Semiologi Komunikasi Roland Barthes

2.1.4 Semiologi Komunikasi Roland Barthes

Roland Barthes merupakan pelopor aliran semiologi konotasi. Ia juga dikenal sebagai salah seorang pemikir strukuralis yang mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda – tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap two order of signification Fiske, 1990:88 Dalam bukunya yang diterbitkan oleh Roland Barthes Mythologi of the mont membeberkan perenungan – perenungan Barthers tentang penari – penari perut, citero tipe baru, busa detergen, dll. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthers secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua second – order of signification, yang dibangun diatas diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Konotasi tanda menajadi partikular ketika melihat pada penggunaan tanda. First order Second order Reality Sign Culture denotation Signifier Signifed myth connotation Melalui gambar diatas, Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier penanda dan signified petanda didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Berhes menyebutkan sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjai ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai akna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya Fiske, 1990:88. Signifier penanda adalah bunyi yang brmakna atau coretan yang bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified petanda adalah gambaran mental, yakni aspek mental pikiran atau konsep dari bahasa Kurniawan, 2001:30. Barthes mengatakan suatu karya atau teks erupakan sebuah bentuk konstruksi belaka. Maka seseorang hars melakukan rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin menemukan makna didalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana neratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendk bervariasi. Sebuah leksi dapat berupa satu-dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraph Kurniawan, 2001:93. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan penbaca agar dapat berfungsi. Dalam memaknai sebuah “teks”, pembaca mempunyai kekuasaan absolute untuk memberikan makna dan penafsiran terhadap sebuah hasil karya sastra novel yang dilihatnya bahkan tidak harus sama dengan maksud sang pengarang. Pembaca memiliki beberapa pilihan dalam memberikan makna, bisa dengn membedah bacaannya, memfokuskan pada teks dan terkadang dapat pula melupakan sang pengarang, sehingga pembaca tersebut melakukan interpretasi sendiri terhadap bacaannya. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin jells pula karya novel itu memberikan maknanya. Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lima kode yang ditinju dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutic kode teka-teki, kode semik makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik logika tindakan, dank ode gnomic yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu Sobur, 2006:65. Kode hermeneutic atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kde teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa tej-ka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita Sobur, 2006:65. Kode ini merupakan sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban Budiman, 2003:55. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenli uatu tukoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” Sobur, 2006:65-66. Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu Budiman, 2003:56. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paliang khas bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat di kodekan melalui istilah- istilah retoris seperti antithesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam system simbolik Barthes Sobur, 2006:66. Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual Budiman, 2003:56. Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku manusia seperti tindakan – tindakan yang membuahkan dampak – dampak dimana masing – masing dampak memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi sekuans yang bersangkutan, Budiman, 2003:56. Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya, antara lain, simula teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua yang dilakukan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi Sobur, 2006:66. Kode gnomic atau kode cultural banyak jumlahnya. Bisa berupa kode- kode pengetahuan atau kearifan yang terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah di ketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realism tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu Sobur, 2006:66. Barthes secara panjang lebar sering mengulas tentang system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas system lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai system yang pertama. System kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau system pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi hjelnslev, Barthes, menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004:69. Peta Tanda Roland Barthes Sumber: Alex Sobur, 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya, hlm.69. Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut meupakan unsure material, hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi harga diri, kegarabgan, keberanian menjadi mungkin Sobur, 2004:69. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memilik makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotative Sobur, 2004:69. 2.2 Karya Sastra Novel 2.2.1 Pengertian novel

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

1 74 108

Hubungan Sosiodemografi, Pengetahuan, dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

0 80 120

Pandangan Waria Penjaja Seks Komersial Tentang Kesehatan (Studi Administrasi Kesehatan di Pelabuhan Belawan Kota Medan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2003)

0 31 85

Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) Tentanginfeksi Menular Seksual (IMS) Di Desa Naga Kesiangan Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

4 49 92

Hubungan Perilaku Pekerja Seks Komersial Dengan Kejadian Penyakit Sifilis Dan HIV Di Lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008

1 58 92

Persepsi Pekerja Seks Komersial Terhadap Pemanfaatan Klinik IMS Dan VCT Di Klinik VCT Kantor Kesehatan Pelabuhan Belawan Kota Medan Tahun 2009

1 44 97

Pekerja Seks Komersial Di Sekitar Kawasan Wisata Bandungan

6 298 126

MEMAHAMI KEHIDUPAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM LINGKUNGAN SOSIO-KULTURAL MEREKA :Kajian Tentang Wanita Pekerja Seks komersial Di Kotamadya Bandung.

2 3 36

NOVEL CHRYSAN KARYA HAPIE JOSEPH ALOYSIA: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra

0 4 111

REPRESENTASI PEKERJA SEKS KOMERSIAL YANG LESBIAN DALAM NOVEL “CHRYSAN” ( Studi Semiotik Kehidupan Pekerja Seks Komersial Yang Lesbian dalam Novel “Chrysan” Karya Hapie Joseph Aloysia ) SKRIPSI

0 0 21