konsumen. Artinya konsumen memang mengalami masalah psikologis dalam mengonsumsi daging kelinci, namun hambatan tersebut tidak terlalu signifikan
bagi konsumen. Adapun aspek yang mendapat persepsi buruk atau tidak baik di mata konsumen adalah aspek bauran pemasaran, terutama untuk bagian promosi.
Bauran pemasaran mendapatkan skor keselurahan sebesar 2,6. Hal ini menandakan bahwa permasalahn utama dalam minimnya konsumsi daging kelinci
di Kota Bogor adalah pada masalah bauran pemasaran bukan pada aspek psikologi. Oleh sebab itu para pemasar harus lebih gencar dalam melakukan
promosi dan didukung oleh pihak pemerintah. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan, maka skor yang didapatkan
adalah sebesar 3,55 yang artinya persepsi konsumen ditinjau dari seluruh aspek terhadap daging kelinci sudah baik. hal inilah yang bisa digunakan untuk menjadi
acuan bagi konsumen yang belum mengonsumsi daging kelinci agar tertarik untuk menjadi konsumen daging kelinci.
6.3 Analisis Variabel yang Mempengaruhi Persepsi Konsumen Terhadap
Daging Kelinci Model logit yang digunakan dalam mengolah data pada penelitian ini
digunakan untuk menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor. Adapun variabel terikat dalam
penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu Y=0 persepsi buruk dan Y=1 persepsi baik. Sedangkan variabel bebasnya terbagi menjadi lima variabel yaitu usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengeluaran.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 50 responden sebanyak 27 orang mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci dan 23 orang mempunyai
persepsi yang buruk. Hasil dugaan model logistik menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 85 persen didapatkan nilai signifikansi Hosmer dan
Lemeshow Test sebesar 0,639. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai alpha 0,15 sehingga dapat disimpulkan bahwa keselurahan model yang
dihasilkan cukup baik, artinya paling sedikitnya terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh nyata nilai koefisien tidak sama dengan nol terhadap tingkat
persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor. Dengan kata lain model telah mampu menjelaskan data dengan baik Goodness of Fit. Adapun
nilai Nagelkerke R-square yang dihasilkan adalah sebesar 0,409. Hal ini menunjukkan bahwa kelima variabel, yaitu usia,jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, dan tingkat pengeluaran dapat menjelaskan varians persepsi konsumen sebesar 40,9 persen dan sisanya yaitu 59,1 persen dijelaskan oleh faktor lain.
Adapun variabel yang berpengaruh nyata terhadap persepsi konsumen adalah variabel yang memiliki nilai signifikansi di bawah nilai alpa 15 persen 0,15.
Nilai signifikansi dari masing-masing kategori variabel dapat dilihat pada Tabel 31 berikut:
Tabel 31. Hasil Estimasi Regresi Logistik Terhadap Variabel-Variabel yang
Mempengaruhi Responden untuk Memiliki Persepsi Baik Terhadap Daging Kelinci
B S.E.
Wald df
Sig. ExpB
Step 1a USIA
2.405 4
.662 USIA1
19.783 16974.325
.000 1
.999 390509754.404
USIA2 21.057
16974.325 .000
1 .999
1396209451.917 USIA3
19.673 16974.325
.000 1
.999 349777782.440
USIA4 -1.170
1.488 .618
1 .432
.310
JK1
-2.115 .957
4.890 1
.027
.121 PDDIKAN
.883 2
.643 PDDIKAN1
-.879 2.288
.148 1
.701 .415
PDDIKAN2 -.930
.998 .869
1 .351
.395 PKRJAAN1
1.213 1.099
1.218 1
.270 3.363
PNGLUARN 1.804
5 .875
PNGLUARN1 -21.324
16974.325 .000
1 .999
.000 PNGLUARN2
-20.724 16974.325
.000 1
.999 .000
PNGLUARN3 -19.937
16974.325 .000
1 .999
.000 PNGLUARN4
-19.719 16974.325
.000 1
.999 .000
PNGLUARN5 1.081
1.608 .452
1 .501
2.949 Constant
1.383 1.422
.945 1
.331 3.986
Berdasarkan Tabel 31, maka dapat dilihat bahwa hanya variabel jenis kelamin yang memiliki pengaruh nyata terhadap persepsi konsumen. Hal ini
dikarenakan variabel tersebut memiliki P-value Sig. lebih kecil dari alpha yang ditetapkan
α=0,15. Pengaruh dari masing-masing variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Usia
Semua kategori pada variabel usia memiliki P-value lebih besar dari 0,15 sehingga usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi persepsi
konsumen terhadap daging kelinci. Hal ini dikarenakan daging kelinci bisa dikonsumsi oleh semua usia. Sehingga variabel usia tidak terlalu
berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi konsumen terhadap daging kelinci.
2. Jenis Kelamin Variabel jenis kelamin memiliki nilai P-value Sig. lebih besar dari alpha
yang ditetapkan, dimana nilai P-valuenya sebesar 0,27. Sehingga variabel jenis kelamin memiliki pengaruh yang nyata dalam membentuk persepsi
konsumen terhadap daging kelinci. Dengan nilai odds ratio atau ExpB sebesar 0,121 dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin pria memiliki
peluang sebesar 0,121 kali lipat dibandingkan jenis kelamin wanita untuk memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Dengan melihat
nilai koefisien variabel yang bernilai negatif -2,115 menunjukkan bahwa jenis kelamin pria cenderung memberikan persepsi yang buruk terhadap
daging kelinci dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan daging kelinci yang sangat baik untuk menu diet, sehingga para wanita lebih
cenderung mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci. 3. Pendidikan
Nilai P-value untuk variabel tingkat pendidikan lebih besar dari 0,15 sehingga tidak memiliki pengaruh yang nyata bagi persepsi konsumen
terhadap daging kelinci. Hal ini dikarenakan pada fakta di lapang, ternyata responden pada setiap tingkatan pendidikan memiliki pengetahuan dan
informasi yang relatif sama mengenai daging kelinci. Baik responden dengan tingkat pendidikan yang rendah, sedang, maupun tinggi
mengonsumsi daging kelinci dengan alasan kesehatan. Sehingga walaupun jenjang pendidikan berbeda, namun tidak membedakan secara nyata
persepsi mereka terhadap daging kelinci. 4. Pekerjaan
Variabel pekerjaan memiliki P-value sebesar 0.27 sehingga lebih besar daripada nilai alpha. Hal ini berarti variabel pekerjaan tidak memiliki
pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci. Seperti halnya yang sudah dijelaskan pada variabel tingkat
pendidikan, konsumen yang mengonsumsi daging kelinci cenderung menjadikan daging kelinci sebagai ‘obat’ sehingga untuk jenis pekerjaan
yang berbeda, responden memiliki kesamaan tujuan dalam mengonsumsi yaitu alasan kesehatan. Sehingga variabel pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap persepsi konsumen daging kelinci. 5. Pengeluaran
Nilai P-value dari variabel pengeluaran untuk setiap kategori bernilai lebih besar dari 0,15. Hal ini berarti variabel pengeluaran tidak memiliki
pengaruh dalam pembentukan persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci. Bagi beberapa kalangan daging kelinci memang relatif lebih
mahal. Namun jika pengetahuan konsumen mengenai daging kelinci sudah sangat bagus, maka konsumen akan bisa memahami kesenjangan harga
tersebut yang salah satunya disebabkan oleh sulitnya mendapatkan pasokan daging kelinci.
Dari hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap
daging kelinci adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel usia, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran tidak berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi
konsumen terhadap daging kelinci.
6.4 Rekomendasi Bagi Pengusaha Daging Kelinci di Kota Bogor