Namun dalam kenyataannya, tahapan-tahapan tersebut tidak selalu diawali dengan tahap perkenalan hingga tahap penyelesaian. Semuanya itu
diserahkan sepenuhnya pada pengarang, tetapi tahap-tahap diatas hampir selalu ada dalam setiap cerita.
Alur sebuah cerita dapat merupakan alur erat ketat, alur longgar kurang terpadu, alur bawahan alur pada cerita yang disisipkan, dan
alur menanjak yang semakin meninggi sifatnya.
3. Perwatakan
Perwatakan ialah sifat dan ciri khas character pelaku yang diceritakan. Bagaimana kualitas nalarnya, sikap dan tingkah lakunya,
kemauannya, pendiriannya, temperamennya, jiwanya, dan sebagainya. Perwatakan seorang pelaku dalam sebuah cerita biasanya berbeda dengan
pelaku yang lainnya, karena memang biasanya watak manusia berbeda- beda.
4. Tema
Tema theme ialah id pokok, gagasan atau pikiran utma yng merupakan dasar cerita sebuah karya sastra. Tema ini mungkin terungkap
secara jelas, mungkin pula secara samar-samar. Sebuah tema cerita dapat dijabarkan menjadi beberapa masalah
yang kompleks. Karena itu tema tidak sama dengan pokok masalah. Seorang pembaca yang jeli dapat menemukan tema sabuah cerita yang
diungkapkan secara samar-samar. Tapi semua itu kembali lagi pada frame of reference dan field of experience pembaca itu.
5. Amanat
Amaanat message ialah pesan yang hendak disampaikan
pengarang melalui karya sastranya ceritanya kepada para pembaca, secara tersurat maupun secara tersirat. Dan melalui amanat inilah, seorang
pembaca dapat memahami dan mengambil hikmah dari gambaran kehidupan yang diceritakan oleh pengarang novel.
2.2.4 Bahasa Dalam Karya Sastra Novel
Bahasa adalah sebuah institusi sosi yang otonom, yang keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya Budiman, 2005:38. Penggunaan
bahasa memiliki peranan yang penting dalam sebuah karya sastra dalam hal ini novel. Artinya, bahasa dalam novel merupakan titik sntral dalam penggunaan
tanda pada metode Barthes. Bahasa dalam perspektif semiotika, hanyalah salah satu system tanda-tanda system of sign. Penelitian sastra dengan pendekatan
semiotika itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme dan kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, alsannya, karya sastra merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan system tanda, tanda dan maknanya, serta konvensi tand, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti
secara optiml. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika itu memandang objek-objek sebagai parole laku tuturan dari suatu Langue bahasa:system
bahasa yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis Sobur, 2006:144. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bbahasa adalah 1 Sistem
lambang bunyi beraktikulasi yang bersifat konvensional dan sewenang-wenang
yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran, 2 Perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa, 3 Percakapan yang baik,
sopan santun dan tingkah laku yang baik. Menurut seorang linguis barat, Ronald Wardhaugh, dalam bukunya
Intriduction to Linguistics memberikan definisi “a system of arbirety vocal symbols used for human communications” yang artinya, bahwa bahasa merupakan
suatu system simbol-simbol bunyi yang arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia Hidayat, 2006:22. Dari uraian tersebut maka symbol dapat diartikan
sebagai sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain. Dengan kata lain bahwa di sekeliling kita terdapat banyak symbol dan kita akan senantiasa dihadapkan pada
berbagai symbol Hidayat, 2006:23. Karakteristik yang dimiliki tanda-tanda kebahasaan sendiri ada dua
macam, yaitu bersifat linear dan arbiter. Bersifat linierlinearitas penanda, berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus
diproduksi seara beruntun, satu demi satu, namun tidak munkin secara sekaligus simultan. Bersifat arbiterkearbiteran tanda, berkaitan dengan relasi diantara
penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”, unmotivated. Relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi
Budiman, 2005:38. Secara keseluruhan, bahasa memilikinperanan yang sentral dalam
semiotik, perlu adanya pendekatan bahasa dalam tanda-tanda pada teks novel. Pendekatan bahasa dalam metode Barthes membagi tanda atas dua bagian, yaitu
denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua.
Dalam penelitian ini, sastra juga dijabarkan dan digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiologi, tanda yang berupa indeks yang paling
banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Penelitian harus menentukan kontras-kontras diantara satuan-satuan yang
menghasilkan arti hubungan-hubungan paradigmatik dan aturan-aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-
sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas hubungan- hubungan sintogmatik. Oleh karena itu, peneliti harus menemukan konvensi-
konvensi apa yang memungkinkan kara sastra mempunyai suatu makna Sobur, 2006:144.
2.2.5 Karya Sastra Novel Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi dalam studi sastra menunjukkan relasi mjemuk antar pengarng, teks, dan pembaca. Menurut Roman Jakobson, dalam setiap ungkapan
bahasa sastra terdapat sejumlah fungsi referensial, emotif, konatif, puitik yang berkaitan dengan beberapa faktor konteks, pemancar, juru bicara, pengarang
pada penerima pendengar, pembaca dan berita atau pesan bahasa sendiri HartokoRahmanto, 1986:76.
Sastra menjadi bahasa untuk berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya yang berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat dimna ia hidup Sunardi,
2004:14.
Menurut Duncan Ratna 2003:142, karya sastra sebagai proses komunikasi menyediakan pemahaman yang sangat luas. Dalam sebuah karya
sastra terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, karena karya sastra menyajikan pengalaman dlam kualitas antar hubungan.
Duncan juga memandang bahwa masyarakat lahir dalam dan melalui komunikasi, yaitu komunikasi simbol-simbol bermakna. Mekanisme melalui
hubungan-hubungan lisan dan tulisan dianggap sebagai cara-cara berkomunikasi paling konstan dan lazim dalam kehidupan sosial yang dengan sendirinya
merupakan fondasi, sumber, dan energy semua aktivitas Ratna, 2003:12. Fungsi sosial karya sastra tidak terbtas hanya sebagai penjelasan materi
dari satu individu ke individu lin, tapi yang lebih penting adalah transmisi dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu generasi ke generasi lain.
Karya sastra novel, makin lama makin dirasakan sebagi aktivitas yng benar-benar memiliki fungsi integral dalam struktur sosial, karya sastra dalam
proses komunikasi, dianggap sebagai gejala yang sarat dengan referensi-referensi sosial, yang pada dasarnya sangat bermanfaat dalam pengembangan-
pengembangan hubungan-hubungan sosial. Oleh karena itu, Duncan menyatakan bahwa kekuatan seni yang sesungguhnya terletak dalm kapasitasnya untuk
menerobos tembok pemisah antar manusia Ratna, 2003:134. Menurut Ratna 2003:135, komunikasi sastra merupakan komunikasi
tertinggi, sebab melibatkan unsure-unsur yang paling luas dan melibatkan proses total meliputi: a produksi teks, yaitu aktivitas pengarang dalam menghasilkan
teks tertentu, b teks itu sendiri dengan berbagai problematikanya, c transmisi
teks melalui editor, penerbit, toko buku dan pembaca nyata, d penerim teks, melalui aktivitas pembaca, khususnya pembaca implicit.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas hubungan yang bermakna, antar hubungan yang bertujuan untuk saling
menjelaskan fungsi-fungsi perilaku sosial yang terjadi pada saat-saat tertentu Ratna, 2003:137.
2.3 Pekerja Seks Komersial
Semakin berkembangnya zaman, persaingan dalam hal mencari pekerjaan semakin sulit. Banyak cara ditempuh untuk tetap bertahan hidup dengan
menjalani berbagai macam pekerjaan, meskipun dengan resiko yang tidak sebanding dengan apa yang diterima yaitu profesi sebagai pekerja seks komersial
yang bagi masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang memiliki konotasi buruk. Berbicara tentang pekerja seks komersial pandangan kita langsung tertuju pada
kaum perempuan dengan aktivitas menjual tubuh, serta profesi yang dianggap sebagai aib sosial.karena diperlakukan tidak enak hati, hina, rendah karena
diperlakukan sesuatu yang kurang baik disini terkait dengan profesinya sebagai pekerja seks komersial yang menurut masyarakat sebagai pekerjaan yang tidak
bermoral. Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk
melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur pekerja seks komersial sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini
menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan
menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian
agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad
lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang
ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.
Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya.
Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat.
Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan evil necessity. Pandangan ini didasarkan pada
anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya biasanya kaum laki-laki; tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan
para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik http:id.wikipedia.org.
Augustinus dari Hippo 354-430, seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota
demi menjaga kesehatan warga kotanya. Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu kepada
layanan seks komersial. Khusus laki-laki, digunakan istilah gigolo.
Pada opini tersebut tentu predikat yang melekat padanya sangat buruk. Namun bila dilihat dari sisi yang lain yaitu profesi pekerja seks komersial
merupakan suatu upaya, usaha yang dilakukan oleh kaum perempuan yang merasa dirinya sudah tidak ada alternatif pekerjaan yang lain. Profesi demikian terpaksa
ditempuh dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup. Profesi sebagai pekerja seks komersial tersebut dilakukan atas dasar
mencari penghasilan karena faktor untuk berjuang mempertahankan hidup ditengah sulitnya kaum perempuan mendapatkan pekerjaan yang layak,khususnya
bagi mereka yang berpendidikan rendah yang berasal dari daerah pedalaman, apalagi yang ia andalkan selain kecantikan dan kemolekan tubuh yang indah yang
dapat menggoda nafsu kaum lelaki. Anak perempuan juga mendapatkan tuntutan yang sama dengan saudara laiki – lakinya tuntutan keluarga keluarga dan
mereka kemudian harus menyesuaikan dengan tata kehidupan global dengan berbagai implikasinya, akhirnya mereka mencari pekerjaan yang paling mudah
yakni menjual tubuhnya muniarti, 2004:212-213. Dalam melakukan hubungan seksual sebagian remaja tidak terlindungi
dari pengaruh lingkungan, sehingga menjadikan anak tersebut seorang pekerja seks komersial. Namun tidak menutup kemungkinan wanita-wanita yang status
ekonominya rendah, ataupun ditinggal pasangannya menjadikan dia sebagai seorang pekerja seks komersial PSK lebih sering disebut pelacur. Atau kata yang
lebih samar adalah kupu-kupu malamhttp:id.wikipedia.org. Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan oleh seorang
aktivis Hak-hak Anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada
40.000-70.000 anak-anak yang dilacurkan atau 30 dari jumlah PSK di Indonesia. UNDP mengestimasikan tahun 2009 di Indonesia terdapat 790 ribu
hingga 970 ribu pekerja seksual komersial dengan 10 hingga 170 juta pelanggan http:id.wikipedia.org.
Dalam hal ini terdapat beberapa pandanagan mengenai pekerja seks komersial berdasarkan beberapa agama atau kepervayaan, diantaranya sebagai
berikut:
1. Pelacuran dalam pandangan agama yahudi dan kristen
Agama Yahudi dan Kristen menyamakan penyembahan terhadap dewa- dewa lain selain kepada Allah sebagai pelacuran. Gambaran ini dapat ditemukan
di dalam kitab Nabi Yehezkiel ps. 23 dan kitab Nabi Hosea 1:2-11. Namun demikian ada pula kisah tentang Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang
menyelamatkan dua orang mata-mata yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho Yosua 2:1-14. Dalam kisah ini, Rahab dianggap sebagai
pahlawan, dan karena itu ia diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. Kitab Yosua
mengisahkan demikian: Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup
oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua
mengintai Yerikho. Yosua 6:25.
2. Pelacuran dalam pandangan perjanjian baru
Agama Yahudi di masa Perjanjian Baru, khususnya di masa Yesus menganggap negatif praktek pelacuran. Karena itu orang baik-baik biasanya tidak
mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun demikian Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang yang
disingkirkan oleh masyarakat seperti para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: Kata Yesus kepada mereka: Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Matius 21:31
Maria Magdalena, salah seorang pengikut dan murid Yesus, seringkali digambarkan sebagai seorang pelacur yang diampuni Yesus Lukas 8:2,
meskipun pendapat ini masih diperdebatkan, Kitab Wahyu melukiskan Roma sebagai pelacur besar yang akan dijatuhi hukuman oleh Allah: ... sebab benar dan
adil segala penghakiman-Nya, karena Ialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang telah
membalaskan darah hamba-hamba-Nya atas pelacur itu. Wahyu 19:2; lih. pula Wahyu 17:1, 17:5, 17:15, 17:16. Di sini perlu diingat bahwa Roma yang
dimaksudkan oleh penulis Kitab Wahyu ini adalah pemerintahan yang pada waktu itu menindas dan menganiaya Gereja dan orang-orang Kristen pada masa-masa
permulaan agama Kristen.
3. Pelacuran dalam pandangan Islam