12
BAB II KAJIAN TEORI
A. Perkembangan Moral
Ditinjau dari segi bahasa, moralitas dapat disamakan dengan kata “ke-mo- ral-
an”. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas terkandung dalam aturan hidup
bermasyarakat dalam bentuk petuah-petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama
atau kebudayaan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa moralitas adalah seluruh kualitas perbuatan manusia yang dikaitkan dengan nilai baik dan buruk, Sjarkawi
2006: 28 Moralitas juga memiliki arti yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan moral.
Moral berasal dari kata Latin yaitu “mores” yang berarti adat istiadat,
kelakukan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup. Hurlock 1978: 74 mengatakan bahwa perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial. Hurlock juga menambahkan bahwa perilaku yang dapat disebut “moralitas
yang sesungguhnya” tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan
“moralitas yang sesungguhnya” yaitu perilaku yang muncul sesuai dengan standar sosial dan dilaksanakan atas kesadaran diri sendiri. Moralitas yang sesungguhnya
jarang ditemukan pada anak, akan tetapi moralitas tersebut harus muncul selama masa remaja. Maka dari itu, terdapat tahapan perkembangan moral yang pasti
dialami oleh masing-masing anak. Pola perkembangan moral sendiri bergantung
13 pada perkembangan kecerdasan. Pada waktu perkembangan kecerdasan mencapai
tingkat kematangannya, perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangannya. Namun, apabila hal ini tidak terjadi maka sesorang tersebut dapat
dianggap sebagai orang yang “tidak matang secara moral”. Kohlberg yang merupakan salah satu tokoh perkembangan moral mengungkapkan perkembangan
moral yang berdasarkan pada usia. Adapun tahapan perkembangan moral menurut Kohlberg Wantah, 2005: 84 yang terdiri dari tiga tingkat yang masing-masing
tingkat terdapat 2 tahap, yaitu: a.
Tingkat pra konvensional moralitas pra konvensional. Tingkat prakonvensional umumnya terjadi pada rentang usia 2-8 tahun.
Pada tingkat prakonvensional seseorang dapat menyesuaikan diri dengan aturan- aturan adat dan budaya setempat. Pada tahap ini, seseorang anak begitu responsif
terhadap norma-norma budaya atau label kultural lainnya, seperti norma baik, buruk, benar, salah, dan lainnya. Dalam tahap ini pula dijelaskan bahwa anak akan
menginterpretasikan norma-norma berdasarkan konsekuensi yang mungkin akan dihadapi atas berbagai tindakannya seperti hukuman, ganjaran, dan yang lainnya.
Dalam tahap ini dapat dikatakan bahwa seseorang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan adat dan budaya setempat tentang apa yang disebut baik atau buruk,
benar atau salah. Tingkat ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu: 1
Tahap 1: Orientasi kepada kepatuhan dan hukuman Tahap ini pada umumumnya anak-anak beranggapan bahwa akibat-akibat
dari suatu tindakan akan sangat menentukan baik buruknya sesuatu tindakan yang dapat dilakukan tanpa melihat unsur manusianya. Suatu perbuatan disebut baik
14 bukan karena substansi perbuatan itu, tetapi karena hukuman atau hadiah yang
akan diterima sebagai akibat dari perbuatan itu. Sutarjo Adisusilo 2012: 25 menyatakan bahwa orang yang taat dengan motivasi takut menderita akibat
ketidaktaatannya, bukan karena sikap hormat terhadap suatu tata moral yang didukung oleh hukum dan wibawa.
2 Tahap 2: Orientasi instrumental atau hedonistik
Tindakan yang baik atau benar dibatasi sebagai tindakan yang mampu memberikan kepuasan terhadap kemembutuhkanan
–kemembutuhkanan atau dalam beberapa hal juga kemembutuhkanan orang lain. Tindakan ini dikatakan
masih tergolong moral kanak-kanak, meskipun sudah lebih rasional, tidak terlalu mekanis, dan masih sembarangan. Motivasi utama tindakan moral pada tahap ini
adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Dalam tahap ini juga dikatakan bahwa hubungan
lebih berorientasi instrumental, rasa takut dihukum masih merupakan faktor penentu, tetapi bukan tanpa perhitungan. Sutarjo Adisusilo 2012: 25
mengungkapkan bahwa pada tahap ini ada unsur kewajaran, ketimbal balikan, sama rata, namun selalu diartikan secara fisik demi kemembutuhkanan sendiri.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini, pusat dari moralitas adalah diri sendiri. Cakrawala pemikiran seseorang sudah luas dan benar-benar memperhitungkan orang lain.
Seseorang akan berusaha untuk memenuhi harapan masyarakat sekitarnya. Tahap ini pula lebih memberi titik tekan kepada usaha aktif untuk memperoleh,
mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial serta usaha aktif untuk
15 mengidentifikasi diri dengan pribadi atau kelompok yang ada di sekitarnya.
Tingkat ini dibagi menjadi 2 dua tahap yaitu: 3
Tahap 3: Kesesuaian antar pribadi atau orientasi “anak-anak baik” Pandangan tahap ini tingkah laku bermoral adalah semua tingkah laku yang
menyenangkan, membantu, atau yang diakui dan diterima oleh orang lain. Seseorang biasanya akan menyesuaikan pendiriannya dengan tingkah laku yang
bermoral atau suatu tindakan yang dianggap wajar. Sutarjo Adisusilo 2012: 26 menyatakan bahwa dalam tahap ini suatu perbuatan atau perilaku seseorang
dilakukan dalam rangka mencari pujian dari pihak lain atau masyarakat. 4
Tahap 4: Orientasi kepada kepatuhan dan hukuman Sutarjo Adisusilo 2012: 26 menyatakan bahwa tahap ini merupakan tahap
dimana perilaku yang benar adalah semata-mata melakukan kewajiban dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, serta memelihara ketertiban sossial
yang ada, demi ketertiban itu sendiri. c.
Tingkat Pasca Konvensional Tingkat pasca konvensional dibagi menjadi 2 dua tahap yaitu:
5 Tahap 5: Kontrak Sosial, orientasi legalistik
Pada tahap ini orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada sebenarnya adalah kesepakatan-kesepakatan, yaitu kesepakatan antar orang yang melahirkan
aturan hukum. Orientasi moral bukan lagi kepada hukum dan aturan, melainkan kepada kontrak-kontrak sosial yang bersifat legalistik. Seseorang pada tahap ini
telah memiliki kesadaran moral yang cukup tinggi akan adanya perbedaan individu, baik yang berkaitan dengan nilai ataupun pendapatnya. Cara pandang
16 seseorang pada tahap ini bertentangan dengan pandangan moralitas dalam tahap
keempat yang memandang hukum sebagai suatu kenyataan yang selalu benar dan hampir tidak ada kemungkinan untuk diubah.
6 Tahap 6: Orientasi prinsip-prinsip etik-universal
Tahap yang paling tinggi dalam perkembangan kesadaran moral sesorang adalah ketika seseorang tidak lagi dibatasi oleh hukum-hukum dan aturan-aturan
dari suatu tertib sosial. Atau dapat dikatakan puncak perkembangan kesadaran moral seseorang tercapai apabila individu lebih berorientasi pada prinsip etik-
universal. Nilai moral perlu ditanamkan pada anak usia dini agar anak mampu
memahami perbuatan-perbuatan yang dianggap baik maupun buruk. Dengan pengetahuan yang di dapat, anak akan mulai mencoba melakukan hal-hal yang
dianggap oleh anak baik dan benar serta menghindari hal-hal yang dianggap buruk oleh anak. Namun demikian, penanaman nilai hendaknya dilakukan
berdasarkan prinsip perkembangan moral anak. Maria J. Wantah 2005: 59 menyatakan terdapat beberapa prinsip dan pola perkembangan moral anak usia
dini yaitu a prinsip konvergensi, b prinsip tempo perkembangan, c prinsip rekapitulasi, d prinsip bertahan dan mengembangkan diri, dan e prinsip irama
ritme perkembangan. Kilpatrick Mulyasa, 2013: 14 mengungkapkan bahwa salah satu yang
menyebabkan seseorang tidak mampu berperilaku baik yang telah memiliki pemahaman tentang kebaikan moral understanding adalah kemampuan
seseorang tersebut yang belum terlatih moral doing. Hal ini menjadikan moral
17 understanding sebagai aspek pertama yang perlu diperhatikan dalam pendidikan
karakter. Moral understanding sendiri memiliki enam unsur yang meliputi a kesadaran moral, b pengetahuan tentang nilai moral, c penentuan sudut
pandang, d logika moral, e keberanian mengambil keputusan, dan f pengenalan diri. Keenam unsur tersebut merupakan komponen yang harus
ditekankan dalam pendidikan karakter serta diajarkan kepada anak didik. Selain moral understanding terdapat moral feeling yang merupakan penguatan aspek
emosi anak didik untuk menjadi manusia berkarakter. Jika aspek moral understanding dan moral feeling sudah terwujud, maka sebagai outcome nya
adalah moral acting yang akan dengan mudah dilakukan oleh anak didik.
B. Penanaman Nilai-Nilai Karakter