Islam di Dalam Masyarakat Aceh

40 mengdapatkan penghasilan dari hasil pertanian. Karena pada umumnya mereka juga mengusahakan usaha-usaha tani. Berkebun termasuk urutan kedua terpenting setelah bersawah. Dalam mengusahakan kebun, para petani tidak mengkhususkan pada satu jenis tanaman tertentu dalam sebuah kebun, tetapi bertanam berbagai jenis tanaman, hal ini dilakukan karena masing-masing tanaman mempunyai satu musim berbuah sendiri, sehingga dalam satu tahun ada penghasilan yang terus menerus. Mata pencaharian lainnya yaitu pemeliharaan ternak lembu, kerbau, kambing dan lai-lain. Lembu dan kerbau selain untuk dijual, juga digunakan sebagai penarik bajak di sawah-sawah, ladang-ladang ataupun di kebun-kebun. Selain itu di beberapa daerah kecamatan yang berbatasan dengan laut seperti kecamatan Mesjid Raya dan Kecamatan Peukan Bada serta Kecamatan Lhok NgaLeupueng juga ada penduduk yang mengusahakan tambak-tambak ikan dan pembuatan garam, meskipun dalam jumlah kecil.

B. Islam di Dalam Masyarakat Aceh

Dikenalnya Aceh dengan sebutan Serambi Mekkah oleh masyarakat luar Aceh bukan tanpa sebab, karena Islam tidak hanya persoalan manusia dengan Tuhan tetapi juga merupakan panduan dalam menggerakkan segala aktivitas masyarakat Aceh . Disamping itu, Aceh menjadi pintu masuk bagi perkembangan Islam di Nusantara dan pusat penyebaran Islam di sekitar selat Malaka. Hal ini menjadi satu fenomena penting dari catatan perkembangan sejarah Islam di dunia. Semenjak Islam datang dan berbaur dalam masyarakat Aceh, prilaku yang nampak dalam keseharian masyarakat tak lepas dari apresiasi masyarakat terhadap Universitas Sumatera Utara 41 Islam. Artinya masyarakat Aceh tidak hanya menganut Islam, tetapi masyarakat mencoba mengaktualisasikannya dalam kehidupannya. Kadang terlihat sikap masyarakat yang begitu fanatik terhadap Islam, dikarenakan akulturasi watak masyarakat dengan keyakinan masyarakat. Sifat kekerabatan yang tinggi dan silaturrahmi merupakan satu bentuk sikap mereka yang kental dalam mewujudkan Islam. Agama ini telah mendarah daging dalam kehidupan mereka dan melingkupi semua aspek dalam kehidupan mereka. Hal ini bisa dilihat dari adat budaya yang mereka tampilkan dan juga melalui aturan atau norma hidup yang telah mereka sepakati, seperti perkawinan, perceraian dan lainnya. 68 Bagi masyarakat Aceh, sekalipun Hukum Adatnya telah lebih dahulu ada jauh-jauh hari sebelum masuknya Islam ke Nanggroe Aceh melalui Samudera Pasei, tetapi dewasa ini, antara Hukum Adat dan Hukum Islam telah sampai pada tingkat sinergik integrative, yang menujukkan adanya harmonisasi antara hukum adat dan hukum Islam. Kenyataan ini telah dibuktikan oleh Syahrizal dalam meneliti hubungan kedua system hukum tersebut Hukum Islam dan Hukum Adat dalam bidang kewarisan. 69 Secara menyeluruh, keberadaan kehidupan bermasyarakat di Aceh seutuhnya menyatu dalam semboyan kehidupan mereka sehari-hari, yang telah menjadi 68 Snouck Hurgronje,Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, Jil 1-2, sebagaimana dikutip dalam buku Syamsul Bahri Implementasi Syari’at Islam, Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012, hal. 64 69 Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia Refleksi terhadap Beberapa BentukIntegrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, Lhokseumawe : Nadya Foundation, 2004, hal. 8 Universitas Sumatera Utara 42 pegangan umum; “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” Adat berada di tangan Sultan, hukum di tangan Ulama, Qanun dari Putri Pahang dan Resam dari Laksamana. 70 Begitu kentalnya Islam dalam kehidupan mereka, dimana terdapat gambaran jelas melalui ungkapan-ungkapan adat. Meskipun masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri tetapi tak bisa dipisahkan dari Islam yang menhjadi keyakinan mereka. Pertautan keduanya antara adat dengan Islam bisa dilihat dari hadih maja ungkapan adat yang berbunyi; “Hukum Islam ngon adat lagee zat ngon sifeut” Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat. 71 Ungkapan ini mengandung makna sebagaimana dikemukakan Melalatoa dari Hasjmy, “… Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging. Hal itu berlaku dalam segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, kebudayaan, sosial budaya dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam.” 72 Disamping ungkapan ini, juga terdapat ungkapan lain yang menjelaskan betapa pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang ditercermin sebagai berikut; “Mate aneuk meupat jeurat gadoh adat han meho mita” Mati anak jelas kuburnya, hilang adat kemana dicari. 73 70 Syamsul Bahri Implementasi Syari’at Islam, Banda Aceh : Bandar Publisihing, 2012, hal. 64 71 Syamsul Bahri, Op. Cit, 61 72 M. Junus Melalatoa, Memahami Aceh dalam Perspektif Budaya, dalam AD Pirous, Abdul Hadi WM dkk Ed, Aceh KembaliKe Masa Depan Jakarta: IKJ Press, 2005, hal. 31 73 Ibid Universitas Sumatera Utara 43

C. Sejarah Pemberian Hareuta Peunulang