Pengelolaan Energi Berkelanjutan Limbah Ternak

2.2. Pengelolaan Energi Berkelanjutan

Secara umum sumber energi terbagi atas dua golongan yaitu sumber energi tak terbarukan non renewable energy sources dan energi yang terbarukan renewable energy resources. Sumber energi tak terbarukan bersifat konvensional yang terdiri dari minyak bumi, gas alam dan nuklir, sedangkan yang konkonvensional adalah batubara, coalbed methan, shale gas, oil shale dan gambut. Energi tak terbarukan bersifat habis dan tidak dapat didaur ulang. Selanjutnya sumber energi terbarukan adalah geothermal, hydropower, ocean energy, solar, wind dan bioenergi dan lain-lain. Sifat utama yang terpenting dari energi yang terbarukan adalah ramah lingkungan dan dapat didaur ulang sehingga tidak akan habis dari waktu ke waktu. Kondisi sumber daya energi yang sebagian besar tidak dapat diperbaharui, terutama minyak bumi, saat ini sudah cukup kritis Pangestu 1996. Laju penemuan cadangan energi lebih rendah dari laju konsumsi energi. Bila tidak diketemukan cadangan baru, Indonesia berpotensi menjadi negara pengimpor minyak. Upaya-upaya pencarian sumber energi alternatif selain fosil menyemangati para peneliti di berbagai negara untuk mencari energi lain yang kita kenal sekarang dengan istilah energi terbarukan. Energi terbarukan dapat didefinisikan sebagai energi yang secara cepat dapat diproduksi kembali melalui proses alam. Energi terbarukan meliputi energi air, panas bumi, matahari, angin, biogas, bio mass serta gelombang laut. Beberapa kelebihan energi terbarukan antara lain: Sumbernya relatif mudah didapat; dapat diperoleh dengan gratis; minim limbah, tidak mempengaruhi suhu bumi secara global, dan tidak terpengaruh oleh kenaikkan harga bahan bakar Jarass, 1980.

2.3. Limbah Ternak

Menurut Gaur 1983 limbah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun proses alam yang belum atau tidak memiliki nilai ekonomis. Sedangkan menurut Mahinda 1992 limbah buangan cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah digunakan dengan minimal 0,1 bagian merupakan zat padat yang terdiri dari senyawa organik dan anorganik. Limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat yang tidak mempunyai mamfaat lagi bagi masyarakat. Untuk mencegah pencemaran atau untuk pemamfaatan kembali diperlukan biaya dan teknologi. Limbah peternakan biasanya diartikan sempit berupa kotoran atau tinja dan air kemih ternak. Dalam arti luas limpah ternak diartikan dengan sisa produksi peternakan setelah diambil hasil utamanya. Sedangkan menurut Soeharji 1989, limbah adalah semua buangan yang bersifat padat, cair maupun gas. Sejalan dengan definisi tersebut maka limbah peternakan adalah semua buangan dari usaha peternakan yang bersifat padat, cair maupun gas. Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Limbah ternak yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar limba yang dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat feses, dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses Sihombing, 2000. Sedangkan menurut Mitchel 1980 mengatakan bahwa produksi limbah ternak diasumsikan dari proporsi bobot hidup ternak. Untuk ternak babi, limbah yang dikeluarkan kurang lebih 3,6 dari total bobot hidup, untuk sapi 9,4 dari total hidup, domba 1,8 untuk setiap bobot badan 50 kg, sedangkan untuk sapih perah dengan berat badan 500 kg akan mengahilkan limbah kurang lebih 47 kghari. Berdasarkan laporan ADB-GEF-UNDP 1998 1 kg kotoran ternak mengasilkan 230 liter gas metan. Satu ekor sapi perah mengeluarkan emisi gas metan sebanyak 56 kg CH 4 ekortahun, sedangkan sapi pedaging sebanyak 44 kg, kerbau 55 kg, kambing 8 kg, domba 5 kg, kuda 18 kg, unggasayam 0 kg IPCC, 1994. Sedangkan emisi metan kg CH 4 ekortahun dari pengelolaan kotoran ternak untuk masing-masing ternak adalah: sapi perah 27, sapi pedaging 2, babi 7, kerbau 3, kambing 0,37, domba 0,23, kuda 2,77, unggas ayam dan bebek 0,157. Data ini berdasarkan asumsi bahwa kotoran ternak tersebut dikelola dengan cara dikeringkan dry system IPCC, 1994. Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi.

2.4. Jerami Padi