Pemodelan spasial Pemodelan Spasial

18 3. Pola cuaca suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi 4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain 5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman 7. Tanah dan bahan bawah tanah 8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air Sistem informasi geografis SIG telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital.

2. Pemodelan spasial

Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : - penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama - pendefinisian masalah jelas dan logis - penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata - simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Pemodelan modelling juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam. 19 Geographical Information System GIS disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000. Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Pemodelan digunakan dalam beberapa cara dan beberapa arti. Sebagai representasi beberapa bagian dari kondisi nyata di permukaan bumi dapat dipertimbangkan menggunakan sebuah model bagi bagian bumi tersebut. Keterwakilan tersebut akan memiliki karakteristik yang umum dengan kondisi nyata bumi de By 2001. Sebuah model merupakan penyederhanaan fenomena‐fenomena yang terjadi di bumi. Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuah input. Model‐model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen ‐elemen dan interaksinya. Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses‐proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilkau sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global. Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, Sunuprapto 2000 telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan lahan dengan peubah‐peubah penduganya yaitu : Intensitas kerusakan kebakaran = ‐0,709 + 0,206 penutupan lahan + 0,02531 penggunaan lahan + 0,160 tipe tanah + 0,0000001881 jarak dari rel – 0,00001769 jarak dari 20 sungai + 0,00004779 jarak dari pemukiman. Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik logistics regression yaitu : log ODDS area terbakar = ‐18,03 + 1,6848 penutupan lahan + 0,9784 penggunaan lahan + 2,3129 tipe tanah + 0,0003 jarak dari rel – 0,0002 jarak dari kanal + 0,0003 jarak dari pemukiman. Faktor lingkungan fisik dan aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor manusia yang mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan Boonyanuphap 2001. Lapan 2004 berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor‐faktor penyebabnya. Faktor aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan Soewarso 2003. Purnama dan Jaya 2007 dalam penelitiannya di propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi 53,8 dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk 5,4 , jarak terhadap jaringan jalan 16,1 , dan jarak terhadap jaringan sungai 24,7 . Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = 0,514 0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL+0,4860,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI. Berdasarkan hasil kajiannya di Riau, Hadi 2006 menyatakan bahwa dalam penentuan kelas kerawasan kebakaran di lahan gambut Riau faktor infrastruktur lebih besar peranannya dibandingkan dengan faktor lingkungan. Persamaan model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan metode regresi linear di Bengkalis yang diajukan oleh Hadi 2006 adalah V = {0,345 [0,25 x1 + 0,25x2 + 0,25x3] + 0,6580,25y1 dimana x1: skor sub faktor sub faktor 21 ketebalan gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi, x3: skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor jarak jalan ; dengan validasi 85 . Disamping model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah kabupaten Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha 2006 dengan metode regresi logistik menghasilkan formula logODDS peluang kebakaran hutan = ‐0,47426 + 0,0015784 curah hujan – 0,0050383 ketebalan gambut – 3,8829293 NDVI – 0,000895 jarak dari sungai ‐ 0,0000233 jarak dari HPHHTI – 0,0000191 jarak dari perkebunan + 0,0000322 jarak dari lahan pertanian dengan nilai akurasi 69,5 . Arianti 2006 menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model terbaik untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode CMA yaitu TKB tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan = [a0,54 NDVI + 0,40 NDVI wetness index + 0,06 curah hujan + b0,22jarak sungai + 0,24jarak jalan + 0,27 jarak pemukiman + 0.27 tutupan lahan]; dimana “a” adalah bobot makro faktor biofisik, dan “b” adalah bobot makro aktivias manusia. Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan dengan: skor penutupan lahan x ‐2,947 + skor buffer jalan x 0,713 dengan koefisien determinasi 56 dan skor penutupan lahan x 0,013 + skor buffer jalan x 10,850 dengan koefisien determinasi 72 .

3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan