Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pengeluaran

Total Pegawai 30 60 Total 50 100 Konsumen daging kelinci di Kota Bogor sebagian besar termasuk dalam golongan pegawai atau memiliki pekerjaan yang tetap, yaitu sebesar 60 persen di mana 43,3 persen komposisi tersebut diisi oleh pegawai swasta. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan pegawai swasta cenderung lebih tinggi, sehingga lebih mudah dalam melakukan pembelian daging kelinci yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan daging yang lain. Untuk persentase konsumen yang termasuk dalam non pegawai tidak memiliki pekerjaan tetap sebesar 40 persen yang di dominasi oleh ibu rumah tangga yaitu sebesar 45 persen dari komposisi tersebut. Responden dengan profesi sebagai ibu rumah tangga memiliki porsi yang cukup tinggi dalam komposisi non pegawai dikarenakan mereka memiliki peran sebagai figur yang menentukan keputusan pembelian dan turut dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Selain itu konsumen dengan profesi ibu rumah tangga itu sendiri 77,7 persen berada pada rentang usia di atas 40 tahun dan sisanya masih di bawah 40 tahun. Sehingga kebutuhan mereka akan konsumsi makanan yang sehat menjadi lebih tinggi. Dari Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa konsumen daging kelinci di Kota Bogor adalah mereka yang memiliki pekerjaan tetap.

6.1.5 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pengeluaran

Para peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan data pendapatan responden. Responden cenderung merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan pendapatan yang diterimanya dan bagi beberapa orang pendapatan merupakan hal yang sangat pribadi sehingga sangat sensitif jika diberitahukan kepada orang lain. Untuk mengatasi persoalan di atas, penelitian ini menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan seorang konsumen, yakni melalui pendekatan pengeluaran perbulan Sumarwan, 2003. Konsumen cenderung menyesuaikan pengeluarannya berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Pada kelas ekonomi menengah ke atas tingkat pengeluaran yang tinggi dikarenakan tingkat kebutuhannya yang tinggi pula. Sebagian besar pengeluaran tersebut dialokasikan untuk konsumsi kebutuhan non pangan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Engel et al 1994 bahwa dengan semakin meningkatnya pendapatan maka alokasi pengeluaran terbesar bukan lagi untuk pemenuhan konsumsi pangan tapi konsumsi non pangan. Dengan kata lain, untuk kelas ekonomi dengan pendapatan yang tinggi maka kebutuhan akan konsumsi pangan sudah terpenuhi dengan baik sehingga bukan menjadi prioritas bagi anggaran pengeluaran mereka. Namun menurut hukum Bennet, peningkatan pendapatan akan mengarah pada meningkatnya proporsi pengeluaran untuk lemak dan protein Purba, 2006 Pengeluaran konsumen daging kelinci di Kota Bogor dikelompokkan berdasarkan kriteria Bank Dunia seperti ditampilkan pada Tabel 14 berikut ini: Tabel 14. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Pengeluaran Pengeluaran Kelas Ekonomi Frekuensi Persentase 540.000 Miskin 4 8 540.000-1.080.000 menengah 1 11 22 1.080.001- 1.620.000 menengah 2 8 16 1.620.001- 2.700.000 menengah 3 13 26 2.700.000- 5.400.000 menengah 4 8 16 5.400.000 Atas 6 12 TOTAL 50 100 Berdasarkan data sebaran pengeluaran perkapita di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar konsumen daging kelinci di Kota Bogor berada pada kelas ekonomi menengah tiga atau biasa disebut ekonomi menengah tengah, yaitu sebesar 26 persen. Sementara dari kelompok miskin hanya 8 persen dari total responden. Hal ini dikarenakan daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan harga daging yang lain sehingga konsumen dengan pengeluaran kurang dari Rp 540.000,00 lebih cenderung untuk membeli sumber protein dalam bentuk daging yang lain dengan harga yang lebih murah. Sementara untuk kalangan dengan tingkat pengeluaran yang tinggi cenderung lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan lebih memperhatikan kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Selain itu hal ini dikarenakan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah yang berpendapatan rendah akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan pokok sebaliknya kelompok berpendapatan tinggi dengan kelas sosial menengah ke atas memiliki pengeluaran yang menurun untuk makanan pokok tetapi pengeluaran untuk pangan hewani, sayur, dan buah meningkat Martianto et al, diacu dalam Purba 2006.

6.1.6 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Suku Bangsa