14
2. T. Mohd Djuned, Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, tahun 1991,
dengan tulisannya “Peunulang sebagai salah satu bentuk pewarisan di Aceh”, dalam buletin kanun Nomor 2 edisi Desember 1991.
Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahannya serta pengkajian dalam penelitian ini berbeda sama sekali, dengan demikian penilitian ini dapat
dinyatakan belum pernah dilakukan dan dapat dibuktikan keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodelogi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.
25
Teori didefiniskan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan
sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi.
26
Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisi dari hasil penelitian yang
dilakukan.
27
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press , 1982, hal. 6
26
M. Hisyam, Penelitian ilmu-ilmu Sosial, Jakarta ; FE UI, 1996, hal. 203
27
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
15
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.
28
Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena
menjadi sebuah penjelasan yang sifatya umum.
29
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan problem, yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.
30
Teori adalah susunan konsep, definisi yang dalam, yang menyajikan pandangan yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara
variabel yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena,
31
atau menjelaskan gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya.
32
Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap
sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.
33
Agar kerangka teori meyakinkan maka harus memenuhi syarat:
28
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006, hal. 6
29
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hal. 34
30
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal. 80
31
Sofyan Safri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komperehensif, Jakarta : Pustaka Quantum, 2001, hal. 40
32
J.J.J.M. Wurisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-azas, Jakarta : Fe UI, 1991, hal. 203
33
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004, hal. 113
Universitas Sumatera Utara
16
Pertama, teori yang digunakan dalam membangun kerangka berfikir harus
merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Kedua, analisis filsafat dari
teori-teori keilmuan
dengan cara
berfikir keilmuan
yang mendasari
pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya, Ketiga, mampu mengidentifikasikan
masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar
dan sesuai dengan kerangka berfikir ilmiah.
34
Penelitian dilakukan dengan berpedoman kepada pandangan Eugen Erlich tentang hukum yang hidup living law. Eugen Erlih berpendapat bahwa hukum tidak
dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen dan bahan-bahan hukum formal, melainkan perlu terjun sendiri kedalam kehidupan nyata masyarakat. Hukum dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah laku yang dipakai oleh
anggota masyarakat dalam hubunganya satu sama lain. Hukum tidak mempunyai daya laku atau penerapan yang universal, tiap bangsa mengembangkan hukumnya
sendiri.
35
Dalam menganalisa permasalahan dalam tesis ini, teori Urf kebiasaan dalam masyarakat, menurut Hasballah Thaib dalam bukunya “Tajdid, Reaktualisasi dan
Elastisitas Hukum Islam, dan teori keadilan dalam perspektif filsafat hukum dan Islam Mu’tazilah.
34
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006, hal. 26
35
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 297
Universitas Sumatera Utara
17
Urf atau adat kebiasaan adalah suatu yang telah dibiasakan dalam masyarakat dan dijalankan terus menerus baik merupakan perkataan ataupun perbuatan.
36
Tesis dasar Mu’tazilah adalah bahwa manusia sebagai yang bebas, bertanggung jawab dihadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk
merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tidak bergantung kepada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa
sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif ini merupakan akibat wajar tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan
ebyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang pembuat hukum menyatakannya atau tidak, dengan kata lain kaum Mu’tazilah
menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan obyektifisme rasionalis.
37
Kata keadilan berasal dari kata “adala”,
38
yang dalam Al-qur’an terkadang disebut dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita.
39
Kata adala dalam Al-qur’an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 dua puluh delapan
kali dalam berbagai bentuknya untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut lurus karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.
40
36
Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Medan : Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarja USU, 2002, hal. 32
37
Mumtaz Ahmad ed, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung : Mizan, 1994 hal. 154-155
38
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 73
39
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal. 23
40
Ali Parman, Op. Cit, hal. 84
Universitas Sumatera Utara
18
Pada pokoknya syari’ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang,
jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari’ah.
41
Dalam bahasa Indonesia keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang pada
kebenaran, proporsional dan lain-lain.
42
Dalam hubunganya dengan hak menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan dan kewajibankeperluan.
43
Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris pemilik harta yang
meninggal dunia kepada ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang. Sedangkan menurut Van Apoolderen sebagaimana yang dikutip oleh Budiono
Kusumohamidjojo, tujuan hukum adalah tertib masyarakat yang damai dan seimbang. Bahwa fungsi utama dari hukum adalah menegakkan keadilan.
44
Hukum setidaknya mempunyai tiga peranan utama dalam masyarakat, antara lain :
41
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991 hal. 6-7
42
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Cet K-III, 1990, hal. 6-7
43
Amir Syarifuddin, lock. Cit.
44
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum, Jakarta : Grassindo, 1999, hal. 126
Universitas Sumatera Utara
19
a. Sebagai sarana pengendalian sosial b. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial
c. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu
45
Pada umumnya di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistic menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada, pada dasarnya hal ini disebabkan oleh
sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari sistem sosial suku- suku atau kelompok-kelompok etnik.
46
Maka dalam hal ini, disetiap masyarakat dibutuhkan suatu aturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat itu dapat
diselamatkan, agar masyarakat tersebut dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari segala aspek hukum.
Salah satu asas dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta warisan, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu
terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu asas keadilan berimbang. Berdasarkan pendapat Eugen Erlich mengenai hukum yang hidup living law
dan keadilan tersebut, dapat diketahui bahwa keadilan dalam masyarakat senantiasa berubah seiring dengan perubahan waktu dan perubahan keadilan menyebabkan
terjadinya perubahan kebiasaan hidup masyarakat. Oleh karena hukum merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat living law maka secara otomatis, perubahan
45
Soerjono Soekanto, Op Cit, hal. 34
46
Soedjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat, Jakarta : Ghalia Indonesia, hal. 25-26
Universitas Sumatera Utara
20
kebiasaan hidup dalam masyarakat menyebabkan terjadinya perubahan hukum yang ada.
Menurut Djojodigoeno, hukum adat mempunyai sifat yang khas sebagai aturan yang tidak tertulis. Hukum adat mempunyai sifat yang hidup dan berkembang,
hukum adat menjadi dinamis apabila dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan dalam dasar-dasar hukum sepanjang jalan
sejarahnya.
47
Pada satu sisi, hukum adat bersifat tradisional karena melanjutkan tradisi luhur yang cenderung mempertahankan pola-pola yang terbentuk, sedangkan pada
sisi lain sebagai hukum yang hidup dan berkembang, hukum adat akan selalu mampu mengikuti perkembangan masyarakat.
48
Hukum adat Aceh Besar sebagai hukum yang hidup dan berkembang di Aceh, ada dikarenakan masyarakat Aceh Besar menghendakinya. Hukum adat Aceh Besar
berasal dari agama yang dianut, perkembangan kesadaran moral dan kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hukum waris adat Aceh Besar anak laki-laki mendapatkan bagian sesuai dengan ketentuan prinsip waris
Islam, yaitu dua berbanding satu 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan, sistem ini dipengaruhi oleh perkembangan mayoritas masyarakat Aceh telah menganut
agama Islam secara keseluruhan.
49
47
Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, hal. 35
48
Ibid
49
Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat Aceh Besar, Di Jantho, Tanggal 27 September 2013
Universitas Sumatera Utara
21
Seiring perkembangan waktu dalam praktek kewarisan adat Aceh Besar masih menginginkan keadilan dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan
perempuan, dan rasa orang tua dalam melindungi anaknya yang perempuan di wujudkan dalam bentuk pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak
perempuannya pada saat melangsungkan atau setelah perawinan berlangsung dalam membina keluarga yang baru nantinya dengan suami anak perempuannya tersebut,
dan bertujuan untuk mengimbangi kenyataan bahwa pembagian warisan memberikan porsi lebih besar kepada anak laki-laki.
2. Konsepsi