Peran unit pengelola terminal angkutan jalan Provinsi Jakarta dalam merelokasi pedagang kali lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta

(1)

PERAN UNIT PENGELOLA TERMINAL ANGKUTAN

JALAN PROVINSI DKI JAKARTA DALAM

MERELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI

TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN JAKARTA

TIMUR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh : Sahril Sidik NIM: 105032201078

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain (Plagiat), maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 8 Oktober 2012


(5)

i ABSTRAK

SYAHRIL SIDIK: ³Peran Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta Dalam Merelokasi Pedagang Kaki Lima Di Terminal Kampung

Rambutan Jakarta Timur´

Banyaknya individu atau masyarakat yang terjun ke dunia kerja informal disebabkan pemerintah belum bisa menyediakan lapangan pekerjaan formal yang banyak untuk masyarakat, seta adanya mekanisasi di sektor modern (industri) sehingga membatasi dalam menyerap para pekerja. Hal tersebut berdampak terjunnya masyarakat ke dalam dunia kerja informal seperti pedagang kaki lima. Kegiatan perekonomian ini, bukan berarti masalah besar yang harus dihadapi oleh Negara Indonesia, bahkan dengan adanya dunia kerja Informal memberikan alternatif bagi individu atau masyarakat untuk mencari penghidupan, yang menjadi permasalahan adalah ketika pedagang kaki lima mengggunakan lahan umum untuk melakukan aktifitas perekonomiannya. Dengan adanya permasalahan ini perlu bagi pemerintah membuat kebijakan relokasi kepada pedagang kaki lima untuk mendapatkan tempat yang layak dan aman dalam melakukan aktifitasnya.

Secara garis besar penelitian ini ingin mengetahui bagaimana Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, penelitian ini ingin mengetahui gambaran mengenai peran pemerintah dalam menjalankan program relokasi terhadap pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur.

Metodologi yang digunakan peneliti adalah, kualitatif deskriptif, dengan pendekatan penelitian fenomenoligis. Lokasi penelitian di Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, dan terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Pengambilan data dan informasi dilakukan kantor kepala Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, Subagian Tata usaha Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, dan kantor kepala terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur dalam kota dan antar kota, serta para dari para pedagang resmi yang menempati fasilitas penunjang terminal, dan pedagang liar yang berada di terminal tersebut.

Dalam penelitian ini menggunakan informan yang sudah ditentukan dalam melengkapi informasi tentang peran Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, yaitu: pegawai Subdinas Perhubungan yaitu, Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, kepengurusan terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur antar kota dan dalam kota, serta para pedagang resmi yang menempati fasilitas terminal, dan pedagang liar yang berada di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Dalam mendapatkan informasi dilakukan dengan metode wawancarara mendalam kepada informan. Dan dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan dua cara pengumpulan data yaitu dengan mendatangi lokasi penelitian untuk mendapatkan informasi tentang Peran Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dalam Merelokasi Pedagang Kaki Lima di Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, serta


(6)

ii

melakukan pengamatan lapangan (observasi) untuk menambah informasi dalam penulisan skripsi ini.

Setelah mendapatkan data keseluruhan dari lapangan, penulis menganalisa data, kemudian diseleksi untuk diambil data yang khusus yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Kemudian penulis merumuskan kesimpulan data hasil penelitian

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, relokasi yang dilakukan oleh Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta yaitu mengalokasikan para pedagang kaki lima yang melakukan kegiatan usahanya secara liar di lingkungan terminal ke tempat fasilitas penunjang terminal yang letak bangunannya terdapat di jalur keluar terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Selain itu, terdapat kebijakan sementara yang diberikan kepada pedagang kaki lima yang tidak memiliki tempat (tidak resmi atau liar) oleh pihak terminal, yaitu jam operasional, lokasi usaha, membayar retribusi untuk kebersihan, dan konsekuensi atau tindakan represif.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

ϡϳΣέϟ΍ϥϣΣέϟ΍ௌϡγΑ

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akademik di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba pilihan pembawa rahmat bagi sekalian alam, dan sebagai hujjah bagi umat manusia, yakni Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat serta umat manusia yang senantiasa berpegang teguh pada

Al-4XU¶DQGDQ6XQQDK-Nya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa kehadiran skripsi ini di tengah-tengah anda, mungkin bukanlah karya yang istimewa. Namun keberadaannya mungkin akan menambah khazanah intelektual dan pemikiran kita, khususnya menyangkut Peran Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Dalam Merelokasi Pedagang Kaki Lima Di Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan, baik dalam bentuk dukungan moril, maupun materil, kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih dan salam hormat yang setinggi-tingginya kepada:


(8)

iv

1. Bpk. Prof. Dr. Bachtiar Efendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).

2. Dr. Hendro Prasetyo, MA Ketua Jurusan Prodi Ilmu Sosial dan

,EX ,LP +DOLPDWXVVD¶DGL\DK 0$ 6HNHWDULV -XUXVDQ 3URGL ,OPX

Sosial.

3. Dosen Pembimbing Ibu. Cucu Nurhayati, M. Si yang senantiasa ikhlas meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk selalu memberikan arahan dan bimbingan demi kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Dosen penguji skripsi Bpk. A. Abrori, M.Si.

5. Dosen fakultas usuluddin dan filsafat, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dangan tulus dan ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan mereka dapat bermanfaat serta menjadi keberkahan penulis dalam mengarungi kehidupan.

6. Pemimpin beserta staff perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang yang tekah memfasilitasi penulis dangan berbagai referensi dan literatur.

7. Pengurus UPT AJ PROV. DKI Jakarta, yang telah membantu penulis dalam memberikan fasilitas, data dan Informasinya.

8. Pengurus Terminal Kp. Rambutan Jakarta Timur, Bapak H. M. Hatta (Kepala Terminal Dalam Kota), Ibu. Cristine (Staff Tata


(9)

v

Usaha Terminal Antar Kota), Bpk. Sardi (anggota Regu I Terminal Dalam Kota), dan Bpk. Kayat Koordinator Pedagang Kaki Lima yang telah membantu penulis dalam memberikan fasilitas, data dan Informasinya.

9. Keluarga tercinta, dengan rasa hormat skripsi ini kupersembahkan khusus untuk kedua orang tuaku dan kasih sayang penulis yang selalu akan tercurahkan untuk kedua orang tuaku sampai kapanpun, Mamahku A. Nurhayati GDQ %DSD¶NXM. Muhammad yang tak pernah letih mencutahkan doanya, dan kasih sayangnya untuk anak-anaknya.

10.Untuk teman seperjuangan, Ahmad Syukri ³The Blues´, Nurchasan

³The Reds´ $KPDG 6DURML terimakasih DWDV GR¶D-GR¶DQ\D dan

telah mendengarkan keluh kesah penulis.

11.Keluarga besar Sosiologi angkatan 2005, Suryana, Ade Ferdiawan, Erros, Jambrong, Alfan, Jajang, April Lani, Zakiyah, Sri, dan semua yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu, dengan tanpa mengurangi arti persahabatan kita selama ini.

12.Spesial thanks for 0XVWRID ³The Gunner´ yang telah baik hati membantu mengerjakan penulisan skripsi, keluarga besar asrama IKBAL, dan keluarga besar komunitas BIANCOCELESTI.

Jakarta, 8 Oktober 2012


(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i KATA PENGANTAR ... iii DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN

A./DWDU%HODNDQJ3HUPDVDODKDQ««««««««

B. Rumusan Permasalahan ... 10 C.Pertanyaan Penelitian ... 10 D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ...«««««««««««..«««

E. Literatur Review «««««««««««««««««««

F. Kerangka Konseptual ««««««««««««««««««

G.Metodologi Penelitian ««««««««««««««««««

H.Sistematika Penulisan «««««««««««««««««««

BAB II KERANGKA TEORI

A. Pengertian Peran «««««««««««««««««««... 24 B. Relokasi

1. Pengertian Relokasi ««««««««««««««««««

2. Jenis-MHQLV/RNDVL«««««««««««««««««««

3. Bentuk-bentuk Relokasi ... 28 4. Strategi Relokasi .«««««««««««««««««..«« 29


(11)

vii C. Pedagang Kaki Lima

1. Definisi Pedagang Kaki Lima ... 30

2. Ciri-ciri Pedagang Kaki Lima ... 32

3. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima «««««««....« 4. Bentuk Sarana Pedagang Kaki Lima ««««««« D. Teori 1. Teori Fungsional Struktural a. Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons ...««««« 35

b. Teori Struktural Fungsional Robert K. Merton ... 37

2. 7HRUL.RQIOLN5DOI'DKUHQGRUI««««««««««««« E. Resistensi Sektor Informal 1. Pengertian Resistensi Sektor Informal ...,... 43

2. Bentuk-bentuk Resistensi Sektor Informal ... 44

3. Strategi Resistensi Sektor Informal ... 46

4. Faktor-faktor Resistensi Sektor Informal ... 47

BAB III GAMBARAN UMUM UNIT PENGELOLA ANGKUTAN JALAN PROVINSI DKI JAKARTA, TERMINAL KP. RAMBUTAN, DAN PEDAGANG KAKI LIMA TERMINAL KP. RAMBUTAN JAKARTA TIMUR A. Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi Jakarta 1. Sejarah Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi Jakarta ... 48

2. Visi dan Misi Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi -DNDUWD«««... 49


(12)

viii

3. Struktur Organisasi dan Tugas-tugas Kepengurusan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta ... 50 4. Kedudukan, Fungsi dan Peran Unit Pengelola Terminal Angkutan

-DODQ3URYLQVL-DNDUWD«««««««««««««««««

B. Hubungan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dengan Terminal ... 54 C. Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur

1. Sejarah Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ««««

2. Letak Demografi dan Geografis Terminal Kampung Rambutan Jakarta

Timur«

3. 9LVLGDQ0LVL7HUPLQDO.DPSXQJ5DPEXWDQ-DNDUWD7LPXU«

4. Struktur Organisasi Kepengurusan Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ... 58 5. Tugas-Tugas Kepengurusan Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ... 60 D. Kebijakan Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi Dki Jakarta dalam menangani pedagang kai lima di terminal Kampung rambutan

Jakarta timur«««

E. Gambaran Umum Pedagang Kaki Lima Di Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ... 63


(13)

ix

BAB IV PERAN UNITPENGELOLA ANGKUTAN JALAN PROVINSI DKI JAKARTA DALAM MERELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL KP. RAMBUTAN JAKARTA TIMUR A. Peran dan Kebijakan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI

Jakarta Di Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ««««« 74 B. Faktor Penghambat Relokasi Pedagang Kaki Lima di Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ««««««««««««««« 94 C. Respon Pedagang Terhadap Kebijakan Terhadap

Kebijakan-Kebijakan Relokasi «««... 98

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan «««««««««««««««««««««««

B. 5HNRPHQGDVL««««««««««««««««««««««

DAFTAR PUSTAKA ... x LAMPIRAN-LAMPIRAN


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kota-kota besar di Indonesia telah ditetapkan menjadi pusat pembangunan wilayah dan pusat dari bermacam aspek kehidupan Negara.1 Sehingga, hampir semua jenis pembangunan yang dapat meningkatkan taraf kehidupan menjadi lebih baik terdapat di perkotaan. Sebaliknya dengan daerah pedesaan, masih banyak tertinggal baik dari budaya (Ilmu Pengetahuan), sosial dan ekonomi.2 Hal ini dikarenakan belum terealisasinya pembangunan terpadu yang dapat mengimbangi kontribusi pedesaan (Interaksi Sehat) sebagai pemasok pangan bagi perkotaan, serta dapat saling melengkapi atau menguntungkan antara desa dan kota.3

Pemerintah telah banyak berupaya melakukan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan diantaranya dengan mekanisasi dan pembangunan (Modernisasi) di sektor agraris (Pertanian), supaya produksi pangan menjadi meningkat. Mekanisasi menimbulkan dampak positif bagi pertanian, yaitu mendorong masryarakat memakai alat-alat modern seperti traktor, mesin penggiling padi, dan alat modern lainnya, yang dapat membantu masyarakat khususnya yang memiliki lahan pertanian (tuan tanah) dalam memproduksi hasil pertanian secara cepat. Namun di sisi lain berdampak negatif, karena pengurangan tenaga kerja atau kesempatan kerja

1

B.N Marbun, SH, Kota Indonesia Masa Depan (Jakarta : Erlangga, 2003), hal: 122-123 2

B.N Marbun, SH, Kota Indonesia Masa Depan, hal: 113 3


(15)

2

bagi para buruh tani. Dalam pembangunan, pemerintah memperluas jaringan perdagangan dengan memperluas prasarana jalan di daerah-daerah terpencil.4 Hal ini berdampak pada banyak lahan pertanian menjadi berkurang dan para petani kehilangan mata pencaharian.

Dengan kondisi pedesaan yang kurang menjamin dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mendorong penduduk pedesaan untuk mencari dan mendatangi kota dengan harapan bahwa di kota akan merubah nasibnya menjadi lebih baik, hal ini merupakan proses terjadinya urbanisasi dan menjadikan perkotaan sebagai Urban Center. Menurut Country Programe

Document ³tahun 2025 diperkirakan 65 persen dari penduduk Indonesia

DNDQWLQJJDOGLGDHUDKSHUNRWDDQ´5

Selain faktor di atas, terdapat faktor lain yang mendorong individu melakukan urbanisasi yaitu, faktor penarik (Pull Factor) dan pendorong

(Push Factor). Menurut B. N. Marbun, ada beberapa faktor yang menarik

masyarakat pindah dari desa ke kota, yaitu: Satu, untuk melanjutkan pendidikan. Ini terjadi karena di desa tidak ada lagi link atau tujuan untuk melanjutkan sekolah, karena kualitas sekolah di desa dianggap kurang baik. Dua, terpengaruh cerita dari orang-orang yang kembali ke desa, bahwa hidup di kota mudah untuk cari pekerjaan atau usaha kecil-kecilan. Tiga, tingkat upah di kota lebih tinggi dari pada di pedesaan. Empat, keamanan di kota lebih terjamin. Lima, adat atau agama lebih longgar. Selanjutnya,

4

Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pembangunan (Jakarta: PT. Etasa Dinamika, 1985), h: 18-21 5

Berita Jakarta, ͞Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Provinsi DKI Jakarta´, Team Mirah Sakethi: 2010, h: 6. Diakses pada tanggal 25 desember 2011 di http://www.beritajakarta.com/download/ppmk_ver_ind.pdf


(16)

3

faktor pendorongnya adalah: proses kemiskinan, minimnya lapangan kerja di pedesaan, pendapatan atau upah yang rendah, adat istiadat yang ketat, melanjutkan pendidikan.6

Semakin banyak penduduk yang datang dan menetap diperkotaan berdampak semakin padatnya kota, sehingga meramaikan persaingan diantara masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tentunya pemerintah kota harus mempersiapkan segala hal dari dampak urbanisasi. Akan tetapi, kota-kota besar di Indonesia saat ini masih banyak yang belum mampu menjadi tempat untuk mensejahterakan penduduknya, karena perencanaan pembangunan di kota masih belum dapat memenuhi kebutuhan pokok perkotaan, seperti kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran yang adil secara merata.7 Sehingga, banyak dari mereka (Masyarakat Urban) tidak berhasil hidup di kota, dan akhirnya menjadi beban bagi perkotaan.

Walaupun banyaknya permasalahan dan kelemahan yang ada di kota, namun masih banyak yang memilih kota sebagai tempat untuk mengadu nasib, karena kota mempunyai daya tarik yang besar khususnya bagi masyarakat pedesaan untuk dijadikan target dalam mencapai tujuan hidup mereka seperti membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik, dengan cara mencari pekerjaan di sektor formal seperti bekerja di pabrik, perkantoran, atau menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Namun, tidak semua masyarakat urban mendapatkan pekerjaan, dikarenakan adanya tuntutan keahlian dan keterampilan khusus untuk mendapatkan tempat atau bekerja

6

B.N Marbun, SH, Kota Indonesia Masa Depan, h:60 7


(17)

4

di sektor modern (formal), serta sektor industri sudah banyak menggunakan teknologi modern seperti alat mekanis (mesin), hal ini membatasi jumlah pekerja.8

Dengan adanya keterbatasan kota dan sektor industri dalam memberikan lapangan pekerjaan di sektor formal, maka kegiatan perekonomian informal merupakan salah satu alternatif yang realistis bagi masyarakat yang berlatar belakang dari kelompok masyarakat lapisan bawah dan menengah, serta masyarakat yang tidak dapat kesempatan bekerja di sektor formal. Tadjuddin Noer effendi berpendapat bahwa: ³sektor informal dipandang sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan´9

Fenomena sektor informal, muncul selain dikarenakan adanya proses urbanisasi yang didasari oleh faktor penarik dan pendorong, serta keterbatasan pemerintah dan sektor industri menyediakan lapangan pekerjaan, sektor informal sendiri tidak dapat dilepaskan dari proses pembangunan. Terdapat dua pemikiran yang berkembang dalam memahami kaitan antara pembangunan dan sektor informal Pertama: Pemikiran yang menekankan bahwa kehadiran sektor informal sebagai gejala transisi dalam proses pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Dengan demikian, keberadaan sektor informal merupakan gejala sementara dan akan terkoreksi oleh keberhasilan pembangunan. Kedua, kehadiran sektor informal merupakan gejala adanya ketidakseimbangan kebijaksanan

8

Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan, (PT. Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1993), h:40

9


(18)

5

pembangunan. Kehadiran sektor informal dipandang sebagai akibat kebijaksanaan pembangunan yang dalam banyak hal lebih berat pada sektor modern (perkotaan) atau industri dari pada sektor tradisional (pasar).10

Menurut Chris Manning et.al, sektor informal adalah sekumpulan pedagang baik penjual barang dan jasa, yang secara ekonomis keuntungan yang diperoleh tidak begitu menguntungkan, walaupun keberadaan mereka menunjang kehidupan bagi masyarakat menengah kebawah atau miskin.11 Kemudian, Tadjuddin Noer Effendi berpendapat bahwa: ³sebagian besar pekerjaan informal khususnya di perkotaan terserap ke dalam sektor perdagangan, di antaranya pedagang kaki lima´.12 Bentuk usaha ini, sifatnya menawarkan barang dan jasa, dan banyak dipilih atau dijadikan lapangan pekerjaan oleh masyarakat strata ekonomi rendah yang mayoritas notabanenya minim akan pendidikan, dikarenakan tidak perlu mempunyai keterampilan, dan keahlian, serta tipe usaha ini tidak banyak memerlukan biaya juga ruang yang besar.13 Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dari data statistik yang dikeluarkan oleh BAPPENAS pada bulan Oktober tahun 2011, mengenai sensus ekonomi pada bulan Februari tahun 2011. Dalam data tersebut, BAPPENAS mencatat penduduk yang bekerja berdasarkan status pekerjaan. sebesar 38,1 juta orang (34,24 persen) bekerja di sektor

10

Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan, h: 73 11

Pudjiwati Sajogyo, Sosiologi Pembangunan, h: 149 12

Tadjuddin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan, h: 93 13

Jayadinata, J.T, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, (Bandung: ITB 1999), h: 146


(19)

6

formal yang mencakup buruh tetap atau karyawan, dan 73,2 juta orang (65,76 persen) bekerja pada kegiatan informal atau perdagangan.14

Dari pernyataan di atas, dapatlah dilihat bahwa jumlah usaha informal jauh lebih besar dari pada jumlah pekerja di sektor formal. Sehingga, benarlah jika dikatakan bahwa kegiatan perekonomian sektor informal memberikan sumbangan dan kontribusi yang sangat besar bagi roda perekonomian, serta mempunyai peran penting dalam mengurangi tingkat penganguran.

Kehadiran pedagang kaki lima di perkotaan, secara tidak langsung menimbulkan dampak positif dan negatif. Di sisi positif, harga yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pedagang kaki lima relatif lebih murah dibandingkan dengan harga yang beredar di pasaran, menyediakan lapangan kerja sehingga mampu menyerap tenaga kerja, dan akan menjadi cikal bakal sektor formal. Dampak negatifnya, keberadaan pedagang kaki lima sering mengganggu ketertiban, kebersihan, dan merusak keindahan perkotaan, dan sering melanggar hukum.15

Dalam menangani pedagang kaki lima yang kerap memanfaatkan ruang publik dalam kegiatan ekonominya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun kebijakan dengan membuat program kerja untuk meningkatan dukungan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah, berdasarkan sumber Perda

14

%$33(1$6 ³Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi´BAPPENAS, 17 Oktober 2011.

Diaskses pada tanggal 6 Desember 2011. http://www.bps.go.id/.pdf 15

Wibowo Rianto, Identifikasi Faktor Kegagalan Relokasi Pedangang Kaki Lima :Studi Kasus Kawasan Pedagang Kaki Lima di Jl. Arjuna, Kota Bandung, Bandung: Tesis, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, UNICOM, 2006, h: 18. Diakses pada tanggal 15 April 2012. jbptunikompp-gdl-s1-2006-wiboworian-3467-bab-2.doc


(20)

7

No 1 tahun 2008 tentang rencana pembangunan jangka menengah daerah tahun 2007-2012:

Indikator yang akan dicapai antara lain, Ditetapkannya strategi penanganan Pedagang Kaki Lima di Jakarta (registrasi, jadwal, mutasi, dan penertiban), Tertatanya para pedagang kaki lima, Meningkatnya akses pedagang kaki lima terhadap sumber modal; dan Meningkatnya inovasi bagi pedagang kaki lima, Mudahnya akses KUKM dan USIT untuk memperoleh akses untuk mendapatkan pinjaman modal dan akses ke pasar lokal atau regional, dan Tersusunnya strategi dan action plan penataan pedagang kaki lima atau USIT untuk lima tahun ke depan (Jakarta Go. Id. 2010: 1).16

Serta, untuk mengatur dan memberdayakan komunitas pedagang kaki lima, Pemerintah membuat Undang-undang untuk mengatur dan memberi kesempatan berusaha bagi pedagang kaki lima yaitu UUD 45 nomor 20 tahun 2008 Pasal 13, yang isinya sebagai berikut:

1. Menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya.

2. Menetapkan alokasi waktu berusaha untuk Usaha Mikro dan Kecil di subsektor perdagangan retail.

3. Mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta mempunyai warisan budaya yang bersifat khusus dan turun-temurun;

4. Menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta bidang usaha yang terbuka untuk Usaha

16

Situs Resmi Pemerintah Provinsi, ³Program Kerja´, Jakarta. Gi. Id, 11 Januari 2010. Diakses pada tanggal 24 November 2011. www. Jakarta. go. id.


(21)

8

Besar dengan syarat harus bekerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

5. Melindungi usaha tertentu yang strategis untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

6. Mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh Usaha Mikro dan Kecil melalui pengadaan secara langsung

7. Memprioritaskan pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.17

Sampai saat ini, program kerja PEMPROV dan undang-undang nomor 20 tahun 2008 Pasal 13 belum terealisasikan secara sempurna, sehingga masih banyak komunitas pedagang kaki lima yang mengalami hambatan untuk melakukan aktifitasnya, bahkan tidak dapat menjalankan usahanya dan banyak mengalami kekerasan dari komunitas pedagang lain dan perangkat daerah yaitu Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) di waktu berlangsungnya penertiban.

Dalam memasarkan barang dagangannya, pedagang kaki lima kerap beraktivitas di tempat keramaian yang dianggap dapat memberikan keuntungan bagi mereka, seperti di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur yang mempunyai luas ± 141.000 m2, dan merupakan pintu masuk ke DKI Jakarta. Situasi di terminal tersebut, selalu dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima untuk di jadikan lokasi usaha mereka. Keberadaan

17

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008, Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.


(22)

9

pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur masih banyak yang menggunakan tempat umum atau ruang publik dalam melakukan aktifitasnya, seperti di pinggir jalan, trotoar, emperan pertokoan, jalur alat transportasi, dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di kota jakarta, padahal tanpa disadari kegiatan perdagangan mereka menggangu keamanan dan ketertiban umum.

Dalam menangani permasalahan tersebut, Dinas Perhubungan (DISHUB) membentuk Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, untuk mengelola terminal, dan menyediakan tempat relokasi kepada pedagang kaki lima yang bisa diajak kerja sama baik dari segi administrasi dan hak kewajiban mereka, dengan memberikan fasilitas atau tempat untuk mereka berdagang di jalur keluar terminal Kp. Rambutan Jakarta Timur. Relokasi yang dilakukan oleh DISHUB adalah kebijakan yang baik untuk keberadaan pedagang kaki lima, meskipun kebijakan ini belum berjalan dengan efektif dikarenakan masih ada faktor penghambat untuk menjalankan kebijakan tersebut.

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka penulis tertarik mengangkat judul ³3HUDQUnit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI

Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung


(23)

10

B. Rumusan Permasalahan

Pemanfaatan lokasi publik atau ruang kota yang dilarang pemerintah oleh pedagang kaki lima merupakan hasil dari ketimpangan sosial, akibat dari sulitnya seseorang mencari pekerjaan di DKI Jakarta, dan kurangnya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun instansinya, serta penyediaan lokasi resmi yang minim untuk pedagang kaki lima. Ini adalah pekerjaan rumah pemerintah untuk menciptakan peluang pekerjaan bagi masyarakat, sedangkan kaitanya dengan pedagang kaki lima khususnya di terminal Kampung Rambutan adalah, Pemerintah Kota Jakarta Timur, beserta instansinya, harus memberikan lokasi aman dan resmi, serta membina mereka. Karena sektor informal ini akan terus berkembang dan jumlahnya akan semakin meningkat selama dalam proses pembangunnya tidak mengalami perkembangan.18

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka peneltian ini akan menjawab pertanyaan yang akan di teliti, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana peran dan kebijakan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ?

2. Bagaimana kendala yang ditemukan dalam relokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur ?

18


(24)

11

3. Bagaimana respon pedagang kaki lima terhadap kebijakan-kebijakan relokasi ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penilitian ini adalah:

a. Untuk mengkaji peran dan kebijakan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta terhadap pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. b. Untuk mengidentifikasi penghambat program relokasi

pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur.

c. Untuk mempelajari respon pedagang yang ada di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur terhadap kebijakan-kebijakan relokasi

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

a. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai peran Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dalam menjalankan kebijakan publik khususnya terhadap pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur.


(25)

12

b. Secara praktis, memberikan masukan bagi pembaca, umumnya masyarakat luas, dan khususnya bagi pedagang kaki lima luas agar lebih memahami tentang kebijakan Pemerintah dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, serta mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi antara pedagang kaki lima dan pemerintah.

E. Literatur Review

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah membaca beberapa penelitian yang terkait dengan masalah pedagang kaki lima, diantaranya adalah: Satu

,

penelitian .XQWR +DPLGMR\R \DQJ EHUMXGXO ³Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan, Penataan,

Pembinaan, dan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Surakarta (Studi Kasus

di Kecamatan Lawetan)´.19 Penelitian ini disusun bertujuan menganalisis

implementasi kebijakan kota Surakarta yang tertuang dalam PERDA nomor 8 tahun 1995 tentang penataan, pembangunan pedagang kaki lima, yang menyangkut kebersihan, ketertiban, kenamanan, keindahan, dan kesehatan dilingkungan kota di wilayah Laweyan Surakarta. Metodologi yang digunakan yaitu pendekatan kausal yang berkaitan dengan sebab-akibat, serta uji hipotesis. Hasil penelitian yang di peroleh adalah adanya

19

Kunto Hamidjoyo, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan, Penataan, Pembinaan, Dan Penertiban Pedagang Kaki Lima Di Surakarta: Studi Kasus Di Kecamatan Lawet., UNDIP, Diakses pada tanggal 14 februari 2012. ejournal.undip.ac.id/index.php/dialogue/article/download/466/346


(26)

13

keberhasilan PERDA nomor 8 tahun 1995 dalam memberdayakan pedagang kaki lima di Surakarta, dengan menggunakan uji hipotesis.

Dua, penelitian :DQGD /LVWLDQL ³Pedagang Kaki Lima dan Lapangan

Pekerjaan di Jawa Barat Tahun 2008´20 Penelitan ini menunjukkan bahwa

tidak ada keberhasilan dari kebijakan dan program pemerintah daerah Jawa Barat dalam mengembangkan pedagang kaki lima terkait dengan berbagai hal, seperti: Satu, pendekatan pemerintah daerah yang masih bersifat

´supply-side´ RULHQWHG SHQJDWXUDQ SHQDWDDQ GDQ EDQWXDQ WHUKDGDS

pedagang kaki lima dilakukan tanpa melakukan komunikasi dan kerjasama dengan pedagang kaki lima sendiri). Dua, pelaksanaan kebijakan atau program bagi pedagang kaki lima syarat dengan keterlibatan berbagai aparat

´SHPELQD´. Tiga, penertiban dan pengendalian pedagang kaki lima lebih didasari pada keterlibatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan proyek dari pada semangat membangun sektor informal sebagai salah satu basis perekonomian rakyat.

Relevansi kedua kajian pustaka ini terhadap penelitian yang akan di susun penulis adalah, memberikan gambaran akan strategi pemerintah dan lembaga sosial mengenai menanggulangi pedagang kaki lima. Adapun perbedaan yang dilakukan penulis dari penelitian di atas diantaranya: Satu, lokasi penelitian. Dari kedua Penelitian di atas, melakukan penelitiannya di Jawa Barat (JABAR), dan di wilayah Laweyan kota Surakarta, sedangkan

20

Wanda listiliani. ³3HGDJDQJ .DNL /LPD GDQ /DSDQJDQ .HUMD -$%$5´Akatiga. 2011.

Diakses pada tanggal 20 Desember 2011.

www_akatiga_org_index_php_artikeldanopini_usahakecil_72pkldanlapkerja_tmpl_component.pdf ..


(27)

14

penulis melakukan penelitian di Teminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Dua, fokus penelitian. Penelitian Kunto Hamidjoyo, menganalisis implementasi kebijakan kota Surakarta yang tertuang dalam PERDA nomor 8 tahun 1995. Penelitian Wanda Listiani, menganalisis implikasi kebijakan pemerintah Jawa Barat. Penelitian yang disusun penulis, bermaksud untuk mengetahui kebijakan Unit pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta yang merupakan Sub Dinas dari Dinas Perhubungan Jakarta Timur dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Selain itu, ingin mengetahui implikasi kebijakan tersebut.

F. Kerangka Konseptual

Dengan adanya modernisasi di pedesaan yang belum terealisasikan secara sempurna atau belum membantu perkembangan di pedesaan, di satu sisi telah merugikan masyarakat pedesaan dan menimbulkan dampak negatif, seperti masih banyak penduduk miskin, para petani dan buruh tani kehilangan lahan garapannya atau pekerjaan, sehingga penduduk pedesaan mencari alternatif pekerjaan ke tempat lain seperti perkotaan. Perkembangan kota-kota besar di Indonesia saat ini masih minim dari segala hal yang dapat menunjang perkembangan kota seperti luas wilayah, dana, sumber daya manusia (SDM) yang ahli, sehingga banyak kota-kota tidak bisa menanggulangi masalah urbanisasi.


(28)

15

Untuk memenuhi kebutuhan setiap individu atau masyarakat berusaha memenuhinya baik dengan cara bekerja di sektor formal maupun menciptakan lapangan pekerjaan, namun saat ini banyak kota-kota besar dan sektor modern dalam menyerap tenaga kerja sangat minim, sehingga mendorong mereka melakukan kegiatan perekonomian disektor informal yaitu menjadi pedagang kaki lima sebagai alternatif.

Dalam menangani keberadaan pedagang kaki lima di terminal DKI Jakarta, Dinas Perhubungan (DISHUB) membentuk Unit pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta untuk mengelola terminal dan memberikan kesempatan untuk pedagang kaki lima melakukan kegiatan usaha di setiap terminal tersebut termasuk terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur.

Untuk melihat bagaimana proses penanganan pedagang kaki lima yang dilakukan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta di terminal, dapat dilihat diagram alur pikir pada gambar sebagai berikut:

Usaha Preventif: 1. di alokasikan

2. dan memberikan Perizinan usaha

Usaha Represif: 1. Razia

2. pembongkaran dan penertiban

DISHUB Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta

Pedagang Kaki Lima Kepengurusan Terminal


(29)

16

G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk mengetahui peran Unit Pengelola Angkutan Jalan DKI Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, maka metode yang digunakan adalah dengan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. Pada prinsipnya dengan metode deskriptif yaitu, pengumpulan data-data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka. Dengan demikian laporan penelitian ini berupa kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.21

Jadi penelitian kualitatif deskriptif digunakan penulis untuk menyusun gambaran mengenai objek yang diteliti, dengan terlebih dahulu peneliti mengumpulkan data-data berupa kata-kata baik tertulis maupun lisan dari instansi pemerintah, yaitu Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, serta para pedagang resmi dan tidak resmi (liar) yang berada di Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, berdasarkan situasi dan kondisi. Kemudian, data tersebut diolah dan diartikan untuk dianalisa dari data yang telah disajikan.

Kemudian, penelitian ini menggunakan Pendekatan fenomenologis. Fenomenologi kadang-kadang digunakan sebagai perspektif filosofi dan

21

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aplikasi Untuk Penelitian Pendidikan, Hukum,Ekonomi & Management, Sosial, Humaniora, Politik, Agama, Dan Filsafat (Jakarta: GP, Press 2009), h:11


(30)

17

juga digunakan sebagai pendekatan dalam metodologi kualitatif.22 Fenomenologis dapat lebih peka menangkap fakta sosial dalam masyarakat karena meletakkan objek studi dalam kerangka yang natural, dan fenomenologis lebih menekankan pada aspek subjektif dari perilaku orang.23

Pendekatan fenomenologis digunakan penulis untuk mengetahui dan berusaha mengungkapkan peranan dalam aktivitas sosial, dalam arti untuk mengungkapkan bagaimana peran Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan DKI Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima di terminal kampung rambutan Jakarta Timur.24 Dengan demikian, penelitian ini dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif deskriptif dan pendekatan fenomenologis, diharapkan dapat mengungkapkan gambaran mengenai peran Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan DKI Jakarta, dalam menjalankan program relokasi terhadap pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur yang sebenarnya.

2. Metode Pengumpulan Data a. Observasi

Observasi yaitu upaya mendapatkan informasi dengan cara mengamati, mencari bukti terhadap fenomena di lingkungan penelitian, yaitu Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dan pedagang kaki lima yang resmi dan tidak resmi (liar) di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur. Tehnik yang digunakan dalam observasi yaitu

22

Lexy Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya 2004), h: 14.

23

Lexy Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h: 89. 24

Engkus Kuswarno, Penelitian Fenomenologi Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya: Fenomena Pengemis Kota Bandung (Bandung: Widya Padjajaran 2009), h: 35


(31)

18

dengan cara mencatat, merekam dan mendokumentasikan fenomena yang ada di lingkungan tersebut guna mendapatkan keabsahan. Dalam penelitian observasi dilakukan secara nonpartisipan, artinya penulis tidak ikut terjun kedunia atau aktivitas informan tetapi hanya mengamati perilaku mereka tanpa harus mengganggu kehadiran saya (penulis).25

b. Wawancara (Interview)

Wawancara suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara dengan informan. Pada proses wawancara ini pertanyaan yang diajukan tidak berstruktur, dan dalam suasana bebas,26 dengan mengutamakan rekaman dan transkrip data verbatim (kata per kata), serta mengunakan pedoman wawancara dari susunan pertanyaan yang kaku atau tidak fleksible.

Informan yang akan di wawancarai adalah, 3 dari petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta, diantaranya: Satu, AA yang profesinya sebagai Kepala Terminal Dalam Kota. Dua, C yang berprofesi sebagai staff Tata Usaha (TU) di terminal antar kota. Tiga, WW yang profesinya sebagai Kepala Subbag Tata Usaha Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta. Informan selanjutnya 2 dari pedagang resmi di terminal kampung rambutan, yaitu H pengelola rumah makan di tempat relokasi yaitu di jalur keluar terminal, dan L pedagang makanan dan

25

Engkus Kuswarno, Penelitian Fenomenologi Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya: Fenomena Pengemis Kota Bandung, h: 133

26

Engkus Kuswarno, Penelitian Fenomenologi Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya: Fenomena Pengemis Kota Bandung, h: 133


(32)

19

minuman di terminal antar kota. Kemudian, 2 dari pedagang tidak resmi (liar) yang berjualan di wilayah terminal antar kota yaitu: Satu, D pedagang mie rebus, nasi goreng, dan kopi. Dua, S pedagang es. Kemudian, 2 dari pedagang liar yang ada di terminal dalam kota yaitu: Satu, E pedagang buah-buahan. Dua, N pedagang aneka buah-buahan. Selanjutnya, satu dari masyarakat yaitu K, pensiunan pegawai kepengurusan terminal tahun 2001 dan profesinya sekarang sebagai koordinasi para pedagang yang berada di jalur keluar terminal (yang merupakan tempat relokasi).

3. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini melibatkan 10 subjek, diantaranya: 3 dari pihak Dinas Perhubungan (DISHUB) Jakarta, dan 6 dari pedagang yang ada di terminal kampung rambutan Jakarta Timur, serta 1 dari masyarakat. Alasan pengambilan subjek penelitian tersebut, karena subjek tersebut secara langsung yang terlibat atau pelaku dalam pelaksana relokasi, serta para pedagang.

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di 2 tempat, yaitu: Satu, di Unit Pengelola Terminal Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta yang merupakan Sub Dinas dari Dinas Perhubungan Jakarta yang lokasinya di daerah Rawamangun Jakarta Timur. Alasan dipilihnya lokasi di Unit ini karena, merupakan pelaksana atau aktor yang melakukan relokasi atau penyedia tempat dan perizinan bagi para pedagang kaki lima di terminal kampung rambutan Jakarta Timur.


(33)

20

Dua, di jalur keluar terminal bus terminal Kampung Rambutan

Jakarta Timur. Dipilihnya lokasi tersebut dalam penelitian ini, didasarkan beberapa alasan, yaitu:

a. Merupakan lokasi terkonsentrasinya sebagian besar pedagang kaki lima.

b. Merupakan daerah yang ramai akan aktivitas dan pengunjung, serta alat transportasi.

c. Di wilayah tersebut terdapat tempat relokasi untuk para pedagang kaki lima.

Orientasi wilayah studi dapat dilihat pada Gambar sebagai berikut :

Sumber di atas: Hasil Observasi Pada Tanggal 27 Maret 2012. jalur keluar terminal bus

terminal antar kota terminal dalam kota


(34)

21

5. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang dibutuhkan penulis dalam mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian, terhitung tujuh bulan, mulai dari bulan Desember 2011 sampai bulan Juni 2012.

6. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dari penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder:

a. Data primer, yaitu: data yang dihasilkan dari wawancara dengan informan dan observasi secara langsung di lapangan, data-data yang dihasilkan di tulis kembali ke dalam bentuk traskrip, kemudian peneliti tabulasikan dengan cara melihat point-point yang mendukung untuk analisis data.

b. Data Sekunder, yaitu: data-data yang diperoleh dari perantara seperti buku-buku, laporan, artikel, dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah

.

7. Analisis Data

Dalam menganalisa data penulis menggunakan metode deskriptif analisis dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari fenomena keberadaan pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, dan mengamati langkah-langkah pemerintah kota dalam merelokasi keberadaan pedagang kaki lima. Kemudian, penulis melakukan serangkaian prosedur pemecahan masalah dengan memberikan atau uraian atas suatu


(35)

22

keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap subjek yang diteliti.27

H. Sistematika Penulisan

Meninjau pokok-pokok masalah penelitian, serta metode-metode analisis di atas, maka skripsi ini terdiri dari lima bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Secara sistematis, bab-bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini berisikan tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, literatur review, kerangka konseptual, metodologi penelitian, dansistematika penulisan

BAB II KERANGKA TEORI: Bab ini meliputi tentang, pengertian peran, pengertian relokasi, jenis-jenis lokasi, bentuk-bentuk relokasi, strategi relokasi, definisi pedagang kaki lima, karekteristik pedagang kaki lima, jenis dagangan pedagang kaki lima, bentuk sarana pedagang kaki lima, teori fungsional struktural Talcott Parsons, teoti taraf menengah Robert K. Merton, teori konflik Ralf Dahrendorf, dan resistensi.

27


(36)

23

BAB III GAMBARAN UMUM UNIT PENGELOLA TERMINAL ANGKUTAN JALAN PROVINSI DKI JAKARTA DAN PEDAGANG KAKI LIMA DI TERMINAL KAMPUNG RAMBUTAN JAKARTA TIMUR: Menjelaskan tentang karakteristik lokasi penelitian, subjek dan fokus penelitian.

BAB IV ANALISIS: Bab empat merupakan analisa hasil penelitian, yang berupa gambaran peran dan kebijakan Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta dalam merelokasi pedagang kaki lima lima di terminal kampung Rambutan Jakarta Timur, faktor penghambat relokasi pedagang Kaki Lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur, dan respon pedagang kaki lima di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur terhadap kebijakan-kebijakan relokasi.

BAB V PENUTUP:Berisi kesimpulan dan rekomendasi dari peneliti. Pada bagian akhir disertai dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(37)

24 BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengertian Peran

Menurut Soejono Sukamto, peran mencakup tiga hal yaitu: Pertama, peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Kedua, peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Ketiga, peranan dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.1 Sedangkan menurut Talcott Parson,

³SHUDQ DGDODK DSD \DQJ GLODNXNDQ DNWRU GDODP SRVLVLQ\D LWX GLOLKDW GDUL GDODP NRQWHNV VLJQLILNDQ VLIXQJVLRQDOQ\D XQWXN VLVWHP \DQJ OHELK OXDV´2

Keberadaan aktor menurut George Ritzer et al ³XQWXN PHQJDEGL NHSDGD NHSHQWLQJDQVLVWHP´3

Lebih jelas lagi kaitannya dengan sosiologi, Gross et al, mendefiniskan

SHUDQVHEDJDL³VHSHUDQJNDWKDUDSDQ-harapan yang dikenakan pada individu

\DQJ PHQHPSDWL NHGXGXNDQ VRVLDO WHUWHQWX´4 Lebih lanjut David Berry menjelaskan bahwa, dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu:

Pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau

1

Soejono Sukamto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2006), h: 244

2

George ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media Group 2007), h: 124

3

George ritzer & Douglas J. Goodman, Teori sosiologi Modern, h: 125 4

David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2003), h: 105-106


(38)

25

kewajiban-kewajiban dari pemegang peran. Kedua, harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajibannya.5

Dengan demikian, peran merupakan suatu tindakan berdasarkan posisi yang ditempati, dan dalam di setiap tindakannya dituntut untuk memberikan manfaat bagi masyarakat dan memenuhi keinginan masyarakat.6 Menurut

-DPHV ( $QGHUVRQ ³WLQGDNDQ PHUXSDNDQ NHELMDNDQ \DQJ GLVXVXQ ROHK

pemerintah yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu dan tujuan tersebut untuk kepentingaQ PDV\DUDNDW´7 Kebijakan merupakan keputusan pemerintah dan juga sebagai sebuah program.8 Kaitanya dengan peran Unit Pengelola Angkutan Jalan Provinsi DKI Jakarta, diharapkan dari setiap tindakannya melalui kebijakannya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, sedangkan untuk para pedagang dapat memberikan peluang untuk melakukan kegiatan usahanya.

5

David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h: 107 6

David Berry, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi, h: 106 7

Tri Widodo W. Utomo, SH. MA, Analisis kebijakan Publik, Samarinda: Program Megister Ilmu Hukum, Universitas Widya Gama Mahakam 2009, h: 5. Diakses pada 25 Februari 2012. http://s3.amazonaws.com/ppt-download/kebijakanpublik-090608040451-phpapp02

8


(39)

26 B. Relokasi

1. Definisi Relokasi

Berdasarkan kamus besar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, relokasi diartikan dengan perpindahan atau pemindahan lokasi, baik suatu industri ataupun tempat berdagang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan alasan-DODVDQ WHUWHQWX´.9 6HGDQJNDQ PHQXUXW +DULDQWR ³XSD\D

menempatkan kembali suatu kegiatan tertentu ke lahan yang sesuai dengan

SHUXQWXNDQQ\D´10 Dengan demikian, relokasi pedagang kaki lima yaitu mengalokasikan atau menempatkan para pedagang ke lokasi yang telah ditentukan yang dianggap strategis untuk tercapainya tata kota yang kondusif dan tertib.11

2. Jenis-jenis Lokasi

Setelah disahkannya Peraturan Daerah tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2011- 2030 pada tanggal 24 Agustus 2011, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghimbau untuk mensosialisasikan dan merealisasikan PERDA tersebut kepada seluruh elemen masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai

9

Mamfaluthy al-fuadhil ma'az, Dampak Kebijakan Relokasi Terhadap Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima Menurut Perspektif Islam: Studi Kasus Di Banda Aceh, Peunebah, 21 Juni 2011. Diakses pada tanggal 2 Februari 2012. http://peunebah.blogspot.com/2011/06/dampak-kebijakan-relokasi-terhadap.html

10

Wibowo Rianto, Identifikasi Faktor Kegagalan Relokasi Pedangang Kaki Lima :Studi Kasus Kawasan Pedagang Kaki Lima di Jl. Arjuna, Kota Bandung, Bandung: Tesis, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, UNICOM, 2006, h: 19. Diakses pada tanggal 15 April 2012. jbptunikompp-gdl-s1-2006-wiboworian-3467-bab-2.doc

11

Wibowo Rianto, Identifikasi Faktor Kegagalan Relokasi Pedangang Kaki Lima :Studi Kasus Kawasan Pedagang Kaki Lima di Jl. Arjuna, Kota Bandung, h: 19.


(40)

27

pihak lainnya untuk menciptakan tata ruang kota menjadi kondusif, dan pembangunan yang fungsional atau bermanfaat sebagaimana fungsinya, serta meminimalisir pelanggaran seperti pemanfaatan lahan. Dalam PERDA tersebut, juga mengatur tentang keberadaan sektor informal, dengan menyediakan ruang untuk sektor informal seperti pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah.12 Untuk merealisasikan PERDA tersebut, pemerintah telah menyediakan lokasi untuk para pedagang dan mengelompokannya menjadi 6 jenis lokasi, hal ini berdasrkan Peraturan Gubernur nomor 33 tahun 2010. Lokasi-lokasi tersebut diantaranya: Satu, Lokasi Binaan. Lokasi tersebut merupakan sarana dan fasilitas usaha yang terdiri dari lahan tempat usaha terbuka, setengah tertutup atau tertutup yang dilengkapi dengan WC umum, listrik, tempat sampah dan papan nama lokasi. Dua, Lokasi Sementara. Yaitu, sarana dan fasilitas usaha yang terdiri dari tempat usaha terbuka, setengah terbuka atau tertutup, listrik, tempat sampah dan papan nama lokasi. Tiga, Lokasi Usaha Pedagang Tanaman Hias dan Batu Alam. lokasi untuk sarana dan fasilitas lokasi usaha pedagang tanaman hias dan batu alam yang terdiri dari tempat usaha terbuka, air, listrik, tempat sampah dan papan nama lokasi. Empat, Lokasi Pujasera UKM. Yaitu, Sarana dan fasilitas usaha yang terdiri dari tempat usaha setengah terbuka, terbuka dengan fasilitas listrik, air dan penampungan sampah. Lima, Lokasi Terjadwal Usaha Mikro Pedagang Kaki Lima. Lokasi terjadwal usaha mikro pedagang kaki lima terdiri dari tempat usaha terbuka, listrik dan

12

Lenny, ed., ³PERDA RTRW 2030 Disahkan´Berita Jakarta, 25 Agustus 2011, h: 2. Diakses pada tanggal 16 Maret 2012. www.jakarta.go.id/web/news/2011/.../Perda-RTRW-2030-Disahkan


(41)

28

penampungan sampah. Enam, Lokasi Terkendali Usaha Mikro Pedagang Kaki lima. terdiri dari tempat usaha terbuka, setengah terbuka, tertutup, WC umum, listrik, tempat sampah dan papan nama lokasi. 13

3. Bentuk-bentuk Relokasi

Dalam prakteknya, terdapat 2 macam bentuk relokasi yang berdasarkan sifatnya, yaitu relokasi mandiri dan relokasi paksaan. Relokasi mandiri, dapat terjadi apabila seseorang atau kelompok merelokasi ketempat pilihan mereka sendiri berdasarkan pertimbangan faktor ekonomi. Kemudian, menurut menteri sosial periode 2005 Bakhtiar Chamsjah, terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya relokasi paksaan yaitu: Pertama, relokasi yang dilakukan secara dogmatis. Bentuk relokasi ini hanya untuk tercapainya suatu kepentingan satu pihak tanpa memberikan ruang pada pihak lain, contoh demi terciptanya lingkungan kota yang indah dengan membangun taman dan lain-lain. Kedua, relokasi ekslusif atau non partisipatif. Bentuk relokasi ini untuk kepentingan sepihak sehingga tidak sampai atau tidak tepat sasaran. Ketiga, relokasi buta terhadap nilai dan etika. Bentuk relokasi ini, dalam memindahkan para pedagang ke tempat relokasi dengan menggunakan kekerasan dan paksaan (Represif).14

13

Situs Resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, diakses pada tanggal 16 Maret 2012. http://www.jakarta.go.id/jakv1/item/halaman/0/0/3487/1/6/2/44/3/6/4/44/5/294/nid/3487

14

Disti Ayu Kusuma, Efiktivitas Relokasi Pedagang Kaki Lima Di Resto PKL Restoran Mrican, Kecamatan Depok Kabupaten Sleman, Skripsi: Yogyakarta, Universitasa Gajah Mada, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Tekhnik, , 2010, h: 30-31. Diakses tanggal 5 februari 2012. www.4shared.com/office/.../tugas_akhir_-_efektivitas_relo.html


(42)

29

4. Strategi Relokasi Pedagang Kaki Lima

Dalam merelokasi pedagang kaki lima harus memperhatikan setiap aspek dari pedagang kaki lima khususnya kebutuhan dan keinginan mereka, dan relokasi tidak hanya untuk kepentingan semata seperti tujuan demi menciptakan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman di kota, akan tetapi dalam menyediakan lokasi di usahakan strategis dan efektif supaya para pedagang tidak kembali menimbulkan masalah bagi kota. Dengan demikian, strategi relokasi yang efektif dan harus dipertimbangkan. Menurut Ramdhani terdapat 4 strategi, yaitu: Pertama, Kestrategian Lokasi. Hal ini dijalankan supaya konsumen lebih mudah menjangkau lokasi usaha pedagang kaki lima. Kedua, Faktor Visual. Yaitu, memberikan kesan nyaman, aman, indah, dan asri, supaya menarik minat konsumen. Ketiga, Hirarki Pembangunan. Dalam pembangunannya diusahakan dapat memberikan pelayanan yang efektif dan efisien. Keempat, biaya sewa atau penjualan tanah maupun kios dengan harga yang murah sehingga dapat yang terjangkau oleh pedagang. Selanjutnya, Apriyanto memberikan tambahan bahwa lokasi untuk relokasi PKL harus strategis dan dapat memenuhi kebutuhan konsumen, mempunyai akses masuk ke dalam pasar yang memadai, minimal 2 jalan untuk akses masuk dan akses keluar, dekat dengan ruang publik seperti terminal atau stasiun kereta, dan prasarana dan


(43)

30

sarana pendukung untuk para pedagang kaki lima, seperti listrik, MCK (WC umum), air bersih, dan tempat pembuangan sampah. 15

C. Pedagang Kaki Lima

1. Definisi pedagang kaki lima

Mc. Gee dan Yeung mendefinisikan pedagang kaki lima sebagai

³VHNHORPSRN RUDQJ \DQJmenawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar´.16 Menurut Ari Susilo Budi, pedagang kaki lima adalah:

Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa dengan melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil atau terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal.17

Kemudian, berdasarkan PERDA Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2002, mendefinisikan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya

15

Wibowo Rianto, Pedagang Kaki Lima di Jl. Arjuna, Kota Bandung, Bandung: Tesis, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, UNICOM, 2006, h: 19. Diakses pada tanggal 15 April 2012. jbptunikompp-gdl-s1-2006-wiboworian-3467-bab-2.doc

16

Ari Susilo Budi, Kajian Karakteristik Berlokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta persepsi Masyarakat Sekitar di Kota Pemalang, Semarang: Tesisi, Jurusan Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Kota, Universitas Diponegoro, 2006, h: 34. Diakses pada tanggal 25 November 2011 dari www. Eprints.undip.ac.id.

17

Ari Susilo Budi, Kajian Karakteristik Berlokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta persepsi Masyarakat Sekitar di Kota Pemalang, h: 35.


(44)

31

memakai tempat-tempat atau fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.18 Sedangkan menurut PERDA Provinsi DKI Jakarta nomor 8 Tahun 2007, mendefinisikan pedagang kaki lima adalah seseorang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang menempati tempat-tempat prasarana kota dan fasilitas umum baik yang mendapat izin dari pemerintah daerah maupun yang tidak mendapat izin pemerintah daerah antara lain badan jalan, trotoar, saluran air, jalur hijau, taman, bawah jembatan, jembatan penyeberangan.19 Dari beberapa definisi diatas, maka pedagang kaki lima merupakan individu atau kelompok yang mayoritas melakukan suatu kegiatan usahanya dengan ilegal atau tidak diakui pemerintah karena melanggar hukum.20

Menurut Firdausy, para pelaku kegiatan perekonomian ini (Pedagang Kaki Lima) sebagian besar pelaku berpendidikan rendah, dan kerap berlokasi ditempat yang padat lalu lintas karena kurang memperhatikan lingkungan.21 Dengan demikian, Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan oleh pedagang kaki lima baik secara sengaja maupun tidak di sengaja dikarenakan faktor pengetahuan yang rendah dan ketidaktahuan

18

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No 2 tahun 2002 ³Perpasaran Swasta di DKI Jakarta´, h: 8.

19

3HUDWXUDQ'DHUDK3URYLQVL'.,-DNDUWD1RWDKXQ³Ketertiban Umum´, h: 4. 20

Wibowo Rianto, Pedagang Kaki Lima di Jl. Arjuna, Kota Bandung, Bandung: Tesis, UNICOM, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, 2006, h: 16. Diakses pada tanggal 15 April 2012. jbptunikompp-gdl-s1-2006-wiboworian-3467-bab-2.doc

21

Tumpal Hasiholan Agustinus, Strategi Penanganan pedagang Kaki Lima, Jakarta: Tesis, Fakultas ekonomi, Universitas Indinesia, 2010, h: 15. Diakses tanggal 5 Februari 2012. www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131333-T%2027614...pdf.


(45)

32

akan hukum yang berlaku sehingga pemanfaatan ruang publik kerap dilakukan.

2. Ciri-ciri Pedagang Kaki Lima

Sejalan dengan hal di atas, Kartono memberikan ciri-ciri umum pedagang kaki lima sebagai berikut: Satu, merupakan individu atau kelompok dalam melakukan kegiatan usahanya merangkap sebagai pedagang dan produsen. Dua, keberadaannya ada yang permanen atau menetap di lokasi, dan ada yang berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain. Tiga, jenis barang dagangannya berupa makanan dan minuman yang awet atau tahan lama, serta dalam memasarkan dagangannya bersifat satuan.

Empat, pada umumnya bermodalkan dan berpenghasilan minim. Lima,

kualitas barang yang di pasarkan rendah dan kadang tidak bermutu. Enam, pendapatan dan pengeluaran uang dalam kegiatan usaha tidak banyak, dan para konsumennya mayoritas yang daya belinya rendah. Tujuh, usaha skala kecil dapat berupa Familly Enterprise. dimana anggota keluarga ikut serta untuk membantu dalam usaha tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Delapan, adanya kegiatan tawar-menawar antar penjual dan pembeli. Sembilan, adanya variasi jam kerja. Dalam menjalankan Kegiatan usanya, para pedagang ada yang secara penuh, ada juga secara musiman.

Sepuluh, barang-barang yang dijual biasanya Convenience Goods jarang

sekali Specialy Goods. Sebelas, berada dalam suasana psikologis tidak tenang diliputi rasa takut. ini dikarena ketakutan para pedagang akan


(46)

33

keberadaan mereka yang melanggar hukum sehingga cemas akan adanya tim penertiban. 22

3. Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima

Mengutip pemikiran Mc. Gee dan Yeung yang menyatakan bahwa, Jenis barang dagangan yang akan dipasarkan para pedagang kaki lima bisa ditentukan oleh lingkungan sekitar atau kebutuhan dan permintaan dari masyarakat setempat. Dengan demikian, jenis barang dagangan yang ditawarkan pedagang kaki lima bermacam-macam bentuknya. Untuk lebih jelasnya lagi, Mc. Gee dan Yeung mengelompokan jenis dagangan yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima dimenjadi 4 kelompok, yaitu: Pertama, makanan yang belum diproses atau barang mentah seperti daging, buah-buahan, dan sayuran. Kedua, makanan siap saji atau instan, seperti nasi beserta lauk-pauknya, dan minuman. Ketiga, barang matrial dan kesehatan, seperti tekstil dan obat-obatan. Keempat, jasa. Yang terdiri dari beragam aktivitas, seperti tukang cukur rambut, bengkel, tukang servis elektronik, warung telepon, dan counter handphone.23

22

Zakik, ³Analisis Strategi dan Kebijakan Penanganan Pedagang Kaki Lima Di Kota Surabaya,´ PDII, Semarang: Tesis, Jurusan Ekonomi, Universitas Unijoyo, 2006, h: 96. Diakses pada tanggal 3 Februari 2012. Jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/120692119.pdf

23

Ari Susilo Budi, Kajian Karakteristik Berlokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta Persepsi Masyarakat Sekitar di Kota Pemalang, Semarang: Tesis, Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, 2006, h: 35. Diakses pada tanggal 25 November 2011 dari www. Eprints.undip.ac.id.


(47)

34

4. Bentuk Sarana Pedagang Kaki Lima

Dalam memasarkan atau menjual barang dagangannya, para pedagang kaki lima mengunakan bermacam-macam sarana untuk mendukung kegiatan perekonomiannya berdasarkan jenis barang dagangannya. Adapun bentuk sarana yang digunakan para pedagang kaki lima menurut Waworoentoe, yaitu sebagai berikut: Satu, gerobak atau kereta dorong. Bentuk sarana tersebut dikategorikan dalam bentuk aktivitas pedagang kaki lima yang permanen (Static) atau menetap (mangkal) di lokasi, dan juga bisa di sebut pedagang semi permanen (Semi Static) berpindah-pindah atau menetap hanya sementara. Dua, pikulan atau keranjang. Bentuk sarana perdagangan ini di kategorikan semi permanen (Semi Static) dan sering digunakan oleh pedagang kaki lima keliling (Mobile Hawkers). Tiga, warung semi permanen. Bentuk sarana ini dikategorikan dalam bentuk aktivitas pedagang kaki lima permanen (Static), karena sarana yang menggunakan sarana bongkar dan pasang, serta dalam melakukan kegiatan perekonomiannya menetap di lokasi, bahkan sering juga berpindah-pindah. Sarana ini terdiri dari beberapa gerobak atau kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja. Empat, kios. Bentuk sarana pedagang kaki lima ini menggunakan papan, kayu, dan bahan-bahan material, yang di bentuk menyerupai sebuah bangunan semi permanen. Pedagang kaki lima ini dikategorikan sebagai pedagang permanen (Static) atau menetap bahkan sarana tersebut juga dijadikan tempat tinggal. Kelima, gelaran atau alas. Sarana ini berupa tikar, kain, dan papan untuk menjajakan


(48)

35

dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (Semi Static).24

D. Teori

1. Teori Fungsional Struktural

a. Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons

Dalam teori Fungsionalisme Struktural, masyarakat sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya saling berkaitan satu sama lain, dan tidak dapat berfungsi jika tidak adanya hubungan dengan yang lainnya. Menurut Talcott Parson, dalam setiap sistem masyarakat harus menjalankan setiap fungsi demi keberlangsungan hidupnya. Dalam fungsi tersebut terdapat 4 bentuk, yaitu sebagai berikut: Adaptasi (Adaptation), merupakan penyesuaian terhadap lingkungan yang ditempati dengan menggunakan sarana dan fasilitas yang dimiliki individu untuk dapat hidup dan eksis. Tujuan (Goal), dalam pencapaian tujuan, terdapat tiga persyaratan yaitu Satu, harus ada suatu tujuan. Dua, harus ada anggota atau tenaga yang dapat mencapai tujuan sehingga dapat menarik atau mengarahkan suatu individu baru untuk menggantikan lama. Tiga, harus ada kewaspadaan, ketelitian, keterbukaan dan kebijaksanaan berkenaan dengan kebutuhan sistem dan perubahan zaman. Integrasi (Integration), suatu individu atau kelompok masyarakat yang mengatur hubungan diantara komonen-komponennya berdasarkan peranan mereka. Pemeliharaan Pola-pola (Latency), merupakan

24

Ari Susilo Budi, Kajian Karakteristik Berlokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta persepsi Masyarakat Sekitar di Kota Pemalang, h: 36-37.


(49)

36

suatu tindakan yang mempertahankan pola atau nilai budaya yang sudah terbentuk dalam individu masyarakat. 25

Keempat fungsi tersebut, diterapkan pada semua sistem tindakan yaitu sebagai berikut: Satu, Sistem Organisme. Kesatuan yang paling dasar dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana manusia itu hidup. Dua, Sistem Kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti motivasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan. Tiga, Sistem Sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok, institusi, masyarakat, dan organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibitium (keseimbangan). Empat, Sistem Budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan religius, bahasa, dan nilai-nilai. 26

25

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 1993), h: 208.

26

Ferryroen, ³Talcott Parsons: Teori Struktur Fungsional´, Ferryroen, 30 Agustus 2011, h: 2. Diakses pada tanggal 14 April 2012 http://ferryroen.wordpress.com/tag/talcott-parsons-teori-struktur-fungsional/


(50)

37

Selanjutnya, sistem tindakan Talkott Parson terdapat 4 komponen skema tindakan, yaitu: Satu, pelaku atau aktor. Parson melihat aktor sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan. Dua, Tujuan (Goal). Tujuan yang dicapai harus sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Tiga, Situasi. Tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi (Prasarana dan Kondisi). Empat, Standar-standar Normatif: Skema ini sangat penting untuk mencapai tujuan, dalam pencapaian tujuan aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku di masyarakat. 27

b. Teori Fungsional Struktural Robert K. Merton

Robert K. Merton seorang fungsionalis yang menggunakan terminologi fungsionalisme taraf menengah, Teori ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton yang berorientasi pada kelas. Namun secara teoretis, Merton memiliki perspektif yang sama dengan sosiolog fungsionalisme.

Merton telah mengutip 3 postulat yang ia kutip dari analisa fungsional, diantaranya ialah: Pertama, kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini, Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan

27


(51)

38

karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.

Kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh

bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan. Ketiga, yaitu Indispensability. yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur, dalam artian tak memiliki kejelasan apakah suatu fungsi merupakan keharusan.28

Dalam teori fungsionalisme taraf menengah, Merton juga mencoba menjelaskan perilaku deviasi dengan membagi norma sosial menjadi 2 jenis yaitu: Satu, Tujuan Sosial (Sociate Goals). Dua, Sarana yang tersedia (Means). Dalam kontaks ini, Robert K. Merton mengemukakan 5 bentuk kemungkinan adaptasi yang dilakukan setiap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan (Goals) dan tata cara yang telah membudaya

28

Shvoong, ³Pokok-pokok Teori Struktur Fungsional´. Shvoong, 30 Juni 2011. h: 3. Diakses pada tanggal 20 April 2012. http://id.shvoong.com/law-and-politics/contemporary-theory/2180241-pokok-pokok-teori-struktural-fungsional/#ixzz1oRAim3fI


(52)

39

(Means), yaitu: Pertama, Konformitas (Conformity), yaitu suatu keadaan di

mana anggota masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat sebab adanya tekanan moral yang melingkupinya. Kedua, Inovasi (Inovation) terjadi manakala tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan dipertahankan tetapi dilakukan perubahan sarana yang dipergunakan sebagai alat untuk meneapai tujuan tersebut. Ketiga, Ritualisme (Ritualism) adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun masih tetap memilih sarana atau tata cara yang telah ditentukan. Keempat. Penarikan Diri (Retreatisme) merupakan keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah tersedia dalam masyarakat. Retreatisme ini mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dari kehidupan masyarakat. Kelima. Pemberontak (Rebellion). yakni suatu keadaan di mana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak serta berupaya untuk mengganti dan mengubah seluruhnya.29

2. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Pada dasarnya, teori konflik sama dengan fungsionalisme struktural, yaitu pada studi struktur dan institusi sosial dan melihat masyarakat sebagai satu sistem, yang terdiri dari bagian-bagian.30 Tetapi, persepktif fungsionalis menganggap masyarakat statis atau masyarakat berada dalam keadaan berubah secara seimbang. Sedangkan, perspektif konflik melihat bahwa masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan. Fungsionalis

29

Dr. Ir. Herien puspitawati, Teori Struktural Fungsional Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan Keluarga (Bogor: Ikk Fema 2009), h: 17-18

30


(53)

40

menekankan keteraturan sebagai sumber integrasi dan keseimbangan, teoritisi konflik menekankan konflik sebagai sumber perubahan.31

Teori konflik yang dikemukakan Ralf Dahrendorf merupakan teori

NRQIOLNGLDOHNWLN0HQXUXW'DKUHQGRUI³PDV\DUDNDWPHPSXQ\DLGXDZDMDK \DNQL NRQIOLN GDQ NRQVHQVXV´ 'DKUHQGRUI EHUVDQGDU SDGD IXQJVLRQDO

struktural, dan mengatakan bahwa dalam struktural fungsional keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama yang sukarela atau karena konsensus yang bersifat umum, sedangkan dalam teori-teori konflik kesetabilan atau keseimbangan terjadi karena pemaksaan. Hal itu berarti, dalam masyarakat ada beberapa posisi yang mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga kesetabilan bisa dicapai. 32

Pernyataan di atas membawa Dharendorf membawa kepada tesis penting yang dikemukakannya yakni, distribusi otoritas atau kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya konflik sosial yang sistematis. Berdasarkan tesis tersebut, posisi yang ada di dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda, kekuasaan atau otoritas tidak terdapat secara interistik didalam pribadi-pribadi melainkan posisi-posisi yang mereka tempati. Kekuasaan atau otoritas selalu mengandung dua unsur, yaitu penguasa (orang yang berkuasa) dan orang yang dikuasai atau bawahan. Mereka yang

31

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Pranada Media, 2005), h: 153.

32

Zainuddin Malik, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik (Surabaya: LPAM 2003), h: 207


(54)

41

menduduki posisi sebagai penguasa atau atasan diharapkan untuk mengontrol orang-orang yang dikuasai atau bawahannya. Dengan demikian, kekuasaan atau otoritas itu adalah sesuatu yang sah (Legitimate), dengan demikian sah pula sangsi-sangsi yang dikenakan terhadap orang-orang yang melawan kekuasaan tersebut. 33

Selanjutnya, Dahrendorf menjelaskan pertalian antara konflik dan perubahan sosial. Konflik dapat berfungsi untuk melahirkan perubahan. Dia menyatakan apabila kelompok-kelompok bertentangan muncul, dengan demikian mereka akan terlibat dalam tindakan, yang mengarah pada perubahan didalam stuktur sosial.34 Dalam teori konflik atau paksaan

(Koersi), Dharendorf menempatkan suatu kerangka yang menjelaskan

proses-proses terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, yaitu: Satu, setiap masarakat di segala bidangnya mengalami proses-proses perubahan sosial, karena manusia tidak pernah puas akan apa yang telah dicapai. Dua, tiap manusia memperlihatkan perbantahan (Dissensus) dan konflik disegala bidangnya. Tiga, setiap masyarakat terdiri atas dasar paksaan yang dikenakan oleh segelintir anggota yang mempunyai otoritas ke sesama anggota lain. Empat, setiap unsur dalam masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahannya.35

33

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007), h: 53-58 34

Bernard, Teori Sosiologi Modern, h: 78. 35

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 1993), h: 213.


(55)

42

Dharendorf melihat masyarakat dari segi pandang teori konflik terbagi menjadi 2 kategori yaitu, orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai. Dualisme tersebut, merupakan struktur- struktur dan hakikat tiap-tiap kehidupan bersama, mengakibatkan kepentingan yang berbeda-beda dan mungkin saling berlawanan.36 Diferensiasi kepentingan melahirkan kelompok-kelompok yang saling berbenturan, yaitu kekuasaan atau otoritas mengandung 2 unsur yaitu orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai

(Superordinasi) atau dengan kata lain atasan dan bawahan (Subordinasi).

Kelompok dibedakan atas tiga tipe antara lain: Satu, Kelompok Semu

(Quasi Group). Dua, Kelompok Kepentingan (Manifes). Tiga, kelompok

konflik kelompok semu. Sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama tetapi belum menyadari keberadaannya, dan kelompok ini juga termasuk dalam tipe kelompok kedua, yakni kelompok kepentingan dan karena kepentingan inilah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik sosial. Sehingga dalam kelompok akan terdapat dalam 2 perkumpulan, yakni kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dibawahi (bawahan). Kedua kelompok ini mempunyai kepentingan berbeda. Bahkan, menurut Dharendorf, mereka dipersatukan oleh kepentingan yang sama. Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap

36

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, h: 214.


(56)

43

mempertahankan status quo sedangkan mereka berada di bawah (yang dikuasai atau bawahan ingin supaya adaperubahan.37

E. Resistensi Sektor Informal

Pada penulisan skripsi ini juga penulis mengurai tentang resistensi untuk berupaya mengetahui tindakan-tindakan individu, masyarakat, dan kelompok yang berada di dalam konflik, karena kajian resistensi ini menjadi titik tengah dari kecenderungan teori konflik yang melihat fenomena dari stuktur atau dari atas ketimbang sebaliknya. Oleh karena itu, kajian resistensi lebih menitikberatkan pada tindakan-tindakan individu. Disamping itu, pandangan ini juga dipengaruhi oleh pemikiran-pimikiran antropologi yang memandang manusia sebagai subjek analisis, bukan objek.38

1. Pengertian Resistensi

Resistensi menurut kamus Besar Ilmu Pengetahuan mendefenisikan sebagai perlawanan, daya tahan, ketahanan, keawetan.39 James Scott mendefinisikan resistensi adalah, setiap tindakan para anggota kelas masyarakat yang rendah yang tujuannya untuk meredam, melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan yang dikenakan pada kelas kelas yang lebih atas.

37

K. J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, h: 215-218.

38

Yusran Darmawan, ³5HVLVWHQVLGDODP.DMLDQ$QWURSRORJL´Timur Angin, Agustus 2009. Diakses pada 2 Pebruari 2011 dari http://timurangin.blogspot.com/2009/08/resistensi-dalam-kajian-antropologi.html

39

Seve M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Lembaga Pengkajian Kebudyaan Nusantara/LPKN, 1997).


(1)

Sahril : 19 tahun

N : 20 jalan

Sahril : MDODQHH¶SHQGLGLNDQPDDISHQGLGLNDQWHUDNKLU

N : SMP

Sahril : SMP ya, ini dagang di terminal di sebelah mananya mas sering mangkal nya

N : di dalam kota

Sahril : di dalam kota, di sebelah mananya mas dagangnya

N : pintu masuk dalam kota aja

Sahril : pintu masuk, itu alasan dagang disitu apa sih alasannya N : alasannya, dari pada nganggur dari pada diemaja di rumah Sahril : oh buat nyari uang gitu

N : iya

Sahril : kan daerah situkan apa gimana gitu apa rame gimana gitu N : kalo lagi rame ya rame kalo sepi ya sepi

Sahril : itu kira-kira ada pungutan biaya atau gimana sih kok bisa masuk ke terminal gitu

N : pungutan, ada sih tapi cuma tiap hari minggu doang Sahril : tiap hari minggu, pas hari libur atau gimana

N : seminggu sekali lah

Sahril : ini maaf, dagang apa aja selain buah

N : ya buah doang, ya macem-macem lah

Sahril : jadi buah-buahan aneka gitu

N : yaa aneka buah

Sahril : tadi saya dengerkan ada retribusinya ya, ada pungutannya, itu kira-kira pungutannya itu berapa


(2)

N : ya paling 2000 lah buat kebersihan aja Sahril : 2000 ya, yang mungutinnya dari mana mas

N : ya dari tukang kebersihan

Sahril : kebersihan, berarti dari terminal ya.

N : iya

Sahril : trus disinikan itu denger peraturan, maaf denger-denger dari terminal ada peraturan gak boleh masuk tuh keterminal buat dagang tapi tadikan kok mas bisa masuk gitu, selain bayar 2000 apalagi mas apa ada kebijakan apa gimana gitu

N : ya ada waktu waktu tertentu aja dari jam 12 siang sampe jam 5 sore abis-abis ya terakhir sampe subuh aja jam 5 pagi Sahril : berarti ada ini ada jam operasional

N : iya

Sahril : tadi dari siang ya sampe subuh tadi ya, berarti boleh masuk dari siang ampe subuh sama bayar 2000 itu ya ketentuannya

N : iya

Sahril : HH¶SHUUQDKDGDUDMLDDWDXJLPDQDVLKPDV

N : pernah sih

Sahril : pernah, itu waktu di rajianya kenapa mas N : ya ngelanggar batas peraturan aja

Sahril : maksudnya peraturan seperti apa

N : kan dah di kasih waktu, trus ngelanggar gitu

Sahril : berarti gak boleh ngelewatin batas waktu gitu, nah ini kan, kan terminal nyediain kios-kios ya kaya kios-kios relokasi GL MDOXU WHUPLQDO \DQJ MDOXU NHOXDU WHUPLQDO PHQJDSDHH¶ mas nur kan udah tau kan, udah tau belum


(3)

Sahril : itu kenapa gak mencoba tuk nyewa disitu kan aman gitu kan, kalo secara ngasongkan katanya di rajia kan gak aman, kenapa gak mencoba gitu nyewa disitu

N : ya kalo nyewa kios mah penghasilan kurang, trus biayanya juga gede

Sahril : ooh berarti sewanya gede

N : sewanya gede, kalo ngasongkan bisa kesana kesini

Sahril : berarti sewanya besar gitu ya, trus ee mingkin yang terakhir ini punya pesan kesan gak buat terminal

N : kalo pesan, untuk seluruh bapak LLD gitu tolong lah di kasih batas waktu yang panjang apa lagi kalo misalkan hari minggu mah di bebaskan biar para pedagang bisa sama-sama cari makan

Sahril : \D PXQJNLQ FXNXS VHNLDQ PDV HH¶ WDU GXOX PDV HH¶ WDGL denger LLD, emang yang sering ngerajia itu LLD atau apa dari terminal gitu

N : ya LLD, DISHUB juga

Sahril : ooh berarti termasuk DISHUB juga

N : iya

Sahril : oohh berarti yang ngerajia itu orang-orang DISHUB

N : iya

Sahril : kalo penghasilan perhari berapa mas

N : ya tergantung sepi ramenya, ya bisa dapat 200, 300, kalo lagi gak rame mah 70, 80

Sahril : itu ama modal gitu mas

N : kalo ama modal mah paling dapat 300, yang penting bisa buat makan, gitu aja

Sahril : jadi, tar sya simpulkan, tadi kan dagang disitu tadi karena HHH DODVDQ LW GDJDQJ GLVLWX WDGL HHH¶ PDDI PDDI WDGL VD\D


(4)

kurang denger alasan dagang di dalam terminal itu alasannya apa tu mas

N : alasan dagang di pintu masuk, sewakan turun di pintu masuk dan jalur keluar

Sahril : tadi kan saya denger ddari mas nur bahwa ngider atau keliling, ee dagang tuh kira-kira kalo boleh tau dagangnya tuh di daerah terminal mana aja atau keliling kemana aja di daerah terminal

N : ya dari dalam kota, pintu masuk terminal aja, ama luar kota udah

Sahril : jadi jalur-jalur pintu masuk ama keluarnya ya mas, ama tengah terminal

N : iya

Sahril : terima kasih mas atas informasinya


(5)

LAMPIRAN

Unit Pengelola Terminal Angkuatan Jalan Provinsi DKI Jakarta, yang letaknya di terminal Rawamangun Jakarta Timur

Kantor KepalaUnit Pengelola Terminal Angkuatan Jalan Provinsi Jakarta

DKI di lantai dua

Kantor Terminal Dalam Kota Kampung Rambutan Jakarta Timur

Kantor Terminal Antar Kota Kampung Rambutan Jakarta Timur


(6)

Gerobak, kereta dorong, dan keranjang, sarana yang digunakan para pedagang liar di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur

Kios-kios permanen sarana yang digunakan para pedagang resmi di terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur