4.1.2 Sejarah dan Perkembangan Kompas
Kompas pertama kali terbit pada hari Senin tanggal 28 Juni 1965, berdasarkan keputusan Menteri Penerangan No. 003VSKDPHMSIT1965 tertanggal 9 Juni
1965, dengan nama Bintara Rakyat, dimaksudkan sebagai sebuah penegasan diri sebagai pembela rakyat yang sebenarnya. Dengan tebal hanya empat halaman, dan
dicetak sebanyak 4.800 eksemplar. Pelopor utama berdirinya lembaga media ini adalah orang-orang muda yang beberapa diantaranya adalah P.K Ojing, Jakob
Oetama, August Parengkuan,serta Indra Gunawan. Oleh PKI namanya diplesetkan sebagai “Komando Pastor”, sebab tokoh-tokoh
pendirinya berasal dari golongan Khatolik. Sampai tahun 1972, dengan tenaga kerja tak lebih dari 10 orang di bagian redaksi dan bisnis. Kompas bertempat di jalan Pintu
Besar Selatan No 86-88, berbagai ruang dengan majalah Intisari yang kemudian pindah ke jalan Palmerah Selatan 22-26.
UU Pokok Pers tahun 1982 dan ketentuan Surat Izin Penerbitan Pers, mewajibkan penerbitan pers harus berbadan hukum. Oleh karena itu, sejak 1982
penerbit Kompas bukan lagi yayasan Bintara Rakyat, tetapi PT. Kompas Media Nusantara.
Cetakan pertamanya masih menggunakan percetakan milik PN. Eka Grafika, namun setelah terjadi situasi yang tidak menentu di masa orde lama, dimana sempat
terjadi penghentian sementara penerbitan beberapa surat kabar akibat pemberontakan G 30 SPKI. Kompas yang merupakan percetakan terbaik saat itu, dengan
pertimbangan peningkatan kualitas.
Pada perkembangan selanjutnya, Kompas terbit empat halaman setiap harinya dengan oplah yang terus meningkat hingga mencapai 15000 eksemplar. Sejak itu,
oplahnya terus meningkat hingga pada tahun 1972 harian ini telah memiliki percetakan sendiri yang dinamakan PT. Gramedia.
Kompas tercatat pernah sekali terkena larangan terbit, yaitu tahun 1978 bersamaan dengan terjadinya peristiwa Malari. Hal itu berlangsung lama, untuk
kemudian Kompas kembali diijinkan terbit, dan malah menunjukkan perkembangan pesat dengan oplah 300.000 eksemplar pada tahun 1982. Perkembangan selanjutnya,
pada tahun 1997, Kompas menerbitkan Tabloid Bola yang terbit setiap minggu. Permodalan surat kabar Kompas dimiliki secara bersama oleh Yayasan
Bintara Rakyat, Yayasan Gramedia Sejahtera, PT. Gramedia, PT. Transito Asri Media, serta nama perorangan yakni Jakob Oetama, Frans Seda dan P. Iswantoro,
dengan ijin terbit berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 001MenpenSIUPPA.71985 tertanggal 10 November 1985.
Pada tahun 1998, Kompas telah berkembang menjadi harian terbesar di Indonesia dengan oplah yang mencapai lebih dari satu juta eksemplar. Bahkan kini,
Kompas telah mampu menjelajah dunia internet dengan menyajikan media online melalui portal
http:www.kompas.com .
Selain itu, Grup Kompas telah menambah industri pertelevisian dengan mendirikan stasiun TV baru, yakni TV 7 di tahun 2002
lalu. Saat ini tak kurangterdapat delapan divisi yang membawahi unit-unit usaha di
bawah Kompas Gramedia, meliputi divisi pers daerah, surat kabar, majalah, perdagangan, percetakan, property, penerbitan, dan divisi lembaga keuangan.
Dibawah kepemimpinan PK. Ojong dan Jakoeb Oetama, menjadikan Kompas sebagai Koran terbesar, baik dari segi oplah maupun pemasukan iklan.
Kompas lebih suka menanamkan dirinya sebagai surat kabar yang berorientasi independen, dengan kata lain sebagai surat kabar yang dalam cara pemberitaannya
tidak memposisikan dirinya pada satu pihak tertentu atau pada salah satu kekuatan politik yang ada. Dengan motto “ Amanat Hati Nurani Rakyat”, Kompas mencoba
selalu bersikap obyektif dalam mengupas suatu peristiwa. Pada masa orde lama, Kompas pernah berorientasi politik atau agama tertentu,
hal ini disebabkan karena pada masa demokrasi liberal itu, Deppen menghapuskan semua surat kabar mengaitkan eksistensinya dengan salah satu kekuatan politik yang
ada saat itu. Pada awal terbitnya, Kompas hanya dibaca oleh orang-orang Khatolik Jakarta, maka akhirnya berafiliasi dengan partai Khatolik. Namun pada saat
pemerintah orde baru menghapuskan peraturan tersebut, maka Kompas melepaskan diri dari partai Khatolik, dan diputuskan sejak saat itu bahasa sasaran Kompas adalah
kelas menengah dan atas, dengan menyesuaikan penampilannya terhadap selera masyarakat kelas tersebut.
Pada ulang tahun Kompas yang ke 35, ditemukan pepatah “Kata Hari Mata Hati” menegaskan semangat empati dari koran ini. Kompas sebagai lembaga media
massa tidak lepas dari gejolak masyarakat. Dalam setiapnkonflik peristiwa, Kompas tetap berusaha membangun kepercayaan masyarakat lewat tulisan berita yang
komprehensif. Cover both sides tidak menyakiti hati secara pribadi, mendudukkan persoalan, membuka cakrawala, tidak memihak kecuali pada kebenaran dan demi
penghargaan tinggi pada harkat kemanusiaan.
4.2 Berita-berita yang terdapat pada surat kabar harian Jawa Pos dan