Variabel pekerjaan memiliki P-value sebesar 0.27 sehingga lebih besar daripada nilai alpha. Hal ini berarti variabel pekerjaan tidak memiliki
pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci. Seperti halnya yang sudah dijelaskan pada variabel tingkat
pendidikan, konsumen yang mengonsumsi daging kelinci cenderung menjadikan daging kelinci sebagai ‘obat’ sehingga untuk jenis pekerjaan
yang berbeda, responden memiliki kesamaan tujuan dalam mengonsumsi yaitu alasan kesehatan. Sehingga variabel pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap persepsi konsumen daging kelinci. 5. Pengeluaran
Nilai P-value dari variabel pengeluaran untuk setiap kategori bernilai lebih besar dari 0,15. Hal ini berarti variabel pengeluaran tidak memiliki
pengaruh dalam pembentukan persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci. Bagi beberapa kalangan daging kelinci memang relatif lebih
mahal. Namun jika pengetahuan konsumen mengenai daging kelinci sudah sangat bagus, maka konsumen akan bisa memahami kesenjangan harga
tersebut yang salah satunya disebabkan oleh sulitnya mendapatkan pasokan daging kelinci.
Dari hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap
daging kelinci adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel usia, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran tidak berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi
konsumen terhadap daging kelinci.
6.4 Rekomendasi Bagi Pengusaha Daging Kelinci di Kota Bogor
Salah satu keluaran dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor. Adapun
rekomendasi yang diberikan berdasarkan dari data-data dan hasil analisis yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil dari wawancara dan
kuesioner, maka didapatkan beberapa matriks sebagai berikut:
Tabel 32.
Matriks Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor
Variabel Keterangan Usia 31-40
Tahun Jenis Kelamin
Perempuan Pendidikan Tinggi
Pekerjaan Pegawai Swasta
Pengeluaran Rp 1.620.000,00-Rp
2.700.000,00.
Sementara terkait dengan persepsi konsumen terhadap daging kelinci, didapatkan matriks berikut ini:
Tabel 33.
Matriks Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci
Aspek Sub Aspek
Rataan Sub Aspek Rataan Aspek
Budaya Adat
4,34 Sangat Baik 4,4 Sangat Baik
Agama 4,38 Sangat Baik
Sosial Keluarga 3,76
Baik 3,8
Baik Teman
3,76 Baik
Psikologis Citra kelinci
3,46 Cukup baik 3,4 Cukup Baik
Proses pemotongan 3,36 Cukup Baik
Bauran Pemasaran Produk
4,11 Baik 2,6 Kurang
Baik Tempat Penjualan
2,94 Cukup Baik Harga
1,9 Kurang
Baik Promosi
1,74 Sangat Tidak Baik TOTAL
14,2 RATAAN
3,55
Berdasarkan matriks di atas, maka dapat diberikan beberapa rekomendasi dalam pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor diantaranya terkait
dengan konsumen potensial daging kelinci dan pengembangan pemasaran daging kelinci. Untuk konsumen potensial daging kelinci dapat dilihat pada matriks
pertama, mayoritas konsumen daging kelinci berada pada usia 31 hingga 40 tahun, berjenis kelamin perempuan, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi,
pekerjaan sebagai pegawai swasta, dan berada pada kelas ekonomi menengah ke atas. Diantara variabel-variabel tersebut yang memiliki pengaruh nyata dalam
memberikan persepsi positif terhadap daging kelinci adalah variabel jenis kelamin. Jenis kelamin wanita lebih cenderung memberikan persepsi yang baik
terhadap daging kelinci dibandingkan jenis kelamin pria. Oleh sebab itu dapat direkomendasikan sebagai target pasar sasaran adalah jenis kelamin wanita.
Positioning daging kelinci sebagai makanan yang rendah lemak namun tinggi
protein dapat digunakan sebagai salah satu daya tarik bagi konsumen wanita. Masalah mengenai berat badan menjadi masalah yang sangat penting bagi
para wanita saat ini. Bahkan berdasarkan hasil jajak pendapat yang pernah dilakukan di London, wanita lebih stres karena masalah berat badan daripada
kanker
2
. Terdengar cukup ekstrim namun itu terjadi bahkan di Indonesia. Wanita cenderung sensitif jika disinggung mengenai berat badan mereka.
Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat baik untuk mengembangkan daging kelinci di mana wanita sebagai segmen pasar potensialnya. Wanita
merupakan konsumen yang konsumtif dan dalam lingkungan keluarga pun keputusan konsumsi keluarga sebagian besar dipegang oleh wanita.
Untuk target pasar yang lebih spesifik maka dari segmen wanita tersebut bisa dipersempit dengan menargetkan wanita dengan kelas ekonomi menengah ke atas.
Hal ini dikarenakan mereka yang berada pada kelas sosial ini memiliki daya beli yang lebih tinggi dan kepedulian yang tinggi terhadap kandungan gizi makanan
yang dikonsumsinya. Selain itu menurut Engel 1995 dalam analisis variabel sosioekonomi, menunjukkan bahwa orang dengan status sosial yang lebih tinggi
memiliki hubungan yang positif dalam hal keinovatifan kemungkinan mengkonsumsi produk baru. Orang dengan kelas sosial yang lebih tinggi tidak
hanya mempunyai kemampuan untuk lebih banyak membeli produk baru, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengambil risko mengkonsumsi produk baru.
Selain itu konsumen target juga bisa berasal dari wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, bekerja sebagai pegawai swasta, atau yang berada pada
usia yang produktif. Namun variabel kelas ekonomi merupakan variabel yang lebih sering digunakan karena permintaan terhadap suatu produk sangat terkait
erat dengan daya beli yang ditunjukkan oleh tingkat pendapatan atau pengeluaran individu.
2
Vonisa M. 14 Januari 2009. Wanita Lebih Stres Dengan Berat Badan Daripada Kanker.Tempo Interaktif.
Selain konsumen potensial sebagai target sasaran, berdasarkan hasil penelitian dapat direkomendasikan juga beberapa hal terkait dengan bauran
pemasaran. Pada matriks kedua ditunjukkan persepsi konsumen terhadap daging kelinci dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: aspek sosial, budaya, psikologis
dan bauran pemasaran. Berdasarkan data yang didapat, ternyata bauran pemasaran daging kelinci masih kurang baik di persepsikan oleh konsumen. Adapun unsur
bauran pemasaran yang belum mendapatkan persepsi yang baik adalah tempat harga, penjualan, dan promosi. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa langkah
dalam mengatasi hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi konsumen terhadap
harga produk olahan berbahan baku daging kelinci adalah cukup baik. Hal ini berarti harga produk olahan daging kelinci dimata konsumen merupakan harga
yang normal. Namun jika dilihat perbandingan antara responden yang setuju bahwa harga daging kelinci mahal dengan responden yang menyatakan tidak
setuju, maka frekuensi yang terbanyak adalah responden setuju bahwa daging kelinci memiliki harga yang mahal. Tentunya responden mendapatkan harga yang
berbeda-beda karena tempat pembelian responden pun berbeda-beda. Untuk gambaran, peneliti membeli sate kelinci dengan harga Rp 15.000,00 per porsi,
sedangkan harga sate ayam Rp 12.000,00 dan harga sate kambing Rp 14.000,00 per porsi untuk satu lokasi penjualan yang sama.
Sulitnya mendapatkan bahan baku menjadi salah satu penyebab harga daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan daging ayam maupun kambing.
Sehingga harga yang didapatkan konsumen juga lebih mahal. Untuk mengatasi hal tersebut, pengusaha produk olahan daging kelinci seperti sate kelinci,
sebaiknya melakukan kemitraan dengan kelompok peternak kelinci yang ada di Bogor Fannani, 2006. Selain harga yang lebih murah, ketersediaan bahan baku
juga lebih terjamin. Untuk peternak sendiri juga lebih mudah menemukan pasar yang tepat untuk kelinci pedaging mereka. Selain bekerjasama dengan peternak,
pengusaha juga bisa membuka peternakan kelinci sendiri. Hal ini jauh lebih menekan biaya karena kelinci merupakan hewan yang cepat berkembang biak dan
mudah untuk dipelihara. Namun yang perlu diperhatikan adalah menjaga lokasi
peternakan dengan lokasi penjualan produk. Hal ini dilakukan agar konsumen tidak melihat kelinci hidup secara langsung ketika melakukan pembelian, karena
mampu meningkatkan hambatan psikologis mereka untuk mengonsumsi daging kelinci.
Persepsi konsumen terhadap tempat atau lokasi penjualan daging kelinci masih sangat tidak baik. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen mengalami
kesulitan dalam mendapatkan produk daging kelinci. Fannani 2006 dalam penelitiannya mengurutkan peringkat atribut produk atas tingkat kepentingan dan
dari hasil penelitian didapatkan bahwa kemudahan memperoleh produk menempati urutan kedua setelah harga. Berdasarkan keterangan tersebut dapat
dilihat bahwa konsumen sangat mempertimbangkan ketersediaan produk dalam memutuskan produk yang akan dikonsumsinya. Seperti yang sudah dianalisis,
konsumen potensial untuk daging kelinci adalah konsumen wanita yang jika disempitkan lagi dengan karakteristik yang lain konsumen wanita yang dimaksud
adalah konsumen wanita dengan pendidikan tinggi, kelas ekonomi menengah ke atas, berada pada usia produktif, dan memiliki pekerjaan tetap. Untuk itu lokasi
perumahan-perumahan menengah ke atas patut dicoba untuk dijadikan lokasi usaha.
Terkait dengan promosi, persepsi konsumen masih sangat tidak baik. Kurangnya promosi menyebabkan informasi yang diterima konsumen juga
menjadi lebih sedikit. Informasi mengenai produk sangat dibutuhkan oleh konsumen dalam rangka pengenalan akan produk tersebut dan berujung pada
keputusan konsumen untuk mengonsumsi produk tersebut. Hal ini terutama dikarenakan daging kelinci yang belum terlalu familiar di kalangan masyarakat
Kota Bogor. Yang bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan promosi adalah dengan menyebarkan pamflet atau brosur mengenai daging kelinci, mengikuti
pameran-pameran kuliner, dengan media internet melalui situs pertemanan, dan dengan melakukan promosi seperti membagikan sampel produk kepada pembeli
serta direct marketing Tjiptono, 2008. Selain itu membuat papan nama usaha sehingga konsumen dapat
mengetahui keberadaan usaha juga bisa dilakukan sebagai bentuk promosi.
Karena ini memudahkan konsumen untuk mengindetifikasi lokasi sehingga dapat meningkatkan jumlah pelanggan yang dating. Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian Fannani 2006, dimana 43 persen konsumen yang berkunjung ke Kedai Daci adalah orang-orang yang kebetulan lewat. Pengusaha harus mampu
memberikan informasi bagi setiap pembeli yang dating, karena pembeli tersebut merupakan salah satu media promosi melalui word of mouth WOM. Word of
mouth ini biasanya cepat diterima pelanggan karena yang menyampaikannya
adalah mereka yang dapat dipercayainya, seperti para ahli, teman, keluarga, dan publikasi media masa. Di samping itu, word of mouth juga cepat diterima sebagai
referensi karena pelanggan sulit mengevaluasi produk yang belum pernah dikonsumsinya Tjiptono, 2008. Oleh karena itu pemberian informasi yang
komprehensif mengenail keunggulan daging kelinci harus mampu diinformasikan dengan baik kepada setiap pembeli yang datang sehingga mereka yang nantinya
menjadi agen promosi perusahaan. Cara ini juga bisa dilakukan jika modal promosi yang dimiliki terbatas Mayasari, 2010.
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan