commit to user
180 mendapatkan prestasi yang membanggakan. Disamping itu, pembaca juga dapat
mencermati sketsa kehidupan seorang anak manusia bahwa nasib, keberuntungan, dan masa depan, tidak akan dating begitu saja. Semua harus diperjuangkan dengan
kesungguhan. Berpikir optimis dan
positif thinking
sangat penting saat seorang anak mengusung beban berat di pundak kehidupannya.
d. Latar
Setting
Cerita dalam Novel
Rumah di Seribu Ombak
Melanin Budianta, dkk. 2002: 86, latar adalah segala hal mengenai waktu, ruang, suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra, dapat bersifat fisik,
realistis, documenter dan pula berupa deskripsi pesan. Sementara Suharianto 1982: 33 latar disebut juga
setting
; yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Latar tempat berfungsi untuk menghidupkan jalannya cerita dan juga
berfungsi untuk memberi ruang gerak kepada tokoh cerita. Melalui latar, pengarang menampilkan tokoh-tokoh yang saling berkaitan untuk membangun
cerita secara utuh.
Setting
atau latar cerita dapat digunakan untuk mengetahui isi atau pesan yang terkandung dalam sebuah novel. Pembaca novel dapat mengetahui karakter
tokoh, hal yang melatar belakangi pengarang menulis novel, bahkan sejarah suatu daerah serta kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya di mana novei itu
diciptakan. Latar atau
setting
yang digunakan dalam novel
Ruma h di Seribu Omba k
di kawasan Singaraja, kabupaten Buleleng, Bali. Ditinjau dari segi lingkungan
tempat tinggal tokoh dalam novel
Ruma h di Seribu Omba k
merupakan suku Bali. Selain suku Bali, terdapat juga suku dari Sumatra Pariaman yaitu tokoh Samihi
commit to user
181 dan keluarganya bertempat tinggal di desa Kalidukuh yang merupakan kawasan
Singaraja. Latar cerita selanjutnya yaitu Temukus, Pantai Lovina, Bedugul, Pulakai, Padangbulia, Siluktapa, Sririt, Anturan, Kuta, Legian, Badung, Kalianget,
Denpasar, dan kampung-kampung lainnya yang berada di kawasan Singaraja.
e. Sudut Pandang
Point of View
dalam Novel
Rumah di Seribu Ombak
Genette dalam Nurgiantoro, 1994: 250 sebelum mulai menulis cerita, pengarang harus menentukan lebih dahulu sudut pandang tertentu, antara
mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya atau oleh seorang narrator di luar cerita.
Lebih lanjut Stevick dalam Nurgiantoro, 1994: 251 menggarisbawahi, secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu persona
pertama
firt-person
gaya “aku”, dan persona ketiga
third-person
gaya “dia” serta dengan berbagai variasi yang menyertainya sebuah cerita dikisahkan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, novel
Ruma h di Seribu Ombak
menggunakan sudut pandang persona pertama atau
firt-person
. Senada dengan Minderop 2005: 105 yang menjelaskan sudut pandang persona pertama
“aku” tokoh utama atau “first-person participant” yaitu pencerita berperan sebagai tokoh utama, melaporkan cerita dari sudut pandang “aku” dan menjadi fokus atau
pusat cerita. Hal tersebut dapat diketahui dari kejadian pertama pada halaman pertama. Tokoh utama memulai cerita pada sore hari dipenghujung bulan
Desember dengan mengenang peristiwa Sembilan tahun silam. Walaupun Erwin Arnada menggunakan sudut pandang persona pertama,
bukan berarti kata “aku” merupakan kata ganti dirinya. Kata “aku” dalam novel
commit to user
182 ini adalah kata ganti untuk tokoh bernama “Samihi Ismail” . Tokoh Samihi Ismail
kerap dipanggil “Samihi” dan kadang juga dipanggil “Samii”. Menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu gaya “aku”, pengarang
bisa lebih mudah dan bebas mengeksploitasi kemampuan dan karakter tokoh utamanya. Dengan demikian, Erwin Arnada tidak perlu mencari-cari sosok tokoh
imajier yang mampu membawa misi cerita. Novel
Ruma h di Seribu Ombak
ditulis berdasarkan riset. Pengarang telah mengadakan riset yang kemudian ditulis
menjadi sebuah novel. Maka dengan gaya “aku”, kesan yang terkandung dalam keseluruhan alur cerita terasa lebih orisinil dan faktual.
Selain menggunakan sudut pandang persona pertama “aku” tokoh utama atau “first-person participant”. Dalam novel
Ruma h di Seribu Ombak
terdapat juga teknik penceritaan “aku” tokoh tambahan. Wayan Manik dibiarkan bercerita
tentang dirinya dengan menampilkan berbagai pengalaman yang meliputi: peristiwa, lakuan dan hubungannya dengan tokoh lain. Wayan Manik di sini
sebagai tokoh utama dengan teknik penceritaan “aku” tokoh tambahan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Minderop 2005: 109-112 teknik
penceritaan “aku” tokoh tambahan, Si pencerita atau “aku” menampilkan kepada pembaca tokoh lain yang dibiarkannya bercerita tentang dirinya. “Tokoh lain” ini
lah yang menjadi tokoh utama dengan menampilkan berbagai pengalaman yang meliputi: peristiwa, lakuan dan hubungannya dengan tokoh lain. Tokoh utama
dalam cerita bagi si “aku” merupakan tokoh “diaan” terbatas. Si “aku” maupun tokoh utama menjadi tokoh protagonis dan mendapat empati dari pembaca.
commit to user
183
2. Sikap Toleransi antarumat Beragama masyarakat dalam Novel