5.2.1 Diagnosis TB
Penatalaksanaan program TB paru dengan strategi DOTS dilakukan dengan cara menemukan pasien TB paru, pemeriksaan dahak serta melakukan
diagnosa kepada penderita TB paru. Penatalaksanaan ini bertujuan untuk mendapatkan pasien TB paru melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan
terhadap terduga pasien TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat
dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan ke orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya kesadaran dan pemahaman pasien akan keluhan dan
gejala TB paru, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan
tersebut Kemenkes RI, 2014. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB paru secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB paru sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Strategi dalam penemuan pasien antara lain: dilakukan secara intensif pada
kelompok populasi terdampak TB dan populasi rentan, adanya dukungan kegiatan promosi yang aktif sehingga semua terduga TB paru dapat ditemukan secara dini,
penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasyankes oleh petugas kesehatan dengan menemukan gejala-gejala utama penyakit TB paru.
Penemuan penderita secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada pasien yang datang berkunjung ke puskesmas. Semua
Universitas Sumatera Utara
tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu SPS.
Penemuan penderita TB paru yang terdapat di Puskesmas Desa Lalang dilakukan secara pasif yaitu dengan cara menunggu pasien datang sendiri
memeriksakan diri ke puskesmas, petugas TB paru tidak selalu melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit TB paru. Hal ini dibenarkan
oleh informan PMO dan penderita bahwa tidak pernah dilakukan adanya penyuluhan tentang TB paru. Penemuan kasus dengan cara mengunjungi rumah
penderita TB paru tidak pernah dilakukan. Hal ini dikarenakan petugas TB di puskesmas hanya 1 orang saja dan banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan di
puskesmas sehingga jadwal nya tidak bisa ditentukan. Berdasarkan penelitian Sutimbuk dkk 2012 mengatakan bahwa
penemuan kasus tuberkulosis sudah dilaksanakan di Puskesmas Kabupaten Bangka Tengah, hanya saja kegiatan tersebut belum maksimal. Hal ini
dikarenakan penanggung jawab program tidak mempunyai jadwal sendiri dalam pelaksanaan kegiatan menjaring suspek dan penanggung jawab hanya kebanyakan
menunggu di puskesmas. Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk
penjaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi
baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan pengobatannya. Pemeriksaan mikroskopis ini merupakan pendekatan penemuan
kasus secara pasif yang merupakan cara paling efektif dalam menemukan kasus
Universitas Sumatera Utara
tuberkulosis. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di
masyarakat WHO, 1999. Puskesmas Desa Lalang dalam pelaksanaan penanggulangan TB paru
hanya sampai melakukan fiksasi slide saja, yang melakukan pewarnaan dan pemeriksaan mikroskopis adalah Puskesmas Helvetia sebagai PRM. Pemeriksaan
BTA positif yang dilakukan di PRM berdasarkan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Diusahakan 3 buah spesimen dahak dari suspek TB paru terkumpul
agar ditegakkan diagnosanya, namun dalam hal ini sebagian penderita tidak tahu cara menampung dahak yang benar sehingga pemeriksaan laboratorium terjadi
kesalahan hasil pembacaan laboratorium yang akan menghambat pengobatan pasien TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyataan informan petugas TB paru yang
mengatakan bahwa: “….. Ada juga pasien yang tidak tau cara menampung dahak,
jadi kadang hasil pembacaan labnya salah jadi harus di ajarin dulu yang benarnya ke dia”.
Berdasarkan penelitian Hernanto 2001 bahwa adanya pengaruh faktor kesulitan mengeluarkan dahak dari penderita, kondisi mikroskop di puskesmas
yang rusak serta masih rendahnya tingkat pendidikan petugas TB paru sehingga mempengaruhi pemeriksaan mikroskopis.
Dalam mendiagnosis TB paru tidak dibenarkan hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin saja, atau hanya dengan pemeriksaan foto toraks saja, tetapi harus
sesuai dengan tatalaksana pendiagnosaaan penderita yang
ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
Ditetapkannya sebagai pasien TB apabila dalam pemeriksaannya minimal 1 uji dahak SPS hasilnya BTA positif.
Diagnosis yang dilakukan pertama kali yaitu dengan melihat gejala-gejala umum penyakit TB paru, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dahak SPS secara
mikroskopis. Jika salah satu atau lebih dari ketiga spesimen dahak positif, maka suspek dikatakan penderita TB paru, dan apabila hasilnya negatif maka dilakukan
foto rontgen, jika hasil rontgen positif maka suspek juga dikatakan penderita TB paru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa Puskesmas Desa Lalang dalam melakukan pendiagnosaan pasien TB paru yaitu dengan
pemeriksaan dahak SPS secara mikroskopis yang dilakukan di PRM Helvetia, dan apabila jika ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, maka petugas TB paru
memberikan surat rujukan untuk melakukan pemeriksaan foto rontgen. Namun dalam pernyataan informan penderita TB diketahui bahwa pasien yang berobat di
Puskesmas Desa Lalang merupakan pasien yang mendapatkan hasil pemeriksaan rontgen dari praktek dokter dan BP4 Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru,
pasien melakukan inisiatif sendiri dalam memperoleh pengobatannya dan tidak menjalani alur pemeriksaan pengobatan TB paru sesuai tatalaksana yang ada.
5.2.2 Pengobatan TB dengan OAT yang Diawasi Oleh PMO