23
III. METODE
PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang
merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah
lain di Indonesia.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan dan
Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan ‐ Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2008
sedangkan pengolahan data dilakukan pada bulan April 2008.
B. Bahan dan Alat
Bahan ‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. Peta digital format vektor yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan
lahan, jaringan
sungai, jaringan
jalan, pusat
desaperkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis
tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah
2. Sebaran dan lokasi koordinat hot spot Kalimantan dari satelit NOAA – AVHRR
tahun 1996 sampai dengan 2006 yang diperoleh dari SIPONGI. 3. Data cuaca yang meliputi suhu maksimum harian dan curah hujan harian,
kecepatan angin dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan
Geofisika 4. Data‐data penunjang lainnya dari Biro Pusat Statistik
C. Software, Hardware dan Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Personal Computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2 2. Printer
3. Alat pengukuran vegetasi yaitu Spiegel Relaskop Bitterlich SRB, phi band,
kompas dan meteran 4. GPS Garmin XL
5. Kamera digital
24
D. Metode Penelitian
Secara ringkas tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pengolahan data
seperti tertera pada Gambar 2.
Pengumpulan data
Pra pengolahan data
Data terpilih
Operasi spasial Analisis
statistik
Model-model Spasial
Validasi Ya
Visualisasi Tidak
Mulai
Analisis Spasial
Model Terplih
Selesai
1. Pengumpulan data sekunder
Tahap pengumpulan data meliputi: perolehan data spasial, kodifikasi
data, penyeragaman sistem proyeksi peta, konversi format data sesuai dengan
perangkat lunak yang dipakai dalam menjalankan prosedur sistem informasi
geografi SIG. Input data yang digunakan sebagai peubah pembangun model
Gambar 2. Tahapan pengolahan data.
25 adalah
data spasial faktor biofisik, aktifitas manusia, data hot spot titik panas hasil
olahan dari citra NOAA AVHRR. Sistem
proyeksi yang digunakan sesuai standar nasional untuk data spasial
adalah proyeksi UTM Universal Tranverse Mercator. Adapun data yang digunakan
pada penelitian ini sudah berbentuk digital sehingga tidak dilakukan lagi
proses digitasi. Faktor
‐faktor yang dipilih untuk membangun prediksi kejadian kebakaran adalah
jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari kota kecamatan,
tipe sistem lahan, tipe tanah, jenis penggunaan lahan, curah hujan dan
kelas penutup lahan. Metode yang dipakai adalah metode analisis data CMA
dan regresi.
2. Pengumpulan data lapangan
Data lapangan yang diambil terutama adalah data vegetasi diperoleh
dengan cara melakukan inventarisasi dengan metode point sampling. Plot ini
diletakan pada lokasi‐lokasi bekas kebakaran hutan dan lahan hot spot yang
ditentukan secara sengaja berdasarkan distribusi hot spot, tipe penutupan lahan
land cover dan pola penggunaan lahan land use. Parameter pohon yang
diukur adalah tinggi pohon dan luas bidang dasar tegakan.
Selain parameter pohon tersebut, diamati secara visual dan dicatat
kondisi tegakan bekas terbakar, dan dikelompokan ke dalam pohon hidup sehat,
pohon hidup merana, pohon mati komersial dan pohon mati hangus Gambar 4.
26 Gambar
3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam : a Pohon
mati komersial, b. pohon hidup sehat, c pohon hidup merana,
dan d pohon mati hangus. a
b
c d
27
E. Metode Analisis Data
1. Tingkat kerusakan tegakan
Data hasil pengukuran lapangan dianalisis untuk mengetahui persentase
pohon hidup yang sehat di area bekas terbakar. Persentase pohon sehat
merupakan rasio antara jumlah pohon hidup sehat dalam satu plot
terhadap jumlah total pohon dalam satu plot yang dinyatakan dalam persen.
Berdasarkan data koordinat plot dan data persentase pohon sehat hasil
analisis dibuat peta tingkat kerusakan tegakan akibat kebakaran hutan.
2. Analisis data spasial
a. Pengkelasan masing‐masing peubah Masing
‐masing faktor yang akan digunakan dalam penyusunan model, dibagi ke
dalam beberapa kelas seperti tercantum pada Tabel 1 Tabel
1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model
Peubah Faktor
Kelas
X1 Tutupan
lahan • Hutan Pegunungan
• Semak belukar • Lahan terbuka
• Perkebunan • Hutan sekunder
• Hutan dataran rendah • Ladang
X2 Jarak
terhadap sungai Buffer
dengan interval 1000 m 1 km X3
Jarak terhadap jalan
Buffer dengan interval 1000 m 1 km
X4 Jarak
terhadap pusat desa Buffer dengan interval 1000 m 1 km X5
Jarak terhadap pusat kota
Buffer dengan interval 1000 m 1 km
28 Tabel
1. lanjutan
Peubah Faktor
Kelas X6
Penggunaan lahan
• Penelitian dan Perlindungan Hutan • Taman Wisata
• Konservasi Air Hitam • Kawasan Handil Rakyat
• Perairan • Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain
• Penelitian Hutan • Hutan Produksi Tetap
• Hutan Produksi • Kawasan Perkebunan dan Pengembangan
Budidaya • Konservasi Flora Fauna
• Transmigrasi • Konservasi Hidrologi
• Konservasi Gambut Tebal • Hutan Tanaman Industri
X7 Tipe
tanah • Non gambut non peat
• Gambut peat X8
Sistem lahan
• Alluvial fans dan mountain • Back swamps
• Meander belt • Tidak ada data
• Sedimentary ridges • Inter tidal‐mudflat
• Minor valey floor • Coalescent estuarine
• Permanently water logged • Shalower peat
• Undulating sandy • Swampy floodplains
• Shallow peat • Deeper peat swamps
b. Penentuan bobot Salah
satu penentuan bobot suatu peubah spasial yang dilakukan secara empiris
adalah dengan metode Analisis Pemetaan Komposit Composite Mapping
AnalysisCMA. Dalam kasus ini hubungan antara jumlah hotspot
per km
2
dengan faktor‐faktor penyusun kerawanan kebakaran hutan
dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing‐masing
29 faktor.
Faktor‐faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan faktor lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model
regresi linear berganda. Bobot masing‐masing peubah adalah proporsi
masing‐masing koefisien korelasi dari regresi linear terhadap total
seluruh koefesien regresinya. c. Penghitungan nilai skor
Nilai skor masing‐masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan
formula 1 dan 2
∑
⎟⎟ ⎠
⎞ ⎜⎜
⎝ ⎛
⎥ ⎦
⎤ ⎢
⎣ ⎡
=
i i
i i
i
e o
100 x
e o
X ………………………………………….………1
⎥⎦ ⎤
⎢⎣ ⎡
= 100
F x
T E
i
..…………………………………………………………..2
Dimana :
X
i
= skor kelas sub faktor pada masing‐masing faktor O
i
= jumlah hotspot yang ada pada masing‐masing kelas obserbved hotspot
E
i
= jumlah hotspot yang diharapkan pada masing‐masing kelas expected
hotspot T
= jumlah total hot spot F
= persentase luas pada masing‐masing kelas d. Penghitungan skor dugaan
Berdasarkan pola kecenderungan trend line nya hubungan antara skor
setiap faktor dan kepadatan hotspot dihitung nilai skor dugaan menurut
pola persamaan regresi yang memiliki koefisien determinasi yang
relative lebih tinggi.
30 e. Penghitungan nilai skor skala rescalling score
Untuk mendapatkan standar skor yang sama diantara semua faktor yang
akan digunakan dalam menyusun model, maka skor dihitung lagi untuk
mendapatkan nilai skor skala dengan menggunakan formula Jaya et al.
2007 seperti pada Persamaan 3.
Score R
out
=
[ScoreE
input
– ScoreE
min
ScoreR
max
–
ScoreR
min
]+ ScoreR
min…
………
3
Score E‐
max
– Score E‐
min
Dimana :
Score R
out
= nilai skor hasil rescalling Score
E
input
= nilai skor dugaan estimated score input
Score E
min
= nilai minimal skor dugaan Score
E
max
= nilai maksimal skor dugaan Score
R
max
= nilai skor tertinggi hasil rescalling Score
R
min
= nilai skor terendah hasil rescalling
f. Pembuatan persamaan matematik Skor
hasil rescalling score masing‐masing faktor digunakan untuk menghitung
skor komposit beberapa faktor. Model regresi yang memiliki korelasi
determinasi yang tinggi akan digunakan untuk menentukan skor komposit.
Skor komposit ditentukan dengan metode CMA, dengan bobot yang
diturunkan dari koefisien masing‐masing faktor penyusun komposit. Berdasarkan
skor komposit, disusun persamaan statistik yang menyatakan
hubungan antara jumlah hot spot per km
2
dengan skor komposit
faktor‐faktor penyusunnya. g. Uji signifikansi model
Pengujian signifikansi model dimaksudkan untuk memilih model terbaik
yang memiliki akurasi tertinggi. Uji ini untuk membuktikan apakah suatu
model berbeda nyata terhadap kenyataan di lapangan atau tidak.
31 Hipotesis
: H
: μ
1
= μ
2
atau H :
μ
1
– μ
2
= 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model tidak berbeda
dengan nilai rata‐rata lapangan observasi. H
a
: μ
1
− μ
2
atau H
a
: μ
1
− μ
2
≠ 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model berbeda dengan
nilai rata‐rata lapangan observasi Statistik
uji yang digunakan adalah uji z – test two sample for mean yang dihitung
dengan dengan formula:
…………………………………………………………………..………4 dimana
: ⎯x
1
, ⎯x
2
= nilai rata‐rata dua contoh
σ
1,
σ
2
= nilai standar deviasi dua populasi
n
1
, n
2
= jumlahukuran dua contoh
Δ =
hipotesis perbedaan rata‐rata populasi bernilai 0 jika pengujian
terhadap nilai rata‐rata yang sama Hipotesis
akan diterima jika nilai Z hitung lebih kecil daripada nilai Z kritisnya
pada taraf nyata 0,05. h. Pembuatan peta kelas kerawanan kebakaran
Berdasarkan ukuran piksel yang digunakan dan radius antar hotspot,
maka kelas kerawanan kebakaran dikelompokan ke dalam lima kelas
seperti tertera pada Tabel 2.
32
1
1 0 0
n ii
i
X N
=
⎡ ⎤
⎛ ⎞
⎢ ⎥
⎜ ⎟
⎢ ⎥
⎜ ⎟
⎢ ⎥
⎜ ⎟
⎜ ⎟
⎢ ⎥
⎝ ⎠
⎣ ⎦
∑
Tabel 2. Selang nilai yang digunakan untuk membuat kelas kerawanan
kebakaran hutan dan lahan
Jumlah hotspot per km
2
Luas yang diwakili
masing ‐masing
hotspot km
2
Kelas kerawanan
= 1.273
0.785 Sangat
tinggi sekali 0.318
‐ 1.273 0.785
‐3.141 Sangat
tinggi 0.141
‐0.318 3.141
‐7.069 Tinggi
0.080 ‐0.141
7.069 ‐12.566
Sedang =0.080
12.566 Rendah
Sumber : Jaya et al. 2007
i. Validasi model Akurasi
model ditentukan berdasarkan nilai matrik koinsidensi antara tingkat
kerawanan kebakaran menurut model dan tingkat kerawanan menurut
kepadatan hotspot dengan menggunakan matrik kesalahan confusion
matrix. Nilai akurasi dihitung dengan formula seperti pada persamaan
5.
OA =
…………………...……………………………………………………5
dimana :
OA = overall accuracy
X
ii
= jumlah kolom ke‐i dan baris ke‐i diagonal
N = jumlah semua kolom dan semua baris yang digunakan
j. Visualisasi persamaan matematik menjadi model spasial Persamaan
statistik atau model regresi yang diperoleh dari tahap sebelumnya
diimplementasikan ke dalam model spasial. Adapun mekanisme
implementasinya menggunakan Arc View dengan fasilitas Calculator.
33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sebaran Hotspot
Hotspot merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran
hutan dan lahan di suatu wilayah. Berdasarkan data hotspot hasil rekaman
satelit NOAA yang dikeluarkan oleh JICA tahun 2002 sampai dengan 2006 dapat
diketahui pola sebaran hotspot di wilayah Indonesia. Gambar 4 menunjukkan
bahwa pada tahun 2002 jumlah hotspot di pulau Kalimantan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia. Jumlah hotspot terbanyak di
wilayah Indonesia terjadi pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober .
Gambar 4. Perbandingan jumlah hotspot di Indonesia tahun 2002.
Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah hotspot tahun 2002 di beberapa
kabupaten di bagian selatan propinsi Kalimantan Tengah yang menempati posisi
teratas dalam jumlah hotspot adalah Kotawaringin Timur, Seruyan dan Pulang
Pisau. Sedangkan di bagian utara Kalimantan Tengah, jumlah hotspot relatif
lebih sedikit. Pada tahun 2002, jumlah hotspot terbanyak terjadi di Kabupaten
Pulang Pisau pada bulan Oktober, sedangkan bulan September tahun 2004 di
Kabupaten Kotawaringin Timur terdapat titik panas terbanyak.
34 Gambar
5. Sebaran hospot pada bulan Oktober 2002 di propinsi Kalimantan Tengah
35
5 10
15 20
25
K e
p a
da ta
n p e
ndu duk
jiw a
h a
Suk am
ara Kota
wari ngin
Ba rat
Seru yan
Kota wari
ngin Tim
ur Kati
nga n
Pula ng P
isau Kap
uas
Kabupaten
Gambar
6. Kepadatan penduduk di Kalimantan Tengah menurut wilayah kabupaten.
Tabel 3. Pola pengolahan lahan petani di Kalimantan Tengah
No Bulan
Kegiatan 1
Juli – Agustus Penggarapan
lahan tebas 2
Agustus – September Pembakaran
lahan 3
Oktober – November Penanaman
4 November – Desember
Tunggu 5
Desember – Januari Penyiangan
6 Maret – April
Panen Sumber
: Wetland Internasional 2006. Menurut
kepadatan penduduknya, maka kabupaten Kapuas merupakan kabupaten
terpadat diikuti Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat dan Pulang Pisau.
Sedangkan berdasarkan jumlah angkatan kerjanya maka Kabupaten Kapuas
memiliki jumlah angkatan kerja paling tinggi disusul Kabupaten Kotawaringin
Timur, Kotawaringi Barat dan Pulang Pisau Gambar 6. Berdasarkan
pola bercocok tanam para petani yang tertera pada Tabel 3 dapat
diduga bahwa pada bulan Agustus sampai September merupakan masa pembakaran
lahan, sehingga pada bulan ini titik panas yang terdeteksi juga mencapai
jumlah tertinggi dalam masa satu tahun. Pembakaran dilakukan untuk membersihkan
lahan dalam rangka pembukaan lahan baru maupun penyiapan lahan
untuk penanaman komoditas pertanian dan perkebunan.
36 Berdasarkan
profesinya sebagian besar masyarakat di Mentangai, merupakan
petani kebun, dan penyadap karet seperti tertera pada diagram Gambar
7. Dari kondisi ini dapat diduga kemungkinan banyak terjadi kegiatan konversi
lahan ke perkebunan yang rentan terjadi kebakaran.
5 10
15 20
25 30
P e
rsen
N elay
an su
ng ai
Ker am
ba ik an
Be rk
eb un
Sa da
p k are
t Keb
un r ot
an Me
mb ala
k k ay
u An
ya ma
n ro ta
n lai
n-lai n
Profesi
Gambar 7. Prosentase penduduk di Kalimantan Tengah menurut profesinya di
di wilayah eks PLG Sumber : Wetlands International 2006
Berdasarkan grafik hubungan antara curah hujan yang diolah dari data curah
hujan beberapa stasiun dan jumlah hotspot Gambar 8, menunjukkan bahwa
makin tinggi curah hujan maka makin sedikit jumlah hotspot yang teridentifikasi
dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka makin tinggi jumlah
hotspot yang terdeteksi. Data curah hujan yang diperoleh dari 3 stasiun di
Kalimantan Tengah dan sekitarnya ini juga menunjukkan bahwa jumlah hotspot
mencapai puncak pada saat jumlah curah hujan minimal dan terendah. Kejadian
kebakaran hutan cenderung lebih banyak terjadi pada saat curah hujan
terendah karena pada saat curah hujan rendah, maka kelembaban udara juga
rendah. Kelembaban rendah menyebabkan bahan‐bahan bakar potensial lebih
cepat mencapai suatu nilai ambang kelembaban dimana api akan dapat membakar
bahan bakar ini. Bentuk hubungan antara jumlah hotspot dan curah
37 hujan
bulanan mengikuti polamodel power dengan koefisien determinias R
2
sebesar 66.7 .
Gambar 8. Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah hotspot
B. Pemodelan Spasial Kebakaran Hutan dan Lahan