21 ketebalan
gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi, x3:
skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor jarak
jalan ; dengan validasi 85 . Disamping
model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah kabupaten
Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha 2006 dengan metode regresi logistik
menghasilkan formula logODDS peluang kebakaran hutan = ‐0,47426 + 0,0015784
curah hujan – 0,0050383 ketebalan gambut – 3,8829293 NDVI – 0,000895
jarak dari sungai ‐ 0,0000233 jarak dari HPHHTI – 0,0000191 jarak dari
perkebunan + 0,0000322 jarak dari lahan pertanian dengan nilai akurasi 69,5
. Arianti
2006 menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan
faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih lanjut
dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model terbaik
untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode CMA
yaitu TKB tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan = [a0,54 NDVI +
0,40 NDVI wetness index + 0,06 curah hujan + b0,22jarak sungai + 0,24jarak
jalan + 0,27 jarak pemukiman + 0.27 tutupan lahan]; dimana “a” adalah
bobot makro faktor biofisik, dan “b” adalah bobot makro aktivias manusia.
Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan
kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan
metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model
skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan
dengan: skor penutupan lahan x ‐2,947 + skor buffer jalan x 0,713 dengan
koefisien determinasi 56 dan skor penutupan lahan x 0,013 + skor buffer
jalan x 10,850 dengan koefisien determinasi 72 .
3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu
terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran
22 dan
kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan
untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh
volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan
pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian Hardy 2005. “Fire
hazard” bahaya kebakaran merupakan perilaku potensi kebakaran berdasarkan
tipe bahan bakar, tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar
‐pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik
bahan bakar. Sementara
itu, NFDRS dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa “fire risk” kerawanan
kebakaran adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai
akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian incident
of causative agent. The Fire Danger Rating System Deeming et al, 1972
dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran
kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam “fire risk”. Sumber‐ sumber
fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk LR
dan man cause risk MCR. LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini
dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran,
sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktivitas manusia, manusia
sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat
dinyatakan dalam skala 1‐100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal
nilainya juga 100.
23
III. METODE
PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang
merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah
lain di Indonesia.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan dan
Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan ‐ Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2008
sedangkan pengolahan data dilakukan pada bulan April 2008.
B. Bahan dan Alat
Bahan ‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. Peta digital format vektor yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan
lahan, jaringan
sungai, jaringan
jalan, pusat
desaperkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis
tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah
2. Sebaran dan lokasi koordinat hot spot Kalimantan dari satelit NOAA – AVHRR
tahun 1996 sampai dengan 2006 yang diperoleh dari SIPONGI. 3. Data cuaca yang meliputi suhu maksimum harian dan curah hujan harian,
kecepatan angin dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan
Geofisika 4. Data‐data penunjang lainnya dari Biro Pusat Statistik
C. Software, Hardware dan Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Personal Computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2 2. Printer
3. Alat pengukuran vegetasi yaitu Spiegel Relaskop Bitterlich SRB, phi band,
kompas dan meteran 4. GPS Garmin XL
5. Kamera digital