commit to user
124 Kutipan tersebut menjelaskan bahwa korban dari bom di Legian Kuta Bali
telah di bawa ke rumah sakit Sanglah di Badung. Selain berlatar tempat di Bali juga terdapat latar tempat di Banyuwangi.
Menurut Ustaz, ia berkali-kali ikut qiraah saat masih muda dan belajar agama di pesantren Banyuwangi. Setiap tutup masa belajar, murid-murid
pesantren Banyuwangi mengikuti qiraah, tingkat kabupaten… Rumah di Seribu ombak: 46.
Kutipan tersebut berlatar di Banyuwangi yaitu saat Ustaz masih muda belajar agama di pesantren Banyuwangi. Latar tempat Banyuwangi tidak
diceritakan secara panjang. Latar tempat di Denpasar yaitu: Hari itu, aku sudah berada di dalam bus Bali Nirwana menuju Denpasar.
Aku Cuma ditemani Ayah. Adikku Imi ikut juga. Ayah tak tega meninggalkannya sendirian, setelah empat hari terbaring diranjang.
Sudah pasti ia bosan dan ingin melihat suasana lain. Buatku, kesertaan Imi malah menyenangkan. Adikku ini merupakan teman perjalanan yang
enak. Ada saja yang ia ceritakan sepenjang perjalanan. Tanpa Imi, empat jam perjalanan dari Singaraja ke Denpasar akan terasa membosankan.
Ayahku hanya mengobrol sesekali kepadaku. Beliau selalu asik dengan bacaanya atau memejamkan mata sambil termanggut-manggut kepalanya
dalam bus yang bergoyang. Rumah di Seribu Ombak: 302-303.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Samihi ditemani Ayah dan adiknya pergi menuju Denpasar dengan naik bis Bali Nirwana. perjalanan Samii beserta
Ayah dan adiknya dari Singaraja menuju Denpasar, mereka turun di Terminal Ubung.
Turun dari bus di Terminal Ubung, Denpasar, kami seketika dielus matahari yang terik. Ubun-ubun kami seperti mau mengelotok habis
diguyur udara panas… Rumah di Seribu Ombak: 303.
Kutipan tersebut berlatar di terminal Ubung, Denpasar.
e. Sudut Pandang
Point of View
Menurut Abrams dalam Burhan Nurgiantoro, 1994: 248
point of view
merupakan cara pandang dan atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai
commit to user
125 sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara
sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya kepada pembaca.
Secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu persona persona pertama “aku”, dan persona ketiga “dia” atau nama orang. Dalam
novel
Ruma h di Seribu Omba k
menggunakan sudut pandang persona pertama “aku” tokoh utama atau “
first-person pa rticipa nt
”. Seperti sore-sore sebelumnya di penghujung Desember. Seperti Sembilan
tahun yang silam. Pasir hitam Pantai Lovina terasa lembut dan basah. Sore ini, mendung belum selesai menggelapi kawasan Kalidukuh, tempat
kelahiran sekaligus tempat aku dibesarkan. Hujan juga baru bersiap menyiram lahan dan tanah Singaraja. Aku menyisiri pantai sendirian.
Laut di seberang sana, tetap seperti dulu, geliatnya pelan, tanpa semangat. Ombak pun pelan menyentuh bibir pantai, seperti ogah-
ogahan. Deburnya meski tak sekeras pantai Selatan Bali, tetap terdengar bersahutan, seolah memanggil-manggil impian dan kenangan masa
kecilku. Kenangan bersama seseorang yang menjadi ‘saudaraku’ semasa kecil, Wayan Manik namanya. Aku memanggilnya Yanik-sang
penyusup. Di tempat inilah, di desa adat Kalidukuh, aku memuaskan masa kecilku. Bermain bersama Yanik. Rumah di Seribu Ombak: 3.
Kutipan di atas merupakan kisah pembuka. Erwin Arnada secara langsung mengemukakan cerita yang dialami tokoh “aku” saat mengenang masa
kecilnya di Pantai Lovina saat bersama Wayan Manik. Tokoh ‘aku’ berperan sebagai tokoh utama, melaporkan cerita dari sudut pandang “aku” dan menjadi
fokus atau pusat cerita. Tokoh ‘aku” dalam novel mempunyai nama tokoh “Samihi Ismail”
Dua anak yang namanya disebut tadi memasang muka gembira. Sama gembiranya dengan tiga pemenang dari kelompok wanita yang namanya
commit to user
126 lebih dulu diumumkan Ustaz Mualim. Sementara murid-murid pengajian
yang lain, termasuk aku, masih berdebar-debar menunggu nama yang akan disebut Ustaz. Seperti sedang mencari orang yang bersalah, Ustaz
berjalan mengelilingi kami dengan mata melirik ke kanan dan kiri menyapu kami satu per satu. Tak ada suara terdengar, kecuali kaki yang
diseret di atas tikar. Kami menahan napas dan menunggu nama yang ke luar dari mulut Ustaz. Langkahnya berhenti di tengah-tengah kami.
Melihat satu per satu sambil mengulir biji tasbih di tangannya. Tatapannya tiba-tiba berhenti di mataku. “Samihi Ismail,” cetusnya
sambil melempar senyum ke arahku. Hatiku berdesir…Rumah di Seribu Ombak: 207-208.
Tokoh Samihi Ismail kerap dipanggil “SamiiSamihi”.
“Aku Samihi, panggil saja Samii. Aku tinggal di Kalidukuh, dekat kebun anggur,” kataku mengenalkan diri… Rumah di Seribu Ombak: 25.
Bagian lain yang menunjukkan bahwa tokoh “aku” bernama “Samihi” “Benar, Samihi. Kamu boleh pulang duluan. Berikutnya apa nama
Dinosaurus buas pemakan daging?” Tanya Pak Ketut sambil melipat gambar besar yang tadi ditempel di papan tulis. Kusamber tasku, lantas
secepat kilat, aku lari keluar kelas meninggalkan murid-murid lain yang masih mengernyitkan dahi menjawab pertanyaan Pak Ketut. Rumah di
Seribu Ombak: 84.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh “aku” bernama Samihi. Bagian lain yang menunjukkan bahwa si “aku” mempunyai nama
pangilan “Samii” “Kau tahu Samii, untuk menjadi seorang Muslim seumuranmu ada
kewajiban yang harus dilakukan, yaitu dikhitan, atau disunat,” ujar Ayah. “Khitan itu salah satu ibadah yang didyaratkan bagi anak-anak menjelang
remaja,” tambahnya pelan. Aku diam saja tak merespon. Hatiku masih kecut mendengar rencana
Ayah yang menurutku tiba-tiba itu. Kusimak lagi apa yang selanjutnya ia tuturkan. Rumah di Seribu Ombak: 48.
Dalam kutipan ketiga ini tokoh “aku” mempunyai nama pangilan “Samii”.
commit to user
127 Novel
Ruma h di Seribu Ombak
juga menampilkan teknik penceritaan “aku” tokoh tambahan. Selain tokoh Samihi yang sebagai tokoh utama dan
pelapor cerita dari sudut pandang “aku” yang menjadi fokus dan pusat cerita. Terdapat juga tokoh lain yang dibiarkan bercerita tentang dirinya. “Tokoh lain”
ini lah yang menjadi tokoh utama dengan teknik penceritaan “aku” tokoh tambahan. Tokoh tersebut yaitu Wayan Manik. Hal tesebut dapat dilihat pada
kutipan berikut. “Dulu, aku tidak bisa main selama seminggu. Di kamar saja, pakai
sarung. Burungku harus dikipasi terus agar tidak perih,” tambahnya. Rumah di Seribu Ombak, 2011: 50
Kutipan di atas menjelaskan bahwa, Wayan Manik menjadi tokoh utama dengan teknik penceritaan “aku” bercerita tentang dirinya. Kutipan lain yang
menunjukkan Wayan Manik sebagai penceritaan “aku” tokoh tambahan yaitu. “Aku berhenti sekolah karena tidak mau dipermainkan Andrew. Dia
memang menolong keluargaku, membayari sekolahku, mengajariku
snorkeling
, main selancar, bahkan memberi modal untuk usaha dagang ibuku. Tapi, sejak tahun lalu aku tidak mau lagi dia membayari
sekolahku. Dia tidak sebaik yang aku pikir,” tutur Yanik mengisahkan pria bule yang selalu ia hindari. Rumah di Seribu Ombak, 2011: 118.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa, Wayan Manik menceritakan kisahnya bersama Andrew dengan menggunakan teknik penceritaan “aku”.
2. Sikap Toleransi antarumat Beragama Masyarakat dalam Novel