New Zealand Red, White dan Black, Rex Amerika. Kelinci lokal yang ada
sebenarnya berasal dari dari Eropa yang telah bercampur dengan jenis lain hingga sulit dikenali lagi. Jenis New Zealand White dan Californian sangat baik untuk
produksi daging, sedangkan Angora baik untuk bulu.
2.3 Karakteristik dan Kandungan Gizi Daging Kelinci
Karakteristik daging kelinci diantaranya : berwarna putih, serat halus dan pendek seperti daging ayam dan juga rasa selezat daging ayam, warna sedikit
pucat, lemak rendah, glikogen tinggi, kalori rendah, kolesterol rendah, Natrium rendah, mudah dikunyah, kadar air rendah, asam lemak tak jenuh dalam daging
kelinci lebih banyak dibanding daging lainnya dan asam lemak jenuhnya lebih sedikit . Seperti kita ketahui bahwa asam lemak tidak jenuh tidak akan
membentuk kolesterol dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Selain itu daging kelinci yang disebut juga sebagai daging putih memiliki tingkat keempukan
yang lebih baik dibandingkan dengan daging merah. Hal ini dikarenakan seratnya yang lebih halus dan lebih besar dibandingkan dengan daging merah Balitnak,
2010. Daging kelinci memiliki kandungan protein tinggi, rendah lemak dan
rendah kolesterol, sehingga dapat disebut sebagai ‘daging sehat’ Yono dan Ridwan 2004; Kusmayadi 2005. Daging kelinci diketahui memilki kandungan
kolesterol yang rendah sehingga baik bagi kesehatan dan juga dapat digunakan dalam program diet.
Komposisi gizi kelinci yang sehat tersebut membuat ternak ini cocok untuk dijadikan menu diet. Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai produk
turunan, seperti abon, bakso, dendeng, dan sate kelinci. Selain untuk menu diet, daging kelinci juga bisa mencegah kanker dan menolong penderita asma. Hal ini
dikarenakan kelinci mengandung niasin 8,43 mg100 gr bahan, setara dengan 42 persen dari total kebutuhan harian, vitamin B12 8,3 µg100 gr bahan, dan
selenium Se dengan kadar 38,5 µg100 gr bahan, suatu jumlah yang dapat menutupi sekitar 55 persen kebutuhan harian tubuh akan unsur ini dan daging
kelinci juga mengandung ketotifen untuk membantu para penderita asma. Daging kelinci sendiri dapat dijadikan sebagai pangan olahan dalam bentuk sate, nugget,
abon, dendeng, dan bakso.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terhadap konsumen daging kelinci masih sangat jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan perkembangan daging kelinci sebagai produk
pangan masih tergolong baru. Hal ini menyebabkan sebagian besar pustaka diambil dari penelitian mengenai persepsi konsumen.
Fannani 2006 menganalisis mengenai respon dan kepuasan konsumen terhadap sate kelinci Kedai Daci di Kelurahan Ciparigi, Kotamadya Bogor, Jawa
Barat. Responden diambil secara Convenient Sampling, dimana responden adalah konsumen yang sedang membeli sate kelinci di Kedai Daci. Ditentukan pula
responden merupakan warga yang benar-benar tinggal di Ciparigi. Dari data responden yang didapatkan oleh peneliti dapat dilihat bahwa, 51 persen responden
berasal dari Keluarga Sejahtera II, 26 persen dari Keluarga Sejahtera III, dan Keluarga Sejahtera III Plus sebanyak 23 persen. Namun jika kita bandingkan
secara langsung antara jumlah responden dari masing-masing kelas sosial dengan jumlah masyarakat dari masing-masing kelas sosial di atas, maka persentase
terbesar dari responden yang berbelanja ke Kedai Daci adalah berasal dari Keluarga Sejahtera III yaitu sebesar 4,98 persen, dikuti oleh Keluarga Sejahtera
III Plus dan Keluarga Sejahtera I, masing-masing sebesar 4,82 dan 2,44 persen. Jika dilihat dari tingkat pendidikan responden, mayoritas konsumen sate
kelinci di Kedai Daci berpendidikan di atas SLTA dengan rincian sebagai berikut: sarjanaS1, D3, Pasca Sarjana, SLTA, dan SLTP masing-masing sebesar 41, 17,
13, 17, dan 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen daging kelinci adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Dan hal
ini berkorelasi dengan alasan para responden membeli sate daging kelinci, dimana mayoritas 39 persen mengonsumsi sate kelinci karena proteinnya yang tinggi.
Pada hasil penelitiannya, Fannani telah menyinggung kurangnya minat masyarakat Bogor untuk mengonsumsi kelinci masih sangat rendah dipengaruhi
oleh persepsi konsumen, namun Fannani belum membahas mengenai persepsi tersebut secara detail. Untuk karakteristik konsumen daging kelinci sendiri
memang sudah sedikit dibahas oleh Fannani namun terbatas pada masyarakat di wilayah Ciparigi saja dan belum dibahas bagaimana pengaruh karakteristik
tersebut terhadap keinginan untuk mengonsumsi daging kelinci serta bagaimana signifikansi dari karakteristik tersebut.
Sementara itu, Wicaksena 2006 menganalisis persepsi konsumen terhadap kopi bubuk torabika di Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis persepsi konsumen atas harga, merek, dan kualitas kopi bubuk torabika dibandingkan dengan produk pesaing. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif, diagram ular, dan perceived quality analysis.
Analisis deskriftif digunakan untuk menilai karakteristik responden dan persepsi konsumen terhadap harga kopi bubuk Torabika dan Kapal Api. Diagram
ular digunakan untuk mengetahui bagaimana persepsi merek kopi bubuk Torabika terhadap kopi bubuk Kapal Api, sedangkan perceived quality analysis digunakan
untuk mengukur apakah kopi bubuk Torabika memberikan nilai yang sesuai dengan harapan konsumen. Adapun untuk perolehan responden digunakan sampel
fraction dari sepuluh kecamatan di Jakarta timur berdasarkan populasinya.
Persamaan antara penelitian yang akan peneliti lakukan dan yang telah dilakukan Wicaksena terdapat pada metode perolehan sampel yang telah disebutkan di atas.
Hal ini dikarenakan peneliti memiliki kesamaan dalam hal lingkup geografis yang akan diteliti yaitu satu wilayah kota dengan jumlah populasi yang tidak diketahui.
Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada komoditi yang dianalisis, lokasi penelitian, dan metode analisis.
Penelitian mengenai persepsi konsumen juga dilakukan oleh Nurmarchus 2006 yang menganalisis mengenai pola konsumsi dan persepsi konsumen
terhadap ikan laut di Kota Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik konsumen ikan laut di Kota Bogor,
menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, pekerjaan dan status sosial dengan frekuensi ikan laut, mengetahui pola konsumsi
ikan laut di Kota Bogor, dan menganalisis persepsi konsumen terhadap ikan laut di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskripstif
untuk menganalisis pola konsumsi ikan laut, metode analisis Chi-square untuk menganalisis karakteristik konsumen, dan model sikap multiatribut Fishbein
untuk menganalisis persepsi konsumen. Adapun pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan lingkungan fisik dan tempat tinggal dimana dari 100 sampel
ibu rumah tangga yang diambil kemudian dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas bawah, menengah, dan atas.
Julaeha 2010 menganalisis mengenai persepsi dan sikap konsumen terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Adapun tujuan dari penelitian
ini antara lain, untuk menganalisis tingkat pengetahuan keamanan pangan responden, menganalisis tingkat persepsi konsumen terhadap produk oreo setelah
adanya isu melamin, menganalisis tingkat sikap responden terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi dan sikap terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Cluster Sampling. Teknik
pengolahan dan analisis data menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan regresi logistik. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada teknik
analisis data, yaitu menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan regresi logistik. Pada analisis regresi logistic yang digunakan, terdapat beberapa
perbedaan variabel. Untuk analisis regresi logistik, Julaeha menggunakan beberapa variabel, antara lain: jenis kelamin, usia, uang saku, tingkat pengetahuan
keamanan pangan, dan tingkat pengetahuan terhadap produk oreo. Sedangkan untuk penelitian yang akan dilakukan ini, variabel yang digunakan antara lain:
usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan tingkat pengeluaran. Dari hasil penelitian Julaeha, faktor yang memiliki pengaruh yang signifikan hanyalah faktor
pengetahuan pangan1, yaitu tingkat pengetahuan pangan sedang. Perbedaan lain dari penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan Julaeha adalah dari sisi
komoditas, lokasi penelitian, dan metode pengumpulan data.
III Kerangka Pemikiran
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis