlakuan yaitu C/N 25, 30 dan 35. Berdasarkan perhitungan tersebut maka hasil komposisi perlakuan seperti yang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi jerami dan kotoran ternak pada reaktor dengan kapasitas 20 liter
Komposisi
Persen Bobot Basah (kg) Aktifator
Pengomposan Perlakuan
C/N Rasio
Jerami Kotoran
ternak Jerami
Kotoran
ternak Total
- P0 19 0 100 0 9 9
P1 25 36,7 63,3 3,3 5,7 9
P2 30 62,2 37,7 5,6 3,4 9
EM4
P3 35 86,6 13,3 7,8 1,2 9
P4 25 35,5 64,4 3,2 5,8 9
P5 30 62,2 37,7 5,6 3,4 9
Akticom
(51)
Kapasitas reaktor untuk penelitian laboratorium adalah 20 liter, dengan volume terisi sebanyak 18 liter, dengan jumlah rekator yang digunakan adalah 21 buah. Sebelum padatan dimasukan dalam reaktor, dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Pengenceran dilakukan berdasarkan kadar air kotoran ternak dan jerami hasil pengomposan. Dengan kadar air sebesar 70-80% maka pengenceran dengan air adalah 1:1, atau 9 kg padatan dan 9 liter air. Setelah pengenceran, dilakukan pengadukan hingga jerami dan kotoran ternak tercampur secara homogen, selanjutnya dimasukan dalam reaktor (Gambar 7).
A B
Gambar 7. Pencampuran Jerami dan Kotoran Ternak (A), Desain Reaktor pada Masing-Masing Perlakuan (B)
4.1.4. Hasil Perlakuan Anaerob Terhadap Parameter Pengamatan
Hasil pengomposan dan pencampuran pada perlakuan pendahuluan, selanjutnya dimasukan kedalam reaktor yang telah dirancang. Proses anaerob berlansung selama 40 hari. Parameter suhu dan pH diukur setiap harinya, sedangkan parameter lainya dilakukan sebanyak tiga kali yaitu hari 0, hari ke-20 dan hari ke-40. Hasil pengukuran dan analisis terhadap parameter perlakuan adalah sebagai berikut:
4.1.4.1. Temperatur
Temperatur ruangan pada penelitian laboratorium yaitu 240C hingga 270C.
Pengukuran suhu dalam reaktor dilakukan setiap hari, dengan memasukan
termometer pada lubang pengontrolan. Suhu terendah dalam reaktor adalah 270C
(52)
yang berpengaruh terhadap kehidupan bakteri dan akhirnya berpengaruh pada produksi biogas. Bakteri methanogenic sangat sensitif pada temperatur, sehingga apabila temperatur diluar ambang batas maka pertumbuhan bakteri akan lebih lambat ( Bitton, 1994).
Suhu reaktor mencapai 300C pada awal perlakuan, yaitu hari ke-2 hingga
hari ke-7. Kenaikan suhu ini terjadi pada semua perlakuan kecuali perlakuan
kontrol yang mencapai suhu tertinggi 290C. Pada hari ke 8 terjadi penurunan suhu
menjadi 28 dan stabil hingga hari ke-40. Hal ini menunjukan bahwa migroorganisme yang bekerja adalah bakteri yang tergolong dalam bakteri
mesophilic yang bekerja pda suhu 250- 400C (Nagamani, 2006). Temperatur yang
tergambar pada penelitian ini menandakan bahwa proses anaerob dan produksi biogas berjalan secara optimum.
4.1.4.2. pH
Pengukuran terhadap pH dilakukan setiap hari dengan mengambil sampel dari lubang pengambilan sampel. Nilai pH yang diukur yaitu dari angka 5,6 pada awal pengisian reaktor, dan naik hingga 8 pada hari ke sepuluh. Pada hari-hari selanjutnya pH rata-rata tetap angka 8 hingga pada hari ke-40. Hal ini terjadi pada semua perlakuan, kecuali kontrol yang pH tertinggi adalah 7,5.
Nilai pH pada awal perlakuan menunjukan proses pengasaman dan perombakan bahan organik. Keasaman yang terjadi ini kemungkinan adalah asam asetat yang dihasilkan oleh bakteri asetogenik (Buyukkamaci dan Filibeli, 2004). Pembentukan asam asetat ini sebenarnya penting untuk kelanjutan produksi gas metana pada proses selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa bahan masih berada dalam tahap asidifikasi, dimana bakteri asetogenik mendominasi proses dekomposisi pada bahan.
Perubahan pH yang lebih basah pada hari ke-8 pada perlakuan yang mendapatkan tambahan jerami, menunjukan campuran jerami yang bersifat lebih basah. Dari data (Gambar 8) terlihat perubahan pH yang tidak stabil pada perlakuan yang mendapatkan jerami terjadi dari hari ke-2 hingga hari ke-13. Setelah hari ke 14, pH naik menjadi 8,5 dan stabil hingga hari ke 40. Sedangkan untuk kontrol pH 7 naik menjadi 7,5 pada hari ke 12 dan stabil hingga hari ke-40.
(53)
5 5,5 6 6,5 7 7,5 8 8,5 9
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 Waktu (Hari)
pH
Perlakuan Po Perlakuan F1 P1 Perlakuan F1 P2 Perlakuan F1 P3 Perlakuan F2 P4 Perlakuan F2 P5 Perlakuan F2 P6
Gambar 8. Perubahan pH yang Terjadi Selama Perlakuan Anaerob
Kenaikan pH menjadi lebih basah menandakan adanya perombakan bahan organik, yaitu proses methanogenesis yang menggunakan asam asetat, CO2 dan hidrogen untuk menghasilkan metana, sehingga nilai keasaman berangsur-angsur akan menuju pH yang lebih basa. Perubahan pH menjadi 8,5 masih dalam taraf
optimum untuk produksi biogas karena, bakteri Methanogenic bisa bertumbuh
pada pH 6.5-8.5 ( Buyukkamaci dan Filibeli, 2004).
4.1.4.3. Total Solid (TS)
TS merupakan padatan yang terkandung dalam bahan. Sejumlah TS akan dirombak oleh mikroorganisme dan selanjutnya akan menjadi gas. Pada campuran yang mendapat penambahan jerami, menunjukan TS dengan jumlah yang lebih besar. Hal ini karena pencampuran jerami yang mengandung lignin yang sulit dikomposisi pada saat perlakuan pengomposan.
Padatan dalam reaktor akan dimanfaatkan oleh mikroba. Hasil degradasi terlihat dengan menurunnya kandungan TS pada substrat. Hasil analisis menunjukan berkurangnya TS, hal ini dapat dilihat dengan penurunan grafik pada semua perlakuan (Gambar 9). Penurunan TS lebih terlihat pada permulaan hingga pertengahan perlakuan. Penurunan TS terbesar terjadi pada perlakuan yang
(1)
Jika jawabannya (c) siapa bembelinya dan berapa harganya... Jika ingin menjual, berapa harga/kg... 13. Apakah pengolahan tanah untuk pertanian mengunakan pupuk? Sebutkan
sumbernya dan berapa harga yang dikeluarkan untuk setiap kali tanamnya?...
... ... ...
14. Bagaimana pemanfaatan energi untuk memasak setiap harinya! (lingkari salah satu jawaban. Jelaskan pulah sumber dan harga
Jenis bahan bakar
Jumlah Sumber Harga Keterangan
a. Kayu bakar
... ... ...
b. Minyak tanah
... ... ...
c. Gas elpiji
... ... ...
(2)
Lampiran 6. Data Ternak Sapi Desa Kuanheum.
Tabel 8. Perkembangan Populasi Sapi Desa Kuanheum Kecamatan Amabi Oefeto Kabupaten Kupang.
Tahun Jumlah peternak
Indukan Anak Sapi paron
Jumlah
2006 82 160 46 143 349
2007 82 167 48 124 339
2008 86 173 54 135 362
Mei 2009 87 179 63 140 382
Sumber: Data Monografi Desa Kuanheum 2009
Tabel 9. Data Peternak Kelompok Tuanebu
No Peternak Alamat Anggota
keluarga (Jiwa)
Jumlah sapi (ekor)
Jumlah sapi yang di paron
Jabatan dalam Kelompok
1 Harum Bana Dusun III 7 6 3 Ketua
2 Ferdinan Ora Dusun III 4 4 2 Sekertaris
3 Bernadus Seran Dusun III 3 5 3 Bendahara
4 Ibrahim Neolaka
Dusun III 6 6 2 Anggota
5 Viktor Tnunai Dusun III 4 2 2 Anggota
6 Eduard Ora Dusun III 3 2 2 Anggota
7 Melki Uas Dusun III 5 6 3 Anggota
8 Fance Seran Dusun III 4 4 1 Anggota
9 Daniel Ora Dusun III 3 1 1 Anggota
(3)
Lampiran 7. Kuesioner kajian
IDENTITAS RESPONDEN
KARAKTERISTIK PETANI/PETERENAK Kelompok Peternak Tuanebu
Desa Kuanheum Kecamatan Amabi Oefeto Kabupaten Kupang
No Responden Tanggal pengambilan
data Pengambil Data
1. Nama :... 2.Alamat (RT/TW) :... 3. Umur :... 4. Jumlah Anggota Keluarga :...
5. Apa pendidikan terakhir formal tertinggi yang dicapai? Sebutkan dengan melingkari jawaban yang ada!
a. Tidak sekolah
b. SD/ Sederajat : sampai kelas... c. SLTP/Sederajat : Sampai kelas... d. SLTA/Sederajat : Sampai kelas... e. Perguruan tinggi
6. Sudah berapa lama bekerja sebagai petani?(sebutkan)...tahun 7. Apa pekerjaan bapak/ibu selain beternak sapi? (Pilih dengan melingkari
jawaban)
a. Bertani di ladang b. Bertani sawah c. Buruh
8. Sudah berapa lama menjadi peternak sapi? Sebutkan... Tahun 9.Berapa jumlah ternak sapi yang Bpk/Ibu miliki? Sebutkan.
(4)
b. Sapi anakan :...ekor c. Sapi jantan yang diparon :...ekor
10. Berapa jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan sapi paron setiap kali penjualan. Sebutkan...
11. Sebelum teknologi biogas ini di terapkan, kotoran sapi yang dihasilkan digunakan untuk apa? Sebutkan..
a. Dibiarkan begitu saja b. Dijadikan pupuk c. Dijual
Jika jawabannya (b) bagaimana caranya? Jelaskan...
... ... ... Jika jawabannya (c) siapa pembelinya dan berapa harganya... Jika ingin dijual berapa harga/kg...
10. Berapa luas lahan pertanian yang Bpk/Ibu miliki untuk ditanami padi? Sebutkan.
a. Sawah :...Ha
b. Sawah tada hujan :... Ha c. Sawah ladang :... Ha
11. Berapa banyak hasil setiap kali panen per hektarnya. Sebutkan... 12. Sebelum teknologi biogas ini di terapkan, jerami padi yang dihasilkan
digunakan untuk apa? Sebutkan.. a. Dibiarkan begitu saja
b. Dijadikan pupuk c. Dijual
Jika jawabannya (b) bagaimana caranya? Jelaskan...
... ...
(5)
Jika jawabannya (c) siapa bembelinya dan berapa harganya... Jika ingin menjual, berapa harga/kg... 13. Apakah pengolahan tanah untuk pertanian mengunakan pupuk? Sebutkan
sumbernya dan berapa harga yang dikeluarkan untuk setiap kali tanamnya?...
... ... ...
14. Bagaimana pemanfaatan energi untuk memasak setiap harinya! (lingkari salah satu jawaban. Jelaskan pulah sumber dan harga
Jenis bahan bakar
Jumlah Sumber Harga Keterangan
a. Kayu bakar
... ... ...
b. Minyak tanah
... ... ...
c. Gas elpiji
... ... ...
(6)
Lampiran 6. Data Ternak Sapi Desa Kuanheum.
Tabel 8. Perkembangan Populasi Sapi Desa Kuanheum Kecamatan Amabi Oefeto Kabupaten Kupang.
Tahun Jumlah peternak
Indukan Anak Sapi paron
Jumlah
2006 82 160 46 143 349
2007 82 167 48 124 339
2008 86 173 54 135 362
Mei 2009 87 179 63 140 382
Sumber: Data Monografi Desa Kuanheum 2009
Tabel 9. Data Peternak Kelompok Tuanebu
No Peternak Alamat Anggota
keluarga (Jiwa)
Jumlah sapi (ekor)
Jumlah sapi yang di paron
Jabatan dalam Kelompok
1 Harum Bana Dusun III 7 6 3 Ketua
2 Ferdinan Ora Dusun III 4 4 2 Sekertaris
3 Bernadus Seran Dusun III 3 5 3 Bendahara
4 Ibrahim Neolaka
Dusun III 6 6 2 Anggota
5 Viktor Tnunai Dusun III 4 2 2 Anggota
6 Eduard Ora Dusun III 3 2 2 Anggota
7 Melki Uas Dusun III 5 6 3 Anggota
8 Fance Seran Dusun III 4 4 1 Anggota
9 Daniel Ora Dusun III 3 1 1 Anggota