69
BAB III STATUS HUKUM PEMBERIAN ORANG TUA MELALUI
HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR
Dalam persoalan pemberian harta kekayaan orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang sebenarnya disamping terkandung aspek budaya, juga
terkandung aspek hukumnya. Pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang terdapat adanya peralihan benda di dalamnya maka hareuta
peunulang juga berdimensi hukum dalam persoalan hareuta peunulang berakibat dituntut adanya keteraturan dan ketertiban dalam proses peralihan hareuta peunulang.
A. Proses dan Syarat-syarat Pemberian Hareuta Peunulang
1. Proses Pemberian Hareuta Peunulang
Berdasarkan hasil penelitian dalam semua kasus pemberian hareuta peunulang yang menjadi objek penelitian pada umumnya sama proses pemberiannya.
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa setelah kawin seorang anak perempuan dan suaminya untuk beberapa waktu tinggal bersama keluarga orang
tuanya. Ketika sampai saatnya untuk dipisahkan guna hidup mandiri, maka orang tua membicarakan hal tersebut dengan anaknya dan anggota keluarga lainnya dan
membuat segala persiapan untuk pemisahan tersebut.
123
Persiapan diperlukan karena peumengkleh pemisahan dilakukan dalam suatu upacara sederhana dengan membuat
123
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
69
Universitas Sumatera Utara
70
kanduri jamuan makan bagi para undangan, dalam upacara pemisahan inilah hareuta peunulang diberikan kepada anak perempuan yang telah kawin.
124
Penyerahan peunulang biasanya dilakukan melalui sebuah upacara yang diadakan oleh orang tua si istri. Dalam upacara tersebut diundang keuchik
gampong, teungku meunasah dan anggota tuha peut untuk menyaksikan prosesi peunulang. Pada kesempatan itu, orang tua pihak perempuan atau yang mewakili
menyatakan bahawa
ia telah
melepaskan anak
perempuannya dengan
memberikan sejumlah peunulang dan menyebutkannya satu persatu apa-apa yang dijadikan peunulang untuk anaknya tersebut.
125
Dalam acara jamuan makan ini diundang para tetua kampung, yakni keuchiek kepala desa, imam meunasah imam mesjidsurau kampung dan Tuha peut 4
orang kampung yang dituakan, tokoh-tokoh masyarakat dan kaum tetangga dan kerabat dekat dari keluarga. Adapaun diundangnya para undangan ini adalah untuk
menjadi saksi dalam pemberian hareuta peunulang.
126
Khusus bagi tetua kampung disamping untuk menjadi saksi sekaligus akan berfungsi sebagai advisor dalam
pemberian hareuta peunulang.
127
Dan bahkan ada juga yang menjadi penyambung lidah juru bicara orang tua untuk menyampaikan kehendak orang tua kepada anak
perempuannya dan para undangan lainnya. Setelah jamuan makan selesai dilaksanakan maka orang tua dari anak yang
akan dipisahkan menyampaikan maksudnya kepada tetua kampung yaitu kepada keuchiek dan imam meunasah. Namun adakalanya maksud dan tujuan ini telah lebih
124
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 36
125
Snouck Hugronje, Op.Cit, hal 408
126
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
127
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPISB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 22 November 2013
Universitas Sumatera Utara
71
dulu dibicara sebelum persiapan upacara adat tersebut,
128
Hal yang disampaikan adalah, pertama anaknya dengen menyebut anak tersebut dan akan dipeumeungkleh
dipisahkan dari keluarga orang tuanya untuk hidup mandiri dengan suaminya dan secara sosial membentuk keluarga yang baru. Kedua, bersamaan dengan pemisahan
ini, kepada anaknya tersebut diberikan bekal berupa harta dengan menyebut satu persatu harta yang akan diberikan dengan rincian jumlah dan rincian lainnya.
129
Setelah mendengar maksud dari orang tua si anak ini, langkah atau tindakan yang pertama dilakukan oleh kepala desa, imam menasah dan tetua kampung lainnya
adalah memberi advis mengenai besaran hareuta peunulang yang akan diberikan oleh orang tua si anak kepada anak perempuannya dibandingkan dengan keseluruhan harta
yang dimiliki oleh orang tua si anak tersebut.
130
Advis dimaksud adalah mengingatkan orang tua si anak untuk memperhatikan keadilan. Untuk memberikan
secara proporsional antara jumlah harta dengan jumlah anak yang ada terutama menjaga agar jangan sampai pemberian hareuta peunulang melebihi 13 sepertiga
dari harta yang ada. Ini dimaksudkan untuk mencegah pemberian dapat bertentangan denga ketentuan dalam hukum Islam tentang hibah yang membatasi pemberian hibah
maksimal 13 dari harta yang ada, dan ketidak adilan seperti anak yang disayang akan mendapat bagian yang banyak sedangkan anak yang kurang disayang akan mendapat
bagian lebih sedikit.
131
128
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
129
Abdurrahman, Op.Cit, hal. 37
130
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
131
Abdurrahman, Op.Cit, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
72
Setelah itu dilakukan maka kepala desa menyampaikan kehendak orang tua kepada anak perempuan yang akan menerima hak dan sekaligus disaksikan oleh
semua khalayak yang hadir, dalam penyampaian ini suami dari anak perempuan tadi juga diminta hadir untuk mendengar dan mengetahuinya, kehadiran suami di sini
khusus untuk mendengar dan untuk mengetahui saja tanpa hak untuk mengusulkan atau lainnya. Namun adakalanya orang tua sendiri yang langsung menyampaikan
kehendaknya di hadapan khalayak yang hadir.
132
Kendali upacara dipegang oleh kepala desa atau tetua kampung lainnya, dan pada kesempatan itu orang tua dari anak perempuan tadi menyampaikan kehendaknya
bahwa sejak saat ini anak perempuannya yang bernama … dengan menyebut nama anak perempuannya secara “resmi” dipisahkan dipeumeungkleh kehidupan
berkeluarga dari keluarga orang tuanya untuk hidup mandiri dengan suaminya dan secara social membentuk keluarga baru. Dengan dilakukan pemisahan ini, maka sejak
itu secara sosial tanggung jawab atas keluarga baru, baik nafkah maupun lainnya, beralih kepada suaminya.
133
Setelah diumumkan tentang pemisahan keluarga tersebut diatas, bersamaan dalam upacara itu juga disampaikan bahwa bersamaan dengan pemisahan ini kepada
anak perempuan tersebut diberikan bekal hidup oleh orang tuanya berupa benda- benda yang bermanfaat dengan menyebut satu persatu benda dengan rincian jenis
132
Wawancara dengan Burhanuddin, Tuha Peut, Aceh Besar, Tanggal 22 November 2013
133
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
Universitas Sumatera Utara
73
dan kuantitasnya. Bekal hidup itu berupa benda-benda yang bermanfaat inilah yang dikenal dengan hareuta peunulang.
134
Adapun lafadz pemeungkleh dan pemberian hareuta peunulang yang dismpaikan oleh orang tua atau yang mewakilinya pada intinya adalah sebagai
berikut: “Nyang jeut uloen tuan tawo’ droneuh, teungku Keuchiek’, teungku, bandum
droneuh yang tuha-tuha, loen tuan ureung syiek dari aneuk kamo keumeung peugah aneuk lon si X, ka lon peumeungkleh, bak thee droneuh yang tuha-
tuha. Yang lon brie keudjih…. Nyan keuh lon keumeung peugah ; ba’ thee dro ka kamoe leungoe”
Saya mengundang tuan-tuan terhormat kemari, teungku keuchiek, teungku dan para sesepuh, saya orang tua dari anak kami ingin menyampaikan bahwa
saya “melepas” putrid saya “X”, harap tuan-tuan ketahui yang saya berikan kepada anak perempuan saya adalah :….
“keuchiek” menjawab “Sudah kami dengar”
135
Arti dari lafadz yang disampaikan diatas adalah kira-kira : Pada malam ini dengan disaksikan oleh para hadirin semua, saya selaku orang tua dari anak kami
yang bernama dengan menyebutkan nama anak perempuannya dengan ini menyatakan memisahkan kehidupan berkeluarga anak perempuan kami ini dari
keluarga kami untuk hidup secara mandiri dengan suaminya. Bersamaan dengan ini dan pada kesempatan ini kami memberikan sedikit benda yang bermanfaat sebagai
bekal hidup mereka kepada anak perempuan kami berupa … dengan menyebut jenis dan kuantitas serta rincian lainnya dari benda yang diberikan.
Setelah orang tua si anak perempuan melafadzkan pemberian hareuta peunulang
tersebut diatas
maka kepala desa dan tetua kampung
lainnya
134
Ibid
135
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
74
menyambutnya dengan mengucapkan “ka kamoe leungo” sudah kami dengar. Sambutan kepala desa ini penting sebagai pernyataan sudah disaksikan dan ini secara
hukum adat sangat diperlukan
136
. Setelah lafadz diucapkan segera diikuti penyerahan nyata benda-benda yang
diberikan oleh orang tua kepada anaknya, penyerahan nyata ini dilakukan secara simbolis. Kalau rumah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya maka yang
yang diserahkan adalah kuncinya, kalau ternak yang diberikan maka yang diserahkan adalah talinya dan seterusnya semua secara simbolis, kecuali benda-benda yang
bergerak yang dapat diserahkan langsung maka akan diserahkan langsung tanpa simbolis.
137
Dalam keluarga baru yang telah dipeumeungkleh benda objek peunulang merupakan hak isteri tidak bisa dimiliki oleh si suami, bahkan dalam hal meninggal
dunia dan pemberi orang tuanya masih ada, suami tidak bisa mewarisi harta tersebut, suami hannya mempunyai hak terbatas yaitu hak untuk menikmati,
mengolahmemproduksi dan hak untuk bertindak terbatas.
138
2. Syarat-syarat Pemberian
Hareuta Peunulang
Adapun yang menjadi syarat-syarat dari pemberian hareuta peunulang ialah sebagai berikut :
a. Lafadz
136
Wawancara dengan Burhanuddin Tgk. Ridwan , Tuha Peut Keuchiek, Desa Peukan Seulimuem, Seulimeum, tanggal 2 Desember 2013
137
Wawancara dengan Tgk Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 20 November 2013
138
Wawancara dengan Abdurrahman, Mantan Ketua PPSIB Unsyiah, Banda Aceh, tanggal 29 November 2013
Universitas Sumatera Utara
75
Tindakan melafadzkan pemberian hareuta peunulang yang dilakukan oleh orang tua merupakan syarat yang penting di mana pernyataan orang tua si
anak perempuan mempunyai akibat hukum dari peralihan benda-benda tersebut nantinya, sebagai salah satu syarat pertalihan hak menurut hukum
adat.
139
b. Saksi Dalam pemberian hareuta peunulang dibutuhkan saksi minimal 2 orang,
sebagaimana setelah lafadz yang diucapkan oleh orang tua maka para saksi dan dilakukan penyerahan secara nyata maka secara hukum
adat telah memenuhi syarat tunai dan terang dalam peralihan hak.
140
c. Tidak melebihi 13 dari keseluruhan harta Pemberian hareuta peunulang sangat memperhatikan akan ketentuan hukum
waris dalam Islam, dimana pembeerian ini dibatasi maksimalnya tidak melebih 13 dari harta keseluruhan orang tua, sebagaimana atauran hibah di
dalam hukum Islam.
141
d. Dapat di Tarik Kembali Dari data sekunder dan data primer yang bersumber dari para informan dapat
diketahui bahwa hareuta peunulang yang telah diberikan dapat ditarik kembali oleh orang tuanya dengan alasan-alasan sebagai berikut :
139
Ibid
140
Ibid
141
Ibid
Universitas Sumatera Utara
76
1Tujuan pemberian hareuta peunulang tidak tercapai yang disebabkan oleh : tidak dihiraukantidak dimanfaatkan atau diterlantarkan, meninggalnya
penerima, dialihkan kepada orang lain seperti digadaikan. 2Penerima hareuta peunulang durhaka kepada orang tua
3Penerima hareuta peunulang murtad atau keluar dari agama Islam
142
B. Status Hukum Dari Pemberian Melalui Hareuta Peunulang
Kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan di Kabupaten Aceh Besar melalui hareuta peunulang ini merupakan kegiatan yang khas yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat Aceh, selain mempunyai aspek sosial kegiatan pemberian hareuta peunulang juga mengandung aspek hukum, dalam hal peralihan dan
kewarisan.
1. Status Pemberian Orang Tua Melalui
Hareuta Peunulang Dalam Aspek Hukum Waris Adat
Van Vollenhoven orang pertama yang telah menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan sehingga hukum adat sejajar dengan hukum dan ilmu hukum
yang lain, menyatakan sebagai berikut : “ Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang
pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi maka dikatakan hukum dan di lain pihak tidak dikodifikasi maka dikatan
adat”.
143
Selanjutnya Soepomo dalam karangan beliau “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat” memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang
tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif unstatutory law meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib,
142
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 43
143
Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
77
namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum .
144
Sedangkan Soerojo Wignjodipoero berpendapat sebagai berikut : “Bahwa sistem hukum
adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum
barat. Memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar
alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
145
Dengan demikian pengertian hukum adat di Indonesia yang seharusnya dipelajari dan diteliti dalam rangka pembinaan hukum nasional adalah semua hukum
yang tidak tertulis di dalam bentuk perundangan, baik yang berlaku dalam penyelenggaraan
ketatanegaraanpemerintahan, maupun
yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern, baik merupakan hukum hukum
kebiasaan maupun hukum agama. Unsur-unsur dalam hukum adat dipengaruhi oleh unsur-unsur asli maupun
unsur-unsur keagamaan. Jadi hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, berazaskan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang berpedoman
pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang saling berinteraksi. Masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem hukum waris, yaitu
hukum waris adat, sitem hukum waris Islam dan sistem hukum waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
144
Soerojo Wignjodipoero, Op Cit, hal. 14
145
Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, hal. 68
Universitas Sumatera Utara
78
Sehubungan dengan hukum waris adat, Soepomo memaparkan sebagai berikut:
“Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda Immateriele goederan dari suatu angkatan manusia Generatie kepada turunannya. Proses ini telah mulai sejak dalam
waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuul” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya Bapak atau Ibu
adalah suatu peristiwa yang penting dan proses itu akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut”.
146
Menurut Ter Haar, hukum waris adat merupakan “peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang selalu
berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materil dari suatu generasi berrikutnya.
147
Sementara itu Iman Sudiyat mengemukakan bahwa hukum adat waris merupakan “aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan
proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau pemindahan harta kekayaan material dan nonmaterial dari generasi ke generasi berikutnya”.
148
Dengan memperhatikan pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat adalah mengatur tentang cara meeneruskan dan mengalihkan barang-
barang harta keluarga, baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik yang bernilai uang atau tidak bernilai uang dari pewaris ketika ia masih hidup atau sesudah
146
Soepomo, Op. Cit, hal. 79
147
Ter Haar, Asas-asas dan susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto, Jakarta ; Pradnya Paramita, 1986, hal. 179
148
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung : Tarsito, 1984, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
79
meninggal kepada para waris terutama ahli warisnya. Dengan demikian, hukum waris adat mencakup pula persoalan mengenai tindakan-tindakan pelimpahan harta benda
semasa seseorang masih hidup sesuai keinginannya. Mengenai proses penerusan harta warisan ini, Prodjodikoro berpendapat
bahwa : “proses peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat dimulai ketika pemilik
harta kekayaan masih hidup dan proses tersebut terus berjalan hingga masing- masing keturunannya menjadi keluarga-keluarga yang berdiri sendiri yang
disebut “mencar” dan “mentas” Jawa, yang pada saat nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi
berikutnya”.
149
Pelaksanaan proses penerusan serta pengalihan kepada orang yang berhak menerima
warisan harus
memperhatikan hubungan
antara seorang
yang meninggalkan warisan pewaris dengan penerima warisan, serta harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh pewaris dengan ahli waris dan sifat lingkungan kekeluargaan dari si pewaris dan ahli warisnya harus sama.
Pewaris menurut hukum waris adat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan antara sistem patrilineial,
matrilinial, dan bilateralparental, disamping adanya perbedaan dalam struktur kemasyarakatan kekerabatan tersebut, berlaku sistem pewarisan yang bersifat
individual, kolektif dan mayorat. Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang
149
Wirjono Prodjodikoro,Op Cit, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
80
ditinggalkan, baik setelah pewaris meninggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup.
150
Hubungan hukum dimaksud merupakan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan keadaan hukum terjadi perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan
melembaga sehingga perubahan dan peralihan dari satu bentuk ke bentuk yang lain merupakan proses yang harus dilakukan secara tetap dan beraturan. Proses pewarisan
itu sendiri bersifat formal dan bukan bersifatb otomatis karena memerlukan acara tersendiri dan sedapat mungkin memenuhi ketentuan hukum.
Untuk dapat terlaksananya pewarisan, ada 3 tiga unsur pokok yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Pewaris Pewaris merupakan orang yang meninggalkan warisan di dalam proses
pewarisan. Pewaris merupakan unsur yang paling penting sebab tanpa adanya pewaris tidak mungkin ada proses pewarisan. Walaupun si pewaris masih
hidup, pembagian warisan sudah dapat dilangsungkan.
b. Ahli Waris Adalah mereka yang berhak mendapatkan harta warisan yang ditentukan
berdasarkan hubungan kekeluargaan dari yang bersangkutan kepada ahli waris.
Dalam ahli waris masyarakat parental, kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama dan mendapat bagian warisan dari orang tuanya sama
rata, baik harta warisan pusaka keturunan, harta bawaan ayah atau ibunya, ataupun harta pencaharian orang tua mereka. Harta warisan tersebut terbagi-
bagi penguasaan dan pemiliknya dalam sistem pewarisan individual. Sistem pewarisan parental ini sebagaimana yang telah di anut oleh masyarakat Aceh.
c. Harta Warisan Hukum waris memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan berwujud atau tidak berwujud dari pewaris kepada
150
Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
81
para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia
151
Sebagai bagian hal pokok dalam kewarisan adat adalah harta warisan, dimana berdasarkan uraian diatas Harta warisan adalah : Harta kekayaan yang akan
diteruskan oleh pewaris ketika ia masih hidup atau setelah meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris menurut sistem kekerabatan dan pewarisan
yang berlaku dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Di kalangan masyarakat Aceh Besar menurut M. Yusuf Hasan dalam jurnal
kanunnya menyatakan harta warisan merupakan bagian dari harta peninggalan yang terdiri dari :
1 Harta Bawaan dari masing-masing pihak suami-isteri, atau harta yang diperoleh dari hadiah, warisan dan pemberian lainnya peunulang. Jenis harta
ini dalam masyarakat Aceh disebut harta tuha. 2 Harta yang diperoleh suami-isteriselama berlangsungnya perkawinanatau
harta bersama yang dalam kalangan masyarakat Aceh disebut hareuta sihareukat.
152
Proses pembagian warisan menurut Hilman Hadikusuma dapat dilaksanakan pada :
153
a. Sebelum pewaris meninggal dunia masih hidup
151
Ida Ayu Sri Martini Asthama, Pelaksanaan Pemberian Tanah Kepada Anak Perempuan Kepada Menurut Ketentuan Hukum Waris Adat Bali, Tesis Semarang : UNDIP, 2005
152
M. Yusuf Hasan, Kecenderungan Pembagian Warisan dalam Masyarakat Aceh Besar,Jurnal Kanun No 24 Banda Aceh, 1999, hal. 413-414
153
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal 95-105
Universitas Sumatera Utara
82
1 Cara penerusan atau pengalihan
Pewaris masih hidup atau penerusan kedudukan atau jabatan adat, hak dan kewajiban harta kekayaan kepada ahli warisnya. Cara ini biasanya
berlangsung menurut
hukum adat
setempat. Misalnya,
terhadap kedudukan, hak dan kewajiban dan harta kekayaan yang tidak terbagi-
bagi kepada anak laki-laki sulung atau bungsu di Tanah Batak. 2
Cara penunjukan Pewaris menunjuk ahli warisnya atas hak dan kewajiban atas harta
tertentu, Perpindahan penguasaan dan pemilikan baru berlaku dengan sepenuhnya kepada ahli warisnya pada saat si pewaris sudah meninggal
dunia. 3
Pesan atau Wasiat Pesan atau wasiat ini disampaikan atau dituliskan pada saat pewaris masih
hidup akan tetapi dalam keadaan sakit parah. Biasanya diucapkan atau dituliskan dengan terang dan disaksikan oleh para ahli waris, anggota
keluarga, tetangga dan tua-tua desa. b. Setelah pewaris meninggal dunia
Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris adat. Setelah si pewaris meninggal
dunia, harta warisannya diteruskan kepada ahli warisnya dalam keadaan terbagi-bagi atau tidak terbagi-bagi.
Universitas Sumatera Utara
83
Berdasarkan uraian diatas maka pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dalam aspek
hukum waris adat merupakan bagian dari harta warisan yang diberikan sebelum pewaris meninggal dunia. Sesuai dengan pembagian harta warisan
dalam masyarakat adat Aceh Besar dan sistem pelaksanaan pembagian waris yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia.
Hal ini sesuai dengan pendapat Soerojo yang menyatkan bahwa “apabila seseorang anak mendapatkan sesuatu pemberian semasa hidup bapaknya,
demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia telah mendapatkan bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak ini tidak lagi berhak atas
harta yang lain yang dibagi-bagikan setelah bapaknya meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat banyaknya harta peninggalan, ternyata yang telah
diterima anaktersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya sama
dengan saudara-saudaranya yang lain”.
154
2. Status Pemberian Orang Tua Melalui
Hareuta Peunulang Dalam Aspek Hukum Waris Islam
A. Pengertian Hukum Waris Islam Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini karena dalam
Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al
154
Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, hal. 172-173
Universitas Sumatera Utara
84
Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
155
Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”. Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah
ditentukan bagi ahli waris.
156
Sedangkan hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai
kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.
157
Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.
158
Sedangkan makna Al- miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta uang, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal
menurut syar’i. Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum
Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan
155
Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 355
156
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006, hal.479
157
http:edon79.wordpress.com20090710fiqh-mawaris,di unduh
pada tanggal
27 Desember 2013.
158
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, hal.33
Universitas Sumatera Utara
85
dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.
159
Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya
hubungan hukum dalam hukum keluarga.
160
Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash- Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-
siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.
Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan
kepada yang berhak
menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.
161
Menurut Syamsul
Rijal Hamid
bahwa pengertian
warisan adalah
berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.
162
Warisan itu menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat
itu meninggal dunia.
163
159
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal.4.
160
R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya Airlangga University Press, hal.3.
161
Moh Rifai, Ilmu Fiqih Islam, Semarang : CV Toha Putra,1978, hal.513
162
Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Bogor : Cahaya Salam, 2011, hal.366.
163
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal.11.
Universitas Sumatera Utara
86
B. Dasar Hukum Waris Islam Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam
hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu : 1 Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
164
2 Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu sekedarnya dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
165
3 Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya : “Allah mensyariatkan mewajibkan kepadamu tentang pembagian warisan
untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan
yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia anak perempuan itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah harta yang ditinggalkan. Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia yang
meninggal mempunyai anak. Jika dia yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia yang meninggal mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas setelah
dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau dan setelah dibayar hutangnya. Tentang orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
164
Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang : CV. Putra Toha, hal.62
165
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
87
antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.
166
4 Dan dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam KHI, yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI.
C. Syarat dan Rukun Pembagian Waris 1. Syarat pembagian waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu: a Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki sejati, meninggal dunia hukmi menurut putusan hakim dan
meninggal dunia taqdiri menurut dugaan. Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut :
1 Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal
dunia.
167
2 Mati hukmi, yaitu “kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal
dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah
dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia”.
168
3 Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang
ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut
telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.
166
Ibid
167
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit.,hal.28.
168
Ibid
Universitas Sumatera Utara
88
Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris
169
. b Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus
benar-benar hidup.
170
c Mengetahui status kewarisan Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah
jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung,
sebapak maupun seibu.
171
2. Rukun Pembagian Waris Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu 1 pewaris, 2 harta
warisan, dan 3 ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri.
172
D. Hibah dalam Hukum Islam
169
Ibid
170
Ibid
171
Ibid
172
Ahmad Rofiq,Op. Cit. hal. 29
Universitas Sumatera Utara
89
Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain yang. Pemberian
semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan ”hibah”. Kaitannya dengan pemberian orang tua melalui hareuta peunulang dalam hal
ini dapat dilihat dimana dalam hukum waris Islam warisan dibagi hannya setelah pewaris meninggal dunia sebagai salah satu syarat pembagian warisan dalam hukum
Islam. Sementara pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang sebagaimana telah dijelaskan diberikan oleh orang tua kepada anaknya
semasa orang tua masih hidup. Dalam hal ini pemberian harta kekayaan dalam hukum Islam di waktu pewaris masih hidup dikenal sebagai hibah.
Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi dari
pihak penerima hibahdan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.
173
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf g menyebutkan “hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”. Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan
warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia.
173
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,Cetakan Kedua Jakarta : Sinar Grafika, 1996, hal. 113
Universitas Sumatera Utara
90
Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba yang berarti suatu pemberian. Sedangkan hibah
menurut istilah Jumhur Ulama mendefinisikannya sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti
rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara suka rela.
Ulama Mazhab Hambali lebih detail lagi mendefinisikannya, yaitu “pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang
yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu atau tidak, bendanya ada dan bias diserahkan, penyerahannya
diserahkan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan”.
174
Sayyid Sabiq mendefiniskan hibah adalah “akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup”.
175
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan hibah adalah “memberikan zat dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada karenanya”.
176
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf g menyebutkan “hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”. Kata di waktu masih hidup mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila
beralih sudah matinya yang berhak maka disebut wasiat. Adapun kata tanpa imbalan atau sukarela, berarti itu semata-mata kehendak sepihak si pemberi tanpa
mengharapkan apa-apa. Apabila mengharapkan imbalan maka dinamakan jual-beli.
174
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan I Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hal 540
175
Sayid Sabiq, Op Cit , hal 167
176
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, 1990, hal. 305
Universitas Sumatera Utara
91
Adapun dasar hibah menurut hukum Islam adalah firman Allah yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik sesamanya, saling mengasihi dan
sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik daripada menerima. Namun pemberian itu haruslah ikhlas, tidak ada pamrih apa-
apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam firman Allah yang artinya :
“tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan” Q.S Al-Maidah
: 2.
177
Firman Allah yang lain, Artinya : “dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang
miskin, nusafir yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang yang meminta”.Q.S. AL-Baqarah : 17.
178
Dan Rasulullah bersabda, yang artinya : “Dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : saling memberi
hadiahlah kamu sekalian niscaya kamu akan saling mencintai”.HR. Al- Bukhari.
Dasar Hukum Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Menurut Ismail Suny, sudah jelas bahwa
dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah
177
Departemen Agama
Republik Indonesia,
Yayasan Penyelenggara
Al-qur’an dan
Terjemahannya, Surabaya : Mahkota, 1989, hal 156
178
Ibid, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
92
ditetapkan oleh Undang-undang yang berlaku dalam hukum Islam, aritnya, bahwa bagi masyarakat muslim Indonesia yang harus dijadikan pegangan hukum itu adalah
Kompilasi Hukum Islam dalam setiap penyelesaian-penyelesaian masalah perkawian, kewarisan, dan wakaf, dan itu adalah hukum Islam yang sudah dilegalisi oleh
Undang-undang.
179
Di dalam Al-Qur’an maupun Hadits, dapat ditemui ayat dan sabda nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah, namun dari ayat-ayat dan hadits di
atas dapat dipahami bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan ummat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain
termasuk hibah. Sementara syarat-syarat hibah adalah sebagai berikut :
180
a. Syarat Bagi Penghibah Pemberi Hibah 1
Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hal terjadi pemindahan milik karena itu
mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.
2 Penghibah
itu adalah
orang yang
mursyid, yang
telah dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.
3 Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu
haruss orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya. 4
Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyaratkan kerelaan dalam kebebasan.
5 Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunya iradah dan ikhtiyar
dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiyar dalam keadaan
179
Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et. Al “Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukkan”, Bandung
:Remaja Rosdakarya ,1991, hal. 44
180
Departemen Agama Republik Indonesia, Ilmu Fiqh Jilid III, Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana Akan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hal. 201-203
Universitas Sumatera Utara
93
tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkannya dengan
matang. b. Syarat bagi penerima hibah
1 Bahwa ia telah ada dalam arti sebenarnya karena itu tidak sah anak yang
belum lahir menerima hibah. 2
Jika penerima hibah itu orang yang belum mukallaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang
bertanggung jawab memelihara dan mendidiknya.
c. Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan : 1
Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.
2 Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah
oleh ajaran Islam. 3
Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah, mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di
waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.
4 Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu
perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. d. Syarat Sigat atau Ijab Qabul
Setiap hibah harus ada ijab-qabul, tentu saja sigat itu hendaklah ada persesuaian antara Ijab dan Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara,
maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benar-benar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.
Pemberi pihak pertama hibah dapat dikatakan sah ketika empat syarat berikut terpenuhi yaitu, pertama, barang yang dihibahkan milik nya secara utuh,
kedua, bukan dalam keadaan keadaan terhalang seperti karena sakit, ketiga, baligh, dan keempat, akad hibah dalam keadaan ridho tanpa paksaan. Dalam KHI pasal 210
ayat 1 dijelaskan bahwa orang yang menghibahkan harus berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak dalam keadaan terpaksa, dan harta yang dihibahkan paling banyak
13 dan harus dihadapan dua orang saksi. Kemudian ayat dua menjelaskan bahwa barang yang dihibahkan harus hak milik penghibah. Untuk syarat yang kedua diatas
ditanggapi oleh KHI dengan memberikan kesempatan bagi yang ingin menghibahkan
Universitas Sumatera Utara
94
hartanya dalam keadaan sakit dengan catatan izin dari ahli warisnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 213 bahwa Hibah yang diberikan pada saat pemberi
hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pembatasan yang ada dalam KHI dalam hal usia dan
besar hibah berdasarkan pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan
13 harta kecuali dengan persetujuan ahli waris.
181
Mengenai pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dalam masyarakat Aceh Besar secara prinsip berbeda dengan penghibahan
dalam Hukum Perdata Indonesia Berdasarkan Pasal 1666 Kitab Undang–undang Hukum Perdata :
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”, Hibah secara KUH Perdata telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah : 1 Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Hibah hanyalah dapat
mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah
batal”
181
Ahmad Rofiq, Op Cit, hal. 471
Universitas Sumatera Utara
95
2 Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan
kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat
pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan
terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut
terutama ahli waris laki-laki yang apabila pemberian orang tua tersebut dapat mengurangi haknya dalam mewaris. Oleh karenanya sering terjadi sengketa antara
ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain ahli waris yang tidak menerima hibah menyatakan
hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan
lagi. Berkaitan dengan masalah tersebut pasal 211 Kompilasi Hukum Islam KHI
telah memberikan solusi yaitu, Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat“ dalam pasal tersebut bukan
Universitas Sumatera Utara
96
berarti imperatif harus, tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.
182
Dengan demikian dari status hukum dilihat dari segi pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang di dalam masyarakat Kabupaten
Aceh Besar yang dilakukan oleh orang tua kepada anak perempuan semasa hidup dapat digolongkan sebagai hibah di dalam hukum Islam, ini dapat dilihat dari syarat
dan proses pemberian hareuta peunulang juga memenuhi syarat yang terdapat dalam ketentuan hibah dalam Islam.
Pengalihan harta dari seseorang ke orang lain dapat di lakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan cara pemberian atas sebagian harta atau
hibah. Hukum Islam di Indonesia mengatur mengenai ketentuan hibah sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210 sampai dengan pasal 214.
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa ”dalam Hukum Islam, pemberian berupa
harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis”. Akan tetapi jika selanjutnya dikehendaki bukti-bukti yang cukup
tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam bentuk tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis bentuk
tersebut terdapat dua macam, yaitu:
182
Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, tulisan ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
97
1 Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian;
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Jabatan Notaris selanjutnya disebut UUJN, menentukan pengertian Notaris, yaitu :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Sebagai pejabat umum, notaris mempunyai kewenangan-kewenangan yang telah diatur dalam undang-undang khususnya pada Pasal 15 UUJN, adapun
kewenangan dari notaries adalah : 1 “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan danatau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2 Notaris berwenang pula : a mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftarkan pada daftar khusus; b membubuhkan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus; c membuat copi dari dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; g membuat akta risalah lelang.
3 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2, notaries mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
98
Pasal 15 secara keseluruhan menegaskan bahwa wewenang dari notaris adalah bersifat umum tidak turut pejabat lainnya dimana wewenang pejabat
lainnya itu hanya bersifat tertentu, tidak melebihi apa yang ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang, sedangkan notaris wewenangnya
meliputi segala pembuatan akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan sepanjang pembuatan akta tersebut oleh peraturan
perundang-undangan tidak ditugaskan kepada pejabat lainnya 2 Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari
penyerahan pemberian itu sendiri. Artinya, apabila pernyataan dan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang
pemberian, maka yang demikian itulah yang harus didaftarkan. Menurut John Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan
pemindahan hak atas tanah adalah sama, ia berpendapat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum
yang bertujuan memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan.
183
Undang-undang Pokok Agraria UUPA Pasal 20 ayat 2 disebutkan hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Setiap peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh seseorang kecuali pemindahan hak melalui lelang, harus didasarkan pada suatu akta yang dibuat
183
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 1993, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
99
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT yang berwenang sebagaimana tercantum dalam 37 ayat 1 PP nomor 24 tahun 1997.
Konsekuensi hukum terhadap pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang dimana pemberian ini dianggap sama dengan
hibah maka dengan sendirinya ketentuan-ketentuan hukum hibah dianggap berlaku terhadap hareuta peunulang. Pemberian orang tua kepada anak
perempuan melalui hareuta peunulang maka dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan dan dapat dibatalkan, sesuai dengan hibah dalam hukum
Islam 211 Kompilasi Hukum Islam KHI telah hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, dan dapat
dibatalkan apabila melebihi dari sepertiga. Berdasarkan hasil uraian di atas dalam kenyataan di mana banyak masyarakat
Kabupaten Aceh Besar yang masih melakukan pemberian orang tua melalui hareuta peunulang kepada anak perempuannya setelah melangsungkan
perkawinan, berstatus warisan dalam hukum waris adat, namun perkembangan hukum Islam yang di anut masyarakat Aceh mempengaruhi hukum waris adat
tersebut sehingga status pemberian orang tua tersebut melalui hareuta peunulang dapat di samakan dengan pemberian hibah dalam Islam.
Universitas Sumatera Utara
100
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN