33
penyatuan legal antara dua orang yang berlainan jenis kelamin sehingga menimbulkan hak dan kewajiban akibat perkawinan. Perkawinan dapat
dilegalkan melalui hukum agama, sipil, maupun hukum lain yang diakui seperti hukum adat atau kebiasaan custom. Berdasarkan pengertian
istilah ’status’ dan ’perkawinan’, dapat ditarik simpulan bahwa status
perkawinan adalah keadaan seorang pria dan wanita dalam hubungannya dengan lawan jenis yang menimbulkan hak dan kewajiban berdasarkan
hukum agama, sipil, adat atau kebiasaan. Bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan lainnya dalam
studi demografi adalah consensual union, yaitu suatu hubungan yang bersifat stabil, berjangka panjang yang mirip dengan sebuah perkawinan,
tetapi tanpa suatu ikatan hukum yang pasti hidup bersama. Hal tersebut dapat pula disebut dengan perkawinan de facto, yang berbeda dengan
perkawinan de jure. Hubungan antar dua lawan jenis seperti ini telah umum dan diterima di wilayah Amerika Latin. Namun demikian, di
Indonesia umumnya perkawinan de facto relatif sedikit jumlahnya karena belum diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia.
b. Kategori Status Perkawinan
Perserikatan Bangsa-Bangsa
PBB membedakan
status perkawinan menjadi lima, yaitu belum kawin, kawin, cerai, janda dan
duda. Sama halnya, BPS LDFEUI, 2011 mengkategorikan status perkawinan menjadi sebagai berikut:
34
1 Belum kawin, penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang belum
pernah menikah, termasuk penduduk yang hidup selibat atau tidak pernah kawin.
2 Kawin adalah mereka yang kawin secara hukum adat, negara dan
agama dan mereka yang hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya dianggap suami istri.
3 Cerai, yaitu mereka yang bercerai dari suami atau istri dan belum
melakukan perkawinan ulang. 4
Janda atau duda adalah mereka yang suami atau istrinya meninggal dan belum melakukan perkawinan ulang.
Status perkawinan akan mempengaruhi partisipasi kerja seseorang. Seorang laki-laki yang telah menikah memiliki tingkat partisipasi kerja
yang lebih tinggi daripada laki-laki yang belum menikah. Hal ini wajar terjadi karena pada dasarnya suami adalah orang yang bertanggung jawab
untuk mencari nafkah. Di lain pihak, status perkawinan perempuan juga akan turut mempengaruhi tingkat partisipasi kerjanya. Seorang
perempuan yang sudah menikah bisa jadi tetap bekerja atau justru berhenti bekerja. Hal ini bergantung pada pertimbangan terhadap faktor-
faktor lain, seperti perekonomian keluarga, kehadiran anak dalam rumah tangga, keinginan untuk mengembangkan hobi, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini, akan ditelaah pengaruh status perkawinan terhadap tingkat partisipasi kerja lansia. Penduduk lansia yang sudah
kawin memiliki tingkat partisipasi kerja yang cenderung berbeda dengan