Pelajaran 9 Pariwisata
195
A. Menyimpulkan Pikiran, Pendapat, dan Gagasan dari Narasumber
Bagaimanakah kemampuan kalian dalam mendengarkan dan memahami isi wawancara setelah kita membahasnya pada pela-
jaran terdahulu? Pada pembelajaran ini, kita akan mengulas kembali materi tersebut untuk memperdalam pemahaman dan kemampuan
kalian dalam mendengar dan memahami isi wawancara.
Guna mendapatkan informasi berkaitan dengan pengetahuan yang kalian perlukan, kalian dapat melakukan dengan cara
menyimak wawancara dari narasumber-narasumber yang bersangkutan. Dengan menyimak wawancara, baik secara lang-
sung maupun melalui media elektronik, kalian akan mendapatkan penjelasan-penjelasan berkaitan dengan topik permasalahan yang
dibahas. Untuk itu, dalam memahami isi wawancara yang sifatnya sekali tayang, kalian harus menyimaknya dengan konsentrasi penuh.
Apabila perlu, kalian persiapkan alat tulis untuk mencatat hal-hal yang sifatnya penting.
Persilakan teman kalian untuk memperagakan wawancara di bawah ini. Sebagai upaya melatih kemampuan menyimak, kalian
tidak perlu membaca teks wawancara di bawah ini. Simaklah dengan saksama wawancara yang diperagakan teman kalian di
depan kelas
Tujuan Pembelajaran
Tujuan belajar kalian adalah dapat
membuat kesimpulan mengenai pikiran,
pendapat, dan gagasan seorang
tokoh atau narasumber dalam
wawancara.
Cagar Budaya
Bagaimana menurut pandangan Bapak tentang maraknya pembongkaran bangunan-
bangunan bersejarah? Pembongkaran bangunan-bangunan
sejarah yang sebenarnya merupakan bagian dari cagar budaya yang kemudian diganti
dengan bangunan-bangunan komersial seperti mall pusat perbelanjaan, hotel, gedung
pertemuan,
café, dan lain sebagainya, dila- kukan atas dasar asas manfaat. Namun, para
pemerhati dan ahli bangunan bersejarah menilai, pemanfaatan bangunan cagar budaya
seharusnya dilakukan dengan tetap memer- hatikan keaslian bentuk bangunan asal. De-
ngan demikian, bangunan tersebut tetap dapat memberikan corak tersendiri bagi perkem-
bangan sejarah kota yang bersangkutan.
Undang-Undang UU Cagar Budaya Nomor 5 Tahun 1992 mengatur sanksi
hukuman kurungan maksimal 10 tahun atau sanksi denda 100 juta. Namun, praktik di
lapangan sangat lemah. Mengapa terjadi demikian?
Pembangunan kota menuju kota atau megapolitan, di sisi lain telah membuktikan
sebagai ancaman bagi berdirinya bangunan atau kawasan yang telah ditetapkan sebagai
cagar budaya. Kemungkinan ke arah tersebut membesar karena kota-kota besar di Indone-
sia tidak memiliki aturan hukum kuat yang mengatur sanksi bagi mereka yang jelas-jelas
merusak nilai sejarah sebuah bangunan atau kawasan. Kekuatan SK wali kota pun selama
ini kurang berarti, sementara peraturan daerah perda yang mengatur sanksi masih dalam
konsep, bahkan UU No. 51992 sendiri sangat lemah praktiknya di lapangan.
Mengapa negara kita tidak dapat meniru negara-negara maju yang telah berhasil
memadukan kemajuan zaman dan keeksotisan masa lalu melalui gedung-gedung berse-
jarahnya?
Sumber: http:
images.google.co.id
Di unduh dari : Bukupaket.com
Berbahasa dan Bersastra Indonesia 1
196
Karena kembali kepada persoalan dasar, yakni masalah penegakan hukum yang masih
lemah. Saat ini hukum seakan hanya berpihak kepada mereka-mereka yang memiliki uang
dan kekuasaan. Karena orientasinya uang dalam waktu yang relatif singkat, akhirnya
“menghalalkan” segala cara agar hal itu dapat tercapai. Padahal, mereka tidak sadar bahwa
sebenarnya kemampuan memadukan nilai- nilai sejarah dalam kekinian ternyata merupa-
kan ide yang sangat brilian cemerlang. Betapa tidak, kota-kota di negara-negara maju
di berbagai belahan dunia mampu menyu- guhkan eksotisme kekinian dari benda-benda
cagar budaya yang berusia ratusan tahun.
Selain mampu menampilkan ciri khas dan sejarah kota itu sendiri, ternyata benda-
benda cagar budaya mampu mendatangkan keuntungan lain yang mengalir dari mening-
katnya kunjungan wisata sejarah sebuah kota.
Lalu, bagaimana solusi terbaik agar ke- perluan-keperluan pembangunan ekonomi
kota dapat terpenuhi tanpa harus menghan- curkan dan menghilangkan sejarah kota
tersebut?
Di sinilah perlunya sebuah kearifan bersama. Artinya, perlu adanya usaha zonasi
kawasan perlindungan kawasan konservasi yang idealnya adalah usaha mengakomodasi
berbagai keperluan akan ruang dari keseluruh- an komponen lingkungan hidup. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan usaha konservasi perlindungan lebih difokuskan pada
perlindungan beberapa komponen tertentu saja. Misalnya bangunan-bangunan tertentu
saja yang hanya karena sifatnya yang unik dan sangat dekat dengan sejarah berdirinya sebuah
kota. Sementara masyarakat di sekitar kawasan konservasi yang dianggap tidak unik,
bukan menjadi fokus pengelolaan.
Pada hakikatnya, kawasan konservasi merupakan hasil dari ide pengelolaan ruang
berupa zonasi dengan pertimbangan dan tujuan tertentu yang dinyatakan dengan
kesepakatan perundangan. Artinya, objek berupa ruang muka bumi tertentu dilindungi
untuk tujuan tertentu yang diperkuat dengan hukum yang mengaturnya. Akhirnya kawasan
konservasi memiliki batas hukum secara keruangan. Hal yang paling jelas barangkali
adalah konflik perselisihan tentang tata batas antara kawasan konservasi dengan
masyarakat di sekitarnya.
Kawasan konservasi ditentukan secara hukum jauh setelah masyarakat punya kekuat-
an hukum hukum adat misalnya. Apabila sudah begini, komitmen kuat yang tertransfer
dengan baik dalam setiap pemegang kebijakan kota menjadi jalan keluarnya. Persoalannya,
sejauh mana kesadaran ini menjadi kesadaran kolektif secara gabungan, baik birokrat mau-
pun masyarakat. Selain itu, perlu juga konsis- tensi penegakan hukum dan kemauan keras
pemkot maupun legislatif untuk melahirkan perda cagar budaya menjadi awal kesung-
guhan dalam mempertahankan cagar budaya.
Sumber: Kompas, 27 Juli 2004, dengan
pengubahan
Setelah menyimak wawancara di atas, kita dapat berdiskusi mengenai pikiran, pendapat, dan gagasan yang dikemukakan
narasumber dan mampu menyimpulkannya. Hasil diskusi hal-hal tersebut dapat dituliskan sebagaimana berikut.
Beberapa pikiran, pendapat, dan gagasan yang dikemukakan oleh narasumber adalah berikut.
1. Pembongkaran bangunan-bangunan sejarah yang dilakukan atas dasar asas manfaat harus memerhatikan cagar budaya.
2. Pembangunan kota menuju kota metropolitan atau me- gapolitan, di sisi lain telah membuktikan sebagai ancaman
bagi berdirinya bangunan atau kawasan yang telah dite- tapkan sebagai cagar budaya.
Di unduh dari : Bukupaket.com
Pelajaran 9 Pariwisata
197
3. Kemungkinan ke arah tersebut makin menggejala karena kota-kota besar di Indonesia tidak memiliki aturan hukum
kuat yang mengatur sanksi bagi mereka yang jelas-jelas merusak nilai sejarah sebuah bangunan atau kawasan.
4. SK wali kota kurang berarti, peraturan daerah perda yang mengatur sanksi masih dalam konsep, dan bahkan UU No.
51992 sangat lemah praktiknya di lapangan. 5. Poin-poin penting dalam mempertahankan bangunan cagar
budaya, termasuk detail alasan sebuah bangunan atau kawasan dapat ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya,
telah dituliskan dalam undang-undang.
6. Kemampuan memadukan nilai-nilai sejarah dalam kekinian merupakan ide yang sangat brilian. Betapa tidak, kota-kota
di negara-negara maju di berbagai belahan dunia mampu menyuguhkan eksotisme kekinian dari benda-benda cagar
budaya yang berusia ratusan tahun.
7. Komitmen kuat yang tertransfer dengan baik dalam setiap pemegang kebijakan kota menjadi jalan keluarnya.
Kesimpulan mengenai pikiran, pendapat, dan gagasan dari narasumber di atas dapat kalian kemukakan kembali secara tertulis,
sebagaimana berikut. Pembangunan kota menuju kota metropolitan atau
megapolitan, di sisi lain telah membuktikan sebagai ancaman bagi berdirinya bangunan atau kawasan yang telah ditetapkan
sebagai cagar budaya. Kemungkinan ke arah tersebut makin menggejala karena kota-kota besar di Indonesia tidak memiliki
aturan hukum kuat yang mengatur sanksi bagi mereka yang jelas-jelas merusak nilai sejarah sebuah bangunan atau kawas-
an. Padahal, mereka tidak sadar bahwa kemampuan memadu- kan nilai-nilai sejarah dalam kekinian merupakan ide yang sangat
brilian. Betapa tidak, kota-kota di negara-negara maju di ber- bagai belahan dunia mampu menyuguhkan eksotisme kekinian
dari benda-benda cagar budaya yang berusia ratusan tahun.
Selain mampu menampilkan ciri khas dan sejarah kota itu sendiri, ternyata benda-benda cagar budaya mampu
mendatangkan keuntungan lain yang mengalir dalam jangka panjang dari meningkatnya kunjungan wisata sejarah sebuah
kota. Untuk itu, perlu adanya komitmen kuat yang tertransfer dengan baik dalam setiap pemegang kebijakan kota.
Persoalannya, sejauh mana kesadaran ini menjadi kesadaran kolektif, baik birokrat maupun masyarakat. Selain itu, perlu
juga konsistensi penegakan hukum.
Selintas Makna
Wawancara merupakan salah satu teknik tanya-
jawab dengan seseorang pejabat, tokoh, dan
sebagainya yang diperlukan untuk
dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai
suatu hal, untuk dimuat dalam surat kabar,
disiarkan melalui radio, atau ditayangkan pada
layar televisi. Tanya- jawab tersebut dapat
dilakukan oleh direksi kepala personalia atau
kepala humas perusahaan dengan
pelamar pekerjaan; tanya-jawab peneliti
dengan narasumber.
Bingkai Bahasa
Pada teks wawancara terdapat banyak kata
berimbuhan ke--an. Beberapa makna
imbuhan ke--an di antaranya menyatakan:
1. tempat – kecamatan
– kelurahan 2. terlalu
– kebesaran – kesempitan
3. bersifat – keadilan
– kemanusiaan 4. mengalamimenderita
terkena – keracunan
– kemalaman 5. agak
– kemerahan – kehijauan
6. mirip – kekanak-kanakan
Di unduh dari : Bukupaket.com
Berbahasa dan Bersastra Indonesia 1
198
Uji Kemampuan 1
Simaklah petikan wawancara berikut
Wawancara dengan Kepala Balai TNBT Wilayah Riau, Ir. Moh. Haryono, M. Si.
Ada anekdot yang menyatakan bahwa Bukit Tigapuluh telah menjadi Bukit
Duapuluh Delapan karena berkurang dua. Tanggapan Anda?
Bukit Tigapuluh tidak berkurang sedikit pun. Masih seperti biasa. Menurut legenda,
nama Bukit Tigapuluh diambil dari nama salah satu bukit yang ada di perbatasan Riau-
Jambi. Untuk dapat mencapai puncak bukit tersebut, harus menempuh lima belas bukit
dari Riau dan Lima belas bukit dari Jambi. Namun, secara fisik jumlah bukitnya lebih
dari tiga puluh. Apabila dilihat di peta Sumatra, Bukit Tigapuluh ini berada dalam
kawasan perbukitan curam di tengah ham- paran dataran rendah sebelah timur Sumatra
yang terpisah sama sekali dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan.
Namun, ada juga yang mengatakan Bukit Tigapuluh berasal dari bukit tiga jurai,
karena letaknya diapit tiga sungai besar, yaitu Sungai Batang Gansal, Sungai Batang Cinaku,
dan DAS Batanghari di Provinsi Jambi.
Bagaimana dengan potensi alam dan nilai ekowisatanya?
Dilihat dari segi biologi, keaneka- ragaman hayatinya cukup tinggi. Mulai dari
flora-fauna hingga hutan hujan dataran rendah. Menurut penelitian, hutan hujan di
sini salah satu yang terbaik di Sumatra. Sementara untuk jenis satwa lindung, seperti
harimau dan tumbuhan
Raflesia hasseltii atau Cendawan Muka Rimau, hanya ada di sini.
Secara geofisik, Taman Nasional ini meru- pakan hamparan perbukitan yang layak dibu-
didayakan. Karena itu, apabila tidak dijadi- kan kawasan nasional, maka harus menjadi
kawasan yang dilindungi.
Berkaitan dengan pemanfaatan potensi, telah dilakukan berdasarkan konsep
Pemanfaatan Lestari. Pemanfaatan Lestari yaitu pemanfaatan yang benar-benar berguna
dan diizinkan melalui hasil hutan nonkayu. Rotan, jernang, buah, dan madu, misalnya
yang telah dimanfaatkan masyarakat tradisional. Begitu juga ekowisata. Kita telah
memberlakukan tiket masuk untuk lokasi wisata yang kini terus ditata, dikembangkan,
dan dipromosikan. Termasuk melalui leaflet, buklet, CD film, internet, hingga pameran
di Jakarta. Hal ini sengaja dilakukan, mengingat masih belum banyak masyarakat
yang mengetahui keberadaan Taman Nasional ini. Bahkan penduduk Provinsi Riau sekali-
pun.
Secara signifikan, bentuk TNBT tidaklah kompak. Apakah memang seperti itu?
Idealnya, bentuk kawasan konservasi itu kompak, baik lingkaran atau segi empat.
Tentunya dengan luasan yang besar dan batas luar yang kecil atau kelilingnya yang kecil.
Awalnya, saat diusulkan menjadi Taman Nasional, luasan itu sekitar 250 ribu ha
dengan bentuk kompak. Apabila dilihat di peta, kawasan ini terdiri atas hutan dengan
kondisi topografi yang bagus, tinggi, dan curam. Namun, saat itu sebagian kawasan
hutan dikelola oleh HPH dengan berbagai kepentingan di sana. Akhirnya, Taman
Nasional sekarang adalah gabungan dua hutan lindung Jambi dan Riau
plus beberapa hutan produksi di sekitarnya yang memungkinkan
menjadi Taman Nasional. Nah, luasan itulah yang dapat ditetapkan, meskipun secara fisik
di luar dan di dalam layak ditetapkan.
Ada upaya maksimal untuk menjadi- kannya ideal, sebut saja rasionalisasi?
Tentu ada. Usaha rasionalisasi sebenar- nya telah dirintis KKI Warsi. Apabila awalnya
berkutat di Tebo, kini melebar ke Provinsi Riau. Targetnya, Teluk Keritang di eks-HPH
PT Dalex yang potensinya cukup bagus dan tidak ada aktivitas pengelolaan hutan di sana.
Kegiatan ini telah mendapat dukungan pemerintah setempat Jambi dan telah
digulirkan ke pusat. Terakhir, pusat masih menunggu rekomendasi Gubernur Jambi.
Di unduh dari : Bukupaket.com
Pelajaran 9 Pariwisata
199
Dalam rasionalisasi ini, pihak balai taman sangat mendukung, karena selain
bentuknya bertambah kompak. Maka itu, potensi yang sebelumnya ada di luar
kawasan, akan ada kewenangan pihak balai untuk mengelolanya secara hukum.
Anda tidak resah dengan reaksi masyarakat apabila rasionalisasi terwujud?
Apa yang masyarakat dapatkan? Rasionalisasi harus dilakukan bertahap
melalui skala prioritas, seperti lokasi yang baik, hutannya eks-HPH dan tidak dikelola
lagi, serta jauh dan tidak ada hunian masyara- kat. Inilah prioritas utama dengan risiko mini-
mal. Tentunya, masyarakat sekitar kawasan
masih dapat menggantungkan hidupnya dari hasil hutan nonkayu. Jadi, mereka masih
dapat memanfaatkan buah, getah, jernang, dan hasil lainnya untuk jangka panjang.
Permasalahan sekarang, mereka diiming-iming pihak luar untuk menebang
kayu guna mendapatkan hasil yang lebih cepat. Ataupun, ikut menebang karena takut
kehabisan. Padahal, ketika timbul kerusakan, mereka tidak dapat memanfaatkan hutan lagi.
Sumber: www.warsi.or.id, 2006, dengan
pengubahan
Kerjakanlah sesuai dengan perintah di buku tugasmu
1. Tuliskan gagasan dari narasumber yang terdapat dalam
wawancara yang kalian simak 2.
Apakah kesimpulan isi wawancara tersebut? 3.
Tulislah kesimpulan mengenai gagasan narasumber dalam wawancara tersebut
4. Diskusikan hasil kerjamu bersama teman-temanmu
B. Menjelaskan Tokoh serta Hubungan Latar Suatu Cerpen dengan Realitas Sosial