BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Wilayah Indonesia memiliki 6 dari persediaan air di dunia atau seluas 21 persediaan air Asia Pasifik. Tetapi kelangkaan dan kesulitan memperoleh air bersih
dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai banyak muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ke tahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara
eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran , yaitu diperkirakan sebesar 15-35 per kapita per tahun.
Dengan demikian Indonesia yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, menyebabkan kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak Anonim, 2005.
Ekosistem air yang terdapat di daratan inland water secara umum di bagi atas dua yaitu perairan lentik yang disebut juga perairan tenang misalnya danau, waduk,
rawa dan telaga dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras misalnya sungai, kanal, dan parit. Perbedaan utama antara perairan lotik dengan perairan lentik
adalah kecepatan arus. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sementara perairan lotik
umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat Barus, 2001.
Sungai sebagai salah satu contoh dari perairan mengalir lotik. Kondisi sungai digambarkan sebagai badan air yang umumnya dangkal, arus biasanya searah, dasar
sungai berupa batu kerikil dan berpasir, ada endapan atau erosi, temperatur air berfluktuasi, atas bawah hampir uniform. Habitat sungai dan kolam dibedakan dalam
hal ada tidaknya arus air, jenis endapan, volume air, kekeruhan, dan tipe makanan yang tersedia sehingga kedua organisme memiliki komunitas yang sangat berbeda.
Perbedaan organisme itu dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti faktor
Universitas Sumatera Utara
fisik, kimia dan biologi. Sebuah sistem perairan faktor fisik, kimia maupun faktor biologinya akan selalu mengalami perubahan dimana perubahan ini dapat
mempengaruhi hidrobiota yang hidup didalamnya. Ada tidaknya hidrobiota ini dapat dijadikan sebagai penujuk kualitas air yang bersangkutan Wardoyo, 1981. Sungai
juga ditandai dengan adanya anak sungai yang menampung dan menyimpan serta mengalirkan air hujan ke laut melalui sungai utama Naughoton Wolf,1990.
Sungai Batang Toru adalah salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan dengan panjang 69,32 Km. Ke hilir, arusnya berakhir ke laut di pesisir barat setelah
lebih dulu membagi airnya sebagian ke Danau Siais. Sedangkan ke hulu, Batang Toru melintasi Tarutung, Tapanuli Utara. Di sana masyarakat mengenalnya dengan nama
Aek Sarulla. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di Ekosistem Batang Toru mengikuti pola paralel. Artinya, pola aliran sungai bentuknya memanjang ke satu arah
dengan cabang-cabang sungai kecil yang datangnya dari arah lereng-lereng bukit terjal kemudian menyatu di sungai utamanya, yaitu Batang Toru yang mengalir di
lembahnya Anonim, 2007 Kabupaten Tapanuli Selatan: Kawasan hutan Batang Toru yang termasuk ke dalam daerah Tapanuli Selatan adalah seluas 31.556 ha atau
23,1 dari luas hutan. Air dari sungai Batang Toru dan Aek Garoga menjadi penting untuk perkebunan luas yang berada di daerah hilir Yayasan Ekosistem Lestari, 2007
Usaha pengendalian kerusakan sungai dan kebijakan pengelolaannya mengharuskan pemantauan kualitas sungai. Pemantauan ini umumnya dilakukan
dengan menggunakan parameter fisik atau kimia. Akhir-akhir ini pemantauan dengan biota lebih diperhatikan, mengingat biota lebih tegas dalam mengekspresikan
kerusakan sungai, karena biota terpengaruh langsung dalam jangka panjang, sedang sifat-sifat fisik dan kimia cenderung menginformasikan keadaan sungai pada waktu
pengukuran saja Sastrawijaya, 1991. Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air
2
Universitas Sumatera Utara
yang pergerakannya relatif pasif Suin, 2002. Faktor fisik-kimia lingkungan terutama unsur hara nitrat dan posfat sangat berpengaruh pada pertumbuhan plankton. Jika
terjadi pencemaran oleh kedua unsur tersebut dapat mengakibatkan peledakan jumlah populasi plankton tertentu yang bisa mengeluarkan zat toksin kedalam perairan. Hal
tersebut sangat merugikan bagi organisme yang ada disekitarnya Wibisono, 2005. Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar Sungai Batang Toru
antara lain: kegiatan domestik, pertanian, dan bendungan aliran sungai dapat mengubah faktor fisik-kimia perairan secara langsung maupun tidak langsung.
Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan mempengaruhi keberadaan plankton di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya juga akan mempengaruhi biota air lainnya.
Namun sejauh ini belum diketahui keanekaragaman plankton di Sungai Batang Toru dan bagaimana hubungan keanekaragaman tersebut dengan nilai faktor fisik-kimia.
I.2 Permasalahan