76
1Tujuan pemberian hareuta peunulang tidak tercapai yang disebabkan oleh : tidak dihiraukantidak dimanfaatkan atau diterlantarkan, meninggalnya
penerima, dialihkan kepada orang lain seperti digadaikan. 2Penerima hareuta peunulang durhaka kepada orang tua
3Penerima hareuta peunulang murtad atau keluar dari agama Islam
142
B. Status Hukum Dari Pemberian Melalui Hareuta Peunulang
Kegiatan pemberian orang tua kepada anak perempuan di Kabupaten Aceh Besar melalui hareuta peunulang ini merupakan kegiatan yang khas yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat Aceh, selain mempunyai aspek sosial kegiatan pemberian hareuta peunulang juga mengandung aspek hukum, dalam hal peralihan dan
kewarisan.
1. Status Pemberian Orang Tua Melalui
Hareuta Peunulang Dalam Aspek Hukum Waris Adat
Van Vollenhoven orang pertama yang telah menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan sehingga hukum adat sejajar dengan hukum dan ilmu hukum
yang lain, menyatakan sebagai berikut : “ Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang
pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi maka dikatakan hukum dan di lain pihak tidak dikodifikasi maka dikatan
adat”.
143
Selanjutnya Soepomo dalam karangan beliau “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat” memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang
tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif unstatutory law meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib,
142
Abdurrahman, Op. Cit, hal. 43
143
Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
77
namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum .
144
Sedangkan Soerojo Wignjodipoero berpendapat sebagai berikut : “Bahwa sistem hukum
adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum
barat. Memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar
alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
145
Dengan demikian pengertian hukum adat di Indonesia yang seharusnya dipelajari dan diteliti dalam rangka pembinaan hukum nasional adalah semua hukum
yang tidak tertulis di dalam bentuk perundangan, baik yang berlaku dalam penyelenggaraan
ketatanegaraanpemerintahan, maupun
yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern, baik merupakan hukum hukum
kebiasaan maupun hukum agama. Unsur-unsur dalam hukum adat dipengaruhi oleh unsur-unsur asli maupun
unsur-unsur keagamaan. Jadi hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, berazaskan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang berpedoman
pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang saling berinteraksi. Masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem hukum waris, yaitu
hukum waris adat, sitem hukum waris Islam dan sistem hukum waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
144
Soerojo Wignjodipoero, Op Cit, hal. 14
145
Soerojo Wignjodipoero, Op. Cit, hal. 68
Universitas Sumatera Utara
78
Sehubungan dengan hukum waris adat, Soepomo memaparkan sebagai berikut:
“Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda Immateriele goederan dari suatu angkatan manusia Generatie kepada turunannya. Proses ini telah mulai sejak dalam
waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuul” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya Bapak atau Ibu
adalah suatu peristiwa yang penting dan proses itu akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut”.
146
Menurut Ter Haar, hukum waris adat merupakan “peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang selalu
berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materil dari suatu generasi berrikutnya.
147
Sementara itu Iman Sudiyat mengemukakan bahwa hukum adat waris merupakan “aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan
proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau pemindahan harta kekayaan material dan nonmaterial dari generasi ke generasi berikutnya”.
148
Dengan memperhatikan pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat adalah mengatur tentang cara meeneruskan dan mengalihkan barang-
barang harta keluarga, baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik yang bernilai uang atau tidak bernilai uang dari pewaris ketika ia masih hidup atau sesudah
146
Soepomo, Op. Cit, hal. 79
147
Ter Haar, Asas-asas dan susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto, Jakarta ; Pradnya Paramita, 1986, hal. 179
148
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung : Tarsito, 1984, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
79
meninggal kepada para waris terutama ahli warisnya. Dengan demikian, hukum waris adat mencakup pula persoalan mengenai tindakan-tindakan pelimpahan harta benda
semasa seseorang masih hidup sesuai keinginannya. Mengenai proses penerusan harta warisan ini, Prodjodikoro berpendapat
bahwa : “proses peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat dimulai ketika pemilik
harta kekayaan masih hidup dan proses tersebut terus berjalan hingga masing- masing keturunannya menjadi keluarga-keluarga yang berdiri sendiri yang
disebut “mencar” dan “mentas” Jawa, yang pada saat nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi
berikutnya”.
149
Pelaksanaan proses penerusan serta pengalihan kepada orang yang berhak menerima
warisan harus
memperhatikan hubungan
antara seorang
yang meninggalkan warisan pewaris dengan penerima warisan, serta harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh pewaris dengan ahli waris dan sifat lingkungan kekeluargaan dari si pewaris dan ahli warisnya harus sama.
Pewaris menurut hukum waris adat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan antara sistem patrilineial,
matrilinial, dan bilateralparental, disamping adanya perbedaan dalam struktur kemasyarakatan kekerabatan tersebut, berlaku sistem pewarisan yang bersifat
individual, kolektif dan mayorat. Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang
149
Wirjono Prodjodikoro,Op Cit, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
80
ditinggalkan, baik setelah pewaris meninggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup.
150
Hubungan hukum dimaksud merupakan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan keadaan hukum terjadi perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan
melembaga sehingga perubahan dan peralihan dari satu bentuk ke bentuk yang lain merupakan proses yang harus dilakukan secara tetap dan beraturan. Proses pewarisan
itu sendiri bersifat formal dan bukan bersifatb otomatis karena memerlukan acara tersendiri dan sedapat mungkin memenuhi ketentuan hukum.
Untuk dapat terlaksananya pewarisan, ada 3 tiga unsur pokok yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Pewaris Pewaris merupakan orang yang meninggalkan warisan di dalam proses
pewarisan. Pewaris merupakan unsur yang paling penting sebab tanpa adanya pewaris tidak mungkin ada proses pewarisan. Walaupun si pewaris masih
hidup, pembagian warisan sudah dapat dilangsungkan.
b. Ahli Waris Adalah mereka yang berhak mendapatkan harta warisan yang ditentukan
berdasarkan hubungan kekeluargaan dari yang bersangkutan kepada ahli waris.
Dalam ahli waris masyarakat parental, kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama dan mendapat bagian warisan dari orang tuanya sama
rata, baik harta warisan pusaka keturunan, harta bawaan ayah atau ibunya, ataupun harta pencaharian orang tua mereka. Harta warisan tersebut terbagi-
bagi penguasaan dan pemiliknya dalam sistem pewarisan individual. Sistem pewarisan parental ini sebagaimana yang telah di anut oleh masyarakat Aceh.
c. Harta Warisan Hukum waris memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan berwujud atau tidak berwujud dari pewaris kepada
150
Hilman Hadikusuma, Op. cit, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
81
para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia
151
Sebagai bagian hal pokok dalam kewarisan adat adalah harta warisan, dimana berdasarkan uraian diatas Harta warisan adalah : Harta kekayaan yang akan
diteruskan oleh pewaris ketika ia masih hidup atau setelah meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris menurut sistem kekerabatan dan pewarisan
yang berlaku dalam masyarakat adat yang bersangkutan. Di kalangan masyarakat Aceh Besar menurut M. Yusuf Hasan dalam jurnal
kanunnya menyatakan harta warisan merupakan bagian dari harta peninggalan yang terdiri dari :
1 Harta Bawaan dari masing-masing pihak suami-isteri, atau harta yang diperoleh dari hadiah, warisan dan pemberian lainnya peunulang. Jenis harta
ini dalam masyarakat Aceh disebut harta tuha. 2 Harta yang diperoleh suami-isteriselama berlangsungnya perkawinanatau
harta bersama yang dalam kalangan masyarakat Aceh disebut hareuta sihareukat.
152
Proses pembagian warisan menurut Hilman Hadikusuma dapat dilaksanakan pada :
153
a. Sebelum pewaris meninggal dunia masih hidup
151
Ida Ayu Sri Martini Asthama, Pelaksanaan Pemberian Tanah Kepada Anak Perempuan Kepada Menurut Ketentuan Hukum Waris Adat Bali, Tesis Semarang : UNDIP, 2005
152
M. Yusuf Hasan, Kecenderungan Pembagian Warisan dalam Masyarakat Aceh Besar,Jurnal Kanun No 24 Banda Aceh, 1999, hal. 413-414
153
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal 95-105
Universitas Sumatera Utara
82
1 Cara penerusan atau pengalihan
Pewaris masih hidup atau penerusan kedudukan atau jabatan adat, hak dan kewajiban harta kekayaan kepada ahli warisnya. Cara ini biasanya
berlangsung menurut
hukum adat
setempat. Misalnya,
terhadap kedudukan, hak dan kewajiban dan harta kekayaan yang tidak terbagi-
bagi kepada anak laki-laki sulung atau bungsu di Tanah Batak. 2
Cara penunjukan Pewaris menunjuk ahli warisnya atas hak dan kewajiban atas harta
tertentu, Perpindahan penguasaan dan pemilikan baru berlaku dengan sepenuhnya kepada ahli warisnya pada saat si pewaris sudah meninggal
dunia. 3
Pesan atau Wasiat Pesan atau wasiat ini disampaikan atau dituliskan pada saat pewaris masih
hidup akan tetapi dalam keadaan sakit parah. Biasanya diucapkan atau dituliskan dengan terang dan disaksikan oleh para ahli waris, anggota
keluarga, tetangga dan tua-tua desa. b. Setelah pewaris meninggal dunia
Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris adat. Setelah si pewaris meninggal
dunia, harta warisannya diteruskan kepada ahli warisnya dalam keadaan terbagi-bagi atau tidak terbagi-bagi.
Universitas Sumatera Utara
83
Berdasarkan uraian diatas maka pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dalam aspek
hukum waris adat merupakan bagian dari harta warisan yang diberikan sebelum pewaris meninggal dunia. Sesuai dengan pembagian harta warisan
dalam masyarakat adat Aceh Besar dan sistem pelaksanaan pembagian waris yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia.
Hal ini sesuai dengan pendapat Soerojo yang menyatkan bahwa “apabila seseorang anak mendapatkan sesuatu pemberian semasa hidup bapaknya,
demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia telah mendapatkan bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak ini tidak lagi berhak atas
harta yang lain yang dibagi-bagikan setelah bapaknya meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat banyaknya harta peninggalan, ternyata yang telah
diterima anaktersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya sama
dengan saudara-saudaranya yang lain”.
154
2. Status Pemberian Orang Tua Melalui